*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Mariri
salah satu dialek bahasa Barakai. Bahasa Barakai dituturkan di kepulauan Aru,
diantaranya di pulau-pulau Barakai, Longgar, Apara, Bemun, dan Mesiang; juga dituturkan
di tenggara kepulauan Aru di pulau Gomo-Gomo di timur laut Barakai. Dialek
bahasa Barakai lainnya adalah Gomo-Gomo, Lorang, Koba. Nama Mariri juga ditemukan
di wilayah Bolaang Moongondow. Mariri (Mairiri) dalam halini adalah nama pulau di
kepulauan Aru.
Pulau Mariri adalah sebuah pulau di wilayah kabupaten Kepulauan Aru. Di pulau ini berada desa Mariri. Adapun jumlah penduduk pulau Mariri pada tahun 2016 mencapai 300 jiwa. Desa Mariri adalah salah satu desa di kecamatan Aru Tengah Timur. Semua desa berada di pulau Kobror kecuali tiga desa, yakni: desa Mariri di pulau Maririm dan desa Lola di pulau Lola serta desa Karawi di pulau Karawai. Juga ada nama desa Maririmar di kecamatan Aru Tengah (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Mariri, dialek bahasa Barakai di pulau Mariri/Mairiri? Seperti disebut di atas dialek bahasa Mariri ditemukan di pulau Mariri. Pulau-pulau di timur kepulauan Aru Tengah. Lalu bagaimana sejarah bahasa Mariri, dialek bahasa Barakai di pulau Mariri/Mairiri? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Mariri, Dialek Bahasa Barakai di Pulau Mariri/Mairiri; Pulau-Pulau di Timur Kepulauan Aru Tengah
Nama Mariri sudah lama dikenal. Dalam sejarah navigasi pelayaran diantara pelaut Eropa, yang pertama ke kawasan laut Aru hingga ke selat Torres adalah pelaut Portugis. Sejak palaut Belanda menaklukkan Amboina pada tahun 1605 pelaut Belanda yang melewati kawasan ini dalam garis penghubung navigasi pelayaran Solor-Amboina.
Satu-satunya wilayah dimana Belanda eksis, semasa pendudukan Inggris adalah
wilayah Maluku di Ternate. Orang Belanda tidak terkalahkan di Ternate. Setelah
Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan (pasca pendudukan Inggris), wilayah
Saparua dan sekitar melakukan pemberontakan, Namun panglimanya (Pattimura)
berhasil dilumpuhkan. Dalam konteks inilah, sejak 1849 kembali kepulauan Aru dikunjungi
kapal-kapal Belanda dan semakin intens. Mengapa? Apakah khawatir dicaplok
Inggris yang berbasis di Australia?
Sejak awal Pemerintah Hindia Belanda, kepulauan Aru menjadi sangat penting secara geopolitik (Belanda vs Inggris). Namun baru dimulai sejak 1849 tetapi penempatan pejabat pemerintah di Dobo baru dimulai tahun 1850. Saat permulaan pemerintahan inilah nama Meriri (kini Mariri) dikenal.
Javasche courant, 11-12-1850: ‘Menurut informasi dari pejabat yang diutus
dari Amboina ke pulau-pulau tenggara dan barat daya pada awal tahun 1850, untuk
mengetahui keadaan disana dan menyelesaikan perselisihan yang tertunda, pada
paruh kedua pada tahun 1849 kepulauan Aroe, khususnya kota perdagangan Dobo dan
pulau Woedjier, Wokam, Watteli, Meriri, Jamboeaai dan Workai, dilanda suatu
penyakit, yang berdasarkan informasi yang diterima diasumsikan telah mengidap
penyakit kolera morbus. Jumlah korban penyakit ini diperkirakan mencapai 3.000
orang’.
Dalam perkembangannya pemerintaha di wilayah kepulauan Aru khususnya wilayah pantai dibagi dua wilayah berdasarkan dialek bahasa. Dua pembagian wilayah ini disebut Oersiswa dan Oerlima yang juga mirip di Seram dan kepulaun Kei (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-04-1866). Bahasa Melayu umum digunakan di komunitas kampung. Kelompok populasi di pantai timur berkulit coklat tua mirip seperti orang Papua. Wilayah Oerlima meliputi Wammer, Wokam, Maijkor, Wattelee dan Tranga; Oersiwa adalah Workai, Lolla, Meriri, Kalipoor, Kobai, Morassie, Koufani, Lolor, Kolla dan Werilau.
Wilayah pedalaman belum terinformasikan, tetapi diperkirakan memiliki populasi sekitar 7.000 jiwa. Disebutkan bahasa di pedalaman memiliki kemiripan dengan dua dialek bahasa di pantai. Mereka hidup dari pertanian dan memiliki perkebunan yang luas seperti klapper dan sagu. Para pedagang tidak pernah melakukan kontak dengan penduduk pedalaman. Penduduk pesisir lebih memilih melakukan penyelaman dan penangkapan ikan di terumbu karang yang lebih menguntungkan dan kemudian memenuhi kebutuhan mereka dengan membeli sagu yang dibawa dari pedalaman. Terumbu karang yang luas di sebelah timur pantai di sini terdiri dari pasir keras, disana dari lumpur, ditempat lain dari karang: mereka terkoyak disana-sini dan membentuk saluran (alor) dari kedalaman 3 sampai 12 depa atau lebih: di saluran yang dasarnya terdiri dari pasir, tiram mutiara dapat ditemukan. Sarang burung walet sebagian besar dikumpulkan dari populasi di pedalaman.
Satu yang penting dalam pembagian wilayah (Oersiwa dan Oerlima) didasarkan pada dialek bahasa. Tidak hanya kepulauan Aru, juga di pulau Seram dan kepulauan Kei. Sebagaiman suatu dialek bahasa, besar kemungkinan berasal dari bahasa yang sama. Wilayah Oerlima diduga adalah kelompok populasi yang lebih baru dan wilauah Oersiwa sebagai kelompok populasi yang lebih awal (semacam deutro vs proto).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pulau-Pulau di Timur Kepulauan Aru Tengah: Navigasi Pelayaran Perdagangan
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar