*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
Pesisir (bahasa Pesisir: Ughang Pasisi) adalah sebuah kelompok etnis yang
tersebar di pesisir barat Sumatera Utara. Suku Pesisir merupakan keturunan dari
orang Minangkabau yang bermigrasi ke Tapanuli sejak abad ke-14 dan telah
bercampur dengan suku lain, yaitu suku Batak dan Aceh. Sejarah terbentuknya
kelompok suku ini tidak jauh berbeda dengan sejarah terbentuknya suku Aneuk
Jamee di pantai barat Aceh, masyarakat Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.
Bahasa Pesisir (bahasa Pesisir: bahaso Pasisi) adalah sebuah dialek bahasa Minangkabau yang dituturkan oleh Suku Pesisir yang merupakan penduduk Tapanuli Tengah, Sibolga, pantai Tapanuli Selatan dan pantai Mandailing Natal, di sepanjang pesisir barat Provinsi Sumatera Utara. Bahasa ini menyebar di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatra mulai dari Mandailing Natal, Sibolga, hingga Barus. Bahasa ini merupakan salah satu dialek dalam Bahasa Minangkabau, karena sejarah bahasa ini bermula dari datangnya perantau Minang dari daerah Pariaman untuk berdagang di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatra bagian utara. Para perantau ini kemudian berkomunikasi dengan suku bangsa lain seperti Batak dan Aceh, sehingga terjadilah akulturasi dengan kedua bahasa tersebut. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Pesisir di pantai barat Sumatra? Seperti disebut di atas kelompok penutur bahasa Pesisir berada di wilayah pantai barat Sumatra. Bahasa campuran bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Minangkabau dan bahasa Batak. Lalu bagaimana sejarah bahasa Pesisir di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Pesisir di Pantai Barat Sumatra; Bahasa Campuran Bahasa Melayu, Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak
Ada kelompok populasi (etnik) Pesisir dan ada juga bahasa Pesisir. Pesisir yang dimaksud berada di pantai barat Sumatra. Sejak kapan nama Pesisir terinformasikan? Yang jelas nama Pesisir sebagai nama tempat (kampong, desa, district) cukup banyak di pantai utara Jawa. Bagaimana dengan di pantai barat Sumatra? Tidak terinformasikan.
Sebagaimana dikutip di atas bahasa Pesisir (bahaso Pasisi) adalah sebuah
dialek bahasa yang dituturkan oleh Suku Pesisir yang merupakan penduduk
Tapanuli Tengah, Sibolga, pantai Tapanuli Selatan dan pantai Mandailing Natal,
di sepanjang pesisir barat Provinsi Sumatera Utara. Bahasa ini menyebar di
sepanjang pesisir barat Pulau Sumatra mulai dari Mandailing Natal, Sibolga,
hingga Barus. Bahasa ini merupakan salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau.
Lantas siapa orang Pesisir? Bagaimana terbentuk? Laporan seorang Cina yang pernah di Angkola selama 10 tahun (1691-1701) berangkat dari Angkola ke Barus yang ditempuh selama 11 hari. Padagang Cina dengan keluarganya akan ke Batavia dengan terlebih dahulu dengan perahu dari Barus ke Padang. Hanya nama Barus dan Padang yang disebut. Nama Air Bangis dan Natal muncul kemudian.
Nama Air Bangis adalah nama yang sudah lama dikenal. Tidak dikenal
sebagai nama tempat tetapi sebagai nama sungai. Para Peta 1695 sungai Air
Bangis berada di dekat sungai Oedjoeng Gading. Di sebelah utara sungai Air
Bangis terdapat sungai Batahan dan sungai Natal. Berdasarkan Peta 1665 nama
sungai Air Bangis muncul kemudian menggantikan nama sungai Batang Sikabou.
Sementara itu nama sungai Batang kemudian dikenal sebagai sungai Batang
[Natal]. Sungai Batang dan sungai Batahan saling tertukar dan adakalanya
pembuat peta menganggap dua sungai tersebut adalah sungai sama. Jika merujuk
pada peta yang lebih tua (Peta 1595) sungai dan kota yang diidentifikasi adalah
Batahan. Ini mengindikasikan bahwa sungai Batang (Natal) belum teridentifikasi
oleh pelaut-pelaut Eropa. Dengan demikian ada tiga sungai yang berdekatan satu
sama lain: Batang (Natal), (Batang) Batahan dan (Batang Sikabou). Tiga sungai
ini berhulu di Mandailing (gunung Malintang). Seperti lazimnya penamaan sungai
umumnya dimulai di hulu (dimana populasi lebih awal ada dari pada populasi di
muara atau pantai). Para pendatang atau populasi di kota muara menyebut dengan
nama baru. Nama Air Bangis sebagai suatu tempat paling tidak sudah diketahui
tahun 1761 (lihat Leydse courant, 26-06-1761). Disebutkan pada tanggal 4
Februari 1760 kapal Prancis berlabuh di Ayer Bangis dan 7 Februari 1860 Inggris
mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40
Eropa dan 60 orang pribumi. Nama Air Bangis diberitakan pada tahun 1764 sebagai
post perdangan VOC (lihat Leydse courant, 04-05-1764). Dalam berita ini juga
disebut Baros dan Padang. Nama Padang dijadikan pos perdagangan VOC sejak 1665
(sejak pedagang-pedagang Atjeh diusir VOC sejak 1665 dari pantai barat dari
Padang hingga Singkil). Dua tahun kemudian setelah perjanjian dengan Radja Baros
dibangun benteng tahuh 1667. Dalam hal ini Baros adalah nama (pusat
perdagangan) kuno. Lalu kemudian VOC membangun pos perdagangan di muara sungai
Simpanh Kanan (belum ada nama Singkil).
Dalam catatan Charles Miller yang pernah ke Angkola pada tahun 1772 berangkat dari teluk Tapanoeli di Pulo Pontjang ke Angkola melalui Loemoet. Nama-nama tempat yang disebut Charles Miller selain Pulau Pontjang dan Loemoet, juga Sipisang, Pinang Sore. Kampung-kampung yang dilalui melalui sungai Loemoet disebut tempat tinggal orang-orang Batak.
Inggris menetap di Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng.
Benteng yang dibangun tahun 1755-1756 ini panjang 212 M, lebar 150 M disediakan
dengan empat bastion yang tinggi 10 M masing-masing, dan dikelilingi oleh parit
yang dalamnya 10 kaki dan lebar lebar 14 kaki. Benteng ini dibuat untuk
melindungi penduduk di belakangnya dari musuh (baik dari darat maupun dari
laut). Wilayah di sekitarnya di arah utara terdapat Linggabojo, Mandailing
dengan populasi 3.000 jiwa dan di selatan terdapat Batahan, Mandailing dengan
2.500 jiwa. Populasi di kota (benteng) Natal sendiri terdiri dari berbagai
asal-usul. Di dalam benteng sendiri terdapat satu bangunan tinggal dan empat
bangunan untuk gudang rempah-rempah, tempat persenjataan, tempat tenaga kerja
dan lainnya. Benteng ini mirip Casteel Batavia (di awal kehadiran Belanda). Di
luar benteng yang jaraknya 200 M di sepanjang pantai terdapat rumah perjabat
dan pegawai, termasuk Asisten Residen dan rumah sakit. Di sekitar bukit
terdapat taman-taman botani dan taman-taman pemerintah. Di sebelah atas benteng
adalah pasar dimana terdapat 200 rumah. Setelah
ditinggal Inggris, benteng dan bangunan ini tidak menjadi perhatian VOC lagi
dan hingga kehadiran Belanda kembali sudah banyak yang rusak berat.
Hingga tahun 1755-1760 tampaknya populasi penduduk dipantai barat Sumatra, mulai dari Batahan belum ada indikasi migran dari Minangkabau. Populasi yang ada adalah orang Batak mulai dari Batahan hingga Singkel. Mengapa?
Pada tahun 1821 Raffles melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau.
Namun sejak 1824 dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris (Traktat
London). Pada tahun 1825 di pantai barat Sumatra sepenuhnya di bawah kendali
Pemerintah Hindia Belanda dan membentuk cabang pemerintahan dengan ibu kota di
Padang. Dominasi (kaoem) Padri di pedalaman Minangkabau mulai mendapat
perlawanan dari militer Belanda. Sejak saat inilah orang-orang Minangkabau sebagain
mulai keluar (eksodus ke wilayah pantai) di bawah perlindungan Pemerintah VOC.
Perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kaoem Padri ini cukup lama,
hingga sepenuhnya kaoem padri hilang tahun 1838. Sehubungan dengan itu sejak 1840
dibentuk Residentie Air Bangis (ibu kota di Air Bangis), yang juga meliputi
afdeeling Angkola Mandailing (ibu kota di Panjaboengan) dan afdeeling Natal
(ibu kota di Natal). Pos perdagangan Belanda di utara (masih independent)
terdapat di (kampong) Tapanoeli (teluk Tapanoeli) dan kampong Baros. Sebelum
Inggris keluar dari pantai barat Sumatra, Traktat London 1824 ibu kota pantai
barat di (kampong) Tapanoeli, lalu kemudian direlokasi ke Padang. Catatan: Dalam
catatan Peta 1695 disebutkan Radja Baros adalah Radja Settia Moeda yang
menggantikan Radja Na Bolon, Radja Baros yang pertama. Gelar Radja Na Bolon
mengindikasikan raja dari (penduduk) Batak. Radja Settia Moeda, anak Radja Na
Bolon mengindikasikan raja muda yang tetap setia (kepada VOC?). Dari catatan
ini memunculkan pertanyaan: Mengapa penduduk Batak diradjakan? Apakah ada ke(radja)an
sebelumnya di Baros?
Setelah masa Padri, orang Minangkabau mulai turun dan bermigrasi ke wilayah pesisir. Bagaimana gambaran populasi di Air Bangis dapat diperhatikan gambaran populasi di Natal. Populasi kota Natal adalah pendatang yang umumnya berdagang (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ jrg 2, 1839). Disebutkan di Natal terdapat enam suku: 1. Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam; 2. Soekoe Bharat, Westelijke stam; 3. Soekoe Padang, stam van Padang; 4. Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen; 5. Soekoe Atje, stam van Atjin; dan 6. Soekoe Rauw, stam van Rauw.
Disebutkan lebih lanjut setiap suku dikepalai oleh seorang Datoe dan para
Datoe dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal
juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayo, di sebelah utara (kini Batang
Natal, kabupaten Mandailing-Natal), di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis.
Di Linggabayo terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing.
Di Batahan terdapat penduduk Mandailing yang dikepalai oleh seorang Radja.
Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis
yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe). Catatan: pengangkatan Toeankoe
Besar di Natal dan Toeankoe Moeda di Airbangis dimulai pada tahun 1827 oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Upaya ini dilakukan pemerintah untuk mengontrol
kaoem Padri yang melarikan diri dari pedalaman yang dapat mengancam penduduk
pesisir.
Dari gambaran di atas, terutama di Natal populasi penduduk terdiri dari berbagai kelompok populasi (stam/suku). Kota Natal menjadi kota melting pot. Sudah ada kelompok populasi dari Minangkabau dan kelompok populasi Rao di pedalaman, kelompok populasi yang diduga kuat muncul sejak Pemerintah Hindia Belanda melancarkan serangan kepada kaoem Padri. Kelompok populasi lainnya diduga sudah lebih awal di Natal yakni Soekoe Bharat (Alas dan Dairi), Soekoe Padang, dan Soekoe Bandar Sepoeloe di pesisir selatan. Kelompok populasi Atjeh (Soekoe Atje) diduga sisa orang Atjeh di pantai barat Sumatra (setelah VOC mengusir pedagang Atjeh sejak tahun 1665). Tidak ada indikasi orang Batak (Mandailing) di Natal, tetapi terkonsentrasi di Linggabajoe dan Batahan.
Pada tahun 1845 Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan
baru (Residentie) Tapanoeli. Akibatnya Residentie Airbangis dilikuidasi.
Afdeeling Natal dan afdeeling Angkola Mandailing dimasukka ke Residentie
Tapanoeli dan afdeeling Air Bangis dan Ophir (termasuk Rao) dimasukkan ke
Residentie Padangsche Benelanden (yang beribukota di Padang). Sebagai ibu kota
Residenrtie Tapanoeli di pilih di kampong Sibolga (sejak inilah nama Sibolga dikenal,
suatu perkampongan orang Batak). Kampong Tapanoeli di bagian dalam di sebelah
utara teluk mulai ditinggalkan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Campuran Bahasa Melayu, Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak: Terbentuknya Bahasa Pesisir
Pada era Pemerintah Hindia Belanda, aAntara kerajaan Pasaman dan kerajaan Tikoe muncul nama kerajaan baru yang disebut kerajaan Kinali. Saat terjadi perang antar kerajaan Pasaman dan kerajaan Tikoe pada era Pemerintah Hindia Belanda, kerajaan Kinali terjepit. Untuk menghindari perseteruan, Pemerintah Hindia Belanda memisahkan kerajaan Tikoe dan kerajaan Pasaman ke dalam afdeeling yang berbeda.
Pada tahun 1762 VOC berupaya untuk membujuk bekerjasama dengan kerajaan
yang berada di antara Pasaman dan Tikoe (yang disebut Klein Pasaman) yang
dipimpin oleh Soetan di Kinali (penyebutan gelar yang umum di Mandailing, red). Wilayah inilah yang kelak
disebut wilayah Kinali. Catatan: kot Pasaman awalnya berada di muara Pasaman,
Sungai Pasaman sendiri berhulu di gunung Koelaboe (Mandailing). Ada jalur darat
dari lereng goenoeng Koelaboe ke Oesdjoeng Gading dan terus ke Kinali (wilayah
pantai). Pada tanggal 10 September 1768, wakil pedagang (onderkoopman) VOC dan
Resident VOC di Air Bangis membuat perjanjian dengan kepala (Radja) Groot Pasaman
agar VOC bisa berlabuh di wilayahnya. Radja Kinali tidak bersedia melakukan
kerjasama. Tidak diketahui secara jelas atas dasar apa VOC menempatkan sebanyak 50
orang Eropa dan pasukan Bugis di pantai Klein Pasaman (Kinali). Radja Kinali
memang tidak melakukan perlawanan, tetapi menghalangi pedagang VOC memasuki
wilayahnya (ibu kota Kinali) dengan menghancurkan semua jalan-jalan masuk dan
membanjiri sungai dengan kayu-kayu gelondongan. VOC sangat bernafsu untuk
mendapatkan Kinali, sebab Kinali menjadi satu-satunya tempat dan sungai yang
dapat mencegah Inggris bersatu dengan Soetan di Kinali dan melindungi penduduk
pegunungan di Pegunungan Ophir. Kerajaan Kinali adalah
kerajaan independen yang berada di antara wilayah VOC di sebelah selatan
(Priaman dan Tikoe) dan di utara (Air Bangis dan Pasaman). Sikap politis
kerajaan Kinali ini dapat dipahami mengingat wilayah antara Batahan hingga
Baros telah menjadi wilayah kerjasama Inggris. Sementara kerajaan Kinali
memiliki hubungan yang dekat dengan kerajaan-kerajaan di pedalaman di
pegunungan Ophir dan Rao (dan Mandailing).
Kerajaan Tikoe dimasukkan ke afdeeling Priaman dan kerajaan Pasaman plus kerajaan Kinali disatukan dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang berdekatan dengan nama afdeeling Ophir Districten. Ibu kota afdeeling Ophir Districten awalnya di Parit Batoe kemudian direlokasi ke Taloe. District-district yang termasuk (afdeeling) Ophir Districten adalah Kinali, Pasaman, Taloe, Sinoeroet dan Tjoebadak.
Seperti halnya nama Bondjol, nama Parit Batoe adalah nama baru. Kampong
Parit Batoe hanya bisa diakses dari Sasak melalui sungai Batang Kapas. Kampong
Parit Batoe adalah kampong terpencil. Ada jalan setapak dari Kiawai ke Parit
Batoe terus ke Kinali. Dari kampong Parit Batoe ke Taloe tidak ada jalan akses.
Jalan utama (jalan kuno) dari Kiawai ke Taloe melalui Kadjai. Keterangan
ini dapat dibaca pada laporan perjalanan seorang pendaki gunung pada tahun 1838
ketika mengukur ketinggian gunung Ophir. Disebutkan bahwa pendaki tersebut
memulai pendakian dari kampong Parit Batoe dimana terdapat benteng militer
Belanda yang dipimpin oleh seorang letnan. Pendaki ini memilih jalan setapak
dari sebelah utara hingga kampong Sawa (kampong di lereng gunung). Pendaki ini
kembali ke Parit Batoe dan kembali ke Air Bangis melalui Patoman dan Kiawai. Benteng
Parit Batoe adalah benteng Padri yang direbut oleh militer Belanda pada era
Residen Luitenant Kolonel Elout. Benteng ini direbut untuk mendekatkan diri ke
pusat kekuatan Padri di Bondjol. Benteng ini pada era Perang Padri (1831-1837)
diakses dari tiga tempat: Kiawai, (Moeara) Pasaman dan Kinali (dan Loeboe
Basoeng). Jalur militer utama dari Pasaman dan Kinali, sedangkan dari
Kiawai-Air Bangis hanya jalur pendukung.
Seperti disebut di atas ada perselisihan antara Pasaman dan Tikone, ini bermula pada tahun 1850an perselisihan menjadi perang terbuka. Sehubungan dengan kejadian perang tersebut, Pemerintah Hindia Belanda, ketika dibentuk afdeeling, kerajaan Kinali dan kerajaan Pasaman disatukan dengan kerajaan-kerajaan lainnya (Taloe, Tjoebadak) menjadi satu afdeeling dengan nama Afdeeling Ophir Districten; sedangkan kerajaan Tikoe diintegrasikan dengan Afdeeling Pariaman.
Dua kerajaan kuno (Pasaman dan Tikoe) kini dipisahkan oleh batas
afdeeling yang berbeda (Kerajaan Pasaman kuno berada di muara sungai Pasaman
yang mana sungai Pasaman bermuara di gunung Koelaboe). Apa yang menyebabkan dua
kerajaan kuno ini (Pasaman dan Tikoe) bermusuhan dan mengapa pula kerajaan
Pasaman dan kerajaan Kinali (dan tentu saja dengan kerajaan-kerajaan Taloe,
Sinoeroet dan Tjoebadak) terkesan ‘mesra’ silahkan pembaca mempelajarinya
sendiri. Ini dapat dihubungkan kembali ketika Raja Kinali pada era VOC (Soetan
di Kinali) ngotot tidak mau kerjasama dengan VOC (dan bahkan menutup diri
kepada pedagang VOC dengan merusak jalan dan membanjiri sungai dengan kayu
gelondongan ke pedalaman) karena ingin melindungi penduduk Rao, Tjoebadak dan
Taloe tetap memiliki akses perdagangan ke laut untuk menjual hasil-hasil
tambang dan hasil hutan ke pihak Inggris. Sejumlah nama-nama kampong kecil di
dekat Parit Batoe antara lain kampong Panindjaoean, kampongTjoebadak dan
kampong baru Simpang Ampat (kelak menjadi pusat kota Simpang Ampek, ibu kota
kabupaten Pasaman Barat). Nama kampong Parit pada era Padri berubah nama
menjadi Parit Batoe. Nama-nama kampong Parit yang berdekatan saat itu juga terdapat
di dekat Kiawai dan di dekat Oedjoeng Gading. Nama Parit semacam nama generic.
Perang antara dua kerajaan bertetangga: Kinali vs Tikoe muncul bukan karena perbedaan pandangan politik terhadap VOC-Pemerintah Hindia Belanda di masa lampau, tetapi disebabkan oleh soal perbatasan. Kerajaan Tikoe menganggap batas wilayahnya semua daratan di selatan sungai Masang adalah wilayahnya. Dalam perang ini muncul bantuan dari raja Baros. Mengapa? Apakah karena ada hubungan perdagangan atau hubungan kerabat?
Kerajaan Kinali sudah sejak lampau kota Kalliagan sebagai pelabuhannya
(tujuan produksi Kinali mengalir ke pantai). Pemerintah Hindia Belanda yang jelas-jelas berada di tengah antara dua
kerajaan (lebih) menyetujui batas teritori dari sudut pandang kerajaan Kinali.
Itulah mengapa pada era Pemerintah Hindia Belanda, batas antara Kinali dan
Tikoe tidak sepenuhnya hanya semata-mata dibatasi oleh sungai Masang.
Dalam konteks tersebut di atas, diduga yang menjadi asal muasal terbentuknya bahasa Pesisir di pantai barat Sumatra, mulau dari Kinali hingga Baroes (pada basis bahasa Batak). Semakin meluasnya migran Minangkabau dari pedalaman ke wilayah pesisir, bahasa Minangkabau kemudian turut memperkaya keberadaan bahasa Pesisir yang terus tumbuh dan berkembang (hingga ke hari ini). Namun sebelum kehadiran penutur bahas Minangkabau, di wilayah pantai barat Sumatra penutur yang ada, bahkan sejak lama adalah bahasa Melayu (baik dari utara maupun dari Selatan), bahasa Bharat (bahasa Alas/bahasa Pakpak) dan kemudian bahasa Atjeh. Pengaruh bahasa Minangkabau di dalam bahasa Pesisir diduga bersamaan dengan pengaruh bahasa Batak dari pedalaman pada era yang berbeda dengan sebelumnya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar