Pada jaman Jepang ada tiga pemuda sebaya asal Padang Sidempuan yang lahir di kota yang berbeda: Adam Malik di Pematang Siantar, Mochtar Lubis di Sungai Penuh, Jambi dan Sakti Alamsjah di Sungai Karang Sumatra Timur. Tiga senior mereka adalah: SM Amin lahir di Atjeh, Abdul Hakim lahir di Sarolangun, Jambi dan Amir Sjarifoedin di Medan, Sumatra Timur. Orangtua dari keenam tokoh ini semasa pendudukan Jepang pulang kampong, tetapi keenam tokoh muda ini berjuang di rantau bersama ratusan (boleh jadi ribuan) anak-anak Padang Sidempuan. Mereka itu tersebar dari Kota Radja (kini Banda Aceh) hingga Merauke, dari Amsterdam hingga Melbourne.
Mereka ini semua
berperan penting jelang kemerdekaan, sejak pendudukan Jepang dan masa agresi
militer Belanda. Patriot-patriot ini didukung dari kampong halaman yang seratus
persen penduduknya adalah republiken (pro republik hingga akhir, mungkin
satu-satunya daerah yang tidak pernah takluk terhadap aggressor militer Belanda).
Hanya ada dua kota di Indonesia yang berani membakar kotanya, yakni: Bandung
(Bandung Lautan Api) dan Padang Sidempuan (Padang Sidempuan Lautan Api). Suatu
pengorbanan materi untuk mengusir militer Belanda yang telah menduduki kota.
Lantas
apakah anak-anak Padang Sidempuan masih bermain bola? Jawabannya: Tidak. Mereka
tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan sepakbola. Dan apakah masih ada sepakbola di Indonesia? Jawabannya: Ada. Anak-anak
asal Padang Sidempuan, baru setelah pasca kedaulatan mereka berpatisipasi
kembali dalam sepakbola Indonesia. Diantaranya: Mayor Marah Halim (hakim
militer) mempelopori sepakbola di Banda Aceh, Mr. Egon Nasution (pendiri
universitas swasta) membina sepakbola di Padang, Letkol Mr. Gele Harun Nasution
(Residen Lampung) mensponsori sepakbola di Bandar Lampung, Abdul Hakim (sarjana
ekonomi yang menjadi Gubernur Sumatra Utara) mendirikan Universitas Sumatra
Utara dan mempelopori pembangunan Stadion Teladan di Medan, Parada Harahap
(penyusun buku Repelita pertama) masih membina Bataksch Voetbal Club di
Jakarta, Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat) mensponsori
sepakbola wartawan di Bandung, Letkol Dr. Irsan (anak Radjamin Nasution)
menjadi ketua (perserikatan sepakbola) Persebaya di Surabaya, dan lainnya.
Tentu saja, anak-anak asal Padang Sidempuan yang menjadi pemain sepakbola dan
pilar dalam Tim Nasional PSSI ke Olimpiade di Melbourne (Australia).
Di Depok tidak
terdeteksi anak asal Padang Sidempuan yang berpartisipasi dalam sepakbola,
meski sepakbola terselenggara. Mereka yang di Depok lebih menekuni olahraga
permainan catur. Salah satunya, FKN Harahap, anak seorang pendeta yang menjadi
pecatur nasional (kelak menulis buku Sejarah Catur di Indonesia). Untuk mengisi kekosongan, apakah sudah saatnya ditulis buku Sejarah Sepakbola Indonesia yang sebenarnya? Sejauh ini sejarah sepakbola di Indonesia banyak yang palsu, tidak berdasar, tidak ada bukti tetapi sejumlah tokoh ditonjolkan padahal perannya tidak terlalu penting, semantara tokoh-tokoh lain dikerdilkan bahkan tidak dicatat. Apakah masih diperlukan tokoh palsu di era internet sekarang, ketika anak-cucu kita sudah bisa akses ke data dan informasi otentik (koran dan buku-buku lama) tentang sepakbola Indonesia?
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar