*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Dalam
rangka memasuki bulan bahasa di Indonesia, ada baiknya sejarah bahasa-bahasa
ditulis kembali. Bahasa-bahasa dalam hal ini bahasa yang sudah lama eksis dan
masih digunakan oleh penutur. Namun sejarah bahasa dalam hal ini adalah catatan
sejarah yang menyangkut bahasa itu sendiri. Artikel pertama dimulai bahasa
Jawa.
Bahasa Jawa adalah bahasa Austronesia utamanya dituturkan penduduk bersuku Jawa di wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa. Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa Jawa Kuno, yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa Jawa Baru sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan sistem aksara kemudian diadaptasi menjadi aksara Jawa, kini lebih sering ditulis dengan aksara Latin. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah bahasa Melayu. Tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode leksikostatistik, pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa Sunda dan bahasa-bahasa "Melayik". Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru. Kebangkitan Mataram menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Jawa di sebelah timur Pulau Jawa? Seperti disebut di atas, bahasa Jawa penutur bahasa Jawa umumnya di sebelah timur pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Literasi bahasa Jawa masa kini (bahasa Jawa baru) dihubungkan dengan bahasa Jawa kuno (Kawi). Lantas bagaimana sejarah bahasa Jawa di sebelah timur Pulau Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Jawa di Sebelah Timur Pulau Jawa; Literasi Bahasa Jawa Kuno (Kawi) hingga Bahasa Jawa Baru (Kini)
Bagaimana memahami bahasa Jawa dalam bahasa Belanda, atau sebaliknya, pada era VOC dihubungkan dalam bahasa Melayu. Orang Belanda bisa berbahasa Melayu, sebaliknya orang Jawa juga ada yang bisa berbahasa Melayu. Dalam konteks ini sudah barang tentu orang Belanda tidak pernah membaca bahasa Jawa dan menyalinnya apalagi dalam aksara Jawa.
Dalam catatan orang Belanda sejak era VOC hanya dicatat satu bahasa Jawa.
Apakah di Semarang, Soerakarta, Soerabaja dan Bandoeng. Mereka mencatat hanya
bahasa Jawa. Tidak membedakan antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda, apalagi
kedua bahasa tersebut dalam dialek-dialek yang berbeda-beda. Hingga kehadiran
pertama Belanda ke pedalaman di Preanger, surat pemimpin Bandoeng hanya dicatat
sebagai bahasa Jawa saja (lihat Daghtegister, 17-11-1706). Sementara itu, dalam
catatan VOC sudah membedakan bahasa Madoera dan bahasa Bali. Tentu sjaja saat
ini belum terindentifikasi bahasa Betawi, Mengapa? Selama ini hanya bahasa Melayu
yang ditemukan umumnya di wilayah kota-kota pantai. Semua itu karena orang
Belanda dalam hubungannya dengan bahasa Jawa (termasuk bahasa Sunda), semua
bahasa lokal diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu terlebih dahulu.
Lantas sejatinya sejak kapan orang Belanda semasa VOC telah mengenal bahasa Jawa? Sudah barang tentu orang Belanda sudah begitu lama di Hindia Timur dalam hal ini di Jawa, sudah ada yang mempelajari bahasa-bahasa termasuk bahasa Jawa. Oleh karena interaksi pemerintah VOC dengan pemimpin Jawa cukup intens, maka fungsi penerjemah in menjadi penting antara bahasa Belanda dengan bahasa Jawa (atau sebaliknya) tanpa melalui bahasa ketiga lagi (bahasa Melayu).
Yang menjabat sebagai penerjemah bahasa Jawa adalah Daniiel Tasfte (lihat
Oprechte Haerlemsche courant, 03-07-1759). Koopman dan translator Javaasche
taal, J Gordyn (lihat Leydse courant, 23-05-1791).
Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di era Daendels ada satu fungsi
pemerintahan di Batavia yang bertugas untuk penerjemahan di dalam bahasa Jawa
(lihat Bataviasche koloniale courant, 06-04-1810).
Bagaimana literasi bahasa Jawa tersebut selama era VOC kurang terinformasikan, boleh jadi tidak terdikumentasikan sehingga sulit menemukan pada masa ini. Catatan-catatan VOC dalam bentuk dokumen apakah dalam aksara Jawa (orang Jawa) dan aksara Latin (orang Belanda) sudah tentu penting untuk penyelidikan sejarah bahasa Jawa. Bahan yang dapat dibandingkan dengan dokumen lain yang ditemukan di lain tempat di Jawa dan waktu (kurun) yang berbeda. Seperti disebut di atas, pada era pemerintahan GG Daendels (1809-1811) sudah ada satu fungsi penerjemahan di dalam pemerintah.
Pemerintah Hindia Belanda semasa Napoleon yang dimulai tahun 1800, hanya
berumur pendek, karena pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris di Jawa. Lalu
pemerintahan digantikan oleh Inggris. Sebagai pemimpin tertinggi Inggris di
Jawa adalah Raffles yang sebelumnya telah mempelajari bahasa Melayu di Sumatra
(berkedudukan di Bengkoeloe) sudah barang tentu fungsi penerjemahan di Batavia
tidak adak dilikuidasi. Besar dugaan kantor penerjemahan bahasa Jawa di Batavia
dimaksimumkan oleh Raffles untuk tujuan pemerintah, dan tentu saja untuk tujuan
Raffles sendiri sebagai ahli bahasa Melayu. Singkat kata pemerintahan
pendudukan Inggris harus berakhir pada tahun 1816. Saat Pemerintah Hindia
Belanda telah dipulihkan dan mulai konsolidasi lagi, pada tahun 1817 buku
Raffles terbit di Eropa dengan judul The History of Java. Catatan: selama
pendudukan Inggris Raffles telah mengunjungi pedalaman Jawa. Perjalanan pertama
dimulai dari Buitenzorg ke Bandoeng via Tjiandjoer, lalu kemudian diteruskan
dari Bandoeng ke Garoet, Bandjar, Adjibarang, Banjoemas, Begelen hingga ke
Djogja. Juga ada perjalanan dari Semarang ke Soerakarta dan Djogjakarta serta
dari Soerakarta ke Soerabaja via Madioen, Kediri, Malang dan Pasoroenan. Dalam
hubungannya dengan bahasa-bahasa di Jawa, besar dugaan Raffles telah menyadari
ada perbedaan yang nyata antara bahasa Soenada dan bahasa Jawa.
Kebutuhan pemahaman bahasa Jawa menjadi sangat penting setelah Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan tahun 1816. Sejak era pendudukan Inggris posisi Vorstenlanden (Soerakarta dan Djogjakarta) sangat penting sebagai pemimpin local terkut di seluruh Jawa. Dalam pembentukan cabang-cabang pemerintahan di daerah, terutama di wilayah pedalaman seperti Vorstenlanden pengetahuuan bahasa, dalam hal ini bahasa Jawa menjadi sangat penting. Hal ini karena di wilayah pedalaman termasuk di Vorstenlanden sangat jarang pendudukan dan pemimpin local yang bisa berbahasa Melayu. Pada masa Residen NJ Nahuijs (sejak 1817) dibentuk Java Instituut di Soerakarta pada tahun 1819.
Fungsi Java Instituut ini didirikan adalah untuk melatih pejabat baru
yang akan memulai tugas di berbagai daerah terutama di wilayah-wilayah yang
umumnya berbahasa Jawa. Institut serupa tidak terinformasikan di Jawa bagian
barat (wilayah bahasa Soenda) maupun di Jawa bagian timur. Boleh jadi di kedua
wilayah tersebut tidak sulit menemukan para penduduk yang bisa berbahasa Melayu
terutama di wilayah kota-kota pantai di pantai utara Jawa seperti Batavia,
Karawang dan Cheribon, di Rembang, Toeban, Soerabaja, Pasoeroean dan Banjoewangi.
Java Instituut di Soerakarta dipimpin oleh CT Winter seorang Belanda kelahiran
Djogjakarta (ayah Belanda, ibu seorang pribumi/Jawa).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Literasi Bahasa Jawa Kuno (Kawi) hingga Bahasa Jawa Baru (Kini): Masa ke Masa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar