Selasa, 18 Februari 2025

Sejarah Diaspora (5): Orang Indonesia Ada di Madagaskar, Sejak Kapan? Apakah Mirip Bahasa Malagasi dengan Bahasa Indonesia?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini 

Migrasi orang Indonesia jauh ke Suriname belum lama berlangsung. Bagaimana dengan migrasi orang asal Indonesia di pulau Madagaskar? Adanya migrasi awal ke Madagaskar di masa lampau karena temuan Frederik de Houtman (1596) yang mengindikasikan ada kemiripan bahasa Melayu di nusantara dengan bahasa Malagasi di pulau Madagaskar.


Madagaskar, secara resmi bernama Republik Madagaskar (Malagasi: Repoblikan'i Madagasikara, Prancis: Republique de Madagascar), adalah sebuah negara pulau di Samudra Hindia, lepas pesisir timur Afrika. Selain pulau utama, beberapa pulau kecil di sekitarnya juga menjadi klaim republik ini, yaitu Pulau Juan de Nova, Pulau Europa, Kepulauan Glorioso, Pulau Tromelin, dan Bassas da India meskipun pulau-pulau tersebut adalah milik Prancis. Walaupun secara geografis berdekatan dengan Afrika, sejarah geologi, biologi, dan demografi Madagaskar berbeda dengan wilayah daratan utama benua itu, dimana lebih terasa seperti di Asia Tenggara daripada Afrika dilihat dari bahasa, budaya, sosial, dan bentang alamnya. Untuk menyebut bahasa dan bangsanya, dipakai nama "Malagasy". Madagaskar pertama kali dihuni pada pertengahan abad pertama oleh orang Austronesia, lalu para migran bantu yang melintasi Selat Mozambik dari Afrika Timur menetap bersama sekitar abad kesembilan, kelompok etnis lain terus menetap di Madagaskar dari waktu ke waktu, masing-masing etnis yang ada berasimilasi membentuk kebudayaan Malagasi. Kelompok etnis Malagasi sering dibagi menjadi 18 subkelompok atau lebih, yang terbesar adalah Merina (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Madagaskar, sejak kapan? Seperti disebut di atas ada kemiripan bahasa Indonesia hingga masa kini dengan bahasa Malagasi sejak masa lampau mengindikasikan migrasi itu sudah sejak lama adanya. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Madagaskar, sejak kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Keberadaan Orang Indonesia di Madagaskar, Sejak Kapan? Bahasa Indonesia Mirip dengan Bahasa Malagasi

Keberadaan orang Indonesia di Madagaskar pada masa lampau tetaplah suatu misteri. Disebut misteri karena sulit membuktikan apakah benar adanya, dan sejak kapan itu terjadi. Satu yang pertama yang mengindikasikan adanya hubungan lama antara Madagaskar dengan Indonesia (nusantara) adalah adanya kemiripan dalam bahasa yang dilaporkan oleh Frederik de Houtman tahun 1596.


Pelaut-pelaut Eropa yang pertama mencapai ujung selatan Afrika adalah Portugis. Dias Fernandes mengawalinya yang mencapai Kepulauan Tanjung Verde pada tahun 1444. Lalu pada tahun 1488, Bartolomeu Dias mencapai ujung selatan benua Afrika. Vasco da Gama kemudian dengan mengelilingi benua Afrika lalu mencapai Calicut di India pada tahun 1498. Alfonso d'Albuquerque setelah berhasil menduduki Goa di India mencapai Malaka pada tahun 1509. Pada tahun 1511 skuadron Alfonso d'Albuquerque berhasil menaklukkan Malaka. Pelaut-pelaut Portugis sendiri Diogo Dias, juga telah mengunjungi Madagaskar pada tahun 1500 dengan mencatatnya sebagai Isle St. Lawrence. Pada tahun 1507 pelaut-pelaut Portugis menemukan kehadiran orang-orang Afro-Arab yang biasa disebut orang Moor di pulau (lihat https://www.britannica.com). Peta Portugis (1592) 

Frederik de Houtman adalah salah satu pelaut dalam ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dalam misi untuk mencapai Hindia Timur (1595-1597). Ekspedisi Belanda ini cukup lama di pulau Madagaskar karena berbagai alasan seperti perbaikan kapal, rehabilitasi kesehatan para pelaut dan persiapan logistic untuk mengarungi Lautan Hindia menuju Sumatra. Pada saat inilah Frederik de Houtman di Madagaskar memperkaya kamus bahasa Hindia Timur yang dibawa dari Eropa (juga memperkaya peta-peta dari pelaut-pelaut Portugis). Dalam laporanya, Frederik de Houtman memperbandingkan daftar kata (kamus kecil) antara bahasa Melayu yang digunakan di Hindia Timur dengan bahasa Malagasi di Madagaskar. Catatan: Ekespedisi Cornelis de Houtman meninggalkan Belanda tanggal 2 April 1595, baru pada tanggal 7 Oktober kapal-kapal tersebut menjatuhkan jangkar di pantai barat daya Madagaskar. Pada tanggal 5 Juni 1596 mencapai pulau Eggano di pantai barat Sumatra dan tanggal 23 Juni tiba di teluk Banten. Setelah sempat ke Sedaju, Arosbaja dan Bali, tiba kembali dan berlabuh di Texel pada tanggal 14 Agustus 1597.


Daftar kosa kata (kamus) bahasa-bahasa di Hindia Timur dikumpulkan oleh salah satu pelaut Pigafetta yang tergabung dalam ekspedisi Spanyol dari Amerika Latin yang mencapai Filipina dan Maluku pada tahun 1521. Pigafetta menyusun daftar kosa kata yang digunakan di Maluku (Ternate), Filipina (Zebu) dan Malaka. Daftar kosa kata di Malak aini diduga disusun oleh pelaut-pelaut Portugis yang kemudian disandingkan Pigafetta dengan kamusnya sendiri tentang bahasa yang digunakan di Filipina dan Maluku. Sejak inilah diduga daftar kosa kata bahasa di Hindia Timur beredar di Eropa dan terus isinya bertambah dari waktu ke waktu hingga kemudian menjadi kamus rujukan pertama yang digunakan Frederik de Houtman ketika berangkat dari Belanda menuju Hindia Timur pada tahun 1595. Dalam ekspedisi kedua yang dipimpin Cornelis de Houtman tahun 1599 Frederik de Houtman turut serta tetapi kemudian Cornelis de Houtman terbunuh di Acheh (1600). Frederik de Houtman dan lainnya ditangkap dan dipenjarakan. Selama di Atjeh kamus kecilnya diperkaya. Setelah Frederik de Houtman dilepaskan kembali ke Belanda dan kemudian kamusnya diterbitkan ke public di Amsterdam pada tahun 1603. Kamus bahasa Melayu karya Frederik de Houtman cukup lama bertahan dan digunakan pelaut-pelaut Belanda hampir satu abad. 

Lantas bagaimana hubungan antara kamus kecil yang disusun Pigafetta (1521) dengan kamus kecil yang dibawa Frederik de Houtman (1595) memiliki kemiripan dengan sejumlah kosa kata di dalam bahasa Malagasi (yang dikumpulkan oleh Frederik de Houtman)? Sudah barang tentu kemiripan itu bukan kebetulan. tetapi diduga ada sejarah lama yang telah mendahuluinya di pulau Madagaskar. Apakah bahasa di Hindia Timur dan bahasa di Madagaskar terhubung karena orang-orang Moor atau orang-orang Portugis?


Satu hal yang penting yang perlu ditekankan disini adalah pada tahun 1507 pelaut-pelaut Portugis menemukan kehadiran orang-orang Afro-Arab yang biasa disebut orang Moor di pulau Madagaskar. Sejak kapan keberadaan orang Moor di Madagaskar tidak diketahui secara pasti. Orang Moor yang beragama Islam sendiri adalah pelaut-pelaut ulung yang telah memiliki peradaban tinggi di Eropa selatan (yang membentuk peradaban Islam di Eropa seperti di kota-kota Andalusia, Cordoba, Malaga dan sebagainya. Perang Salib yang dilancarkan Eropa pada abad ke-11 menyebabkan orang-orang Moor terusir dari Eropa selatan yang kemudian menyebar ke berbagain penjuru seperti pantai selatan dan pantai timur Afrika dan bahkan hingga mencapai Hindia Timur. Banyaknya orang-orang Moor di pantai-pantai India dan di pantai-pantai selat Malaka, diduga yang menjadi pemicu Ibnu Batutah, utusan Moor dari Tunisia mengunjungi Sumatra pada tahun 1345 (ketika Majapahit di nusantara dalam puncak perkembangan). Nama Madagaskar yang terdapat dalam catatan perjalanan Marco Polo ke timur (1271 hingga 1295) diduga merujuk pada pelaut-pelaut Moor. Fakta bahwa perjalanan Marco Polo tidak melalui Afrika selatan, tetapi dari darat jalur Sutra. Marco Polo, seorang Venesia melakukan perjalanan hingga jauh ke Jepang. Marco Polo dapat dikatakan orang Eropa pertama ke timur. Sepulang dari Jepang dan Canton (Tiongkok) pada tahun 1292 berlayar melewari Pentam (Bintan/Batam?) untuk menuju Ferlec (Perlak?). Tidak banyak yang terinformasikan dari laporan perjalanan Marco Polo tersebut tentang pantai timur Sumatra kecuali dua nama itu. Laporan yang lebih baik dibuat oleh Ibnu Batutag (1345). Satu hal penting lainnya yang perlu ditekankan disini, nama Madagaskar diduga diberikan oleh pelaut-pelaut Moor (orang Portugis pertama memiliki nama sendiri yakni St Lawrence). Demikian juga dengan nama pulau Sirne oleh orang Moor yang kemudian diganti pelaut Portugis dengan nama Mauritius (atau sebaliknya?).

Dalam konteks pelayaran ke Hindia Timur. pelaut-pelaut Moor dapat dikatakan sebagai pendahulu (predecessor) pelaut-pelaut Eropa, yang dalam hal ini yang pertama pelaut-pelaut Portugis. Ketika pelaut-pelaut Portugis tahun 1507 menemukan keberadaan orang Moor di pulau Madagaskar menjadi bukan suatu yang mengejutkan. Orang Portugis di Portugal sudah tentu telah mengenal sejarah orang Moor di Eropa selatan (Spanyol) yang mana kini orang Moor terkonsentrasi di pantai utara Afrika di selat Gibraltar seperti Marocco dan Mauritius.


Pada saat Ibnu Batutah di Kerajaan Samudra pada tahun 1345 penduduknya sudah beragama Islam. Menurut GE Gerini, Islam pertama kali masuk di Samoedra antara tahun 1270 dan 1275 (lihat Researches on Ptolemy's Geography of Eastern Asia. London, 1909). Ini mengindikasikan bahwa Kerajaan Samodra sudah eksis sebelum tahun 1270. Kerajaan lain yang sudah ada adalah kerajaan Perlak (dengan mengacu pada laporan dari Marco Polo). Letak Kerajaan Samodra dan Kerajaan Perlak berbeda. Dalam laporan Ibnu Batutah ada juga orang sebangsanya yang menjadi Radja seperti di pantai timur India. Orang Moor sendiri setelah terjadi Perang Salib hingga ke Semenanjung Iberia, banyak orang Moor yang hijrah dan tidak kembali ke negaranya yang telah dikuasasi Kristen. 

Lantas bagaimana dengan dugaan keberadaan orang Indonesia di Madagaskar? Seperti disebut di atas, Frederik de Houtman tahun 1595 sudah menemukan adanya kemiripan bahasa Malagasi di Madagaskar dengan bahasa Melayu di Hindia Timur. Ini berarti jauh sebelum kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Madagaskar, sudah terbentuk kemiripan kedua bahasa tersebut. Lalu bagaimana kosa kata bahasa-bahasa di Hindia Timur melembaga di dalam bahasa Malagasi? Dalam hal inilah kita dapat menghubungkan kehadiran orang dari Indonesia di Madagaskar (bukan sebaliknya).


Dalam studi genetic (DNA) yang dilakukan baru-baru ini mengindikasikan adanya hubungan masa lalu di satu sisi antara Madagaskar dengan (lautan) Indonesia dan di sisi yang lain antara Madagaskar dengan (daratan) Afrika (lihat Genomic landscape of human diversity across Madagascar by Denis Pierron, Margit Heiske, Harilanto Razafindrazaka, and Thierry Letellie. July 17, 2017; https://www.pnas.org). Nenek moyang terawal Madagaskar datang dari Indonesia (2000 tahun lalu) yang kemudian disusul dari Afrika (2000-1000 tahun lalu) dan munculnya garis laki-laki dari Timur Tengah (1000 tahun lalu). Dalam 1000 tahun terakhir hanya migrasi internal yang terjadi di pulau. 

Adanya hubungan genetic antara pulau Madagaskar dengan Indonesia di satu pihak dan adanya kemiripan bahasa Malagasi di Madagaskar dengan bahasa Melayu/Bahasa Indonesia memperkuat dugaan kehadiran orang Indonesia di Madagaskar. Lingustik dan genetic (DNA) tentu saja hanya dua dari banyak factor terjadinya migrasi.


Dalam peta keluarga bahasa-bahasa, bahasa Austronesia (nusantara) adalah satu kelompok bahasa tersendiri yang bertetangga dengan keluarga bahasa Melanesia (Papua), Austalia (Aborigin) dan Thai-Kadai serta Austro-Asiatik. Keluarga bahasa Austronesia (nusantara) di barat (Madagaskar) di timur (Maori) di utara (Formosa/Taiwan). Pola penyebaran keluarga bahasa Austronesia mirip dengan keluarga bahasa Indo-European (mulai dari Eropa, Iran, India dan Australia/Selandia Baru). Lantas mengapa keluarga Papua dan Australia terisolasi, sementara Austronesia dan Indo-Europan meluas sampai jauh?   

Yang menjadi sisa pertanyaan adalah mengapa jarak keluarga bahasa Austronesia begitu jauh antara Indonesia dan Madagaskar? Ada jarak waktu paling dekat 2000 tahun. Bagaimana itu dapat dijelaskan? Untuk keluarga bahasa Indo-European sendiri (antara Eropa dan Australia) mungkin mudah dijelaskan. Fakta bahwa migrasi orang Eropa baru dimulai sejak kehadiran orang Eropa di Hindia Timur (Australia) sejak abad ke-16 (500 tahun lalu) seiring dengan perkembangan teknologi navigasi modern.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Indonesia Mirip dengan Bahasa Malagasi: Apakah Itu Menjadi Bukti Migrasi Indonesia ke Madagaskar Sejak Masa Lampau?

Secara genetik (DNA) menurut peneliti genetik orang Indonesia migrasi ke Madagaskar terputus 2000 tahun lalu. Bagaimana menurut ahli linguitik? Disebutkan ada kemiripan bahasa Melayu/Bahasa Indonesia dengan bahasa Malagasi di Madagaskar. Namun secara dialek bahasa Malagasi yang mirip bahasa Melayu menurut pemerhati yang pernah kesana mirip dialek Toba bahasa Batak. Bagaimana bisa?


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-11-1882: ‘Madagaskar adalah salah satu pulau terbesar di bumi, terletak di Samudra Hindia, terpisah dari benua Afrika oleh Selat Mozambik, dan memiliki luas sekitar 10.000 mil geografis. Iklim di sana sangat berbeda. Cuaca panas tropis menghasilkan limbah berbahaya di wilayah pesisir berawa dan menimbulkan penyakit empedu yang mengerikan, yang hampir selalu berakibat fatal bagi orang Eropa, bahkan selama kunjungan singkat. Sebaliknya, dataran tinggi itu menyehatkan. Di sini suhu jarang naik di atas 230 R dan es kadang-kadang ditemukan di puncak gunung. Iklim tropis, ditambah dengan melimpahnya air, menghasilkan vegetasi yang luar biasa subur dan indah. Pulau ini sangat kaya akan barang dagangan yang luar biasa, seperti kayu kapal, furnitur, tanaman obat, tembakau, kapas, dll. Dari hasil panen yang dibawa, anggur, kentang, kopi, dll. tumbuh subur. Penduduk pulau ini, yang menyebut diri mereka sebagai orang Malagasi atau Malagasj dan jumlahnya mencapai 3 juta, terbagi menjadi banyak suku besar dan kecil dan Belmors menjadi 3 suku utama. Di sisi timur tinggal orang-orang yang berkulit zaitun, agak putih dan tegap, yaitu suku Betsimisarakas, dengan rambut lurus atau keriting dan berkerabat dengan orang Melayu. Di sisi barat hidup orang-orang yang berkulit gelap dan jauh lebih kuat, yaitu suku Sakalaiva, dengan rambut wol dan menyerupai suku Kafir, sementara penduduk penguasa suku Hawas bermukim di dataran tinggi di pedalaman. Penduduk kulit putih lebih beradab dibanding yang berkulit gelap, tetapi juga licik, sombong, pendendam, dan serakah. Semua penduduknya berbicara dalam bahasa yang sama, yaitu bahasa suku Melayu yang paling erat hubungannya dengan dialek Toba suku Batak. Ini tentu saja sangat luar biasa. Kami tidak percaya bahwa hal ini pernah menjadi subjek penyelidikan oleh para ahli bahasa’. 

Secara umum bahasa Malagasi masuk keluarga bahasa Austronesia (nusantara). Kelompok bahasa Malagasi di pulau Madagaskar hanya terdiri satu bahasa (lihat Vragen van den dag; Populair tijdschrift op het gebied van staathuishoudkunde en staatsleven, natuurwetenschappen, uitvindingen en ontwikkelingen, aardrijkskunde, geschiedenis en volkenkunde, kolonien, handel en nijverheid, enz. jrg 10, 1895). Crawfurd berpendapat bahwa bangsa Malagasi adalah orang Negrito berdarah Afrika, dengan sedikit campuran Melayu dalam darah dan bahasa mereka, yang dibawa dari pulau Sumatra oleh bajak laut atau kapal yang terdampar di tengah badai. 


Wilhelm von Humboldt merupakan orang pertama yang berbicara tentang asal usul Melayu, dan sejak Madagaskar menjadi terkenal dan menjadi tempat asal para misionaris, dsb., pendapatnya pun menguat. Cousins, seorang mantan misionaris, yang dipilih oleh semua misi Protestan di pulau itu untuk tugas merevisi terjemahan Alkitab, juga mengatakan bahwa bahasa tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Melayu, dengan tambahan istilah asing yang diperkenalkan melalui perdagangan. Van der Tuuk menyetujui hal ini, dengan mencatat bahwa bahasa Malagasi menyerupai dialek Toba dalam bahasa Batak di Sumatra, dan terdapat beberapa kesamaan dengan bahasa Jawa, Melayu dan Dayak, dan bahasa tersebut pasti berasal dari pantai barat Sumatera, setelah bercampur dengan bahasa yang mirip dengan bahasa pulau Nias. Bahasa Malagasi tidak mengandung kata-kata Sansekerta, jadi di sini di Madagaskan juga transisi tersebut pasti terjadi sebelum kedatangan umat Hindu di Jawa. Populasinya sekitar 2 juta jiwa, mereka tidak memiliki aksara, tetapi aksara Latin diperkenalkan oleh para misionaris. Menurut para ahli Prancis, aksara Arab sudah digunakan di masa lalu. Sebagai paralel terhadap bukti keturunan Melayu seseorang dapat misalnya: penyebutan: bambu (Melayu buluh; Malagasi wulu); buaya (Melayu buwaya; Malagasi wuai); mentimun (Melayu hantimon; Malagasi tsimundry); Batak ancimun/ansimun). Meski benar bahwa terdapat banyak perbedaan dalam penampilan dan warna kulit berbagai suku di pulau tersebut, namun terdapat pula percampuran yang besar, dan mungkin sulit bagi orang-orang di satu sisi pulau untuk memahami orang-orang di sisi yang lain; tapi tampaknya juga pasti bahwa semua terjemahan Alkitab yang sama digunakan di seluruh pulau. Menurut Cousins, ada sepuluh dialek, di antaranya dialek Hova, yang dituturkan oleh penduduk provinsi tengah Merina, adalah yang paling beradab. Biasanya, ketika seseorang berbicara tentang bahasa Malagasi, yang ia maksud adalah dialek Merina. 


Apa yang disebut para ahli menarik diperhatikan. Pertama, bahasa Malagasi tidak mengandung kata-kata Sanskerta. Lalu muncul spekulasi yang mengindikasikan kehadiran orang Indonesia di Madagaskar sebelum masuknya pengaruh Hindu di Jawa (yang berbahasa Sankerta). Sebagaimana diketahui pengaruh Hindu di nusantara paling tidak terdeteksi dalam prasasti Vo Cahn (Vietnam) yang berasal dari abad ke-3.


Prasasti Vo Cahn adalah sebuah prasasti dalam bahasa Sanskerta yang tertua di Asia Tenggara, yang ditemukan pada tahun 1885 di desa Vo Cahn, sekitar 4 km dari kota Nha Trang, Vietnam. Prasasti ini berbentuk tugu batu setinggi 2,5 m, dengan tiga sisinya yang tak rata bertuliskan baris-baris kalimat isi prasasti. Pada prasasti ini disebutkan nama Raja Sri Mara, yang menurut analisis paleografi diperkirakan dibuat oleh penguasa keturunannya pada sekitar abad ke-2 atau ke-3 Masehi. George Coedès menyebutkan kemungkinan identifikasi Sri Mara dengan Fan Shih Man (k. 230 M), yang menurut kronik Tiongkok adalah salah seorang penguasa Funan. Namun prasasti Vo Canh ini menurut Coedès adalah bukti atas proses Indianisasi gelombang pertama di Asia Tenggara. Bagian-bagian teks yang masih dapat terbaca mengandung kalimat-kalimat sbb: "karunia untuk para makhluk" "para pendeta, tentu saja, yang telah meminum amerta dari beratus-ratus sabda raja" "hiasan... yang karenanya merupakan sukacita keluarga putri dari cucu Raja Sri Mara... telah dinobatkan" "mereka yang duduk di atas singgasana" "yaitu yang harus dikerjakan dengan perak atau emas" "harta benda" "semua yang disediakan oleh ku sebagai seorang yang baik dan berguna" "menteri saya Vira" "perintah yang membawa kesejahteraan para makhluk, dari yang terbaik di antara dua karin, kepergian dan kedatangan dunia ini".  Peta Ptolomeus: Sumatra dan Nias

Catatan tertua terkait nusantara berasal dari abad ke-2. Dalam peta Ptolomoes sudah dipetakan wilayah Sumatra dan Kalimantan. Pulau Sumatra diidentifikasi sebagai Aurea Chersonesus dan pulau Kalimantan sebagai Taprobana. Aurea Chersonesus dapat mungkin dapat diartikan sebagai berikut: Aurea adalah bahasa Latin sebagai emas dan nesus sebagai pulau; lalu apa arti cherso? Boleh jadi cherso merujuk bahasa Batak sebagai sere=emas). Satu nama tempat di pantai barat bagian utara Aurea Chersonesus adalah Tacola. Sementara itu catatan Tiongkok dari abad ke-2 dinasti Han disebut utusan raja Yeh-tiao menemui Kaisar Tiongkok di Peking untuk membuka pos perdagangan dan Kaisar memberikan Tiao Pien kepada raja Yeh-tiao segel emas dan ungu


Sejumlah ahli pada masa Pemerintah Hindia Belanda, Yeh-tiao diduga kuat adalah Sumatra (Yawadwipa). Hal ini dapat dikaitkan dengan catatan geografi Ptolomeus bahwa bagian utara pulau Sumatra adalah sentra produksi kamper (yang sangat dibutuhkan di Eropa). Nama Tacola di pantai barat bagian utara Sumatra pada masa ini diduga adalah Angkola (Batang Angkola).

Yang menarik kedua untuk diperhatikan pendapat para ahli linguistik pada masa Pemerintah Hindia Belanda bahwa dialek bahasa Hova di Madagaskar yang dituturkan di bagian tengah pulau (wilayah Merina) disebut paling beradab. Oleh karenanya bahasa Malagasi sebagai bahasa tunggal, bahasa dialek Merina (Hova) dianggap bahasa standar. 


Bagaimana dialek bahasa Batak mirip bahasa Malagasi? Seperti dikutip di atas, bambu (Melayu buluh; Malagasi wulu; Batak bulu); buaya (Melayu buwaya; Malagasi wuai; Batak Buaya); mentimun (Melayu timun; Malagasi tsimundry; Batak ancimun/ansimun); ; tahun (Melayu tahun; Malagasi tauna; Batak taon); aku ((Melayu aku; Malagasi aho; Batak ahu); tiga (Melayu tiga; Malagasi telo; Batak tolu); pria (Melayu laki-laki; Malagasi lehilahy; Batak alaklahi); pohon (Melayu tiga; Malagasi telo; Batak tolu); kayu (Melayu kayu; Malagasi hazo; Batak hayo); mulut (Melayu mulut; Malagasi vava; Batak baba); hati (Melayu hati; Malagasi aty; Batak ate); mati (Melayu mati; Malagasi maty; Batak mate); bulan (Melayu bulan; Malagasi volano; Batak bulan); garam (Melayu garam; Malagasi sira; Batak sira); batu (Melayu batu; Malagasi vato; Batak bato); kotor (Melayu kotor; Malagasi loto; Batak lotok); murah (Melayu murah; Malagasi mura; Batak mura); belakang (Melayu belakang; Malagasi vudi; Batak pudi); awalan ber ((Melayu ber; Malagasi ma/mi; Batak ma) (lihat juga A Grammar and Dictionary of the Malay Language: by John Crawfurd,·1852). Para peneliti pada masa Pemerintah Hindia Belanda, antara lain RA Kern menyebut sebutan ‘minanga’ dalam prasasti di Sumatra bertarih 682 adalah kata yang juga digunakan dalam bahasa Malagasi yang diartikan sebagai ‘muara sungai’. Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 ‘minanga’ diartikan sebagai ‘sungai yang bermuara ke sungai’. Selain ‘minanga’ juga ada persamaan bahasa antara bahasa Batak dan bahasa Malagasi yakni ‘matua’ (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1901). Sementara itu, bahasa Batak memiliki aksara sendiri, aksara yang berbeda dengan aksara Pallawa (yang umumnya menggunakan bahasa Sanskerta). Peneliti Jerman menyimpulkan bahwa aksara Batak mirip aksara Fenesia (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Fenesia sudah punah, aksara pendahulu aksara Latin (Eropa). Aksara Batak yang mirip aksara Fenesia tersebut hingga kini masih eksis.

Ada juga peneliti lainnya William Marsdem yang menyebut bahasa Malagasi mirip bahasa Nias (lihat Het adatrecht van Madagaskar (in verband met het Indonesische adatrecht beschouwd), door Prof. Mr. C. van Vollenhoven. (Mededeelingen der Kon. Akademie van Wetensch. Afd. Letterkunde, DL 54, serie B). (Amsterdam, J. Müller, 1920). Dalam publikasi berjudul Nias: ethnographische, geographische en historische aanteekeningen en studiën, 1917 menyebut Nias Selatan dalam kosmogoni mirip Madagaskar. Bagaimana dengan pendapat C van Vollenhoven?


Prof Mr C van Vollenhoven mendasarkan artikelnya berdasarkan para peneliti Prancis yang terbit tahun 1917 dan setelahnya. Disebutkan populasi Madagaskar terdiri dari 20 etnik (seperti di Indonesia yang dibedakan Batak, Jawa, Bugis) yang berbeda adat istiadat tetapi memiliki satu bahasa yang disebut bahasa Malagasi. Seperti disebut di atas, bahasa Malagasi ini merujuk pada standar bahasa di bagian tengah pulau di Marina. Kesamaan itu berlaku untuk bahasa di seluruh Madagaskar, bahkan suku Andriana yang berkulit coklat dari suku Merina, yang menjadi pengecualian penting, segelintir orang Indonesia yang datang ke sini dari Hindia sekitar tahun 1550. Ketika para pangeran Merina dan bangsawan asing meremajakan, memengaruhi dan memimpin rakyat serta menempatkan diri mereka di atas kaum Hüvas yang berkulit hitam atau bangsawan pribumi (yang merupakan para mantan pangeran dan pangeran yang masih berkerabat, yang kemudian bercampur cukup kuat dengan suku Andriana, suku yang masih benar-benar berpenampilan seperti orang Indonesia, telah melihat bahasa dan agama mereka melebur ke dalam kesatuan bahasa dan agama Malagasi. Prof Mr C van Vollenhoven mengajukan pertanyaan apakah mereka benar-benar datang dari Jawa atau dari Sumatera, pada abad berapa mereka berakhir di sini, dan apa yang mendorong mereka pindah, adalah subjek banyak dugaan, tetapi belum ditemukan dalam data asli dari Jawa atau Sumatera sendiri. Apakah kesan yang diperoleh dari penelitian bahasa tersebut diperkuat dengan penelitian tentang hukum adat? Prof. Mr C van Vollenhoven lalu memberikan uraian (hasil analisis) sebagai berikut, yang intinya antara lain: Siapa pun yang tertarik pada hukum adat Hindia Belanda dan kemudian beralih ke Madagaskar akan terus-menerus berjalan di antara masalah-masalah yang familier. Dengan demikian, seseorang dapat dengan mudah menarik garis besarnya. Populasi, bercocok tanam di sana-sini di mana-mana terorganisir ke dalam fükus atau garis keturunan yang berhubungan darah (suku akar, marga, klan) yang masing-masing punya nama dan pemimpinnya sendiri atau pandzaka (pangeran).  Di bawah füku sebagai masyarakat hukum, tampaknya, biasanya ada beberapa masyarakat desa (fükunüluna) sebagai masyarakat hukum, yang karenanya harus dianggap sebagai desa-desa se-marga. Dalam perkawinan, terdapat hak orangtua yang nyata, yang mana perempuan — meskipun memiliki hubungan sosial yang berbeda — secara hukum setara dengan laki-laki, tetapi yang mana mas kawin tetap dipertahankan. Populasi mengikuti adat leluhur (dldindrazana, lilindrazana) dan rasa takut yang sama terhadap leluhur jika terjadi pelanggaran adat istiadat. Dataran tinggi Merina sendiri dan tiga wilayah yang berdekatan (Sihanaka di utara, Bètsimisaraka di sebelah timur dan Bètsilèu di sebelah selatan) hukum Merina diberlakukan dengan otoritas pangeran. Disebutkan dekrit kerajaan diumumkan di dalam dalam pertemuan yang disebut Kabari. Untuk menanggapi klaim Marsden, Prof Mr C van Vollenhove menyimpulkan bahwa hukum adat di Madagaskar tidak menyerupai hukum adat Nias, meski hukum adat Andriana lebih menyerupai yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Tapanuli tetapi sebaliknya, hukum adat Madagaskar menunjukkan sebuah “potret gabungan”, potret keluarga rata-rata, di mana orang dapat melihat potongan-potongan hukum adat dari berbagai kalangan hukum di Hindia yang dapat disimpulkan pada gilirannya, di mana secara keseluruhan.tidak dapat digolongkan pada hukum adat dari salah satu hukum adat di Hindia’. 

Dalam artikel Prof Mr C van Vollenhove dengan mengutip sumber dari Alfred Grandidier disebutkan orang Indonesia datang ke Madagaskar tahun 1550. Alfred Grandidier sendiri adalah yang pertama menemukan pohon khas (endemic) Madagaskar pada tahun 1898 yang disebut baobab dengan nama botani Grandidierina rubrocaudata. Pelaut-pelaut Portugis diduga yang pertama menemukan pulau pada awal abad ke-16.


Bagaimana Alfred Grandidier menyebut orang Indonesia datang ke Madagaskar tahun 1550 tidak terinformasikan. Jika pelaut Portugis sudah berada di nusantara pada tahun 1511, masuk akal jika orang Indonesia termasuk di dalam kapal-kapal Portugis pada tahun 1550. Namun jika studi genetic yang disebut di atas, kehadiran orang Indonesia di Madagaskar paling tidak sudah terjadi 2000 tahun yang lalu, boleh jadi orang Indonesia berikutnya baru muncul pada tahun 1550. Kehadiran orang Indonesia di Madagaskar ribuan tahun lalu bersesuain dengan pendapat para ahli linguistik yang disebut di atas dimana kosa kata Austronesia yang ditemukan di Madagaskar tidak terindikasi bahasa Sanskerta. Catatan: Pohon baobab adalah pohon yang dapat hidup dan bertahan selama 1000 tahun atau lebih (mkenurut pengukuran karbon).

Seperti disebut di atas, secara menurut studi genetic ada kemiripan genetic di suku Maanyan di Kalimantan dengan genetic yang ditemukan Malagasi. Lantas apakah bahasa bahasa Maanyan mirip dengan bahasa Malagasi? Tampaknya tidak, justru bahasa Batak mirip bahasa Malagasi sebagaimana pernah dikatakan oleh HN van der Tuuk (1860). Untuk mendapat gambaran pehatikan perbandingan kosa kata bahasa Batak dan bahasa Malagasi (tabel). Ada sejumlah kosa kata yang hanya ditemukan dalam bahasa Batak dan bahasa Malagasi seperti minanga, sira dan baba. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar