Anak-anak Padang Sidempuan telah memainkan peran yang penting dalam sejarah sepakbola di Jakarta dan sejarah Persija Jakarta. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan juga telah berperan penting di Medan dan Surabaya. Tiga kota ini menjadi barometer sepakbola sejak mulai dikenalnya sepakbola di Indonesia hingga ini hari. Di ketiga kota ini, sepakbola telah memberi warna dalam perjalanan anak-anak bangsa Indonesia mulai dari memunculkan gagasan, persiapan, perebutan dan fase mengisinya. Dua tokoh penting sepakbola dalam hal ini adalah Radjamin Nasution dan Parada Harahap. Kerja keras keduanya dan patriotisme yang ditunjukkan (dengan segala hormat) belum ada yang mengalahkannya hingga ini hari. Keduanya bekerja di lapangan sepakbola tanpa pamrih.
Tokoh sepakbola: Parada (Jakarta), Radjamin (Surabaya), Abdul Hakim (Medan) |
Pasca kedaulatan Republik Indonesia (setelah
Desember 1949), sepakbola Indonesia mulai bergairah kembali, dilakukan
pengaturan dan berbagai kompetisi mulai berjalan (pada basis perserikatan).
PSSI yang katanya dibentuk tanggal 19 April 1930 di Jogjakarta, pada tahun 1950
dikonsolidasikan kembali. Tiba saatnya semua orang berbicara sesukanya tentang
sepakbola. Sepakbola Indonesia kemudian dilanjutkan, melanjutkan fondasi
sepakbola yang sudah mulai terbentuk tahun 1907 ketika STOVIA Voetbal Club berkunjung
ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan Tapanoeli Voetbal
Club.
Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola pada Usia Tua
Pada masa transisi ini, sisa-sisa kehidupan
sepakbola Indonesia di masa sebelumnya (era Belanda, pendudukan Jepang dan masa
agresi militer Belanda) masih terlihat. Para pendahulu (pionir), seperti
Radjamin Nasution dan Parada Harahap mulai pension dan istirahat. Perjuangan
sudah selesai, kemerdekaan sudah direbut dan pengakuan kedaulatan RI sudah
ditegakkan. Tinggal bagaimana untuk melanjutkannya. Di Surabaya, pembinaan
sepakbola diteruskan anak Radjamin Nasution yakni Letkol Dr. Irsan Radjamin
Nasution.
Letkol Irsan Radjamin Nasution adalah pahlawan perang
Surabaya (bersama ayahnya: Radjamin Nasution, sebagai walikota). Letkol Irsan
Radjamin Nasution kemudian menjadi Kepala Staf bidang Kesehatan di Kodam
Brawijaya. Masih dalam perang Surabaya ada juga Letkol MO Parlindungan, insiyur
kimia ahli bom, alumni sekolah teknik Belanda/Swiss/Jerman yang kemudian
ditarik ke Mabes TNI dan tahun 1952 ditugaskan menjadi Kepala Perusahaan Mesiu
dan Senjata di Bandung (kini menjadi PINDAD Bandung). AFP Siregar gelar
Mangaradja Onggang Parlindungan adalah penulis buku kontroversial: Tuanku Rao.
Di Bandung tentu saja ada Kolonel Abdul Haris Nasution yang kemudian menjadi Komandan
Kodam Siliwangi (kini digelari Jenderal Besar). Di Yogyakarta ada Kolonel
Zulkifli Lubis, alumni AMS Yogyakarta, yang diangkat menjadi Kepala Intelijen
RI yang pertama. Di Lampung ada Letkol Gele Harun, anak Dr. Harun Harun Al
Rasjid Nasution (alumni Docter Djawa School) yang juga saudara Dr. Ida
Loemongga, PhD (Doktor perempuan Indonesia pertama). Mr. Gele Harun, alumni
Universiteit Leiden menjadi Residen pertama Lampung. Di Pekanbaru masih ada
yakni Letkol Kaharuddin Nasution (kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara). Last
but not least: Kapten Marah Halim Harahap di Medan (yang tahun 1967 ketika
berpangkat kolonel menjadi Gubernur
Sumatra Utara, pencetus Turnamen Sepakbola Marah Halim Cup). Lantas siapa yang
berada di Padang Sidempuan ketika agresi militer Belanda yang kedua? Dia adalah
Letkol Ibrahim Adji yang dibantu Mayor Maraden Panggabean. Ibrahim Adji adalah
eks komandan militer dalam pertempuran di Depok (masih berpangkat kapten).
Demikian juga di berbagai kota, sepakbola
dimulai lagi seperti di Medan, Bandung, Jakarta dan Surabaya. Tunggu deskripsi
lebih lanjut
Selama pendudukan Jepang klub Sahata Medan tidak terdengar
kabar beritanya. Baru setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia kabar
berita Sahata muncul kembali pada tahun 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,
16-08-1950). Klub Sahata Medan adalah klub sepakbola pribumi di Medan yang
berjuang dengan caranya sendiri. Tokoh-tokoh di belakang klub ini mulai dari
Abdul Hakim Harahap, Dr. Gindo Siregar dan Mr. GB Josua (setelah pasca
kedaulatan RI masih di bawah pimpinan GB Josua). Salah satu pemain klub ini
yang terkenal adalah Kamariddin Panggabean. Sedangkan di Jakarta adalah
Bataksch Voetbal Vereeninging dengan tokoh-tokoh utama Parada Harahap dan JK
Panggabean.
Kompetisi perserikatan (bond) di masing-masing
kota dilanjutkan ke level yang lebih tinggi: Kejuaraan antar perserikatan di
Jakarta. Pada tahun-tahun awal Tim Perserikatan Medan tidak ikut serta (Tim
Perserikatan Makassar atau PSM sudah berpartisipasi). Ketidakhadiran Tim Medan
boleh jadi masih kelelahan dalam berperang dan harus mengurus rumahtangga
masing-masing dulu, karena sudah lama meninggalkan si Butet. Sebagaimana
diketahui, perang selama agresi militer Belanda, Kota Padang Sidempuan adalah
perang yang terlama, baru dihentikan pasca konferensi KMB di Den Haag, jelang
tanggal pengakuan kedaulatan RI, Desember 1949).
Dr. Radjamin Nasution masih bermain sepakbola di usia tua |
De vrije pers: ochtendbulletin, 24-04-1952: ‘Surabjase Kantoor
Voetbalbond (Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya) menyelenggarakan
pertandingan sepakbola antara Tim PAL dan Tim Polisi. Juga antara Tim Kesehatan
dan Tim Borsumij. Tim Kesehatan yang juga termasuk Dr. Radjamin (Nasution)
berhasil mengalahkan lawan dengan skor 3-2. Pertandingan berjalan sangat bagus
dan sporty. Ketika Radjamin ditanyakan, jawabnya: ‘permainan sepakbola masih
baik, belum lupa jauh’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 25-08-1952: ‘SKVB atau
Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya melakukan acara pertandingan sepakbola
untuk merayakan ulang tahun ke-25 yang sangat meriah. Para pengurus selama ini
masih bermain sekali dua kali seminggu bermain sepakbola untuk mengatasi
kelelahan di belakang meja. Sudah selama seperempat abad sukacita diberikan
hiburan di lapangan sepakbola. Untuk penyelenggaran ini disponsori Maclaijn
Watson en Factory. Setelah pertandingan, malamnya dilakukan resepsi, pidato
dengan disuguhi tarian dan musik. Ketua SKVB, Dr. Irsan Radjamin (Nasution)
menceritakan tentang sejarah SKVB dan sekaligus memberikan hadiah kepada
pemenang turnamen ulang tahun. Disebutkannya SKVB ini pada dasarnya komplementer
antar Vereeniging. The SKVB sendiri didirikan pada tanggal 30 Juni 1927, tetapi
dengan berbagai keadaan bond (perserikatan spakbola) ini selama 26 tahun saling
diperebutkan. Organisasi ini diklaim Moerdijat dengan menyebut sebagai PSSI,
The Boen Hwan menyebut sebagai Persibaya en Tionghoa, Mr Bos menyebut sebagai
Aniem. Sebelum Perang Dunia II ada 12 vereeniging sepakbola yang menjadi
anggota SKVB. Setelah perang, SKVB dibangun kembali yang saat itu beranggotaka 24
serikat yang berafiliasi dengan total 36 tim. Pcrsibaja dan SKVB bersama merupakan organisasi sepakbola terbesar di Indonesia’.
Klub Setia Persija Jakarta sangat setia sebelum Ganyang
Malaysia
Klub Setia (kemudian SV Setia) adalah klub
orang-orang Malaya, pendukung utama terbentuknya VIJ dan Persija. Kita bisa
bayangkan bagaimana orang-orang Nusantara (Sumatra, Malaya, Jawa dan lainnya)
begitu harmoni di Jakarta. Tunggu deskripsi lebih lanjut
De nieuwsgier, 08-07-1953: ‘Kemarin pagi, Presiden
Soekarno, menerima 25 anggota Asosiasi Sepakbola Melayu (Malays Pootball
Association) dan beberapa anggota dewan SV Setia di Istana Merdeka. Para
pengunjung mengenakan kostum nasional. Pemimpin kelompok dan Presiden MFA, SA
Dawood menyerahkan sarung bersulam benang emas dari jenis yang dipakai di
Malaka sebagai kenang-kenangan kepada Presiden dan Mrs. Sukarno. Dalam
pidatonya kepada para tamu, kepala negara pertama mengucapkan terima kasih
untuk hadiah dan berkata lebih lanjut, untuk menyambut kunjungan ini, sebagian
sehubungan dengan hubungan yang ada antara bangsa Indonesia dan Malaka. Setelah
bagian resmi dari penerima, presiden masih bersama selama setengah jam dengan
tamunya. Presiden Sukarno menerima Tim MFA, mungkin juga karena fakta bahwa
kunjungan MFA ini dibuat ke Indonesia untuk merayakan ulang tahun ke-25 SV
Setia, yang hingga kini masih eksis dalam olahraga, tapi juga telah melakukan banyak
kegiatan sosial. Seperempat abad yang lalu Setia didirikan oleh para pekerja di
layanan hewan di Gunung Sahari di ibukota. Beberapa intelektual kunci yang
berada di sekitar layanan bergabung ke asosiasi ini. Mereka memimpin dan
membawa anggota, selain relaksasi melalui olahraga, juga membaca dan menulis. Untuk
orang-orang yang bekerja dalam semangat ini dan berpartisipasi dengan Setia
termasuk kepala inspeksi untuk tanah dan lalu lintas air Wahab, komandan
batalion Kala Hitam Captain Soenarjo, Kepala percetakan pemerintah PA, van Queljoe,
Mr Baraja Basjrah, Alimuddin dan Sujojso. Pada tahun 1930 Setia ikutsertakan miliknya
untuk pembentukan Voetbalbond Indonesia Jacatra. Sementara asosiasi telah
tumbuh secara substansial dan berlatih bersama sepakbola, juga basket, catur,
angkat besi, bulu tangkis. Selain itu juga membawahi divisi kegiatan wanita dan
pramuka. Selama pendudukan Jepang Setia harus bergabung membentuk organisasi Tai
Ikukai oleh Jepang, dan Setia kemudian dilikuidasi. Setelah didirikannya Pcrsidja,
asosiasi ini juga menyertakan klub sepakbolanya’.
Pangkal perkara, munculnya keretakan hubungan
Malaya dan Indonesia adalah ketika T. Abdul Rachman (Perdana Menteri Malaya)
membuat merdeka Malaya (kemudian menjadi Malaysia) pada tanggal 31 Agustus 1957.
Tunggu deskripsi lebih lanjut
Soekarno Berseteru Mochtar Lubis, Parada Harahap Abstain
Pada masa kepemimpinan Adam Malik di kantor berita
Antara, Mochtar Loebis masuk sebagai wartawan Antara. Namun tidak lama
kemudian, posisi Adam Malik digantikan oleh Mochtar Lubis karena kesibukan Adam
Malik sendiri dalam urusan republik. Pada saat Belanda datang kembali (agresi
Militer), situasi menjadi berubah. Kantor berita Antara lalu ditutup oleh
penguasa. Namun tidak lama kemudian kantor berita Antara diizinkan kembali
beroperasi, Mochtar Lubis kiembali menjadi kepala editor.
Mochtar Lubis bersama wartawan yang lainnya
mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut Persatuan Wartawan
Indonesia. Dalam kepengurusan organisasi wartawa yang baru ini (setelah
kemerdekaan) Mochtar Lubis duduk sebagai komisaris (bersama Rosihan Anwar).
Sebagai ketua, diangkat wartawan senior, Adinegoro (lihat di atas: Het dagblad:
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949). Sementara
itu, Mochtar Lubis dan Adam Malik meresmikan kembali pembukaan kantor berita
Antara.
Mochtar Lubis, Sakti Alamsyah dan Adam Malik adalah
estafet insan pers dari Padang Sidempoean (pasca Dja Endar Moeda, Parada
Harahap dan Abdullah Lubis). Generasi berikutnya adalah AM Hoetasoehoet,
seorang eks tentara pelajar di Padang Sidempuan pada masa agresi militer Belanda
(pendiri IISIP Lenteng Agung). Pada pasca kedaulatan RI (1950-1966) sejumlah
tokoh lainnya asal Padang Sidempuan di Jakarta yang juga telah memainkan peran
penting, antara lain Jenderal Abdul Haris Nasution, Kolonel Zulkifli Lubis, Arifin
Harahap. Pada tahun 1967 tokoh yang masih ada Kolonel Marah Halim Harahap, Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Hariman Siregar.
Mochtar Lubis kini tidak hanya di kantor
berita Antara tetapi juga telah menjadi editor di koran Indonesia Raya yang
terbit di Jakarta. Mochtar Lubis menjadi wartawan terbaik versi Persatuan
Wartawan Indonesia, sementara di era Belanda, wartawan asal Padang Sidempoean
yang lain yang tergolong terbaik menurut pers asing (Eropa/Belanda) adalah
Parada Harahap. Keduanya adalah editor handal di jamannya yang telah meneruskan
sang pionir dalam bidang keeditorialan di Indonesia: Dja Endar Moeda (1897). Dari
rangkaian sejarah penilaian jurnalistik pribumi mungkin semua ‘hadiah’
dimenangkan oleh anak-anak Padang Sidempoean. Ini bukan mengada ada, bukti-bukti
sudah disajikan dan dapat dikonfirmasi ke sumber yang masih bisa dilacak dengan
terang benderang di era teknologi informasi masa kini.
De Sumatra post, 30-11-1907: ‘Marah Hoesin gelar Radja
Pandapotan diangkat menjadi PNS penulis di kantor Residen di Medan, CPNS
penulis di kantor Controleur di Selat Pandjang (yang mana sebelumnya adalah
kepala komisi) bernama Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan’. De Sumatra post,
16-02-1915: ‘van Soengei Penoeh [Korintji] met een…door den inlandschen klerk
van den controleur, Radja Pandapotan..’. Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1937:
‘Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan menjadi kepala distrik (districthoofd) di
Kerintji, Sumatra’s Westkust’.
Tokoh penting di belakang itu adalah Parada
Harahap. Parada Harahap (lahir di Padang Sidempuan 1899) adalah mentor dari
Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik). Jangan
lupa: Parada Harahap juga adalah mentor dari Soekarno, M. Hatta dan Amir
Sjarifoedin (di bidang politik). Minus Amir Sjarifoedin (meninggal 1948),
keributan mulai terjadi antara Soekarno dan Mochtar Lubis. Keributan kemudian
merembet kepada dua tokoh asal Padang Sidempuan: Mayjen Abdul Haris Nasution
dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tunggu deskripsi lebih lanjut.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar pulang dari Belanda, 1956 |
Pangkal perkara adalah Presiden Soekarno coba
mengekang pers. Lalu, Mochtar Lubis memimpin demonstrasi untuk Kebebasan Pers (1953).
Saat itu, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya bagai dua sisi koin: Mochtar Lubis
adalah Indonesia Raya dan Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis. Perseteruan
Soekarno dan Mochtar Lubis semakin memuncak manakala Mochtar Lubis mengungkap
skandal korupsi lalu diinterogasi militer (08-1956). Mochtar Lubis, Rosihan
Anwar, Adam Malik dan Suwardi Tasrif
berangkat ke Belanda dalam pertemuan pers bilateral, tetapi militer
memerintahkan pulang (09-1956). Mochtar Lubis dituntut. SPS dan PWI bereaksi
membentuk komite aksi (10-1956). Mochtar Lubis didampingi pengacara mantan
menteri kehakiman dari kabinet Mr. Burhanuddin Harahap (11-1956).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-11-1956: ‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda
akan menyiratkan permusuhan? Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf
Angkatan Darat, Nasution, adalah teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis.
Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel di Indonesia Raya menuduh Perdana
Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot Indonesia dan Indonesia Raya
menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik? Mochtar menjawab: Tidak ada
maksud permusuhan, negatif dan artikel ini mengatakan bahwa koreksi pada
pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang dimaksud dengan konspirasi
politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi politik untuk Perdana Menteri
Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena pada kenyataannya, Perdana
Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama dengan Lic Hok Thay
terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’
Dalam kasus Soekarno vs Mochtar Lubis, Parada
Harahap sudah mulai menua Parada Harahap abstein, tidak intervensi dan tidak
melakukan apa, mungkin karena keduanya adalah adik-adiknya yang pernah
dibimbingnya. Inilah kearifan Parada Harahap, musuhnya hanya satu: Belanda.
Demikianlah fakta yang sebenarnya. Segala sesuatunya tidak datang ujuk-ujuk
(secara random), boleh jadi by design (secara systematic) oleh sang kreator:
Parada Harahap. Selanjutnya estafet diserahkan kepada sang creator baru: Adam
Malik.
Suksesi tiga The Founding Father RI: Soekarno, Hatta dan Amir |
Akhirnya Soekarno tumbang setelah era politik
Ganyang Malaysia dan Peristiwa G 30 S PKI. Menariknya, dalam peralihan dari
orde lama (Soekarno) ke orde baru (Soeharto) ada tiga tokoh penting yang
menjadi arisitek Orde Baru, yakni: Soeharto, Sultan Hamengkoeboewono IX, dan
Adam Malik (Batubara). Trio baru ini seakan mengingatkan masa peralihan dari
era kolonial ke era kemerdakaan yang mana tiga tokoh penting yang disebut The
Three Founding Father: Soekarno, M. Hatta dan Amir Sjarifoedin (Harahap). Amir
dan Adam, dua tokoh asal Padang Sidempoean dalam dua era yang berbeda dalam
menyusun arsitektur NKRI.
Diantara kreator ada korektor: Di Era Belanda satu korektor
penting adalah Dja Endar Moeda. Setelah itu muncul kreator: Parada Harahap
dengan korektor Mochtar Lubis. Generasi selanjutnya, kreator Adam Malik dengan
korekter Hariman Siregar (yang kini juga tetap membina sepakbola di Jakarta).
Mereka semua satu garis continuum from Padang Sidempuan. Apakah Hariman Siregar
ingin mengoreksi era Jokowi? Pikir-pikir dulu: ada dua tokoh penting disitu:
Darmin Nasution dan Rizal Ramli. Darmin Nasution (dongan sahuta) from Padang
Sidempuan, dan Rizal Ramli (teman seperjuangan) di era Malari, 1974 (Hariman
Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, Rizal Ramli, Ketua Dewan Mahasiswa ITB).
PSMS Medan, Persija Jakarta dan Marah Halim Cup
Tim Perserikatan Medan (PSMS) belum sempat
mengikuti Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Perserikatan, karena disibukkan oleh
persiapan dan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang ketiga di
Medan tahun 1953. Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim yang menjadi ketua
panitia PON III menganggap tidak layak Stadion Kebun Bunga sebagai pusat
kegiatan PON. Lalu menginstruksikan semua stakeholder di Medan untuk membangun
stadion baru yang letaknya di Jalan Sisingamangaradja yang kemudian disebut
Stadion Teladan. Abdul Hakim bernegosiasi ke pusat untuk anggaran karena daerah
siap membantu. Abdul Hakim meminta bantuan pengusaha TD Pardede, sumbangan PTP,
berbagai perusahaan di Medan dan juga para bankir untuk menyisihkan sebagian
keuntungan sebagai CSR. Para bankir terkenal waktu itu di Medan adalah Muslim
Harahap dan James Harahap. Kedua orang ini adalah alumni Batavia (Middlebare
Handelschool), seangkatan dengan Kalisati Siregar (ayah dari Hariman Siregar).
Kalisati Siregar berkarir di birokrasi bidang perdagangan (mulai dari Padang
Sidempuan, Medan, Palembang dan Jakarta), sedangkan Muslim Harahap menjadi
Direktur Bank Dagang Nasional di Medan dan James Harahap menjadi direktur Bank
BNI juga di Medan (sebelumnya di Sibolga). James Harahap, kelahiran Padang
Sidempuan lebih dikenal sebagai ayah dari Rinto Harahap dan Erwin Harahap (The
Mercy’s).
Abdul Hakim, bukanlah orang baru dalam dunia sepakbola.
Abdul Hakim kelahiran Sarolangun, Djambi. Di Batavia, masuk sekolah Bea dan
Cukai lalu mengikuti karir dari Radjamin Nasution. Setelah Radjamin Nasution
pindah dari Medan (dan kemudian menetap di Surabaya), Abdul Hakim yang
menduduki posisi kepala Bea dan Cukai di Medan, 1927. Pada tahun 1929 Abdul
Hakim terpilih menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Medan. Abdul Hakim
selain anggota dewan adalah aktif sebagai guru privat bahasa Inggris dan bahasa
Perancis (yang super langka kala itu). Hobi lainnya adalah sepakbola menjadi Ketua
Sahata Voetbal Club yang berkompetisi di Medan. Pada tahun 1937 setelah dua
periode menjadi dewan kota, dipindahkan ke Batavia di Departemen Keuangan
(Dept. van Financien). Ketua Sahata Voetbal Club diestafetkan kepada Gading
Batubara atau GB Josua (Direktur Josua Institut, alumni sekolah guru di
Belanda). Beberapa kali pindah sebelum ke Makassar, seperti Jawa Barat dan
Kalimantan Barat untuk kepala perwakilan ekonomi Departemen Ekonomi. Ketika menjadi
kepala ekonomi wilayah Indonesia Timur di Makassar, invasi Jepang masuk. Abdul
Hakim harus pulang kampong, karena ayahnya Mangaradja Gading meninggal dunia di
Padang Sidempuan. Abdul Hakim tidak kembali ke Makassar, tetapi dicari militer
Jepang ke Padang Sidempuan dan memintanya untuk menyiapkan dewan Tapanoeli.
Kalisati Siregar (ayah Hariman Siregar)
yang pulang kampong dari Batavia pada saat invasi Jepang juga diminta untuk
menjadi kepala perdagangan di Padang Sidempuan. Abdul Hakim lalu menjadi Wakil
Residen Tapanoeli. Ketika agresi militer Belanda memasuki Tapanuli, Abdul Hakim
Harahap menjadi Residen Tapanuli dan berjuang dari satu tempat ke tempat lain
di Tapanuli (juga dilakukan Kalisati Siregar dari satu tempat ke tempat lain di
afdeeling Padang Sidempuan). Pada saat digelar KMB di Den Haag, Abdul Hakim
yang menjadi ekonom di era Belanda menjadi penasehat ekonomi M. Hatta yang
memimpin delegasi Indonesia ke Belanda. Kemampuan tiga bahasa asing dari Abdul
Hakim juga dibutuhkan di dalam konferensi yang dihadiri oleh sejumlah negara
asing. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Abdul Hakim kembali ke pos lama di
Departemen Keuangan di Jakarta. Akan tetapi tidak lama, karena Abdul Hakim
diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara (25 Januari 1951). Abdul Hakim kelak
diangkat menjadi Menteri Negara.
Pada tahun 1954 (setelah selesai PON III), PSMS
Medan benar-benar melakukan persiapan baru bisa ikut Kejurnas Sepakbola
Perserikatan di Jakarta. Tim Ayam Kinantan (julukan ini pertama digunakan oleh
Sahata Voetbal Club) dipimpin langsung sebagai manajer tim oleh Ketua Umum
PSMS, Drs. Muslim Harahap (Direktur Bank Dagang Nasional Medan). Klub PSMS yang
mewakili klub-klub pribumi sejak era Belanda terbilang terkuat di Indonesia
sejak era Belanda datang ke Jakarta dengan sangat sombong: Veni Vidi Vici. Ini
terjadi tahun 1954 (pageran sebelumnya masih penjajakan dan hasilnya belum
maksimal. Kapalnya belum merapat di Tandjong Priok, ayam-ayamnya sudah berkokok
sejak dari Teluk Jakarta. Parada Harahap terganggu juga dengan ayam-ayam
kinantan yang berisik ini. Mungkin Parada Harahap mengomel: Ini bukan Medan,
Bung! Ini Batavia, eh (sambil meralat: Ini Jakarta, Bung! Pulang Kau). Akhirnya
PSMS Medan maju ke final. Ketemu Persija Jakarta. Nah lho.
Final Kejurnas sepakbola: PSMS Medan vs Persija Jakarta (1954) |
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-01-1955: ‘Dalam pertandingan final Kerjurnas Sepakbola
Indonesia yang digelar kemarin melawan (Persija) Jakarta, Tim (PSMS) Medan
meninggalkan lapangan. PSMS (Medan) menggelar konferensi pers. Manajer Tim PSMS,
Muslim Harahap, menuding keberpihakan wasit, van Yperen (mungkin orang
Belanda), dan berpendapat bahwa timnya banyak dirugikan. Pertama, pemain depan
PSMS, Jusuf Siregar 'dilibas' tetapi masih berhasil menciptakan gol. Tetapi
wasit Yperen menganulir dan menunjuk titik putih karena protes Djamiat, pemain
dari tim Djakartaanse. (tidak hanya itu) Sekali lagi Jusuf Siregar ‘diambil’ kembali
oleh Tamaela. Bahkan pelanggaran terhadap Jusuf ini tidak dicatat dan tidak
diganjar. Kemudian, pemain populer Medanse, pemain sayap, A. Kadir (18 tahun) diganjal
keras oleh Tamaela. Lalu Muslim (Harahap) sebagai manajer tim. bangkit dan
meminta keberanian wasit. Karena tidak ada solusi, dan atmosfer sudah begitu
tajam lalu PSMS minta mengundurkan di kepada panitia lomba. Persidja ingin
meneruskan pertandingan dan melakukan permintaan kepada panitia untuk mengganti
wasit. Namun permintaan ini sayangnya ditolak oleh PSMS karena sudah kelewat jengkel.
PSMS memutuskan pertandingan dan PSMS tidak akan mengakui kekalahan melawan
Jakarta dan tidak menandatangani kekalahan ini, kata Muslim Harahap. Untuk pertandingan
ulang (revans) yang ditawarkan oleh Jakarta Muslim menyatakan PSMS selalu
bersedia tetapi bagaimanapun, bahwa permainan harus dipimpin oleh seorang wasit
yang berimbang. (Muslim mengatakan) antara Persidja dan PSMS tidak ada
perselisihan, ia menambahkan untuk itu. Kami harus menarik diri dalam hal ini, mosi
tidak percaya telah diajukan terhadap PSSI agar dilakukan revisi dari manajemen
pusat. Pelatih teknik Tim Nasional dan ketua komite seleksi, Tony Pogaknick
mengomentari bahwa Tim PSMS selama berada di Jakarta sepakat bahwa kualitas
sepakbola Medan lebih baik, tetapi kekalahan mereka ini tidak disengaja’.
Sepakbola Medan yang selalu bermain cantik
sejak era Belanda, sebagaimana juga dipertunjukkan PSMS Medan dalam Kerjunas
yang diikutinya kali pertama ini, tidak berlaku di Jakarta. Mungkin benar apa
yang dibilang Parada Harahap: Pulang Kau! Sejak itu, gaya permainan PSMS
berubah dari permainan cantik menjadi permainan keras yang disebut ‘rap-rap’.
Surat kabar Java Bode yang baru kit abaca di atas, telah
diakuisisi (dibeli) oleh Parada Harahap sejak 1952 (karena adanya kebijakan
pemerintah RI untuk melakukan nasionalisasi). Java Bode adalah koran berbahasa
Belanda (investasi asing) yang awalnya terbit di Semarang dan sudah berumur
hampir satu abad. Surat kabar ini terbilang netral di era Belanda. Ketika
Parada Harahap berpolemik dengan pers Eropa/Belanda di tahun 1925 terutama
terhadap Karel Wijbrand dari Soerabaija Handelsbald, ke surat kabar inilah
tulisan-tulisan Parada Harahap dikirimkan (agar para pembaca Belanda
mengetahuinya). Parada Harahap ‘bertempur’ dengan pers Eropa/Belanda sendirian.
Pada tahun 1957 PSMS datang kembali ke
Jakarta. Tahun 1955 dan 1956 Kejurnas tidak diadakan karena kesibukan negeri
Pemilihan Umum, dimana Partai Masyumi pemenang dan Mr. Boerhanuddin Harahap
menjadi Perdana Menteri. PSMS kembali masuk ke final. Lagi-lagi kalah oleh PSM
Ujung Pandang. Permasalahannya sama dengan final 1954. Sejak itu PSMS tidak
pernah kembali ke final. Baru pada tahun 1967, PSMS datang dengan sombong.
Sebab PSMS kini didukung habis oleh Gubernur Sumatra Utara yang baru, Kolonel
Marah Halim Harahap. Di partai final, PSMS mengalahkan Persebaya Surabaya. PSMS
kali pertama menjadi juara. Pada tahun 1969 PSMS datang lagi. Tahun 1968
kerjurnas ditiadakan. PSMS kembali mengalahkan Persebaya di final.
Tahun 1972 turnamen Marah Halim Cup mulai digelar di
Medan. PSMS menjadi juara perdana. Pada tahun 1973 kembali PSMS menjadi juara.
Tahun 1974 hanya runner-up (yang menjadi juara Tim Jepang). Sejak saat inilah
saya mengikuti sepakbola Indonesia hingga ini hari. Usul diadakannya Marah
Halim Cup datang dari tiga tokoh sepakbola Medan: TD Pardede, Muslim Harahap
dan Kamaruddin Panggabean. TD Pardede adalah pengusaha sukses dan pernah
menjadi bendahara PSMS (ketika ketua umum PSMS dijabat oleh Muslim Harahap).
Kamaruddin Panggabean adalah salah satu pemain legendaries klub Sahata,
pimpinan GB Josua yang kerap mengalahkan klub-klub ETI di Medan di era Belanda.
Pada tahun 1975 PSMS kembali datang ke
Jakarta. Di final bertemu Persija Jakarta: Tidak ada yang juara, keduanya juara
bersama. Tahun 1979 kembali PSMS bertemu Persija, kali ini kalah dari Persija.
Apakah PSMS melakukan protes? Tidak, pertandingan berjalan lancar. Pada tahun 1983 PSMS kembali ke Jakarta,
bertemu Persib Bandung di final dan mampu mengalahkannnya. Pada kejurnas
berikutnya, PSMS bertemu lagi Persib Bandung di final.
Gaya permainan PSMS Medan yang keras (sebenarnya
bukan kasar) masih terlihat ketika saya menonton partai final Kerjurnas 1983 di
Senayan antara PSMS Medan Persib Bandung. PSMS mampu mengalahkan Persib
Bandung: Lagu A sing-sing So berkumandang setelah kemenangan yang dramatis
tersebut. Saya dan dua teman datang dari Bogor dengan membawa spanduk dan mengikat
di badan bis bagian belakang. Selama perjalanan di Jagorawi bis kami ditimpukin
oleh Suporter Persib yang menganggap seakan seisi bis adalah supporter PSMS
Medan. Saat itulah saya terakhir menjadi suporter PSMS Medan dan kemudian menjadi
suporter Persib Bandung (karena sudah memiliki KTP West Java) lalu tahun 1993
menjadi supporter Persija (Liga Indonesia Perdana) karena sejak 1991 beralih
menjadi KTP DKI Jakarta. Pada tahun 1999 KTP saya berganti menjadi KTP Depok
dan lalu pension menjadi suporter sepakbola, karena ingin mempelajari ekonomi,
industry dan bisnis sepakbola di Indonesia.
Kini, di Persija Jakarta, sisa-sisa Padang
Sidempuan masih ada toh. Hariman Siregar, kelahiran Padang Sidempuan adalah Pembina
Persija Jakarta Selatan, sedangkan di Persija Jakarta Pusat ada Asher Siregar.
Mereka adalah generasi penerus dari pemain sepakbola dari Padang Sidempuan,
Parada Harahap dan Radjamin Nasution, dua tokoh penting dalam perjuangan
merebut kemerdekaan tidak hanya dari lapangan sepakbola tetapi di berbagai
bidang.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Sejarah Jakarta (2): Kapan Nama Batavia Muncul; Kapal Kargo Pertama Dilaporkan dari Batavia Tahun 1627
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar