*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini
Sejarah awal orang Indonesia di (pulau) Madagaskar mungkin sudah ada sejak lama, mungkin sebelum kehadiran Hindu di Nusantara. Bagaimana dengan di (daratan) Afrika di pantai selatan (Afrika Selatan)? Ada yang menyebut itu baru dimulai pada tahun 1760an. Satu yang jelas Afriak Selatan sudah dikenal pelaut-pelaut Portugis. Dalam hubungan ini saya teringat, pada bulan Agustus 2020, saudara kita diaspora Afrika Selatan yang juga pembaca blog ini bernama Inoki Nurza mengirim satu catatan tentang sejarah yang kurang dimengertinya bagaimana nama Indonesia sudah ada di Afrika Selatan pada tahun 1667.
Bo-Kaap, sebuah kawasan panorama indah di Cape Town, Afrika Selatan. Bo-Kaap cukup penting dalam sejarah Cape Malay di Cape Town. Museum Bo-Kaap sebuah museum berlatar belakang tahun 1760-an, bangunan tertua di kawasan ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Museum ini, museum sejarah sosial yang menceritakan kisah komunitas lokal dalam konteks sosial-politik dan budaya nasional. Pada tahun 1760, Jan de Waal membeli sebidang tanah di kaki Signal Hill, mulai tahun 1763, de Waal membangun huurhuisjes (rumah sewa) yang ia sewakan kepada para budaknya. Tiga yang pertama berada di 71 Wale Street (sekarang Museum Bokaap), di atas Buitengracht Street, dan 42 Leeuwen Street. Pekerja Muslim Mardijkers pindah ke Cape dari Asia Tenggara dan tinggal di Bo-Kaap. Pada awalnya para budak didatangkan dari Malaysia, Indonesia, dan berbagai wilayah di Afrika, sehingga dinamakan "Melayu". Sebagian besar penduduk baru beragama Islam, dan beberapa masjid dibangun di daerah tersebut. Lebih banyak lagi Muslim, termasuk gelombang pengasingan politik dari Jawa dan Ceylon tahun 1820 (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah kampung orang Indonesia di Afrika Selatan, Cape Town, Cabo de Bona Esperanca? Seperti disebut di atas, pantai selatan Afrika sudah lama dikenal pelaut-pelaut Portugis. Namun baru pada tahun 1652 pelaut Belanda mendarat di pantai. Kelak wilayah pendaratan Belanda ini terbentuuk Kaapstad di Kaap Goede Hoop yang kemudian pelaut-pelaut Inggris menyebutnya dengan nama Cape Town. Lalu bagaimana sejarah kampung orang Indonesia di Afrika Selatan, Cape Town, Cabo de Bona Esperanca? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Kampung Orang Indonesia di Afrika Selatan, Cape Town, Cabo de Bona Esperanca; Kaapstad, Kaap Goede Hoop, 1652
Tentang sejarah orang Indonesia di Madagaskar dapat dianggap masih kontroversi, sejarah orang Indonesia di Afrika Selatan sebenarnya lebih mudah dilacak. Mengapa? Sejarah Afrika Selatan sendiri, khususnya di Cape Town baru dimulai pada era VOC/Belanda. Itu dimulai pada saat ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Dirk Hartog pada tahun 1616 mendarat di Cabo de Bona Esperanca. Area pendaratan inilah yang kemudian menjadi asal usul kota Cape Town yang sekarang.
Sekitar satu abad pelaut-pelaut Portugis sudah lalu lalang melewati pantai selatan Afrika sebagai bagian dari navigasi pelayaran dari Eropa/Portugal ke Hindia Timur (Maluku). Oleh karena itu semua sudut-sudut pantai selatan sudah dipetakan oleh pelaut-pelaut Portugis, peta-peta yang kemudian digunakan pelaut-pelaut Belanda sejak yangt pertama tahun 1595 (dipimpin Cornelis de Houtman). Pada tahun 1616, ekspedisi Belanda dari Amsterdam yang dipinpin oleh Dirk Hartog. Dirk Hartog yang berada di kapal Eendracht (kapal lainya ada yang diberi nama Nieuw Bantam) tersesat dari skuadron karena terbawa arus tanggal 5 Agustus dan terpaksa mendarat di suatu teluk dan pulau kecil di sekitar Cabo de Bona Esperanca. Penduduk kampong di darat menerima mereka dan dari penduduk kemudian mereka dapat mengumpulkan puluhan sapi sebagai perbekalan untuk selama pelayaran jarak jauh ke Hindia Timur di Banten. Sebelum berangkat ke Hindia sempat singgah di pulau kecil yang kini disebut pulau Robben. Bagian akhir pelayaran di Lautan Hindia ekspedisi sempat tersesat karena berlayar terlalu jauh ke arah tenggara dan setelah dua bulan berlayar, sebuah daratan tak dikenal terlihat. Pada tanggal 2 Oktober Dirk Hartogh dan anak buahnya mendarat di pantai barat Australia, daratan yang belum pernah dikenal. Dari sini kemudian melanjutkan pelayaran ke Banten. Sebelum berangkat Hartogh meninggalkan piring timah pipih, yang dipakunya ke sebuah tiang dan di dalamnya ia telah menggoreskan tulisan "Pada tahun 1616, pada tanggal 2 Oktober, kapal Eendracht dari Amsterdam telah tiba di sini dan telah berlayar lagi ke Banten pada tanggal 27”. Dari sinilah nama pantai barat Australia disebut Eendrachtsland dan teluk dimana mendarat disebut teluk Dirk Hartog. Dirk Hartogh mendapat kehormatan karena telah menemukan benua kelima, penemuannya diangap hampir sama pentingnya dengan penemuan Columbus di Amerika. Sejak ini pulau nama daratan luas itu (benua) diidentifikasi di dalam peta-peta sebagai Nieuw Holland (kelak orang Inggris mengubah nama itu menjadi Australia).
Pelaut-pelaut Belanda/VOC dari waktu ke waktu semakin kuat. Pos perdagangan utama Belanda di Amboina direlokasi ke Batavia pada tahun 1619. Pada tahun ini Frederik de Houtman mengikuti rute Dirk Hartog dan mencapai di ujung pantai barat Australia lalu ke Batavia. St Hele di Afrika (garis navigasi pelayaran di sebelah barat Afrika) direbut VOC pada tahun 1633. Setelah cukup kuat mempertahankan diri dari ancaman Mantaram dan Banten, VOC/Belanda menaklukkan Portugis di Malaka pada tahun 1641. Pada tahun 1642 Abel Tasman mengikuti rute pendahulunya dari Afrika Selatan melakukan ekspedisi lebih ke selatan di Nieuw Holland hingga ke pulau Tasman dan Maori (Nieuw Zeeland) terus ke utara Papua hingga ke Amboina dan Batavia. Pada tahun 1644 Abel Tasman melengkapi ekspedisinnya dari Batavi ke Selat Torre dan menyusuri pantai utara Austra hingga Eendrachtsland dan kemudian kembali ke Batavia.
Cabo de Bona Esperanca kerap dijadikan pelaut-pelaut Belanda sebagai tempat persinggahan. Jan van Riebeeck menginisiasi pembentukan koloni di Afrika Selatan dengan mengajukannya kepada Gubernur Jenderal VOC Carel Reyniersz di Batavia (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ, 1855). Pada tanggal 23 Desember 1651, Jan van Riebeeck diangkat sebagai panglimanya dan dengan kapal Dromedaris, de Reiger dan de Goede Hoop, dan pada tanggal 6 April 1652, menjatuhkan jangkar di teluk Tafelbaai. Keesokan harinya dimulailah perjalanan untuk melihat tanah guna menentukan lokasi di mana benteng akan dibangun. Inilah koloni pertama Belanda di Afrika. Anak Jan van Riebeeck yakni Abraham van Riebeeck lahir di Afrika Selatan 18 Oktober 1653. Catatan: J Greshoff dalam tulisannya (1945) menyebut orang-orang Riau tiba di Afrika Selatan pada tahun 1652. Lalu angin apa yang menyebabkan orang Riau tiba di Afrika Selatan? Boleh jadi, Jan van Riebeeck di dalam tiga kapal yang mendarat di teluk Tafelbaai juga membawa orang pribumi dari Hindia Timur, yakni dari Riau.
Pada tahun
1657 komisaris Rijcklof van Goens berkunjung dan memberikan laporan perkembangannya
di benteng Fort Cabo de Bona Esperanca. Sementara itu pada tahun 1657 ini VOC
berhasil mengusir Spanyol dari Manado dan kemudian mendirikan benteng Fort
Armsterdam. Pada tahun 1662, ketika ayahnya (Jan van Riebeeck) pindah ke
Batavia Abraham van Riebeeck berangkat studi ke Belanda 1662.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kaapstad, Kaap Goede Hoop, 1652: Inggris Mengusir Belanda, Cape Town, Transvaal hingga Afrika Selatan Masa Kini
Pada tahun 1652 VOC/Belanda mulai membangun benteng di Kaap Goede Hoop, tepatnya di bagian dalam teluk Tafel. Sisi selatan dimana benteng dibangun dilindungi bukit rendah yang dapat melindungi angin/badai dari selatan (Lautan Hindia). Di sebelah barat di bagian luar teluk Tafek terdapat pulau yang dapat menghalangi gelombang laut dari lautan (Lautan Atlantik). Pulau tersebut dikenal sebagai pulau Robben. Praktis benteng VOC di teluk Tafel ini secara alamiah cukup aman.
Yang menjadi perwakilan VOC di benteng Fort Kaap Goede Hoop adalah Jan van Riebeeck. Seperti halnya di sekitar Batavia (Jawa), Jan van Riebeeck mulai mengembangkan lahan pertanian. Oleh karena benteng ini tepat berada di jalur navigasi pelayaran dari Eropa ke Hindia Timur, rentan terhadap ancaman dari musuh (Portugis, Spanyol dan Inggris). Oleh karena itu benteng ini dirancang dengan beberapa bastion dan eloemen pertahanan yang kuat seperti senjata jarak jauh (lihat Rijcklof van Goens: De Kaap de Goede Hoop in 1657 door PA Leupe di dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ, 1855). Peta 1682
Pada
tahun 1665 VOC yang
berpusat di Texel (Belanda) yang sipimpin De Hereen 17, mengubah kebijakan dari
perdagangan yang longgar di pantai menjadi kebijakan menjadikan penduduk
sebagai subjek
(koloni). Di Hindia Timur program
pertama VOC adalah mensubyekkan penduduk dari kerajaan-kerajaan
di berbagai
wilayah termasuk di pantai barat Sumatra.
Setelah VOC menguasai Malaka pada tahun 1641, VOC ingin mengusai wilayah kerajaan Gowa. Ini bermula gubernur VOC di Sombaoepoe (Gowa) terbunuh tahun 1638 lalu VOC ingin menaklukkan Gowa dengan berperang. Namun sebelum ke Gowa, urusan lama dengan Atjeh belum selesai (ketika ekspedisi kedua Belanda tahun 1598) dimana Cornelis de Houtman terbunuh. Sementara Atjeh adalah penguasa lautan terutama bagian utara Sumatra baik di pantai barat maupun pantai timur Sumatra. Kehadiran pelaut-pelaut Atjeh di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) telah memunculkan kebencian dari para pemimpin di Padang, Tikoe dalam lainnya. Pada tahun 1665 ini para pemimpin di pantai barat Sumatra mengirim utusan ke Batavia untuk meminta bantuan dan kerjasama untuik mengusir Atjeh. Di kota-kota (kerajaan-kerajaan) di pantai barat Sumatra ada faksi-faksi yang berbeda antara yang pro dan anti Atjeh. Para pemimpin yang anti Atjeh inilah yang mengirim utusan ke Batavia.
Permintaan
para
pemimpin di pantai barat Sumatra direspon positif oleh
Batavia dengan mengirim ekspedisi militer ke pantai barat Sumatra untuk
mengusir Atjeh (sebagai penguasa perdagangan pantai). Dalam hubungannya di
pantai barat, faksi yang meminta kerjasama dengan VOC yang akan menggantikan
setelah Atjeh terusir. Pada tahun 1666 ekspedisi
militer VOC dari
Batavia dikirim ke pantai barat Sumatra yang dipimpin Majoor Poolman.
Dalam ekspedisi militer ini termasuk pasukan Aroe Palaka (yang terusir dari Bone). Aroe Palaka sangat bernafsu untuk membantu militer VOC ke pantai barat Sumatra, boleh jadi karena faktor Gowa (yang berselisih dengan Bone) dimana VOC yang tengah perang dingin dengan VOC. Ekspedisi ke pantai barat Sumatra ini dipimpin Abraham Verspreet yang bertindak sebagai Komisaris (civiel) merangkap komandan (militair) untuk menumpas perlawanan Paoeh di muara sungai Batang Araoe yang beberapa bulan sebelumnya telah memberi perlawanan kepada ekspedisi Belanda pertama dibawah pimpinan Jacob Grujs. Abraham Verspreet membawahi pasukan ‘multi nasional’ yang dibawa dari Batavia pada bulan Agustus 1666 yang terdiri dari 300 orang Belanda dan 100 orang Ambon dibawah komando Kapitein Jonker. Aroe Palakka yang posisi pelarian dari Celebes dan sedang menganggur di Batavia menawarkan pasukannya 250 orang untuk bergabung dengan ekspedisi di bawah komando Poolman ke Sumatra’s Westkust. Dengan demikian ekspedisi ke Sumatra’s Westkust ini di bawah komisaris Abraham Verspreet dan komandan militer Majoor Poolman memiliki kekuatan yang berjumlah 1.000 orang. Tawaran Aroe Palaka ini diterima pemerintah untuk menguji Aroe Palaka sendiri. Pasukan VOC di pantai barat Sumatra berhasil mengusir Atjeh. Aroe Palakka telah melayani dengan baik dalam ekspedisi dan telah kembali ke Batavia 3 November 1666 dengan banyak penghormatan. Persahabatan Poolman dan Aroe Palakka semakin intens dan menjadi sahabat. Namun tidak lama kemudian, delapan belas hari setelah di Batavia, Aroe Palakka berangkat dengan salah satu kapal yang menuju Makassar untuk bergabung dengan Laksmana Speelman yang akan mengeksekusi Gowa-Tallo yang telah melanggar perjanjian (contract). Armada Speelman sendiri telah meninggalkan Batavia pada tanggal 24 September 1666 dan berlayar terlebih dahulu ke Boethon.
Akhirnya
para
hulubalang Atjeh terusir dari pantai barat Sumatra
yang kemudian pemerintah VOC mendudukkan faksi yang ingin bekerjasama dengan
VOC di kota-kota pantai di pantai barat Sumatra. Para kubu yang
berseberangan kemudian ditangkap. Pada tahun 1667 para pemimpin di pantai barat
Sumatra yang selama ini bekerjasama dengan Atjeh kemudian dibuang
ke Goode Hoop. Di
Padang dibangun benteng VOC.
Seperti disebut di atas, Inoki Nurza mengirim satu catatan tentang sejarah yang kurang dimengertinya bagaimana nama Indonesia sudah ada di Afrika Selatan pada tahun 1667. Dalam catatan sejarah di Afrika Selatan ini disebut pada tanggal 24 Januari 1667 kapal Polsbroek meninggalkan Batavia dan tiba tanggal 13 Mei dengan tiga pemimpin Melayu dari pantai barat Sumatra yang kemudian dua orang dilepas ke hutan dan satu orang ditempatkan di pulau Robben. Ketiga orang dari pantai barat Sumatra tersebut mengindikasikan orang-orang yang diasingkan dari Hindia Timur.
Setelah
Atjeh terusir dari pantai barat Sumatra dan para pemimpin kerajaan di
pantai-pantai dibuang ke Goode Hoop, pada tahun 1668 VOC membuat kontrak dengan
kerajaan Baroes dan membangun benteng di Baroes. Lalu dalam perkembangannya, kroni-kroni
yang
berseberangan dari tiga tiga kerajaan di
pantai barat Sumatra melakukan perlawanan pada tahun 1669 (seperti
kerajaan Pauh dan Kota Tengah) dengan menyerang loji (benteng) VOC di
Padang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com Peta 1901
Tidak ada komentar:
Posting Komentar