Sabtu, 14 Desember 2019

Sejarah Kota Medan (79): Naga Bonar Suatu Fiksi? Sejarah Timur Pane, Mayor Jenderal Lubuk Pakam Ditakuti oleh Belanda (1947)


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Naga Bonar adalah satu hal, Timoer Pane adalah hal lain. Kisahnya terjadinya pada era yang sama di wilayah yang sama: Lubuk Pakam. Naga Bonar adalah suatu film (fiksi) sementara sepak terjang Timoer Pane adalah suatu kejadian nyata (fakta). Lantas skenario film Naga Bonar yang bertema komedi situasi yang diproduksi 1987 apakah mengacu pada cerita rakyat yang bermula empat puluh tahun sebelumnya, 1947 tentang tindakan heroik seorang yang bernama Timoer Pane?  

Nieuwe courant, 17-10-1947
Kisah seorang yang terkenal di era kolonial Belanda banyak yang diangkat ke layar putih (film). Di Batavia (kini Jakarta) terkenal dengan petualangan seorang yang bernama Pitoeng. Namun apa yang ditampilkan dalam film berbeda dengan fakta yang sebenarnya. Film sebagai upaya komersil telah memperkaya cerita dengan hal yang terkait dengan fakta sang tokoh. Namun yang menjadi persoalan kisah dalam film tersebut adakalanya dipersepsikan sebagai starting point tentang sejarah sang tokoh pada masa kini. Namun sejarah tetaplah sejarah, suatu narasi tentang fakta masa lampau, sedangkan fiksi adalah hal yang lain. Jika sejarah adalah pelajaran tentang fakta masa lampau, maka suatu ceritar (fiksi) dapat dikreasi untuk pelajaran, semisal budi perkerti, untuk masa depan. Banyak cerita (fiksi) berawal dari kisah nyata (sejarah), namun isinya kemudian diperkaya dengan khayalan (fiksi).

Lantas serupa apa kisah Timoer Pane dalam perang kemerdekaan Indonesia di Deli? Sudah ada sejumlah tulisan yang coba menarasikannya, namun tidak sepenuhnya akurat dan lengkap. Sehubungan dengan itu, ada baiknya dinarasikan kembali sejarah Timoer Pane, orang yang disebut telah mengangkat dirinya sebagai Generaal Majoor untuk memimpin para mantan pencopet dalam berjuang melawan Belanda/NICA. Untuk memperkaya pengetahuan kita mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 07 Desember 2019

Sejarah Universitas Indonesia (5): Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan; Cucu Notaris Anwar Makarim dan Anak Nono Lulusan UI


*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berada di kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Tujuannya untuk menyambut (menghadiri pelantikan) Rektor UI yang baru Prof. Ari Kuncoro. Satu yang penting kehadirannya adalah menyatakan bahwa mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar dan penggeraknya adalah dosen.

Het nieuws van den dag voor Ned.-Indie, 08-03-1940
Dalam pidatonya ‘tanpa naskah’ Menteri Nadiem Makarim membukanya sebagai berikut: ‘Yang terhormat Bapak-Ibu yang hebat di depan saya, terutama Bu Ani (Menkeu Sri Mulyani), terima kasih sudah mengundang saya disini. Saya seperti Prof Ari, ada naskah pidato langsung saya buang karena saya ingin gunakan kesempatan untuk menjadi sesi kerja pertama selama lima tahun ke depan. Pertama, saya harus bilang bahwa saya bukan alumni UI. Tapi orang tua saya, bapak, ibu, dan seluruh keluarga saya om-om dan tante semua, eksklusif alumni UI. Jadi saya sebenarnya produk UI juga dan saya merasa tidak bisa mencapai seperti ini kalau tanpa UI. Jadinya ini sesuatu yang spesial saya bisa hadir di sini’.

Siapa Nadiem Makarim sudah banyak ditulis. Seperti pengakuannya: ‘Saya bukan alumni UI, tetapi saya merasa tidak bisa mencapai seperti ini kalau tanpa UI’. Ayah dan ibu dari Nadiem Makarim adalah alumni UI. Siapa Ayah dan Ibu Nadiem Makarim juga sudah banyak ditulis. Ayah Nadiem Makarim adalah Nono Makarim seorang aktivis pers mahasiswa (lulusan UI). Yang belum banyak ditulis adalah tentang riwayat kakeknya, seorang Notaris bernama Anwar Makarim. Oleh karena itu perlu kiranya menyusun keseluruhan sejarah keluarga Makarim. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 04 Desember 2019

Sejarah Jakarta (61): Si Pitung dan Fakta Sebenarnya, 1892; Menulis Ulang Sejarah Si Pitung Berdasarkan Data Tersedia dan Valid


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Kisah Si Pitung sebagai legenda itu hanya ditemukan dalam kisah Si Pitung yang diangkat ke layar putih (film) pada tahun 1931 (lihat De Indische courant, 29-06-1931). Film ini sejatinya ingin mengangkat kisah nyata Si Pitoeng, namun karena kebutuhan komersil, ceritanya diperkaya dengan unsur herois dan unsur keadilan. Oleh karena namanya sebuah film, film yang berbasis true-story yang ingin lebih menghibur penonton bergeser menjadi fiction. Dari film inilah diduga menjadi sebab persepsi tentang kisah nyata si Pitung mulai bergeser seperti yang diceritakan pada masa ini.

Nieuwe courant, 17-10-1947
Tentu saja tidak hanya kisah Si Pitoeng yang bergeser ceritanya dari true-story menjadi fiction, banyak lagi, bahkan hampir di setiap kota. Di Medan atau Deli kisah cerita film Naga Bonar telah diperkaya dari aslinya tentang kisah seorang bernama Timoer Pane, yang memimpin mantan pencopet untuk membentuk pasukan Naga Terbang untuk melawan Belanda dengan mengangkat dirinya sebagai General Majoor (lihat Nieuwe couran, 17-10-1947). Kisah Timoer Pane dengan pasukannya bernama Naga Terbang akan dibuat dalam artikel tersendiri di dalam serial artikel Sejarah Kota Medan.

Namun sejarah tetaplah sejarah, fiction adalah fiction. Sejarah adalah suatu narasi tentang fakta. Sehubungan dengan banyaknya kisah tentang fakta seseorang yang diangkat ke dalam fiction (film, opera dan roman) maka kita masa kini harus kembali memisahkan konten fakta dan konten fiksi. Dengan demikian, kita bisa membebaskan diri melihat apa yang menjadi fakta dan apa yang menjadi fiksi. Untuk melihat fakta sebenarnya tentang Si Pitung mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe (sumber sejaman).  

Minggu, 01 Desember 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (27): From Javaansche Rhapsody (1909) to Bohemian Rhapsody (1975); Fenomena Alip Ba Ta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Musik tradisi (seperti gamelan, degung, gondang) sudah sejak lama diidentifikasi oleh orang Eropa/Belanda. Pada tahun 1909 Paul Seelig memggabungkan musik tradisi (Jawa) dengan musik barat (Eropa) yang disebutnya Javaansche Rhapsody. Namun musik tradisi (Indonesia) baru mendapat tempat disiarkan di radio tahun 1930an. Seiring dengan mengudaranya musik tradisi yang dapat ‘ditangkap’ di seluruh antero dunia, para pegiat musik Eropa/Belanda di Hindia (baca: Indonesia) mendatangkan seorang peneliti musik terkenal berkebangsaan Austria Dr. Halusa, Ph.D untuk meneliti musik tradisi Indonesia. Sejak inilah boleh dikatakan musik tradisi Indonesia mulai mendapat perhatian dari para pemusik dunia.

Dr. Halusa, Ph.D) di Medan, 1936
Artikel ini merupakan kelanjutan artikel pertama berjudul Sejarah Menjadi Indonesia (24): Alip Ba Ta Gitaris Fingerstyle Mendunia; Ambassador dalam Penyusunan Sejarah Musik Indonesia. Dalam artikel tersebut mendeskripasikan dari awal bagaimana musik tradisi (Indonesia) ditemukan (dicatat oleh orang-orang Belanda). Dalam hal ini kehadiran Alip Ba Ta di channel Youtube, seorang gitaris fingerstyle menyadarkan kita, musik yang memiliki nada-nada Indonesia mulai dilirik oleh para pemusik dunia, sebagaima tahun 1937 Dr. Halusa, Ph.D menemukan nada-nada khas Indonesia. Oleh karena itu kita paham mengapa pada dasawarsa terakhir ini banyak orang Eropa/Amerika ingin melestarikan musik (tradisi) Indonesia. Sebut saja misalnya Hermann Delago. Pemusik Austria yang coba melestarikan dan mempopulerkan musik Batak di Eropa dan Prof. Andrew Weintraub dari Universitas Pittsburgh yang melestarikan dan mempopulerkan musik dangdut dan degung Sunda di Amerika Serikat. Tentu saja musik gamelan yang sudah dipelajari di berbagai universitas di luar negeri.  

Akhir-akhir ini, gitaris Alip Ba Ta, spesialis fingerstyle (one man band) telah mendapat perhatian para pemusik dunia. Musik aransemen Ali Ba Ta mulai banyak dikutip oleh para pemusik. Ini adalah satu momen penting bagi kita, untuk memperkenalkan sejarah musik kita di mata dunia. Untuk melanjutkan artikel kedua, mari kita telusuri lebih lanjut sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 28 November 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (26): Sejarah Darah Indonesia; Pemisahan Pribumi 1898 dan Debat Soal Negara Nenek Moyang 1928


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Soal ‘darah Indonesia’ marak lagi pada minggu terakhir ini. Itu dipicu oleh soal pro-kontra jawaban artis Agnes Monica dalam suatu wawancara. Munculnya pro kontra karena yang ditanya (pewawanvara) dan yang dijawab (Agnes Monica) tidak sinkron. Demikian juga antara apa yang dimaksudkan Agnes Monica dengan apa  yang dipikirkan netizen (pembaca dan pendengar) tidak sinkron pula. Akibatnya muncul gaduh.

‘Darah Indonesia’ adalah frase menunjukkan ‘bangsa Indonesia’. ‘Bangsa Indonesia’ adalah dua kata yang sejarahnya berbeda tetapi beriringan. Perdebatan yang muncul pertama adalah soal ‘bangsa’, lalu muncul soal ‘Indonesia’. Baru kemudian memasuki perdebatan soal ‘bangsa Indonesia’. Kesadaran soal ‘bangsa’ dimulai tahun 1898 ketika pemerintah membuat kebijakan yang memisahkan diantara para pribumi (inlandsche) dan perihal naturalisasi. Lalu pada tahun 1927 muncul perdebatan soal klaim wilayah ‘Indonesia’ sebagai negara nenek moyang antara ‘orang pribumi’ dan ‘orang Eropa/Belanda’. Perdebatan yang terakhir adalah soal ‘pembauran’ di dalam ‘bangsa Indonesia’ yang terjadi pada tahun 1938. Semua hasil perdebatan itu itu dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 telah dikunci, Ir. Soekarno membacakan dengan jelas ‘bangsa Indonesia’ (‘darah Indonesia’).

Kegaduhan karena kurangnya pengetahuan sejarah. Artikel ini tidak dalam konteks membicarakan soal kegaduhan itu. Artikel ini hanya fokus untuk menyusun kronologis soal (perdebatan) ‘darah Indonesia’ atau ‘bangsa Indonesia’ mulai dari ‘kesadaran berbangsa’ hingga proklamasi kemerdekaan ‘bangsa Indonesia’. Sejauh ini soal kronologis ini kurang mendapat perhatian dalam sejarah Indonesia. Untuk menambah pengetahuan kita soal ‘bangsa Indonesia’ ini mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 23 November 2019

Sejarah Jakarta (60): Kiprah Abdurrahman Baswedan, Kakek Gubernur DKI Jakarta; Sejarah Keluarga Baswedan di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini kekek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianugerahi Pahlawan Nasional. Abdurrahman Baswedan disebutkan telah ikut berjuang di era kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka. Peran awal yang terpenting Abdurrahman Baswedan adalah menyatukan warga keturunan Arab untuk bersatu berjuang demi Indonesia. Abdurrahman Baswedan juga turut aktif  dalam persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Keluarga Baswedan tidak hanya Abdurrahman Baswedan dan Anies Baswedan tetapi juga ada nama Novel Baswedan. Tentu saja masih banyak lagi. Nama Baswedan sebagai marga (family name) sudah muncul sejak era kolonial Belanda. Jumlahnya tidak banyak tetapi perannya cukup menonjol. Yang  paling populer adalah Abdurrahman Baswedan.

Sejarah Abdurrahman Baswedan tentu saja sudah ditulis. Namun bagaimana kiprah keluarga Baswedan sejak era kolonial Belanda belum pernah ditulis. Oleh karena itu sejarah Abdurrahman Baswedan tidak cukup sampai disitu. Abdurrahman Baswedan sebagai Pahlawan Nasional dan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menambah daya tarik untuk mengetahui sejarah keluarga Baswedan. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.