*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Belum lama ini kekek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianugerahi Pahlawan Nasional. Abdurrahman Baswedan disebutkan telah ikut berjuang di era kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka. Peran awal yang terpenting Abdurrahman Baswedan adalah menyatukan warga keturunan Arab untuk bersatu berjuang demi Indonesia. Abdurrahman Baswedan juga turut aktif dalam persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.
Belum lama ini kekek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianugerahi Pahlawan Nasional. Abdurrahman Baswedan disebutkan telah ikut berjuang di era kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka. Peran awal yang terpenting Abdurrahman Baswedan adalah menyatukan warga keturunan Arab untuk bersatu berjuang demi Indonesia. Abdurrahman Baswedan juga turut aktif dalam persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.
Keluarga
Baswedan tidak hanya Abdurrahman Baswedan dan Anies Baswedan tetapi juga ada
nama Novel Baswedan. Tentu saja masih banyak lagi. Nama Baswedan sebagai marga
(family name) sudah muncul sejak era kolonial Belanda. Jumlahnya tidak banyak
tetapi perannya cukup menonjol. Yang
paling populer adalah Abdurrahman Baswedan.
Sejarah Abdurrahman Baswedan tentu saja sudah
ditulis. Namun bagaimana kiprah keluarga Baswedan sejak era kolonial Belanda belum
pernah ditulis. Oleh karena itu sejarah Abdurrahman Baswedan tidak cukup sampai
disitu. Abdurrahman Baswedan sebagai Pahlawan Nasional dan Anies Baswedan
sebagai Gubernur DKI Jakarta menambah daya tarik untuk mengetahui sejarah
keluarga Baswedan. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Stambuk keluarga Baswedan |
Marga Baswedan: Oemar dan Ali
Nama Baswedan paling tidak sudah diberitakan pada
tahun 1905 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-08-1905). Disebutkan pemerintah
melelang sejumlah persil tanah. Persil tanah No. 444 verponding f7.250 dibeli
oleh Sech Ibrahim bin Alie Baswedan. Dari informasi ini Ibrahim adalah seorang
Sech, anak dari Ali Baswedan.
Abdurrahman, Rasyd dan Anies Baswedan |
Nama Baswedan baru muncul di pemberitaan pada
tahun 1913 (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 04-04-1913). Disebutkan seorang Arab, (Ibrahim Ali) Baswedan
telah membeli lahan seluas 1.647.000 M2 dari Mas Tirtodiwirio di land Bagong di
(selatan) Goebeng senilai f300.000. Baswedan akan membangun di lahan tersebut
pemukiman Eropa.
Wilayah Goebeng, Soerabaja (Peta 1914) |
Namun dalam perkembangannya, di land Bagoeng yang
sudah dibangun beberapa rumah untuk dijual namun untuk pengembangan lahan lebih
lanjut tidak mudah karena ada tantangan tersediri dari penduduk pribumi (lihat De
Preanger-bode, 06-07-1915). Tantangan tersebut karena di lahan tersebut
terdapat sejumlah kuburan yang banyak dikunjungi oleh penduduk pribumi. Dalam
berita ini disebutkan pemilik land Bagong adalah Abdulah Baswedan. Peta 1914
Dalam stambuk keluarga Baswedan yang tercatat di internet, Abdullah
Baswedan adalah anak dari Umar Baswedan. Abdulah Baswedan lahir si Soerabaja
pada tahun 1871. Dalam hal kepemilikan land Bagong diduga adalah kongsi antara
Ibrahim Baswedan (bin Ali Baswedan) dan Abdullah Baswedan (bin Umar Baswedan).
Dunia Bisnis vi-a-vis
Dunia Politik: Ibrahim Baswedan
Sech Mohamad bin Ibrahim Baswedan menjadi
kandidat Provincialeraad (lihat De Indische, courant, 14-11-1928). Yang
terpilih adalah Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan (lihat De Indische courant, 27-12-1928).
Sech Achmad adalah seorang pedagang di Soerabaja (De Sumatra post, 28-12-1928).
Dari
dua orang anak Abubakar Baswedan di Yaman, yakni Umar dan Ali yang
masing-masing telah membentuk keluarga di Soerabaja, populasi marga Baswedan
dari keturunan dua pionir tersebut semakin banyak. Umar dan Ali Baswedan telah
memiliki cucu-cucu. Sementara para pionir masih aktif berbisnis, para cucu-cucu
sudah mulai ada yang namanya muncul ke permukaan. Achmad Baswedan bin Salim
Baswedan bin Ali Baswedan dikenal sebagai pecatur handal.
Achmad
Baswedan naik dari kelas satu ke kelas dua MULO (lihat De Indische courant, 16-05-1923),
Achmad Baswedan sangat menyukai permainan catur dan telah berpartisipasi dalam
kejuaraan di Soerabaya (lihat De Indische courant, 03-04-1926). Achamd Baswedan
anggota klub catur SSC Soerabaja (lihat De Indische courant, 18-10-1926).
Achmad Baswedan anggota tim Soerabaja melawan tim Malang (lihat De Indische
courant, 02-02-1927). Achmad Baswedan adakalanya menggunakan nama lain yakni
Ali Baswedan (merujuk pada nama kakeknya).
Satu diantara bermarga Baswedan ini yang paling
sukses di bidang bisnis adalah Ibrahim Baswedan. Dalam usrusan bisnis, Ibrahim
Baswedan yang terbilang seorang landheer tidak hanya sukses di bidang properti
tetapi juga diketahui telah merintis bisnis di bidang (penjualan) otomotif.
Secara umum bisniis-bisnis dari keluarga Baswedan ini di Soerabaja berkembang
dengan baik.
Namun
tentu saja ada satu dua bisnis yang gagal. Seperti misalnya Awad Baswedan, mendirikan
bisnis di Surabaya, berkongsi dengan Sech Aboebakar bin Oemar Baswedan dan Sech
Ahmad bin Oemar Baswedan. Bisnis kongsi bertiga ini dinyatakan pailit pada
tahun 1931 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-01-1931). Awad Baswedan, Sech
Aboebakar bin Oemar Baswedan dan Sech Ahmad bin Oemar Baswedan diduga kuat
adalah anak-anak dari Oemar Baswedan. Awad Baswedan dalam hal ini tidak lain
adalah ayah dari Abdurrahman Baswedan atau kakek buyut dari Anies Baswedan
(Gubernur DKI Jakarta yang sekarang).
Satu yang pertama dari keluarga Baswedan yang memulai ikut berpartisipasi
dalam dunia politik adalah Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan (lihat De Indische
courant, 27-12-1928). Disebutkan Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan termasuk
salah satu kandidat untuk Provincialeraad (Dewan Provinsi Oost Java). Melihat
dari namanya, Sech Achmad adalah anak dari pengusaha beken dari Soerabaja,
Ibrahim Baswedan. Terpilihnya Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan, seoraang
pebisnis di Soerabaja sebagai anggota Dewan diberitakan De Sumatra post, 28-12-1928.
Pada tahun 1928 adalah tahun yang sangat
bersemangat. Ini bermula pada tahun 1927 Parada Harahap, direktur NV Bintang
Timoer dan juga sekaligus sekretaris organisasi kebangsaan Sumatranen Bond
menggagas didirikannya supra organisasi yang disebut Permoefakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Kebangsaan Indonesia (diangkat PPPKI). Rapat yang
dihadiri pemimpin dari Kaoem Betawi, Bataksch Bond, Sumatranen Bond, Boedi
Oetomo, Pasoendan, Jong Islamiten Bond dan PNI (Perhimpunan Nasional Indonesia)
secara aklamasi mendaulat MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai
sekretaris.
Program pertama organisasi PPPKI ini adalah membangun gedung kantor PPPKI dan menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior) pada bulan Septermber 1928 yang diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior) bulan Oktober 1928. Untuk menggaungkan pergelaran dua kongres ini Parada Harahap membuat surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (untuk pemasaran Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk pemasaran Oost Java). Untuk edisi West Java sudah ada surat kabar Sinar Pasoendan yang dikelola oleh Parada Harahap. Setelah Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda ini berakhir surat kabar edisi Soerabaja mandiri bertransformasi menjadi surat kabar Soeara Oemoem yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Sebelumnya, ketua panitia Kongres PPPKI adalah Dr. Soetomo. Surat kabar edisi Semarang diduga kuat mandiri dan telag bertransformasi menjadi surat kabar Bahagia di Semarang.
Pada tahun 1929 salah satu keluarga Baswedan
pulang kampong. Ini dapat dilihat dari manifes kapal ms Chr. Huygens yang akan berangkat
dari Batavia menuju Amsterdam tanggal 29 Agustus 1929 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 19-08-1929). Di dalam manifes kapal ibi tercatat fam. AB Baswedan
en bidiende. Inisial AB diduga kuat adalah Aboebakar Baswedan. Mereka akan
turun di (pelabuhan) Suez (yang lalu kemudian dengan kapal lain ke Yaman).
Pada
tahun 1930 juga tercatat nama keluarga A Baswedan berangkat dari Batavia
tanggal 15 Maret dengan kapal ss Plaucius (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 12-03-1930). Inisial A Baswedan didiga adalah Achmad
Baswedan (anggota dewan). Sebab nama Ali Baswedan seminggu setelah
keberangkatan kapal ini dilaporkan tengah melakukan pertandingan catur di
Soerabaja. Nama Achmad Baswedan sebelumnya dicatat sebagai Mohammad Baswedan,
sedangkan Ali Baswedan dicatat sebagai Achmad Baswedan. Untuk menghilangkan
duplikasi di hadapan publik boleh jadi keluarga Baswedan melakukan penyesuaian
nama.
Sebagai pendatang, kerukunan diantara orang-orang
Arab di Soerabaja cukup baik. Populasi orang-orang Arab di Soerabaja juga cukup
banyak. Ini terlihat telah lama terbentuk komunitas orang Arab. Sebagaimana orang-orang Tionghoa, orang-orang
Arab juga memiliki pemimpin komunitas. Paling tidak eksistensi komunitas Arab
ini sudah terinformasikan pada tahun 1918 yang dipimpin oleh Bintalip (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 31-05-1918). Kekuatan
ekonomi da kekuatan politik orang Arab di Soerabaya dari waktu ke waktu semakin
meningkat.
Ketika
tahun 1918 sebanyak delapan orang Arab pendatang baru di Soerabaja ditangkap
lalu ditahan. Mereka ini didakwa karena tidak memiliki izin. Lalu segera
komunitas Arab yang dipimpin oleh Bintalip tersebut mengumpulkan sebanyak 24
orang kaya anggotanya dan kemudian meminta notaris hukum untuk menulis ke GG di
Batavia agar kedelapan imigran itu dibebaskan. Ini mengindikasikan komunitas
Arab di Soerabaja telah memiliki kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.
Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi sebab
mengapa orang Arab mulai berpartisipasi dalam kegiatan politik sebagai anggota
dewan kota (gemeenteraad) maupun dewan provinsi (provincialeraad). Pada waktu
itu dalam pemilihan anggota dewan tidak seperti sekarang (one one vote), tetapi
para pemilih ditentukan berdasarkan kriteria tingkat pendapatan tertentu. Oleh
karena yang masuk kategori para pemilih adalah orang Eropa, orang-orang
Tionghoa dan Arab yang berpendapatan tinggi cukup banyak jumlahnya plus para
pemimpin lokal seperti Bupati atau Patih. Hanya segelintir orang pribumi
profesional yang menjadi pemilih. Kekuatan ekonomi orang-orang Arab dengan
sendirinya telah meningkatkan potensi dan partisipasi politiknya.
Di
Surabaya, sebagaimana diberitakan koran-koran setempat, bahwa salah satu
anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama Koesmadi telah
berakhir masa jabatan untuk periode pertama.
Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya Koesmasi harus mengikuti
pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih aktif. Diberitakan di
koran-koran Surabaya, Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Nama Radjamin
Nasoetion muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari
terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan
Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan
satu lagi dari Tapanuli. Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon
datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon. Namun anehnya, hari
berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan merekomendasikan
dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan bahwa, Radjamin,
selain anggota PBI juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan terkemuka di Surabaya
dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan aspirasi rakyat di Dewan
Kota. PBI (Partai Bangsa Indonesia) adalah organisasi politik yang diprakarsai
oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Meski Koesmadi mengundurkan diri,
dan hanya tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal
10-03-1931 diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan
suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Pada tanggal 7-04-1931
Dewan melakukan sidang, dimana sidang ini merupakan sidang pertama yang diikuti
oleh Radjamin. Koesmadi tidak salah.
Dalam rapat dewan itu, Radjamin langsung melakukan gebrakan yang membuat
anggota dewan lainnya yang hampir semuanya orang Belanda ternganga. Radjamin
mengusulkan empat proposal—proposal yang harus diperjuangkan oleh Radjamin
untuk memenuhi aspirasi rakyat. Radjamin Nasution, kepala Bea dan Cukai di
Soerabaja ini menjadi anggota gemmeenteraaf terlama. Dr. Radjamin Nasution kelak
menjadi Wali Kota pertama Soerabaja yang berasal dari pribumi. Dr. Radjamin
Nasution dan Dr. Soetomo pada awal kuliaj di STOVIA (1906) adalah satu kelas.
Pada tahun 1931 untuk kali pertama di surat kabar
muncul nama Abdurrahman Baswedan di Soerabaja (lihat Soerabaijasch handelsblad,
05-12-1931). Disebutkan dalam daftar nama pengusaha yang pailit termasuk nama Abdulrachman
Baswedan, seorang pedagang yang tinggal di Soerabaja. Ini mengindikasikan bahwa
keluarga Baswedan tidak semuanya sukses dalam bisnis dan ada juga yang gagal.
Ibarat satu pohon tidak semua buahnya dapat dijual ke pasar, tetapi justru buah
yang tidak laku justru sangat bergnna untuk dijadikan bibit.
Soerabaijasch handelsblad, 05-12-1931 |
Pada tahun yang mana tahun 1931 bisnis Abdurrahman Baswedan dinyatakan
pailit, pada tahun ini pula di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution dan Dr. Soetomo
mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Tampaknya Abdurrahman Baswedan mulai menata
kembali bisnisnya dan boleh jadi sambil melirik partai yang baru dibentuk:
Partai Bangsa Indonesia. Pada tahun 1932 kembali satu lagi bisnis Abdurachman
Baswedan dinyatakan pailit (lihat De Indische courant, 07-05-1932). Disebutkan Abdurachman
Baswedan bertempat tinggal di Soerabaja dan Bangil.
.
.
Soerabaijasch handelsblad, 19-12-1931 |
.
Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926 |
.
Soerabaijasch handelsblad, 29-04-1932 |
.
Tampaknya Abdurrachman Baswedan tidak punya hoki
dalam bisnis. Apakah karena usianya masih muda? Atau apakah Abdurrachman
Baswedan lebih memiliki minat yang lebih kuat di luar bidang bisnis? Diantara
keluarga Baswedan hanya nama Ibrahim Baswedan yang cukup sukses. Selain pemilik
bisnis properti dan bisnis otomotif serta restoran, Ibrahim Baswedan juga mulai
merambah ke bisnis bioskop. Keluarga Baswedan juga mulai ada yang memiliki
pendidikan tinggi.
De
Indische courant, 24-12-1932: ‘Pembukaan bioskop Alhambra. Bioskop rakyat di
Kertopaten, yang memutar film bisu, pada tiga bulan terakhir ini telah diubah
menjadi bioskop film suara, yang secara resmi dibuka kemarin. Bioskop ini
sekarang diberi nama Bioskop Alharnbra. Banyak yang menggunakan undangan untuk
menghadiri acara pembukaan. Pemiliknya, Tuan Baswedan, menyambut para tamu di
pintu masuk gedung, tempat banyak hiasan bunga menghiasi. Bioskop Alhambra
memiliki perangkat film Klang; ruangan telah diperbaharui dengan baik. Bioskop
telah mengumumkan kemarin malam film perdana yang akan diputar adalah film yang
berkaitan dengan pekerjaan berisiko polisi di Amerika Serikat’.
Dalam
perkembangannya, Ibrahim Baswedan juga akan membuka bioskop modern di
Toendjoengan (lihat De Indische courant, 14-09-1933). Disebutkan saudara
laki-laki Ibrahim Baswedan, yang baru saja tiba dari Prancis, tempat ia
menyelesaikan studinya dan menjadi seorang arsitek, membuat desain untuk bioskop
baru, yang akan didekorasi sesuai dengan tuntutan konstruksi teater modern. Bioskop
baru akan, antara lain, berisi ruang untuk seribu kursi dan lobi, seluruhnya
terbuat dari kaca cermin, singkatnya, kita dapat diberitahu bahwa teater baru
akan menjadi satu-satunya, belum ditemukan di Jawa dan di seluruh Hinidia.
Rencana telah diajukan ke Gemeente untuk persetujuan dan direncanakan untuk
memulai pembangunan teater baru tahun ini.
Sukses Ibrahim Baswedan adalah satu hal,
kegagalan Baswedan yang lain adalah hal lain lagi. Aboebakar Awad Baswedan dan
kongsinya dan juga Salim bin Ali Mahfoed pada bulan Desember 1933 dinyatakan
pailit (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933).
Situasi
dan kondisi politik pada tahun 1933 sangat panas. Ir. Soekarno ditangkap (lagi)
dan kemudian disusul pers pribumi dibreidel (untuk sementara waktu). Pada bulan
November 1933 tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang yang dipimpin
oleh Parada Harahap. Dalam rombongan ini terdapat Abdullah Lubis (pemimpin
surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohamad Hatta yang baru pulang studi
dari Belanda. Rombongan ini sangat antusias disambut di Jepang. Parada Harahap
dijuluki pers Jepang sebagai The King of Java Press. Rombongan para revolusiner
ini ke Jepang sebagai reaksi terhadap pengadilan Ir. Soekarno di Bandoeng yang
rumornya akan diasingkan dan juga reaksi terhadap penangkapan terhadap Amir
Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin. Rombongan revolusioner ini ke Jepang
dalam rangka misi perdagangan yang bermuatan politik. Pada tanggal 14 Januari
1934 rombongan revolusioner tiba kembali dari Jepang di tanah air dan merapat di
pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja. Pada hari yang sama Ir. Soekarno
diberangkatkan ke pengasingan di Flores dari pelabuhan Tandjong Priok.
Rombongan di Soerabaja disambut oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution.
Beberapa waktu sebelumnya pembereidelan pers pribumi telah dicabut.
Kunjungan
Parada Harahap (dianggap) telah memprovokasi pers Belanda. Direktur NV Bintang
Hindia yang kini mengoperasikan tiga media, yang tertua adalah Bintang Timoer
menulis secara provokatif hasil kanjungan ke Jepang di surat kabar Bintang
Timoer. Surat kabar Sinar Pasoendan tanggal 10 lewat memberitakan bahwa
sekarang Parada [Harahap] dan Dr. Soetomo adalah target serangan pers putih
(pers Belanda) dan melampiaskan cemoohan yang hanya untuk mempermalukan
penduduk pribumi yang tidak menerima Parada [Harahap] dan yang lainnya diterima
dengan sangat baik di Jepang (lihat Haagsche courant, 24-03-1934). Lebih lanjut
disebutkan surat kabar Adil pada 8 Januari menganggap bahwa pers putih
(Belanda) dianggap sebagai keseluruhan harus (dipandang) seperti musuh yang
hanya mengejar kepentingannya sendiri dan bertentangan dengan kepentingan
rakyat. Surat kabar Adil juga memberi peringatan keras ke pers putih atas serangannya
kepada Dr. Soetomo yang dikaitkan-kaitan dengan urusan bank. Pewarta Deli juga
menentang kampanye pers Eropa melawan PBI [yang dipimpin oleh Dr. Soetomo].
Musuh pers pribumi tidak lagi hanya pemerintah
(polisi Belanda) tetapi juga pers Belanda. Perang terhadap pers Belanda sudah
dimulai Parada Harahap sejak 1927 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
08-11-1927). Kekhawatiran pemerintah dan pers Belanda terhadap pers pribumi
menjadi kenyataan pada tahun 1932. Lebih-lebih karena ditahannya Ir. Soekarno.
De
Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak berwenang
militer pada kenyataannya hampir seluruh media rakyat pribumi ditempatkan pada
daftar hitam, dan kini dilarang. Surat kabar dan majalah yang dilarang adalah
sebagai berikut: Persato'an Indonesia, Simpaj, Sedio Tomo, Aksi, Indonesia
Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar
Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sim
Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat,
Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean,
Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan
Tengah, Soeara Oemoem, Soeara Oemoem (edisi Java), Sipatahoenan, Medan Ra'jat,
dan Fikiran Ra'jat djeung pergeraken Ir. Soekarno. Seperti dapat dilihat,
termasuk kedua suratkabar Melayu yang pribumi dan Chineesch. Di antara majalah
yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan Siang Po, baik yang muncul
di Batavia, bahkan majalah Fikiran (anggota pengurus Dr Ratu Langi di Manado).
Majalah lainnya adalah organ nasionalis, semua jaringan media dapat dikatakan sebagai
arah revolusioner’.
Dunia Jurnalistik dan Dunia Politik: Abdurrachman Baswedan
Setelah diberlakukannya kembali pers pribumi dan
setelah kembalinya tujuh revolusioner Indonesia dari Jepang dan merapat di
Soerabaja pada tanggal 14 Januari 1934 banyak hal yang terjadi di bidang pers. Satu
yang penting adalah manajemen surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja terkesan
berwarna ‘internasional’ (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
02-02-1934). Disebutkan bahwa manajemen Soeara Oemoem kini ada di tangan dari
sebuah perusahaan ‘internasional’, karena terdiri dari orang Sumatra, seorang
Tionghoa, Chua Chee Liang dan seorang Arab, [Abdurrachman] Baswedan.
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 02-02-1934 |
Sementara sejumlah Minahasa keluar dari media nasionalis,
sebaliknya sejumlah Tionghoa dan Arab mulai berpartisipasi pada media
nasionalis. Dari kalangan Arab, Abdurrachman Baswedan dapat dikatakan yang
pertama. Tarik menarik diantara kalangan Minahasa dan Ambon kerap terjadi.
Kasus (penyaderaan) Sjaranamual boleh dikatakan sebagai kasus terbaru.
Pada tahun 1928 ketika dilakukan Kongres PPPKI,
kalangan Minahasa dan Ambon tidak mengirim delegasinya dan disesalkan oleh
Sekretaris PPPKI, Parada Harahap. Namun untuk kasus Boedi Oetomo sedikit
berbeda meski Boedi Oetomo tidak mengirim delegasi tetapi Dr. Soetomo (ketua
panitia Kongres) dianggap sudah terwakili di dalam Kongres PPPKI 1928 (tentu
saja tidak/belum ada delegasi Tionghoa maupun Arab). Diantara para pemimpin
pribumi (plus Tionghoa dan Arab) masih mendua melihat Belanda.
Pada 1930 Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia mendirikan persatuan orang-orang Kristen dari kalangan pribumi dengan
memisahkan diri dari CSP (Belanda) dengan nama Persatuan Masehi Indonesia. Dari
pihak Belanda sempat kaget dan meminta Soetan Goenoeng Moelia membatalkannya.
Soetan Goenoeng Moelia menjelaskan secara diplomatis bahwa pertimbangannya
karena orang Kristen pribumi sudah sangat banyak dan kami tidak ingin dipimpin
oleh minoritas Belanda. Sekali lagi pihak Belanda mengusulkan agar niat itu ditarik
kembali, tetapi Soetan Goenoeng Moelia tidak bersedia. Soetan Goenoeng Moelia
tetap bersikeras dan lalu meminta Laoh, anggota Volksraad sebagai ketua dan Emil
Harahap sebagai sekretaris. Lalu kemudian muncul lagi permintaan, yang anehnya
dari kalangan Ambon meminta inisial organisasi diubah karena mirip PNI,
sedangkan yang dari kalangan Belanda (organisasi induk) meminta kata
'Indonesia' dihilangkan karena menurut mereka pemerintah penggunaan nama
Indonesia belum dibenarkan. Perminntaan ini juga ditolak Soetan Goenoeng Moelia
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-12-1930).
Sejak dibentuknya PPPKI pada tahun 1927, bibit
persatuan terus tumbuh dan upaya kesatuan terus dikembangkan. Para pemuda sudah
bersatu pada tahun 1928 (Kongres Pemuda 1928) dan misi kesatuan telah
dinyatakan: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,, Indonesia. Partai-partai yang
mengusung Indonesia semakin banyak paling tidak telah didirikan Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Ketika Ir. Soekarno
diasingkan ke Flores, PNI dibubarkan tahun 1934 lalu dibentuk Partai Indonesia
dan partai Pendidkan Nasional Indonesia. Ketika organisasi kedaerahan sudah
mengusung kesatuan Indonesia, Boedi Oetomo sendiri masih terbelenggu dengan
platformnya sendiri sebagai organisasi kedaerahan (belum mengusung kesatuan
Indonesia). Baru-baru ini orang Indo-Arab mulai berkongres. Indo-Arab merujuk
pada orang Arab yang lahir di Hindia.
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 27-09-1934 |
Orang-orang Arab di Soerabaja lambat laun
profesinya semakin beragam. Keluarga Baswedan tidak lagi hanya sebagai
pebisnis, tetapi juga sudah ada yang menjadi jurnalis dan arsitek. Di bidang
bisnis, diantara keluarga Baswedan nama Ibrahim Baswedan masih dianggap sebagai
pebisnis terkenal. Ibrahim Baswedan sudah memiliki bisnis di bidanh tekstil
(lihat Soerabaijasch handelsblad, 15-01-1936). Namun seperti apa sikap politik
orang-oramg Arab belum jelas. Tidak ada informasi yang diketahui dari kongres
Indo-Arab yang dilakukan di Semarang pada bulan Oktober 1934.
Yang
mengalami kemajuan adalah Boedi Oetomo. Setelah kongres Boedi Oetomo yang pertama
di Jogjakarta bulan Oktober 1908 hingga ini masih kukuh sebagai organisasi kedaerahan
(dan belum mendukung kesatuan Indonesia). Baru pada tahun 1935 Boedi Oetomo,
atas desakan Dr. Soetomo (PBI/Partai Bangsa Indonesia) mencair yakni Boedi
Oetomo melakukan fusi dengan PBI dengan membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra).
Sebagai ketua Parindra terpilih Dr. Soetomo. Ini berarti Bodi Oetomo yang sejatinya
didirikan oleh Soetomo dkk pada bulan Mei 1908 kini, di tangan Dr. Soetomo
kembali ke kittah (persatuan dan kesatuan nasional). Selain Dr. Soetomo, dua
tokoh lainnya dibelakang fusi ini adalah Dr. Sardjito dan Dr. Soepomo. Ketiga
orang ini sudah sejak lama mempengaruhi Boedi Oetomo untuk kembali ke jalan
yang benar setelah Ir. Soekarno gagal menghimbau pada tahun 1927.
Akhirnya muncul berita yang menyatakan sikap politik
orang-orang Arab (lihat De Indische courant, 11-02-1936). Setelah kongres di
Semarang, orang-orang Arab mengambil sikap politik mengusung persatuan dan
kesatuan dengan mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Persatoean
Arab Indonesia (PIA). Namun bagaimana dengan Tionghoa, Minahasa dan Ambon?
De Indische courant, 11-02-1936 |
Orang-orang Arab tidak hanya orang tua saja yang
dipersatukan untuk mendukung kesatuan Indonesia, juga di kalangan pemuda
kemudian terbentuk organisasi pemudanya (lihat De Indische courant, 06-07-1936). Disebutkan
bahwa tadi malam di gedung Moeratoel Ichsan pemuda Arab melakukan pertemuan
yang diprakarsai oleh Hoesein Baswedan. Nama organisasinya adalah Asjababoel
Arabia yang artinya Perhimpoenan Pemuda Arab. Dalam susunan pengurus terdiri
dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan dua orang komisaris. Sebagai
ketua adalah Hoesein Baswedan.
Populasi
orang Arab di Oost Java khususnya di Kota Soerabaja sangatlah banyak. Marga
Baswedan hanyalah sebagian kecil saja. Dikatakan populasi orang Arab di
Soerabaja karena pemimpin komunitasnya berpangkat Majoor. Pangkat Majoor hanya
terdapat di empat kota: Majoor China di Medan, Majoor China di Batavia, Major
China di Semarang dan Majoor China di Soerabaja. Hanya ada satu Majoor Arab (di
Soerabaja). Majoor Arab di Soerabaja adalah Sech Achmad bin Abdullah Bodsaid
(lihat De Indische courant, 02-10-1936) Majoor Arab ini juga memimpin komunitas
Bangladesh di Soerabaja. Di kota-kota lain pangkat tertinggi hanya Kaptein
China (antara lain di Padang, Bandoeng dan Buitenzorg). Majoor kira-kira setara
dengan Bupati untuk golongan pribumi. Di Kota Semarang pimpinan komunitas Arab
hanya setingkat kaptein dan di Kota Pasoeroan komunitas Arab dipimpin oleh yang
berpangkat letnan. Dalam hal ini di Kota Soerabaja, Majoor membawahi satu atau
lebih Kaptein; dan Kaptein membawahi satu atau lebih Letnan.
Pada tahun 1937 kembali PAI mengadakan kongres
(lihat De Indische courant, 30-03-1937). Kongres ini merupakan kongres kedua
setelah sebelumnya tahun 1936 dilakukan di Pakalongan. Kongres ini diadakan
pada hari Minggu di Stadstuintheater (bioskop milik Ibrahim Baswedan) dimana
sekitar 800 orang hadir. Kongres ini dibuka oleh AR Baswedan yag kemudian
memberi kesempatan kepada Ir. Alatas (anggota Volksraad) untuk naik ke podium.
De Indische courant, 30-03-1937 |
Hollandsch-Arabische
School merupakan tipologi sekolah yang telah dikimbangkan oleh Pemerintah sejak
1914 bagi kalangan pribumi yang disebut Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang
kemudian diadopsi untuk kalangan orang Tionghoa (HCS). Untuk kalangan orang
Eropa/Belanda sendiri sudah sejak lama eksis sekolah ELS (dimana sebelum HIS
dibuka, siswa pribumi, Arab dan Tionghoa bisa mendaftar di ELS).
Kegiatan kepemudaan di kalangan orang Arab
melalui PAI tetap eksis. Kegiatan yang dilakukan paling tidak dilakukan
pertandingan catur antara tim Pemoeda Moehammadijah dan pemuda PAI (lihat De Indische courant, 27-04-1937). Dalam
pertandingan beregu ini yang dilangsungkan di clubhouse Pemoeda Moehammadijah
ini tim pemuda PAI kalah dengan skor 21/2 vs 71.2. Dalam tim pemuda PAI
terdapat nama Salim Baswedan.
De Indische courant, 27-04-1937 |
Dalam perkembangannya diketahui kantor pengurus (Het
hoofdbestuur) PAI yang sempat dipindahkan dari Batavia ke Semarang (hasil
kongres Soerabaja) kembali dipindahkan ke Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 04-11-1937). Tidak disebut secara jelas mengapa kantor
pusat kembali ke Batavia. Padahal ketuanya sendiri AR Baswedan beralamat di
Semarang. Akibat perpindahan ini terjadi sedikit perubahan dalam struktur
pengurus.
Setelah
mengalami perubahan, susunan pengurus PAI saat ini terdiri sebagai berikut:
Ketua ARA Baswedan (Semarang), Wakil ketua HMA Hoesein Alatas (Batavia), Sekretaris
A Bajasut (Batavia) dan Bendahara Abd Assegaf (Batavia). Dua anggota pengurus
lainnya adalah Said Bahrisj (Soerabaya) dan Ar. Alaydroes (Soerabaja.
Sekretariat organisasi beralamat di Petjenongan 48, Batavia-Centrum, sedangkan
alamat pribadi ketua (AR Baswedan) adalah: Komedistraat 32, Semarang.
AR Baswedan sudah beberapa tahun pindah dari
Soerabaja ke Semarang. Kepindahan ini terkait dengan perpindahan AR Baswedan sebagai
editor surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja (sejak 1933) dan menjadi editor
surat kabar Matahari di Semarang (1934). Surat kabar Matahari adalah surat
kabar yang diterbitkan baru. Itulah sebab dalam kongres kedua tahun 1936 kantor
pusat PAI dipindahkan dari Batavia ke Semarang. Sebab AR Baswedan sudah sejak
1934 berada di Semarang hingga kini (1937).
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 24-03-1934 |
De Indische courant, 29-12-1933 |
Setelah kongres Parsatoean Arab Indonesia (PAI)
yang diadakan di Soerabaja tahun 1937 ini, namanya telah berubah menjadi Partai
Arab Indonesia yang disingkat PAI (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
04-11-1937). Perubuhan platform organisasi itulah yang diduga sebab mengapa
kantor pusat PAI kembali dipindahkan ke Batavia. Organisasi wajah baru yang
berubah status dari paguyuban (Vereeniging) menjadi organisasi partai (Partij)
yang akan memperjuangkan tiga mosi yang dihasilkan pada kongres di Soerabaja. Salah
satu dari tiga mosi itu adalah perjuangan untuk mendirikan sekolah (Hollandsch-Arabische
School di (pulau) Jawa. Sedangkan mosi utama lainnya adalah memisahkan Arab
dari Tionghoa dalam kelompok pemilih(an). Dengan dibentuknya Partai PAI ini
semua mosi ini akan lebih mudah tercapai. Pembentukan Partai PAI pada dasarnya
mengikuti pola pembentukan PNI (di era Ir. Soekarno). Ketua Partai PAI (tetap)
dijalankan oleh Abddoerrachman Baswedan (yang doskong oleh Parada Harahap dan
Dr. Soetomo).
De Sumatra post, 14-01-1922 |
Het nieuws van den dag voor Ned-Indie, 27-11-1902 |
Pihak pemerintah terkesan mulai was-was haluan
politik orang-orang Arab yang kini Persatoean Arab Indonesia menjadi sebuah
partai. Orang Arab menjadi lebih dekat dan semakin menyatu dengan pribumi baik
di kalangan elit maupun kalangan menengah bawah. Pemuda Arab sudah tampak lebih
akrab dengan para pemuda Moehammadijah. Ketua Partai PAI Abdoerachman Baswedan
semakin mengkristal di kalangan aktivis nasionalis. Sikap curiga pemerintah dan
orang-orang Belanda terhadap orang (keturunan) Arab ketika baru-baru ini pabrik
tekstil yang dimiliki orang Arab menurunkan upah (lihat De Indische courant, 28-12-1937).
Aparat segera bergegas menyelidik. Sebab ada diduga bermotif politik
untuk memancing keresahan di masyarakat yang pada gilirannya menyudutkan
pemerintah karena banyak banyak penduduk/pekerja berhenti bekerja di satu susu dan
di sisi lain penerimaan pajak pemerintah berkurang.
Pada
hari Jumat siang administratr pabrik tekstil milik Ibrahim Baswedan di Bagong
Djoewingan mengumumkan upah harian akan diturunkan dari 15 sen menjadi 10 sen
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-12-1937). Disebutkan Sekitar
150 hingga 200 pria dan wanita menyatakan bahwa mereka tidak mungkin bekerja
dengan uang segitu sehari dan karenanya akan terpaksa mencari pekerjaan lain.
Menurut manajer pabrik bahwa
beberapa lusin laki-laki dan perempuan berubah pikiran pada hari-hari
berikutnya dan kembali bekerja. Akan tetapi menurut manajer/kepala pabrik
menyatakan bahwa hanya akan mungkin untuk terus bekerja jika semua mau
melanjutkan pekerjaan dengan upah yang dikurangi tersebut. Lebih jauh manajer
mengatakan bahwa tidak semua karyawan berhenti bekerja. Sekitar 400 orang masih
bersedia bekerja di pabrik yang mana sekitar setengah dari jumlah mereka ini
tidak ingin terus bekerja dengan tingkat upah tersebut.
Asisten-wedana Djabakotta dan sejumlah aparatur
dari Badan Intelijen Politik dikirim untuk melakukan penyelidikan. Namun dari
hasil penyelidikan yang dibuat mereka hanya berkesimpulan hanya masalah konflik
upah dan tidak memiliki dasar politik. Tim penyelidik ini yakin bahwa tidak
mungkin membayar upah lebih tinggi karena pasar tekstil lagi mengalami kelesuan
sementara stok (inventori) di gudang masih sangat banyak. Tim ini juga yakin
bahwa pabrik-pabrik lain juga akan mengalami hal yang sama. Disebutkan bahwa
para pekerja ini tidak hanya penduduk Soerabaja dan sekitar tetapi beberapa pekerja
berasal dari tempat lain, termasuk Sidoardjo, Probolinggo dan Pasoeroean dan percaya
bahwa mereka tidak dapat terus bekerja untuk upah baru yang ditawarkan. Inspektorat
Tenaga Kerja (Provinsi Jawa Timur) sudah mendapat laporan penyelidikan ini
namun menurutnya masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
Pobia
(pemerintah) Belanda ini juga pernah terjadi pada tahun 1934. Ketika tujuh
revolusioner Indonesia yang dipimpin oleh Parada Harahap berangkat ke Jepang
menjadi heboh tidak hanya di Hindia tetapi juga di Belanda. Sepulang dari
Jepang rombongan revolusioner mendarat di Soerabaja tanggal 14 Januari 1934 (untuk
wait en see). Seetelah seminggu di Soerabaja di bawah ‘kawalan’ Dr. Soetomo dan
Dr. Radjamin Nasution, tujuh revolusioner itu kembali ke kota masing-masing. Parada
Harahap dan Mohamad Hatta kembali ke Batavia. Namun tidak lama kemudian Parada
Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap dan diadili. Di pengadilan dihadirkan saksi
(konsulta Jepang di Batavia). Atas kesaksian konsulat, bagaimana kunjungan
mereka ke Jepang, akhirnya Parada Harahap dan Mohamad Hatta dibebaskan.
Pemerintah tentu saja jelas mengetahui siapa Ibrahim Baswedan pemilik
pabrik tekstil di Bagoeng Soerabaja ini. Pobia Belanda semakin menjadi-jadi
karena orang-orang Arab telah besatu dan telah memiliki partai. Ibrahim
Baswedan adalah sepupu Abdoerachman Baswedan. Di dewan kota (gemeenteraad) juga
ada tokoh Indonesia sebagai anggota dewan senior (wethouder) Dr. Radjamin Nasution. Para intel dan polisi
Belanda beranggapan bahwa kekuatan ekonomi dan kekuatan politik dapat dimainkan
secara bersamaan. Namun yang terus menjadi momok bagi polisi dan intel Belanda
adalah para aktivis politik revolusioner yang lihat seperti Soekarno, Parada
Harahap dan Mohamad Hatta (mereka bertiga ini sudah teruji). Parada Harahap
yang pernah mengelola surat kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar
Merdeka (1919-1921) dan kemudian di breidel, dan ketika hijrah ke Batavia juga
Parada Harahap terus diawasi dan dijerat setiap saat. Satu kisah pengadilan
yang sengaja menjerat Parada Harahap namun dapat diatasi Parada Harahap dengan
enteng dan mampu berkelit dengan jawaban jitu seperti berikut.
De
Sumatra post, 06-01-1931: ‘Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di
meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya
memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap
mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret.
Ketika dituduhkan kepada Parada Harahap
bahwa ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya
(sumber penerimaan). Parada menjawab: ‘Bagaimana saya bertanggungjawab?’.
Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’. ‘Iya betul, tapi saya hanya
bertanggungjawab untuk bagian jurnalistik’, jawab Parada Harahap enteng lalu
menandaskan, ‘bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan’. Polisi terus
mencecar: ‘Ah’, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda
muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?’.
Parada Harahap spontan menjawab: ‘Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.
Pada tahun 1938 akan diadakan kongres PAI yang
ketiga (lihat Soerabaijasch handelsblad, 02-02-1938). Disebutkan kongres ini diadakan di Semarang dari tanggal 15
hingga 18 April di Semarawg. Sehubungan dengan kongres ini ada desas-desus
bahwa ketua Dewan Pusat, ARA Baswedan akan mengundurkan diri tetaipi ditentang
oleh Dewan Pusat.
Tidak
diketahui secara jelas mengapa Abdoerachman Baswedan ingin mengundurkan diri
sebagai ketua PAI. Yang mulai jelas adalah mengapa terjadi pengurangan upah di
pabrik tekstil di Soerabaja. Ternyata tidak hanya pabrik Baswedan yang kewalahan dengan stok di gudang, tetapi
juga ternyata pabrik lainnya. Penyebab utama sudah mulai dilontasrkan oleh
pengusaha di Soerabaja karena kebijakan impor yang mengabaikan eksistensi pabrik
tenun (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-08-1938). Arus impor telah menahan
laju penjualan pabrik tekstil. Apakah para pabrikan sudah mulai bersuara
sehubungan dengan semakin menguatnya partai PAI? Lantas apakah masalah pabrikan
ini terkait dengan rumor mundurnya AR Baswedan? Karena merasa gagal menyuarakan
keluhan pengusaha tekstil sehingga harus merugikan pengusaha tekstil dan menyebabkan
banyak pekerja kehilangan pekerjaan?
Setelah
protes para pabrikan tekstil di Soerabaja, tidak lama kemudian diberitakan
bahwa semua perngusaha tekstil di Soerabaja telah bersatu dengan membentuk
asosiasi Nederlandsch Indische Vereeniging van Textielfabrikanten pada tanggal
1 Agustus 1938 (lihat De Indische courant, 19-08-1938). Pada pertemuan kedua
tanggal 15 Agustus terbentuk susunan pengurus sementara, sebagai berikut: Tan
Tjiang Ling (directeur der NV Ned.-Ind. Textielfabriek ‘Kasri) sebagai ketua; CH
Caa1s (directeur der NV Taxtiel-Industrie ‘Java’) sebagai wakil ketua; Brahim Baswedan
(directeur der Bontwèverlj ‘Bagong Djoewingan) sebagai kommissaris; Alsaldi bin
Awad Martak (directeur der Textielfabriek ‘Martak) sebagai kommissaris; Mr PG
Jansen (secretaris der verg. ‘Ned.-Ind. Fabrikaat’) sebagai
sekretaris-bendahara (adviseerende stem).
Abdoerrachman Baswedan jelas tidak mudah untuk
mengudurkan diri, para pengurus pusat ingin tetap sebagai ketua. Permintaan
para pengurus ini dapat dipahami, tidak hanya karena Abdoerrachman Baswedan
sebagai pendiri, tetapi yang paling utama adalah hanya Abdoerrachman Baswedan
yang memiliki kedekatan khusus dengan para revolusioner Indonesia. Abdoerrachman
Baswedan adalah ‘hub’ antara orang Arab dengan pribumi ketika arus Indonesiasi
para Indo ingin melebur dengan (pribumi) Indonesia.
Dalam
minggu-minggu terakhir pembicaraan tentang Indo tengah marak terutama di
koran-koran berbahasa Melayu. Adanya keinginan orang-orang Indo (Belanda,
Tionghoa dan Arab yang lahir di Hindia) ingin lebur dengan orang (diakui
sebagai) Indonesia karena alasan mereka lahir di Hindia. Editorial Pewarta Deli
menggarisbawahi keinginan melebur itu harus sepunuhnya tidak sekadar
bentuk-bentuk kerjasama dengan pribumi tetapi kenyataannya terpisa. Penduduk pribumi
harus memberi kepercayaan, sementara orang Indo harus menjelaskan sendiri bahwa
solusi untuk masalah orang Indo umumnya ada di tangan mereka sendiri (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-10-1938). EditEditorial surat
kabar milik Parada Harahap Tjaja Timoer (suskses surat kabar Bintang Timoer) sebagaimana
dikutip Soerabaijasch handelsblad, 07-10-1938 menyatakan keinginan itu
sesungguhnya sudah sendirinya terlaksana, Sudah begitu dekat Indo Eropa/Belanda,
Indo Arab dan Indo-Tionghoa dengan pribumi, tetapi harus orang Indo sendiri
yang bisa menjelaskan. Menurut pendapat kami, titik awal terbaik yang bisa
dihormati oleh orang Indonesia adalah sikap wait en see. Perlu diingat bahwa pemerintah
mengelompokkan pendudukan sebagai orang Belanda, orang Asing dan orang pribumi.
Keinginan melebur khususnya Indo-Eropa.
bahwa masalah itu bukan lagi masalah bagi orang Indonesia, tetapi bahwa itu
adalah masalah Indo-Belanda dan Belanda yang harus diselesaikan! Sebab fakta
bahwa di antara anggota IEV (Indo Eropah) di Makassar, tetap muncul suara yang
menyatakan tidak akan lebih disukai untuk menyamakan status orang Indo-Eropa
dengan orang pribumi bagi sebagian besar dari mereka,
Di Kota Soerabaja semuanya (yang berhaluan
Indonesia) telah menyatu yang notabene dapat membahayakan sisi (eksistensi)
Belanda. Eksistensi Belanda ini semakin tergerogoti sehubungan dengan semakin
derasnya keinginan para Indo (Belanda) untuk diakui sebagai Indonesia seperti
yang telah dilakukan oleh orang Arab.
Organisasi-organisasi
para Indo sudah terbentuk. Orang Arab menyatakan dirinya sebagai Arab-Indonesia
(PAI), demikian juga Tionghoa-Indonesia (Persatoean Tionghoa Indonesia) dan Indo-Eropa
(IEV). Organisasi para Indo haruslah dibedakan dengan konsep NIP pada era
Tjipto Mangoenkoesoemo.
Sjoeib
Proehoeman diberitakan lulus STOVIA tahun 1917 (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 13-12-1917). Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Stovia
sama-sama lulus tahun 1912. Setelah sempat berdinas di Batavia, pada tahun 1919
Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post,
26-06-1919). Ini seakan kilas balik. Pada tahun 1906 ayah Dr. Sjoeib Proehoeman,
dokter hewan Si Badorang gelar Radja Proehoeman, lulusan kursus kedokteran di
Buitenzorg 1886, setelah berdinas di berbagai tempat, ditempatkan di Padang
Sidempoean. Pada tahun 1907 mengantar Sorip Tagor ke Buitenzorg untuk berkuliah
sehubungan dengan pembukaan sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool). Lalu
ketika Sjoeib Proehoeman diterima di STOVIA pada tahun 1910 giliran Sorip Tagor
yang membawa anak dokter Radja Proehoeman untuk studi ke Batavia. Pada masa itu
mereka ini merantau ke Jawa masih belia, lulusan sekolah dasar Eropa (ELS)
karena itu selalu ada yang menemani. Beberapa tahun kemudian Dr. Sjoeib
Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (Bataviaasch
nieuwsblad, 31-05-1926). Sjoeib Proehoeman dinyatakan lulus dokter (Algemeen
Handelsblad, 13-11-1929). Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang ke tanah air,
tetapi berupaya mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Upaya Sjoeib
Proehoeman tidak sia-sia lalu kemudian dinyatakan berhak mendapatkan gelar
doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de
ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’
(Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930).
Dr.
Sjoeib Proehoeman, Ph.D telah menambah daftar orang terpelajar asal Afdeeling
Padang Sidempoean (Mandailing er Angkola) yang meraih gelar Ph.D. Sebelumnya,
Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe meraih gelar
doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi
berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengon en het
Karoland’. Setelah itu Achmad Mochtar lahir di Bondjol meraih gelar doktor di
bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927 dengan desertasi
berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Lalu kemudian
menyusul Ida Loemongga lahir di Padang meraih gelar doktor di bidang kedokteran
di Universiteit Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose
van aangeboren hartgebreken’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin Pohan lahir
di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Utrecht
1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en behandeling’, Tahun
berikutnya Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang
Sidempoean meraih gelar doktor di bidang filsafat di Universiteit Leiden 1933
engan desertasi berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'.
Setelah
meraih Ph.D, Sjoeib Proehoeman kembali ke kantor pusat di Batavia (Departemen
Kesehatan) dan ditempatkan di rumah sakit pusat di Batavia. Namun tidak lama
kemudian, Dr. Sjoeib Proehoeman dipromosikan sebagai dokter pemerintah ke
kantor regional (kepala dinas kesehatan) di Sibolga (De Indische courant,
05-02-1931). Dr. Sjoeib Proehoeman adalah pejabat pribumi tertinggi di Sibolga,
ibukota Residentie Tapanoeli. Dr. Sjoeib Proehoeman tidak hanya sebagai kepala
dinas kesehatan tetapi juga difungsikan sebagai dokter medis di Sibolga
(Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1932). Sementara itu di Batavia diumumkan bahwa
Dr. Sjoeib Proehoeman termasuk dari enam dokter yang dipromisikan sebagai
dokter kelas satu di Hindia Belanda (De Sumatra post, 03-11-1933). Dr. Sjoeib
Proehoeman, Ph.D sebagai kepala dinas kesehatan regional di Residentie
Tapanoeli merancang desain baru dalam pengendalian penyakit tuberkulosis di
Residentie Tapanoeli. Karena dianggap
sukses mendesain sistem pengendalian penyakit malaria dan penyakit tuberkulosis
di Residentie Tapanoeli, sukses Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D ini kemudian
menjadi perhatian pemerintah pusat dan menugaskan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D
untuk melakukan hal yang sama di Riouw (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
13-06-1936). Dr. Sjoeib Proehoeman menggantikan Dr. Gremmee, Ph.D (De Sumatra
post, 01-07-1936). Setelah sukses di Residentie Riaou, Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D dipindahkan ke wilayah endemik tubercolous di Oost Java (Bataviaasch
nieuwsblad, 26-10-1938).
Menurut laporan awal yang diterima dari komite
sebelumnya malaria dan TBC telah banyak mengakibatkan korban kematian
(Soerabaijasch handelsblad, 04-04-1940). Kasus kematian tidak hanya pribumi
tetapi juga Eropa, Tionghoa dan Arab. Oleh karena itulah dukungan swasta (perusahaan-perusahaan
perdagangan dan perkebunan) sangat mendukung kehadiran Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D juga. Kini tanggungjawab besar tentang permasalahan kesehatan serupa kembali
berada di pundak Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (yang memang memiliki pengalaman
untuk dua jenis penyakit ini).
Pada
tahun 1941 kembali kedatangan pendukung Indonesia. Dia adalah seorang apoteker pribumi
yang baru lulus di Batavia. Sekolah apoteker di Batavia dibuka kali pertama
tahun 1938 (yang terdiri dari siswa Belanda, Tionghoa dan pribumi). Salah satu
lulusan kursus tiga tahun ini adalah Ismail Harahap dan ditempatkan di Kota
Soerabaja. Apoteker Ismail Harahap akan bersinergi dengan tugas-tugas Dr.
Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Dokter dan apoteker ini tentu saja sangat disambut
antusias oleh anggota dewan kota senior (Wethouder) Soerabaja, Dr. Radjamin
Nasution. Kebetulan mereka berasal dari kampong yang sama: Padang Sidempoean. Ismail
Harahap kelak lebih dikenal sebagai ayah dari Andalas Harahap gelar Datoe Oloan
yang kini lebih dikenal sebagai pionir musik rock terkenal Indonesia di
Soerabaja: UCOK AKA (singkatan Apotik Kaliasin).
Pada tahun 1941 dan 1942 adalah tahun-tahun yang
sangat mencekam. Perang dunia tengah berlangsung dan hawanya sudah terasa di
Hindia Belanda khususnya di Jawa, lebih-lebih di Soerabaja sehubungan dengan invasi
(peududukan) militer Jepang. Untuk mengantisipasi situasi yang tidak menentu,
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai mempersiapkan tindakan pencegahan atau
mitigasi (Soerabaijasch handelsblad, 27-01-1942). Dr. Sjoeib Proehoeman,
sebagai dokter kota, mulai mengambil inisiatif dengan melakukan penggalangan
dana masyarakat untuk pembentukan rumah sakit-rumah sakit darurat yang disebar
di berbagai titik di seluruh kota. Sejumlah gudang yang tidak terpakai disulap
menjadi rumah sakit darurat.
Para Pahlawan Soerabaja |
Antusiame warga kota Soerabaya dalam
mengantisipasi perang ini besar dugaan beritanya sudah tersebar di dalam kota begitu
ganasnya serangan militer Jepang di tempat lain. Berita itu dikutip dari surat
dari anak Radjamin Nasution dari Tarempa, Riaouw. Anak Radjamin Nasution ini seorang
dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong
Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar,
karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit
di Surabaya mempublikasikan isi surat tersebut sebagaimana dikutip oleh koran
De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.
Tandjong Pinang, 22-12-194l.
Dear
all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup
dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa
yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang.
Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami
makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami
dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke
gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam
waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka,
ketika kami menyadari masih hidup.
Hari
Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa
pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri
harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang
datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit
controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat,
tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di
Tarempa.
Kami
mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus
dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan
sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong
Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia
tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya
menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya
berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga
saya bisa melihat Anda lagi segera.
Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman
di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan
bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa sangat
dekat dari Singapura. Akhirnya serangan militer Jepang ini sampai ke Soerabaja.
Pada saat serangan pertama pemboman yang dilakukan militer Jepang di Soerabaja berada
di area Kaliasin (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-02-1942).
Area
Kaliasin adalah tempat tinggal apoteker muda Ismail Harahap. Disebutkan dalam serangan pertama di Kali Asin
ini terdapat 14 tewas (empat orang Eropa/Belanda) dan sebanyak 51 orang
terluka. Beberapa bulan kemudian Juli 1942 Ismail Harahap menikah di Soerabaja.
Anak mereka lahir 25 Mei 1943 yang diberi nama Andalas Harahap gelar Datoe
Oloan alias UCOK AKA (Anak Kaliasin).
Abdurrachman Baswedan, Radjamin Nasution, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Soetan Geoenoeng Moelia
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pemilik
portofolio tertinggi di Kota Soerabaja adalah Dr. Radjamin Nasution. Dua
sahabatnya telah tiada: WR Supratman meninggal dunia pada tanggal 30 Mei 1938
dan Dr. Soetomo meninggal tanggal 17 Agustus 1938. Pimpinan militer Jepang
mengangkat Dr Radjamin Nasution sebagai Wakil Wali Kota Soerabaja. Untuk posisi
wali kota sendiri dipegang oleh pimpinan militer Jepang di Soerabaja.
Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1942 |
Sejak pendudukan Jepang tidak pernah terdengar
lagi nama Baswedan. Pabrik tekstil milik pengusaha (Ibrahim) Baswedan juga
tidak pernah terdengar. Pabrik tekstil ini tidak beroperasi lagi. Selama
pendudukan militer Jepang, orang-orang Eropa/Belanda diinternir dalam kamp-kamp
di berbagai tempat, sementara orang-orang pribumi diberi kebebasan penuh,
sedangkan orang-orang (keturunan) Tionghoa dan Arab agak dibatasi.
Sebagaimana
yang dijanjikan oleh Jepang, pada waktunya Indonesia akan mendapatkan
kemerdekaannya sendiri. Dalam hubungan ini dibentuk suatu badan yang
menyiapkannya yang disebut BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan). Badan ini diresmikan pada tanggal 29 April 1945. Dua diantara
anggota BPUPKI ini adalah Parada Harahap dan Abdoerrachman Baswedan. Tentu saja
di dalamnya termasuk tokoh-tokoh revolusioner lainnya seperti Soekarno dan
Mohamad Hatta. Badan ini kemudian dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 dan
kemudian dibentuk suatu komite yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Panitia ini terdiri dari: 21 orang yang dapat dikatakan sangat menguasai
bidangnya. Dalam daftar ini nama Parada Harahap dan Abdoerrachman Baswedan
tidak ada lagi. Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta menjadi ketua dan wakil.
Dalam daftar ini terdapat nama baru yakni Mr. Abdul Abbas Siregar.
Seperti
ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942, pada tanggal
14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Hasil-hasil pekerjaan PPKI yang
sudah mulai final, pada kesempatan inilah para pemuda revolusioner mendesak
Soekarno dan Mohamad Hatta untuk memproklamasikan kemerdrkaan Indonesia.
Jadilah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Para interniran
Eropa/Belanda masih di kamp-kamp sedangkan militer Jepang dalam posisi wait en
see. Untuk tugas pelucutan senjata militer dan evakuasinya akan dilakukan
Sekutu/Inggris dan juga untuk melakukan pembebasan dan evakuasi para
interniran. Namun dalam kesempatan ini dimanfaatkan Belanda/NICA membonceng
Sekutu/Inggris masuk ke dalam wilayah Indonesia. Arus Belanda yang semakin kuat
tampaknya Sekutu/Inggris awalnya tutup mata lalu tidak berkuasa. Pemerintah
Belada/NICA semakin menguat, perang melawan Inggris berlanjut perang melawan
Belanda. Pemerintah Belanda/NICA akhirnya berhasil menguasai sebagain wilayah
Indonesia.
Nama Baswedan kembali muncul. Ini sehubungan
dengan adanya upaya Belanda/NICA mengaktifkan kembali pabrik tekstik (lihat Nieuwe
courant, 01-07-1946). Pemerintah Belanda/NICA ingin menghidupkan kembali empat
pabrik tekstil yang ada di Soerabaya yang dibangun sebelum perang. Dua diantara
pabrik tekstil itu adalah milik (keluarga) Arab yakni (keluarga) Baswedan dan (keluarga)
Martak. Tujuannya untuk meningkatkan produksi dan untuk menyediakan lapangan
kerja bagi penduduk. Sementara itu di wilayah RI yang beribu kota di Jogjakarta
kabinet dipimpin oleh Soetan Sjahrir.
Sejak
Januari 1946 ibu kota RI telah dipindahkan dari Djakarta/Batavia ke Jogjakarta.
Ini sehubungan dengan ketidakamanan di Djakarta. Pasukan Sekutu/Inggris telah
meratakan jalan bagi pasukan Belanda/NICA untuk membentuk pemerintahan (kembali)
di Indonesia. Secara perlahan wilayah-wilayah RI semakin tergerogoti dan
akhirnya hanya menyisakan sedikit terutama wilayah Jogjakarta/Jawa Tengah dan (pulau)
Sumatra (minus Sumatra Timur dan Sumatra Selatan).
Pada bulan Oktober 1946 Perdana Menteri Soetan
Sjahrir menyusun kembali susunan kabinetnya (Kabinet Sjahrir-3). Salah satu
anggota kabinetnya adalah Abdoerachman Baswedan sebagai Wakil Menteri
Penerangan (lihat Trouw, 01-10-1946). Kabinet baru ini dilantik pada tanggal 2
Oktober 1946. Untuk posisi Menteri Penerangan sendiri dijabat oleh Mohammad
Natsir.
Para
menteri lama yang tetap dipertahankan dalam susunan kabinet baru ini antara
lain Amir Sjarifoedin Harahap untuk Menteri Pertahanan, Mohamad Natsir untuk Menteri
Penerangan, Maria Ulfah Santoso untuk Menteri Sosial, Dr. Soetan Goenoeng
Moelia, Ph.D untuk Menteri Pendidikan dan Agus Salim untuk Menteri Luar Negeri..
Perdana Menteri Soetan Sjahrir mengundurkan diri
dan Kabinet Sjahrir-3 berakhir pada tanggal 3 Juli 1947. Perdana Menteri baru
ditunjuk yakni Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Dalam susunan kabinet baru ini
hanya beberapa orang yang tetap dipertahankan. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Agus Salim tetap sebagai Menteri Luar Negeri
serta Ir. Djoeanda sebagai Menteri Pehubungan. Nama AR Baswedan dan Soetan
Goenoeng Moelia tidak ada lagi. Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap.
Dalam
situasi RI tertekan, sekolompok pendukung Belanda/NICA membentuk negara-negara
federal yakni wilayah-wilayah dimana pemimpin lokal berafiliasi dengan
Belanda/NIC. Negara Sumatra Timur terbentuk pada tanggal 25 Desember 1947.Dalam
perkembangannya kemudian menyusul terbentuknya Negara Pasoendan pada tanggal 24
April 1948. Provinsi Jawa Timur menjadi Negara Jawa Timur pada tanggal 26
November 1948. Negara federal dalam hal ini adalah suatu negara yang mensejajarkan diri dengan Negara RI.
Negara-negara federal ini secara defacto dikuasai oleh Belanda/NICA. Ketika
sebagian penduduk dan pemimpin Indonesia mendukung RI, sebagian yang lain pula
mendukung Belanda dalam pembentukan negara federal tersebut (menghianati RI).
Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
mengundurkan diri dan ditunjuk Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta sebagai Perdana
Menteri (Presiden Soekarno tinggal sendiri, tidak ada lagi Wakil Presiden).
Kabinat Mohamad Hatta dibentuk pada tanggal 29 Januari 1948. Nama-nama lama
yang tetap dipertahankan antara lain adalah Agus Salim, Ali Sastroaidjojo, Hemengkoeboewono
dan Ir. Djoeanda.
Dalam
posisi RI yang semakin tertekan karena semakin menguatnya Belanda/NICA,
lebih-lebih setelah Negara Pasoendan dan Negara Jawa Timur terbentuk,
pemerintah Belanda/NICA mulai melancarkan agresi militer (invasi) ke wilayah
RI. Invasi ini dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948. Ibu kota RI di
Djogjakarta diduduki, dan pemimpin RI ditangkap dan diasingkan. Presiden
Soekarno diasingkan ke (Negara) Sumatra Timur dan Perdana Menteri Mohamad Hatta
diasingkan ke (Negara) Sumatra Selatan. Sementara Hamengkoeboewono yang juga
sebagai Sultan dilakuak tahanan rumah. Lalu segera terbentuk Pemerintah Darurat
RI (PDRI) di Bukittingi dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara (Menteri
Kemakmuran). Komando militer dibentuk di Sumatra yang dipimpin oleh Kolonel
Hidayat. Untuk perlawanan yang dilakukan TNI di Jawa dipimpin oleh Soedirman
dan Abdul Haris Nasution dengan cara bergerilya.
Pemerintah Belanda/NICA dengan negara-negara
federal bentukannya melihat perang tidak pernah usai. Perlawanan Republiken dan
TNI tidak pernah putus. Pemerintah Belanda/NICA lelu meminta gencatan senjata
dan mengajak pemimin RI ke perundingan yang diwakili oleh Mohamad Roem dkk yang
diadakan di Batavia/Djakarta. Hasil perundingan akan dilanjutkan ke perundingan
lebih lanjut yang akan dilakukan di Den Haag. Untuk persiapan perundingan ke
Den Haag tersebut para pemimpin RI yang diasingkan (Soekarno, Hatta dan
lainnya) dikembalikan ke Djogjakarta pada bulan Juni 1948.
Dalam
persiapan kembali pemimipin RI ke Jogjakarta timbul kesulitan sendiri bagi
Soetan Djogjakarta karena tidak ada komando militer. Khawatir terjadi chaos
saat evakuasi militer Belanda/NICA dari Jogajakarta, Soeltan terus mencari
keberadaan dimana Soedirman, TB Simatoepang dan Abdul Haris Nasution. Akhirnya
tim pencari menemukan TB Simatoepang memimpin gerilya di hutan-hutan di Jawa
Tengah di Banaran. Setelah Simatoepang kembali ke Jogja baru tenang Soeltan dan
memberi kesempatan kepada militer Belanda/NICA untuk evakuasi ke Semarang.
Beberapa hari kemudian baru didatangkan pemimpin RI yakni Soekarno dan Mohamad
Hatta. Lalu dalam beberapa hari kemudian tiba Soedirman dan pasukannya dari
hutan-hutan di selatan Jogjakarta namun tidak bersedia menemui Ir. Soekarno dan
Moahamad Hatta. Soedirman dkk hanya disambut oleh TB Simatoepang di pinggiran
kota Jogjakarta. Pembaca dapat menebak mengapa demikian.
Setelah segala persiapan selesai, delegasi
Indonesia berangkat ke Den Haag untuk mengadakan perundingan yang disebut
Konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad
Hatta. Hasil konferensi tersebut pada intinya adalah mengakui kedaulatan RIS
(Republik Indonesia Serikat), bukan Republik Indonesia. Pengakuan ini berlaku
pada tanggal 27 Desember 1949. Namun persoalan tidak hanya selesai sampai disitu.
Sebagian
penduduk Indonesia terutama para Republiken tidak puas dengan hasil KMB. Lalu
mulai muncul kebingungan di antara masyarakat karena ada dua bentuk pemerintah
di sejumlah wilayah. Masyarakat Sumatra Timur yang heterogen mengusulkan
referendum untuk menentukan apakah Negara Sumatra Timur (NST) atau Negara
Kesatuan. Gelombang protes Bubarkan NST dari waktu ke waktu emakin meningkat.
Lalu diadakan referendum dan yang mana hasilnya buburkan NST dan kembali ke
negara kesatuan (NKRI). Hal serupa juga telah terjadi di Negara Pasoendan dan
Negara Jawa Timur. Akhirnya Presiden Soekarno pada upacara peringatan hari
kemerdeekaan 17 Agustus 1950 menyatakan Indonesia kembali ke negara kesatuan
(NKRI). Lalu besokknya diproklamasikan NKRI.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar