Jumat, 29 Juli 2016

Sejarah Universitas Indonesia (2): Hari Jadi Universitas Indonesia, Meluruskan yang Keliru; Ini Faktanya!

*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini


Universitas Indonesia yang kini berada di Kota Depok sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Namun usia yang sudah sangat tua justru diperingati sangat muda berdasarkan kelahirannya yang ditetapkan sebagai tanggal 2 Februari 1950. Apa iya? Jika tahun 1950 yang dianggap sebagai tahun kelahiran (ultah), sudah barang tentu penetapan itu tidak berdasar. Nama Universitas Indonesia sendiri sebenarnya diperkenalkan pada tahun 1940 dengan nama Universiteit van Indonesie, namun faktanya, secara historis (continuum) universitas ini sudah lahir sejak 1849.Bagaimana penjelasannya? Mari kita lacak!

***
Di Belanda sudah berdiri 's Rijks kweekschool voor militaire geneeskundigen te Utrecht. Lulusan sekolah kedokteran militer (kweekschool voor militaire geneeskundigen) ini ditempatkan di berbagai tempat, termasuk di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Setelah itu, para tenaga medis ini dapat melanjutkan studi ke pendidikan yang lebih tinggi (hoogere) kelas dua atau tiga di Westindien (lihat Dagblad van 's Gravenhage, 14-08-1846).

Sekolah medis kweekschool voor militaire geneeskundigen di Utrecht mirip pendidikan diploma pada masa ini. Sedangkan pendidikan yang lebih tinggi hoogere geneeskundig mirip pendidikan tinggi (universitas). Untuk sekolah guru terdapat di 's Rijks juga terdapat voor onderwijzers di Haarlem (lihat Leeuwarder courant, 17-12-1839). Kweekschool voor militaire geneeskundigen sendiri dibuka pada bulan Juli 1842. Sekolah ini berada di bawah Inspektur Layanan Medis Angkatan Darat (De Inspecteur van de Geneeskundige Dienst der Landmagt, Departement voor de Zaken van Oorlog) (lihat Nederlandsche staatscourant, 17-12-1841).

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis di Nederlandsch Indie di bawah kebutuhan militer dalam berbagai ekspedisi (perang) didirikan sekolah tenaga medis di Weltevreden yang diberi nama Kweekschool van inlandsche geneeskundigen. Ini mengindikasikan bahwa Sekolah Kedokteran Militer di Utrecht (1842) tidak berselang jauh dengan pendirian Sekolah Kedokteran Pribumi di Nederlandsch Indie (1849). Berdasarkan GB No. 22 tanggal 2 Januari 1849 dinyatakan bahwa groot militair hospitaal te Batavia dibuka kesempatan untuk orang-orang muda dari penduduk asli yang akan menjadi petugas kesehatan, dokter pribumi (Dokter Djawa) (lihat EWA Ludeking. 1871. Recueil Militair Geneeskundigen Dienst). 

Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Persija Jakarta [14]: Sepakbola Pasca Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia; Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola, Soekarno Berseteru Mochtar Lubis, Parada Harahap Abstain

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Anak-anak Padang Sidempuan telah memainkan peran yang penting dalam sejarah sepakbola di Jakarta dan sejarah Persija Jakarta. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan juga telah berperan penting di Medan dan Surabaya. Tiga kota ini menjadi barometer sepakbola sejak mulai dikenalnya sepakbola di Indonesia hingga ini hari. Di ketiga kota ini, sepakbola telah memberi warna dalam perjalanan anak-anak bangsa Indonesia mulai dari memunculkan gagasan, persiapan, perebutan dan fase mengisinya. Dua tokoh penting sepakbola dalam hal ini adalah Radjamin Nasution dan Parada Harahap. Kerja keras keduanya dan patriotisme yang ditunjukkan (dengan segala hormat) belum ada yang mengalahkannya hingga ini hari. Keduanya bekerja di lapangan sepakbola tanpa pamrih.

Tokoh sepakbola: Parada (Jakarta), Radjamin (Surabaya), Abdul Hakim (Medan)
Sepakbola bukanlah alat perjuangan. Sepakbola adalah suatu bidang (sektor) yang mana diatasnya berbagai aktivitas perjuangan untuk memerdekakan penduduk dilakukan. Sepakbola adalah kegiatan permaian yang juga memberi hiburan, tetapi dinatara para pelaku sepakbola ternyata memiliki paham yang berbeda dan tujuan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itulah yang menyebabkan spirit sepakbola tercemari. Kebetulan dalam hal ini, orang-orang Eropa/Belanda yang menghalangi dan bahkan mengintimidasi kehadiran sepakbola yang dimainkan oleh penduduk pribumi. Di sisi lain, diantara para pemain pribumi itu menyadari hakikat yang sebenarnya lalu melakukan perjuangan untuk melawan atau merebut dengan berbagai situasi dan kondisi dengan cara tertentu. Karenanya, sepakbola juga merupakan lapangan untuk melawan dan merebut yang dicita-citakan: kemerdekaan, keadilan, persatuan dan kesatuan.

Pasca kedaulatan Republik Indonesia (setelah Desember 1949), sepakbola Indonesia mulai bergairah kembali, dilakukan pengaturan dan berbagai kompetisi mulai berjalan (pada basis perserikatan). PSSI yang katanya dibentuk tanggal 19 April 1930 di Jogjakarta, pada tahun 1950 dikonsolidasikan kembali. Tiba saatnya semua orang berbicara sesukanya tentang sepakbola. Sepakbola Indonesia kemudian dilanjutkan, melanjutkan fondasi sepakbola yang sudah mulai terbentuk tahun 1907 ketika STOVIA Voetbal Club berkunjung ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan Tapanoeli Voetbal Club.

Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola pada Usia Tua

Pada masa transisi ini, sisa-sisa kehidupan sepakbola Indonesia di masa sebelumnya (era Belanda, pendudukan Jepang dan masa agresi militer Belanda) masih terlihat. Para pendahulu (pionir), seperti Radjamin Nasution dan Parada Harahap mulai pension dan istirahat. Perjuangan sudah selesai, kemerdekaan sudah direbut dan pengakuan kedaulatan RI sudah ditegakkan. Tinggal bagaimana untuk melanjutkannya. Di Surabaya, pembinaan sepakbola diteruskan anak Radjamin Nasution yakni Letkol Dr. Irsan Radjamin Nasution.

Sejarah Persija Jakarta [13]: Sepakbola di Seputar Proklamasi Kemerdekaan; Pemain Sepakbola Angkat Senjata Melawan Agresi Militer Belanda; Padang Sidempuan 100 Persen Republiken

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Pada jaman Jepang ada tiga pemuda sebaya asal Padang Sidempuan yang lahir di kota yang berbeda: Adam Malik di Pematang Siantar, Mochtar Lubis di Sungai Penuh, Jambi dan Sakti Alamsjah di Sungai Karang Sumatra Timur. Tiga senior mereka adalah: SM Amin lahir di Atjeh, Abdul Hakim lahir di Sarolangun, Jambi dan Amir Sjarifoedin di Medan, Sumatra Timur. Orangtua dari keenam tokoh ini semasa pendudukan Jepang pulang kampong, tetapi keenam tokoh muda ini berjuang di rantau bersama ratusan (boleh jadi ribuan) anak-anak Padang Sidempuan. Mereka itu tersebar dari Kota Radja (kini Banda Aceh) hingga Merauke, dari Amsterdam hingga Melbourne.

Mereka ini semua berperan penting jelang kemerdekaan, sejak pendudukan Jepang dan masa agresi militer Belanda. Patriot-patriot ini didukung dari kampong halaman yang seratus persen penduduknya adalah republiken (pro republik hingga akhir, mungkin satu-satunya daerah yang tidak pernah takluk terhadap aggressor militer Belanda). Hanya ada dua kota di Indonesia yang berani membakar kotanya, yakni: Bandung (Bandung Lautan Api) dan Padang Sidempuan (Padang Sidempuan Lautan Api). Suatu pengorbanan materi untuk mengusir militer Belanda yang telah menduduki kota.

Lantas apakah anak-anak Padang Sidempuan masih bermain bola? Jawabannya: Tidak. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan sepakbola. Dan apakah masih  ada sepakbola di Indonesia? Jawabannya: Ada. Anak-anak asal Padang Sidempuan, baru setelah pasca kedaulatan mereka berpatisipasi kembali dalam sepakbola Indonesia. Diantaranya: Mayor Marah Halim (hakim militer) mempelopori sepakbola di Banda Aceh, Mr. Egon Nasution (pendiri universitas swasta) membina sepakbola di Padang, Letkol Mr. Gele Harun Nasution (Residen Lampung) mensponsori sepakbola di Bandar Lampung, Abdul Hakim (sarjana ekonomi yang menjadi Gubernur Sumatra Utara) mendirikan Universitas Sumatra Utara dan mempelopori pembangunan Stadion Teladan di Medan, Parada Harahap (penyusun buku Repelita pertama) masih membina Bataksch Voetbal Club di Jakarta, Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat) mensponsori sepakbola wartawan di Bandung, Letkol Dr. Irsan (anak Radjamin Nasution) menjadi ketua (perserikatan sepakbola) Persebaya di Surabaya, dan lainnya. Tentu saja, anak-anak asal Padang Sidempuan yang menjadi pemain sepakbola dan pilar dalam Tim Nasional PSSI ke Olimpiade di Melbourne (Australia).

Di Depok tidak terdeteksi anak asal Padang Sidempuan yang berpartisipasi dalam sepakbola, meski sepakbola terselenggara. Mereka yang di Depok lebih menekuni olahraga permainan catur. Salah satunya, FKN Harahap, anak seorang pendeta yang menjadi pecatur nasional (kelak menulis buku Sejarah Catur di Indonesia). Untuk mengisi kekosongan, apakah sudah saatnya ditulis buku Sejarah Sepakbola Indonesia yang sebenarnya? Sejauh ini sejarah sepakbola di Indonesia banyak yang palsu, tidak berdasar, tidak ada bukti tetapi sejumlah tokoh ditonjolkan padahal perannya tidak terlalu penting, semantara tokoh-tokoh lain dikerdilkan bahkan tidak dicatat. Apakah masih diperlukan tokoh palsu di era internet sekarang, ketika anak-cucu kita sudah bisa akses ke data dan informasi otentik (koran dan buku-buku lama) tentang sepakbola Indonesia?

Sejarah Persija Jakarta [12]: Sepakbola Semasa Pendudukan Jepang; Parada Harahap Abstain, Radjamin Nasution Menjadi Walikota Surabaya (1942), Amir Sjarifoedin Menentang Jepang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Apakah ada kegiatan sepakbola semasa pendudukan Jepang? Jawabannya: Ada, tetapi sangat diawasi. Padahal kegiatan sepakbola di era Belanda justru sangat bebas. Lantas, apakah masih ada klub sepakbola ETI (Eropa/Belanda) pada masa pendudukan Jepang? Jawabannya: Ternyata ada, tetapi intensitasnya drastis berkurang. Sejarah sepakbola di masa pendudukan Jepang jarang (hampir tidak ada berita) yang dilaporkan. Di dalam artikel ini, coba menelusurinya.   

Radjamin Nasution menjadi Walikota Surabya
Soerabaijasch handelsblad, 30-04-1942 (Pertandingan sepakbola: Excelsior 7 vs Tiong Hwa 2 dan HBS 2 vs Persibaja 1): ‘Dua pertemuan pertama pertandingan sepakbola untuk menghormati ulang tahun Tenno Heika diselenggarakan. Dua hari secara besar-besar di Stadion HBS. Ribuan penonton datang tanpa mengeluh di Jalan Tambaksari. Harga tiket masuk yang rendah. Yang merupakan bukti jelas bahwa kepentingan publik dalam keran sepakbola. Hadir beberapa otoritas tinggi Nippon, kepala polittie yang hari kedua melakukan kickoff. Juga banyak tentara Nipponsche, juga tampak Walikota Radjamin (Nasution). Seperti diketahui, seluruh penerimaan dari tiket untuk dibayarkan kepada pemerintah kota untuk disalurkan kepada keluarga yang terkena dampak perang. Itu menunjukan kebajikan olahraga dan amal disini juga berjalan seiring. Pada pertandingan pertama lebih layak dari tampilan kedua. Pertandingan berjalan adil sehingga semua pemain tidak ada yang dirugikan dan mendapat layak pujian. Itu olahraga tidak hanya konten yang baik, tapi juga sportivitas yang tinggi. Pertemuan pertama antara. Excelsior dan Tiong Hwa berakhir dengan skor 7-2. Excelsior akan di final. Pertandingan kedua adalah antara Persibaja dan HBS adalah menjadi sebuah kompetisi baik dalam kualitas antusias, 22 pemain bersemangat sampai menit terakhir, Terlihat selalu indah adil dan sporty. Babak pertama tanpa gol. Pada babak kedua HBS tak henti-hentinya mereka menyerbu ke gawang Persibaja, kiper Persibaja terlalu kuat. Akhirnya HBS menang dan akan melawan Excelsior di final. Wasit Risakotta dan Pangeran, cakap dibantu oleh hakim garis Carter dan Limahelu. Kami melihat ada seremoni. Di tribun telah dipasang tiang, kemudian Amboneesche orkestra alat musik tiup mengiringi Kimigayo, bendera Nippon dikibarkan naik sangat lambat dalam upacara. Sebelumnya kickoff pada pertandingan pertama dilakukan oleh Burgemesteer (Walikota) Radjamin (Nasution) dan pada pertandingan yang kedua dilakukan oleh Komisaris Polisi Nippon. Pada pertandingan besok sore antara Tiong Hwa dan Persibaja dan kemudian antar pemenang yakni Excelsior dan HBS. Untuk pemenang akan disedikan piala dari Soerabajasche Middenstands Vereeniging’.

Sejarah Persija Jakarta [11]: Suporter VIOS dari Depok Menuju Cikini; Sepakbola Indonesia Menuju Piala Dunia di Prancis (1938); Ada Apa dengan PSSI?

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Pada dasarnya bagian terpenting dalam dunia sepakbola adalah penonton. Ukuran kualitas pertandingan sepakbola dapat dilihat dari kehadiran penonton. Kualitas dari penonton dapat diukur dari partisipasinya dalam mendukung salah satu klub. Dukungan fanatic yang diberikan penonton terhadap klubnya disebut suporter. Para suporter ini selalu membicarakan dinamika klubnya dan selalu hadir ketika klubnya bertanding. Adakalanya suporter ini mendukungnya kemana klub mereka itu melakukan lawatan.

Keberadaan suporter dalam dunia sepakbola terdapat dimana-mana dari sejak doeloe hingga kini. Di masa lampau, supporter klub yang mendampingi klubnya ke luar kota terdeteksi pertama kali di Medan (1903) ketika Medan Sportclub bertandang ke Binjai untuk melawan Langkat Sportclub. Para supporter ini memadati dua gerbong belakang kereta api, dimana di gerbong depan para pemain dan ofisial. Penumpang umum menjadi tidak kebagian tempat karena sudah disorder beberapa hari sebelumnya. Suporter serupa ini juga terdeteksi di Bandung, ketika klub kesayangan mereka, Sidolig melakukan pertandingan melawan Sparta di Cimahi (1907). Dengan kereta api berangkat ke Cimahi, gerbong penuh sesak. Hanya itu yang terdeteksi (mudah-mudahan di tempat lain dapat segera terlacak).

Di Jakarta, juga terdapat suporter fanatik, bukan VIOS tetapi yang lebih fanatik adalah Oliveo. Meski VIOS dan Oliveo kerap bertanding ke Bandung, tetapi suporter tidak pernah dilaporkan bersedia mengikutinya. Mungkin karena jauh, atau sadar bahwa kapasitas kereta api terbatas, sebab kala itu belum ada alternatif transportasi selain kereta, yang dapat merugikan penumpang umum. Sebenarnya ada beberapa tempat yang terjangkau, seperti Buitenzorg yang sudah memiliki klub, tetapi klub-klub Batavia hampir tidak pernah menyambanginya dan lebih memilih ke Bandung, Semarang dan bahkan Surabaia. Yang terjadi adalah Tim Bogor yang kerap berkunjung ke Jakarta (sebagai Tim Perserikatan, tidak ada klub yang bisa mewakili).

Sebagai gantinya, di Depok terdapat suporter klub-klub Batavia. Penggemar atau suporter dari Depok terbagi dua: VIOS dan Oliveo. Jumlah suporter dari Depok tidak sebanyak di Bandung (ke Cimahi) dan Medan (ke Binjai) meski kedua kubu supporter Depok digabung. Para penonton dari Depok berangkat dari stasion Depok (lama). Soporter dari Buitenzorg (Bogor) sejauh yang diketahui tidak pernah dilaporkan, mungkin karena jaraknya sangat jauh. Boleh jadi ada batas tertentu dimana suporter bersedia mengikutinya sekalipun biaya transportasi dibebaskan oleh klubnya.Suporter Depok dalam hal ini menanggung biaya sendiri (Bandung dan Medan ada sebagian kontribusi klub).

Sejarah Persija Jakarta [10]: Radjamin Nasution ‘Bentrok’ Lawan Tim Sepakbola Belanda di Surabaya; Parada Harahap, The King of Java Press Memimpin Orang Indonesia Pertama ke Jepang (1933)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Radjamin Nasution, seorang ‘gibol’ sudah menjadi tokoh penting di Surabaya. Tokoh penting di Batavia, yang juga ‘gibol’ adalah Parada Harahap. Salah satu ‘gibol’ yang menjadi tokoh penting adalah Abdullah Lubis di Medan. Poros Medan, Batavia dan Surabaya adalah poros sepakbola Indonesia pada masa itu. Di tiga ‘kota perjuangan’ untuk merebut kemerdekaan itu sudah terdapat tiga anak Padang Sidempuan yang memiliki sifat revolusioner yang masing-masing telah memiliki portofolio yang cukup baik.

Pada tahun 1932. Tiga tokoh mahasiswa yang digadang-gadang oleh Parada Harahap masih berada di kampus masing-masing: Soekarno di Bandung, Amir Sjarifoedin di Batavia dan M. Hatta di Belanda. Kebetulan ketiganya tidak terlalu suka sepakbola, kesukaan mereka bertiga lebih pada seni. Sedangkan tiga ‘gibol’ di tiga kota itu tetap bermain sepakbola. Abdullah Lubis, pemiliki koran Pewarta Deli  adalah anggota dewan kota (gementeeraad) Kota Medan, Radjamin Nasution, seorang dokter dan pembina sarikat buruh pelabuhan  juga menjadi anggota gementeeraad di Kota Surabaya. Keduanya adalah macan di dewan kota masing-masing. Parada Harahap sendiri adalah sekretaris PPPKI (ketuanya M. Husni Thamrin, anggota dewan pusat, Volksraad), seorang pemilik tujuh surat kabar di Batavia.

Radjamin Nasution dan SVB (De I.c, 12-05-1932
Di Surabaya, tengah berlangsung pertandingan sepakbola dalam libur paskah. Pertandingan ini bermuatan politik kerjasama yang diselenggarakan secara segitiga: NIVB (Nederlandsch-Indischen Voetbal Bond / Belanda), Tionghoa dan SVB (Soerabaiaschen Voetbal Bond / pribumi). De Indische courant, 12-05-1932 melaporkan bahwa pertandingan sempat bentrok antara tim Belanda dan tim pribumi karena kecurangan. Koran Sin Tit Po dan Pewarta mengomentari bahwa pertandingan berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena tidak adil. Bahkan editor Sin Tit Po mendatangi tim Tionghoa meminta untuk tidak melangsungkan pertandingan antara Tionghoa vs SVB karena rawan kerusuhan. Para pemain yang tergabung dalam tim pribumi (SVB) antara lain Askaboel, Soebroto, Soewono, Ngion, Soemarto dan Radjamin (Nasution) dari dewan kota. Akibat adanya kerusuhan sebelumnya, program tim Tionghoa vs tim angkatan laut (yang terdiri dari) orang-orang Indonesia terpaksa dibatalkan.

Kapal ‘Panama Maru’ bersandar di Surabaya. Parada Harahap disambut oleh Radjamin Nasution. Parada Harahap cukup lama di Surabaya, seminggu lamanya, tetapi tidak diketahui apa yang dibicarakannya Parada Harahap dan Radjamin Nasution dan apa aktivitas kedua tokoh ini selama di Surabaya dengan tokoh-tokoh di Surabaya. Rombongan Parada Harahap dkk berangkat dari Tandjong Priok, Batavia dengan kapal ‘Nagoya Maru’ dan tiba di Kobe tanggal 4 Desember 1933. Pulang kembali ke tanah air, tiba di Tandjong Perak, Soerabaija hari Sabtu pagi, 13 Januari 1934.