*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini
Gunung Baluran adalah sebuah gunung di Jawa
Timur berketinggian 1.247 M. Gunung ini secara administratif tempo doeloe masuk
Banjoewangi, tetapi kini kabupaten Situbondo. Gunung Baluran merupakan gunung
paling timur di Pulau Jawa. Gunung
Baluran hanyalah gunung rendah tetapi memiliki sejarah penting di wilayah
Banyuwangi. Gunung tertinggi di Banyuwangi adalah gunung Raung.
Gunung Raung puncak tertinggi: 3.344 M, gunung berapi kerucut. Kawasan gunung masuk dalam wilayah tiga kabupaten di wilayah Besuki, yaitu Banyuwangi, Bondowoso dan Jember. Secara geografis, berada dalam kawasan pegunungan Ijen dimana gunung Raung tertinggi. Gunung Raung sendiri merupakan gunung tertinggi ketiga di Jawa Timur setelah Gunung Semeru dan Gunung Arjuno. Kaldera Gunung Raung merupakan kaldera kering yang terbesar di Pulau Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Terdapat empat titik puncak, yaitu Puncak Bendera, Puncak 17/Puncak Bendera (3.159 M), Puncak Tusuk Gigi, (3.300 M) dan yang tertinggi Puncak Sejati (3.344 M). Dilihat dari vegetasinya, Gunung Raung memunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous atau hutan gunung. Letusan Gunung Raung bertipe letusan Strombolian, yaitu letusan kecil tetapi terus-menerus mengeluarkan pijar. Gunung Raung juga memiliki sistem kawah yang terbuka, yang menyebabkan lava pijar yang dihasilkan akan kembali ke dalam kawah dan kecil kemungkinan meluber keluar kaldera. Sejarah letusan 1586 (?) catatan paling awal. Letusan Gunung Raung yang terjadi tahun 1593, 1597, 1638, 1730, sekitar tahun 1804, 1812-1814, sekitar tahun 1815, 1817, 1838, 1849, 1859, 1860, 1864, 1881, 1885, 1890, 1896, 1897, 1902, dan 1903, 1913, 1915, 1916, 1917, 1921, 1924, dan 1924, 1827, 1928, 1929, 1933, 1936, 1937, 1938-1939, 1940, 1941 (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah gunung di wilayah Banyuwangi, gunung Raung berapi meraung? Seperti disebut di atas gunung Raung kerap meletus. Bunyi rauangan dari puncak gunung pada masa lampau partanda ada letusan (terdengar tetapi tidak terlihat), Mengapa? Dalam hal ini gunung Raung terkenal dari bunyinya, sementara gunung Baluran tempo doeloe adalah suatu pulau yang dalam sejarah navigasi pelayaran perdagangan sangat penting. Lalu bagaimana sejarah gunung di wilayah Banyuwangi, gunung Raung berapi meraung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Gunung di Wilayah Banyuwangi, Gunung Raung Berapi Meraung; Gunung Baluran di Pulau Tempo Doeloe
Pada era Portugis nama gunung Baluran adalah gunung Dapresada dan gunung Raung adalah gunung Peters Berg di wilayah (lanskap) Balamboang/Balambouang. Pada era VOC nama gunung Baluran disebut gunung Talaga Wurung dan gunung Raung disebut gunung Tashem/Tasher. Peta lain juga ada yang mengidentifikasi gunung Raung sebagai gunung Balamboang. Mengapa hanya dua gunung tersebut yang diidentifikasi dalam peta?
Penamaan dua gunung tersebut dari zaman kuno, karena hanya dua gunung
tersebut yang menjadi penanda navigasi pelayaran perdagangan. Meski gunung
Baluran adalah gunung rendah, tetapi posisinya di huk (titik belok) yang dekat pantai
menjadi penting. Gunung Raung adalah meski jauh di belakang pantai (di
pedalaman), namun karena sangat tinggi tetap penting sebagai penanda navigasi
pelayaran di selat Balambangan/selat Bali. Nama Pieters Berg pada era Portugis
diidentifikasi di wilayah Bornoe utara di Sabah (kini gunung Kinabalu). Peta
1753
Kawasan selat Balambangan telah menjadi jalur navigasi pelayaran perdagangan Portugis untuk mencapai pantai selatan Jawa. Pada tahun 1575 sudah ada misionaris Portugis yang membuka stasion misi di Balambangan. Dalam peta-peta Portugis di lereng sebelah timur gunung Pieters Berg diidentifikasi suatu pemukiman yang berada di sebelah utara sungai Cattak/Gattak (sungai dimana kelak dibangun benteng VOC Banjoewangi). Ibu kota kerajaan Balambangan sendiri pada era VOC masih berada di Balambangan (hulu daerah aliran sungai Balambangan, kini sungai Setail).
Pada era Portugis, stasion misionaris Portugis, dari pusat di Malaka,
terjauh berada di (pulau) Solor dan di Banjoewangi. Ini mengindikasikan
misionaris Portugis mengambil posisi yang sangat jauh dari Demak. Pengaruh
Demak sendiri ke arah hanya teridentifikasi di Panaroekan (pantai utara Jawa),
Boeleleng (pantai utara Bali) dan Lombok (pantai utara Lombok). Catatan:
pengaruh Madjapahit sebelumnya hingga ke Bima (Sumbawa) dan Flores.
Pada dasarnya pelaut/pedagang Portugis tidak terkait dengan kegiatan misi para misionaris Portugis. Namun para misionaris menyusul ke wilayah navigasi pelayaran perdagangan pelaut/pedagang Portugis. Kapal-kapal dagang Poerugislah yang kemudian membawa mereka ke sutau tempat dimana stasion dibangun. Para misionaris sangat tergantung dengan intensitas navigasi pelayaran perdagangan Portugis di Kawasan (baik untuk mengirim pesan maupun untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan di daerah misi). Dalam konteks inilah dua gunung penting di wilayah Banyuwangi teridentifikasi dari waktu ke waktu (gunung Baluran dan gunung Raung).
Pelaut-pelaut Portugis, yang sejak awal didukung kerajaan Portugis, pada
dasarnya tidak banyak mengubah nama geografis. Namun ada kekeculian terhadap
nama gunung. Untuk gunung yang sangat tinggi (yang menurut perkiraan mereka
gunung tertinggi di pulau) diberi nama khusus. Suatu nama yang dikaitkan dalam
sejarah/keagamaan. Di pantai barat Sumatra, pelaut Portugis mengira gunung
Pasaman yang dekat ke pantai adalah gunung tertinggi di Sumatra, karena itu
diberi nama gunung Ophir. Idem dito pelaut Portugis mengira gunung Raung yang
dekat ke pantai adalah gunung tertinggi di Jawa sehingga diberi nama gunung
Peter Berg. Demikian juga gunung Kinabalu di pulau Borneo diberi nama Peter
Berg. Gunung Baluran dengan nama lama gunung Dapresada, meski rendah, tapi
sungguh penting karena yang pertama tampak begitu tinggi ketika kapal-kapal
(sejak era Portugis) datang dari arah Maluku memasuki (pulau Jawa). Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa disebut dengan nama Dapre Sada---mungkin
mengacu pada arti sada adalah satu atau pertama? Catatan: Pelaut Eropa pertama
yang memetakan (pulau) Jawa adalah pelaut Portugis yang kemudian diolah oleh
para ahli kartografi di Lisbon. Hal ini seiring dengan penemuan pelaut Portugis
pada tahun 1541 suatu celah antara Sumatra dan Jawa (baca: selat Zunda) yang
kemudian diapresiasi kerajaan Portugis. Sejak inilah pulau Jawa terpetakan
seluruhnya (termasuk pantai selatan).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Gunung Baluran di Pulau Tempo Doeloe: Gunung Soliter yang Menyatu Daratan Pulau Jawa
Nama gunung Raung bukanlah dari kata meraung. Namun tumbuhan yang ditemukan di tepi hutan yang disebut tanaman Raung atau Raun. Tidak diketahui sejak kapan nama Raoeng menggantikan nama Talaga Wurung. Sebuah surat Leschenault, yang pernah ke Banjowangi, tertanggal 30 September 1805 yang diterbitkan kembali surat kabar Bataviasche courant, 15-03-1817 nama gunung Raung ditulisnya sebagai gunung Rao. Lalu kemudian nama Raoeng paling tidak terinformasikan pada tahun 1850 (Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1846). Disebutkan laporan pemetaan laut dengan merujuk pada gunung Baloeran, Raun (Raung), Idjing (Ijen) dan Ringgit.
Orang Eropa pertama yang mendaki gunung Raung adalah FW Jung Huhn (lihat Java,
zijne gedaante, zijn plantentooi en inwendige bouw, 1853-1854). Jung Huhn menyebutkan
kawah Raoen memiliki diameter 2.350 M pada garis lintang terbesarnya; diameter
terkecil adalah 1850 M. Oleh karena itu, perbatasan mengelilingi area seluas
460 'bau’. Kawah ini jauh lebih besar dari kawah Smeroe yang hanya berdiameter
220 meter, dan kawah Bromo yang lebarnya 600 meter. Jung Huhn memberikan garis
lintang terbesar sebagai lebih dari 3000 kaki. Dia mengatakan: "Saya harus
mengakui bahwa ini adalah lubang kawah terbesar dan terdalam yang pernah saya
lihat di Jawa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar