Kamis, 05 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (60): Bahasa Simeulue dan Bahasa Devayan di P Simeulue Pantai Barat Sumatra Residentie Atjeh; Bahasa Sigulai


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Devayan merupakan sebuah bahasa yang dituturkan oleh suku Devayan yang mendiami Pulau Simeulue bagian tengah dan selatan. Bahasa ini dituturkan di kecamatan Simeulue Cut, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Barat, Teupah Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam (Wikipedia). Selain bahasa Devayan juga ada bahasa Simeulue dan bahasa Sigulai.

 

Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah di pulau Simeulue. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk (2000:1) menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue Barat dan Kecamatan Salang. Ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah. (http://wadaya.rey1024.com/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Simeulue dan bahasa Devayan di pulau Simeulue pantai barat Sumatra Residentie Atjeh? Seperti disebut di atas, di kabupaten Simeulue tidak hanya ada bahasa Simeulue, juga ada bahasa Devayan dan bahasa Sigulai. Lalu bagaimana sejarah bahasa Simeulue dan bahasa Devayan di pulau Simeulue pantai barat Sumatra Residentie Atjeh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Simeulue dan Bahasa Devayan di Pulau Simeulue Pantai Barat Sumatra Residentie Atjeh; Bahasa Sigulai

Pada tahun 1914 di wilayah Atjeh dilakukan lagi reorganisasi pemerintahan (lihat Stbls No. 87 tahun 1914). Dalam peraturan baru ini Residentie Atjeh terdiri empat afdeeling. Satu diantaranya Afdeeling Westkust van Atjeh dengan ibu kota di Meulaboh. Salah satu onderafdeeling di wilayah Westkust van Atjeh adalah onderafdeeling Simeulue dengan ibu kota di Sinabang, yang terdiri dari district-district: Tapa, Semeuloee, Lakoon, Salang dan Sigoeleh.


Onderafdeeling Simeuloe, terdiri atas pulau bernama demikian dengan pulau-pulau kecil yang terletak di bawah pantai dan gugusan Kepulauan Kokos, terdiri atas bentang alam (lanskap) Tapa, Semeuloee, Lakoon, Salang dan Sigoeleh. Perlu ditambahkan disini, sampai tahun 1905 (Stbls No. 449), kawasan Singkel berada langsung di wilayah Residentie Tapanoeli. Troemön juga menjadi wilayah Residentie Tapanoeli dari tahun 1881 hingga 1902; Sebelum dan sesudahnya merupakan bagian dari onderafdeeling Tapa Toean, hingga digabungkan dengan Singkel pada tahun 1905 untuk membentuk onderafdeelintg dari Gouvernement Atjeh en Onderhoorigheden.

Nama Simeulue dilisankan dengan berbeda (lihat Mededeelingen van het Encyclopaedisch Bureau, Aflevering XX, 1920), Nama asli adalah Simalur yang dalam bahasa Nias disebut Simölö, orang Aceh menyebutnya Simeuluë, dan orang Gayo Pulo U menyebutnya Simulul. Ada dua bahasa digunakan yakni bahasa Simalur dan bahasa Salang dan Sigoeleh.


Dalam Sensus Penduduk 1920, jumlah penduduuk di Onderafdeeling Simeulue sebanyak 17.662 jiwa yang terbagi: district Teupah sebanyak 10.878 jiwa; Simeulue sebanyak 3.536 jiwa; Lokoeen (704 jiwa); Salang (516 jiwa); dan Sigoeleh sebanyak 2.028 jiwa. Semua non pribumi berada di district Teupah yang mana orang Eropa sebanyak 93 orang dan orang Cina 293 jiwa.

Bahasa Simalur, diucapkan paling murni di lanskap Tapah (bahasa Dèvayan), bercampur dengan bahasa Aceh di Simölul, dan dengan kata-kata dari bahasa lain pulau ini dalam bahasa Lakön. Dalam bahasa Simalur juga disebut Léng Banö. Sementara bahasa Salang dan Siguleh dalam bahasa Siguleh, nama bahasa Salang dan Siguler diringkas dengan bahasa Siguleh saja. Bahasa Sigulerh disebut juga Wali Banuah.


Berbeda dengan bahasa Siguleh yang dianggap sebagai bahasa Wali Banoeah, bahasa Simalur mendapat pengaruh dari bahasa Minangkabau, bahasa Melayu, dan bahasa Aceh sehingga bahasa Simalur banyak kehilangan sifat aslinya. Bahasa Simalur adalah bahasa yang terpisah dan khas, setara dengan Nias dan terkait dengannya. Hubungan antara Siguleh dan bahasa Nias sangatlah berbeda; Siguleh adalah bahasa dochtertaal (varian) bahasa Nias (lihat Lafeber, 1922). Siguleh adalah bahasa anak Nias, yang sangat bercampur dengan unsur-unsur asing. Namun bahasa ini tidak bisa begitu saja disebut lagi sebagai dialek Nias. Tata bahasa Siguleh sangat menyimpang dari apa yang telah disebutkan sehingga apapun asal usul bahasanya, kini menjadi bahasa yang benar-benar terpisah.

Bahasa Simeulue dan bahasa Sigoeleh mulai mendapat perhatian khusus. Dalam Vergelijkende klankleer van het Niasisch, 1922, dapat diperhayikan perbedaan bahasa Simeulue dan bahasa Sigoeleh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Sigulai: Bahasa Devayan vs Bahasa Simeulue

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar