Sabtu, 23 November 2019

Sejarah Jakarta (60): Kiprah Abdurrahman Baswedan, Kakek Gubernur DKI Jakarta; Sejarah Keluarga Baswedan di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini kekek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianugerahi Pahlawan Nasional. Abdurrahman Baswedan disebutkan telah ikut berjuang di era kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka. Peran awal yang terpenting Abdurrahman Baswedan adalah menyatukan warga keturunan Arab untuk bersatu berjuang demi Indonesia. Abdurrahman Baswedan juga turut aktif  dalam persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Keluarga Baswedan tidak hanya Abdurrahman Baswedan dan Anies Baswedan tetapi juga ada nama Novel Baswedan. Tentu saja masih banyak lagi. Nama Baswedan sebagai marga (family name) sudah muncul sejak era kolonial Belanda. Jumlahnya tidak banyak tetapi perannya cukup menonjol. Yang  paling populer adalah Abdurrahman Baswedan.

Sejarah Abdurrahman Baswedan tentu saja sudah ditulis. Namun bagaimana kiprah keluarga Baswedan sejak era kolonial Belanda belum pernah ditulis. Oleh karena itu sejarah Abdurrahman Baswedan tidak cukup sampai disitu. Abdurrahman Baswedan sebagai Pahlawan Nasional dan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menambah daya tarik untuk mengetahui sejarah keluarga Baswedan. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Stambuk keluarga Baswedan
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Marga Baswedan: Oemar dan Ali

Nama Baswedan paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1905 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-08-1905). Disebutkan pemerintah melelang sejumlah persil tanah. Persil tanah No. 444 verponding f7.250 dibeli oleh Sech Ibrahim bin Alie Baswedan. Dari informasi ini Ibrahim adalah seorang Sech, anak dari Ali Baswedan.

Abdurrahman, Rasyd dan Anies Baswedan
Berdasarkan catatan stambuk keluarga Baswedan di internet, Ibrahim lahir di Soerabaja pada tahun 1879. Ali Baswedan adalah saudara dari Umar Baswedan. Kedua bersaudara di Soerabaja ini sama-sama lahir di Hadramaut, Yaman. Umar Baswedan adalah kakek dari Abdurrahman Baswedan. Sedangkan Abdurrahman Baswedan sendiri adalah kakek dari Anies Baswedan. Seperti tampak pada foto disamping ini Abdurrahman Baswedan bersama anak dan cucu. Cucu dalam foto ini adalah wajah masa kecil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Nama Baswedan baru muncul di pemberitaan pada tahun 1913 (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-04-1913). Disebutkan seorang Arab, (Ibrahim Ali) Baswedan telah membeli lahan seluas 1.647.000 M2 dari Mas Tirtodiwirio di land Bagong di (selatan) Goebeng senilai f300.000. Baswedan akan membangun di lahan tersebut pemukiman Eropa.

Wilayah Goebeng, Soerabaja (Peta 1914)
Selain membangun rumah untuk dijual juga dibangun rumah sewaan sebesar f15 hingga f60 per bulan. Pembangunan perumahan ini diharapkan agar warga Eropa di kota lama dapat mencari tempat hunian di bagian kota yang baru dan lebih sehat. Bataviaasch nieuwsblad, 07-04-1913 menambahkan sedang diusulkan untuk pembangunan trem listrik sehingga lingkungan baru itu akan mendapat transportasi yang murah.

Namun dalam perkembangannya, di land Bagoeng yang sudah dibangun beberapa rumah untuk dijual namun untuk pengembangan lahan lebih lanjut tidak mudah karena ada tantangan tersediri dari penduduk pribumi (lihat De Preanger-bode, 06-07-1915). Tantangan tersebut karena di lahan tersebut terdapat sejumlah kuburan yang banyak dikunjungi oleh penduduk pribumi. Dalam berita ini disebutkan pemilik land Bagong adalah Abdulah Baswedan. Peta 1914

Dalam stambuk keluarga Baswedan yang tercatat di internet, Abdullah Baswedan adalah anak dari Umar Baswedan. Abdulah Baswedan lahir si Soerabaja pada tahun 1871. Dalam hal kepemilikan land Bagong diduga adalah kongsi antara Ibrahim Baswedan (bin Ali Baswedan) dan Abdullah Baswedan (bin Umar Baswedan).

Dunia Bisnis vi-a-vis Dunia Politik: Ibrahim Baswedan

Sech Mohamad bin Ibrahim Baswedan menjadi kandidat Provincialeraad (lihat De Indische, courant, 14-11-1928). Yang terpilih adalah Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan (lihat De Indische courant, 27-12-1928). Sech Achmad adalah seorang pedagang di Soerabaja (De Sumatra post, 28-12-1928).

Dari dua orang anak Abubakar Baswedan di Yaman, yakni Umar dan Ali yang masing-masing telah membentuk keluarga di Soerabaja, populasi marga Baswedan dari keturunan dua pionir tersebut semakin banyak. Umar dan Ali Baswedan telah memiliki cucu-cucu. Sementara para pionir masih aktif berbisnis, para cucu-cucu sudah mulai ada yang namanya muncul ke permukaan. Achmad Baswedan bin Salim Baswedan bin Ali Baswedan dikenal sebagai pecatur handal.

Achmad Baswedan naik dari kelas satu ke kelas dua MULO (lihat De Indische courant, 16-05-1923), Achmad Baswedan sangat menyukai permainan catur dan telah berpartisipasi dalam kejuaraan di Soerabaya (lihat De Indische courant, 03-04-1926). Achamd Baswedan anggota klub catur SSC Soerabaja (lihat De Indische courant, 18-10-1926). Achmad Baswedan anggota tim Soerabaja melawan tim Malang (lihat De Indische courant, 02-02-1927). Achmad Baswedan adakalanya menggunakan nama lain yakni Ali Baswedan (merujuk pada nama kakeknya).

Satu diantara bermarga Baswedan ini yang paling sukses di bidang bisnis adalah Ibrahim Baswedan. Dalam usrusan bisnis, Ibrahim Baswedan yang terbilang seorang landheer tidak hanya sukses di bidang properti tetapi juga diketahui telah merintis bisnis di bidang (penjualan) otomotif. Secara umum bisniis-bisnis dari keluarga Baswedan ini di Soerabaja berkembang dengan baik.

Namun tentu saja ada satu dua bisnis yang gagal. Seperti misalnya Awad Baswedan, mendirikan bisnis di Surabaya, berkongsi dengan Sech Aboebakar bin Oemar Baswedan dan Sech Ahmad bin Oemar Baswedan. Bisnis kongsi bertiga ini dinyatakan pailit pada tahun 1931 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-01-1931). Awad Baswedan, Sech Aboebakar bin Oemar Baswedan dan Sech Ahmad bin Oemar Baswedan diduga kuat adalah anak-anak dari Oemar Baswedan. Awad Baswedan dalam hal ini tidak lain adalah ayah dari Abdurrahman Baswedan atau kakek buyut dari Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta yang sekarang).

Satu yang pertama dari keluarga Baswedan yang memulai ikut berpartisipasi dalam dunia politik adalah Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan (lihat De Indische courant, 27-12-1928). Disebutkan Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan termasuk salah satu kandidat untuk Provincialeraad (Dewan Provinsi Oost Java). Melihat dari namanya, Sech Achmad adalah anak dari pengusaha beken dari Soerabaja, Ibrahim Baswedan. Terpilihnya Sech Achmad bin Ibrahim Baswedan, seoraang pebisnis di Soerabaja sebagai anggota Dewan diberitakan De Sumatra post, 28-12-1928.

Pada tahun 1928 adalah tahun yang sangat bersemangat. Ini bermula pada tahun 1927 Parada Harahap, direktur NV Bintang Timoer dan juga sekaligus sekretaris organisasi kebangsaan Sumatranen Bond menggagas didirikannya supra organisasi yang disebut Permoefakatan Perhimpunan-Perhimpunan Kebangsaan Indonesia (diangkat PPPKI). Rapat yang dihadiri pemimpin dari Kaoem Betawi, Bataksch Bond, Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Pasoendan, Jong Islamiten Bond dan PNI (Perhimpunan Nasional Indonesia) secara aklamasi mendaulat MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris.

Program pertama organisasi PPPKI ini adalah membangun gedung kantor PPPKI dan menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior) pada bulan Septermber 1928 yang diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior) bulan Oktober 1928. Untuk menggaungkan pergelaran dua kongres ini Parada Harahap membuat surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (untuk pemasaran Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk pemasaran Oost Java). Untuk edisi West Java sudah ada surat kabar Sinar Pasoendan yang dikelola oleh Parada Harahap. Setelah Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda ini berakhir surat kabar edisi Soerabaja mandiri bertransformasi menjadi surat kabar Soeara Oemoem yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Sebelumnya, ketua panitia Kongres PPPKI adalah Dr. Soetomo. Surat kabar edisi Semarang diduga kuat mandiri dan telag bertransformasi menjadi surat kabar Bahagia di Semarang.

Pada tahun 1929 salah satu keluarga Baswedan pulang kampong. Ini dapat dilihat dari manifes kapal ms Chr. Huygens yang akan berangkat dari Batavia menuju Amsterdam tanggal 29 Agustus 1929 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1929). Di dalam manifes kapal ibi tercatat fam. AB Baswedan en bidiende. Inisial AB diduga kuat adalah Aboebakar Baswedan. Mereka akan turun di (pelabuhan) Suez (yang lalu kemudian dengan kapal lain ke Yaman).

Pada tahun 1930 juga tercatat nama keluarga A Baswedan berangkat dari Batavia tanggal 15 Maret dengan kapal ss Plaucius (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-03-1930). Inisial A Baswedan didiga adalah Achmad Baswedan (anggota dewan). Sebab nama Ali Baswedan seminggu setelah keberangkatan kapal ini dilaporkan tengah melakukan pertandingan catur di Soerabaja. Nama Achmad Baswedan sebelumnya dicatat sebagai Mohammad Baswedan, sedangkan Ali Baswedan dicatat sebagai Achmad Baswedan. Untuk menghilangkan duplikasi di hadapan publik boleh jadi keluarga Baswedan melakukan penyesuaian nama.

Sebagai pendatang, kerukunan diantara orang-orang Arab di Soerabaja cukup baik. Populasi orang-orang Arab di Soerabaja juga cukup banyak. Ini terlihat telah lama terbentuk komunitas orang Arab.  Sebagaimana orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab juga memiliki pemimpin komunitas. Paling tidak eksistensi komunitas Arab ini sudah terinformasikan pada tahun 1918 yang dipimpin oleh Bintalip (lihat Bataviaasch nieuwsblad,        31-05-1918). Kekuatan ekonomi da kekuatan politik orang Arab di Soerabaya dari waktu ke waktu semakin meningkat.

Ketika tahun 1918 sebanyak delapan orang Arab pendatang baru di Soerabaja ditangkap lalu ditahan. Mereka ini didakwa karena tidak memiliki izin. Lalu segera komunitas Arab yang dipimpin oleh Bintalip tersebut mengumpulkan sebanyak 24 orang kaya anggotanya dan kemudian meminta notaris hukum untuk menulis ke GG di Batavia agar kedelapan imigran itu dibebaskan. Ini mengindikasikan komunitas Arab di Soerabaja telah memiliki kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.

Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi sebab mengapa orang Arab mulai berpartisipasi dalam kegiatan politik sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) maupun dewan provinsi (provincialeraad). Pada waktu itu dalam pemilihan anggota dewan tidak seperti sekarang (one one vote), tetapi para pemilih ditentukan berdasarkan kriteria tingkat pendapatan tertentu. Oleh karena yang masuk kategori para pemilih adalah orang Eropa, orang-orang Tionghoa dan Arab yang berpendapatan tinggi cukup banyak jumlahnya plus para pemimpin lokal seperti Bupati atau Patih. Hanya segelintir orang pribumi profesional yang menjadi pemilih. Kekuatan ekonomi orang-orang Arab dengan sendirinya telah meningkatkan potensi dan partisipasi politiknya.

Di Surabaya, sebagaimana diberitakan koran-koran setempat, bahwa salah satu anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama Koesmadi telah berakhir masa jabatan untuk periode pertama.  Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya Koesmasi harus mengikuti pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih aktif. Diberitakan di koran-koran Surabaya, Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Nama Radjamin Nasoetion muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan satu lagi dari Tapanuli. Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon. Namun anehnya, hari berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan merekomendasikan dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan bahwa, Radjamin, selain anggota PBI juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan terkemuka di Surabaya dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan aspirasi rakyat di Dewan Kota. PBI (Partai Bangsa Indonesia) adalah organisasi politik yang diprakarsai oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Meski Koesmadi mengundurkan diri, dan hanya tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal 10-03-1931 diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Pada tanggal 7-04-1931 Dewan melakukan sidang, dimana sidang ini merupakan sidang pertama yang diikuti oleh  Radjamin. Koesmadi tidak salah. Dalam rapat dewan itu, Radjamin langsung melakukan gebrakan yang membuat anggota dewan lainnya yang hampir semuanya orang Belanda ternganga. Radjamin mengusulkan empat proposal—proposal yang harus diperjuangkan oleh Radjamin untuk memenuhi aspirasi rakyat. Radjamin Nasution, kepala Bea dan Cukai di Soerabaja ini menjadi anggota gemmeenteraaf terlama. Dr. Radjamin Nasution kelak menjadi Wali Kota pertama Soerabaja yang berasal dari pribumi. Dr. Radjamin Nasution dan Dr. Soetomo pada awal kuliaj di STOVIA (1906) adalah satu kelas.

Pada tahun 1931 untuk kali pertama di surat kabar muncul nama Abdurrahman Baswedan di Soerabaja (lihat Soerabaijasch handelsblad, 05-12-1931). Disebutkan dalam daftar nama pengusaha yang pailit termasuk nama Abdulrachman Baswedan, seorang pedagang yang tinggal di Soerabaja. Ini mengindikasikan bahwa keluarga Baswedan tidak semuanya sukses dalam bisnis dan ada juga yang gagal. Ibarat satu pohon tidak semua buahnya dapat dijual ke pasar, tetapi justru buah yang tidak laku justru sangat bergnna untuk dijadikan bibit.

Soerabaijasch handelsblad, 05-12-1931
Seperti disebutkan di atas tidak hanya Abdurahman Baswedan yang pernah dinyatakan dalam berbisnis tetapi juga beberapa bulan sebelumnya ada nama-nama yang pernah berkongsi, tiga bersaudara: Awad, Aboebakar dan Achmad Baswedan dinyatakan pailit. Juga beberapa bulan sebelumnya bisnis yang dikelola oleh Achmad bin Awad bin Oemar Baswedan dengan nama Firma Aboebakar Awad Baswedan dinyatakan pailit (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-02-1931). Achmad Baswedan adalah saudara Abdurachman Baswedan yang keduanya adalah anak dari Awad Baswedan. Pada masa ini Abdurrahman Baswedan lebih dikenal sebagai kakek dari Anies Baswedan. Berdasarkan internet Abdurrahman Baswedan lahir di Soerabaja pada tahun 1908, itu berarti pada tahun 1931 umur Abdurrahman Baswedan baru 23 tahun. Masih muda!

Pada tahun yang mana tahun 1931 bisnis Abdurrahman Baswedan dinyatakan pailit, pada tahun ini pula di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution dan Dr. Soetomo mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Tampaknya Abdurrahman Baswedan mulai menata kembali bisnisnya dan boleh jadi sambil melirik partai yang baru dibentuk: Partai Bangsa Indonesia. Pada tahun 1932 kembali satu lagi bisnis Abdurachman Baswedan dinyatakan pailit (lihat De Indische courant, 07-05-1932). Disebutkan Abdurachman Baswedan bertempat tinggal di Soerabaja dan Bangil.
.
Soerabaijasch handelsblad, 19-12-1931
Sementara itu Ali Baswedan (nama sebelumnya Achmad Baswedan) terus aktif di dunia catur. Tampaknya Ali Baswedan tidak lagi berada di klub SSC, tetapi telah menginisiasi pembentukan klub catur diantara para komunitas Arab. Nama klub catur komunitas Arab ini diberi nama Noer Ichwan (Cahaya Saudara Laki-Laki). Di kota Soerabaja klub catur terkuat masih dipegang oleh SCS (hampir semuanya orang Belanda). Klub catur Noer Ichwan termasuk penantang terkuat bagi SSC. Dalam satu pertandingan beregu belum lama ini SSC melawan Noer Ichwan dimenangkan oleh SCS dengan skor 6-4 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 19-12-1931).
.
Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926
Di Batavia, klub catur terkuat Schaakmat telah diambil alih oleh klub catur Satoer Batak. Klub catur asal Tapanoeli ini awalnya didirikan pada tahun 1926 dengan nama Jong Batak. Jong Batak didirikan tahun 1919 oleh Dr. Abdoel Rasjid Sieragar, pada tahun 1926 pembina/ketua Jong Batak adalah Parada Harahap. Dalam ekshibisi pertama klub catur asal Tapanoeli ini langsung mengundang klub terkuat di Batavia, Schaakmat. Dalam pertandingan beregu (15 vs 15) ini berakhir imbang, 71/2 vs 71/2 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926). Dalam tim Schaakmat terdapat nama satu orang pribumi, Dr. Sardjito. Partainya Sardjito menang melawan S Siregar dari Jong Batak. Dalam tim Jong Java terdapat nama Emil Harahap (lihat tabel). Dr. Sardjito kelak dikenal sebagai Rektor pertama UGM dan Emil Harahap kelak dikenal sebagai ayah FKN Harahap, ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda yang pernah mengalahkan juara catur Belanda, Dr. Euwe. Kelak Dr Euwe menjadi juara catur dunia
.
Soerabaijasch handelsblad, 29-04-1932
Pada tahun 1931 klub catur baru didirikan yakni Satoer Batak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-12-1931). Pada tahun 1932 kembali klub catur Satoer Batak melakukan perang tanding. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 04-04-1932 melaporkan bahwa pada hari Kamis pukul 20:00 di klub Mr. Cornelis di Batavia telah dilangsungkan pertandingan persahabatan antara klub catur Satoer Batak dengan tim dari Meester Cornelis, Tim dari klub Mr. Cornelis juga diperkuat beberapa pemain dari Schackmat (dar Kramat). Dalam pertandingan beregu ini terdapat sebanyak 20 partai (20 vs 20 pecatur). Berikutnya, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-04-1932, melaporkan pertandingan persahabatan beregu antara klub De Pion dengan klub Satoer Batak yang terbagi dua kelompok. Kelompok pertama berakhir imbang, dan kelompok kedua dimenangkan oleh Satoer Batak. Selanjutnya, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-04-1932 juga kembali melaporkan pertandingan yang dilakukan tim Satoer Batak. Pertandingan pertama antara Schaakmat melawan Satoer Batak’. Tim Satoer Batak memiliki tiga kali dalam kemenangan gemilang. Pertandingan kedua 'Satoer Batak' melawan tim De Pion, yang mana tim Satoer Batak menang dengan skor 15-7. Koran Soerabaijasch handelsblad, 29-04-1932 yang terbit di Surabaya, melaporkan pertandingan yang dillangsungkan pada 19 April antara dua klub terkuat di Batavia, yakni Schaakmat vs Satoer Batak. Pertandingan yang diselenggarakan di KSB itu dipadati oleh penonton yang datang berbondong-bondong, yang ingin mengikuti permainan dua klub itu. Pada partai-pertai awal banyak pemain Schaakmat 'dibantai' yang mana tim 'Satoer Batak' leading dengan memimpin 6-0. Urutan pertandingan dimulai dari jagoan sampai yang lemah (seperti beregu dalam bulutangkis). Namun demikian, hasil keseluruhan berakhir dengan skor 13 1/2 -12 1/2 (lihat gambar di samping). Pada partai pertama berhadapan juara dari Java Champion Mr. WF. Werthelm dari klub Schaakmat berhadapan dengan pimpinan klub 'Satoer Batak', Mr. J.H. Hoetabarat. Tamat sudah kejayaan klub Schaakmat. Dalam tabel terdapat nama F[KN] Harahap (anak Emil Harahap) masih berusia 17 tahun. FKN Harahap adalah kelahiran Depok (pernah menjadi ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, pada era pengakuan kedaulatan Indonesia menjadi dosen, penulis buku catur dan pernah menjadi ketua Percasi).
.
Tampaknya Abdurrachman Baswedan tidak punya hoki dalam bisnis. Apakah karena usianya masih muda? Atau apakah Abdurrachman Baswedan lebih memiliki minat yang lebih kuat di luar bidang bisnis? Diantara keluarga Baswedan hanya nama Ibrahim Baswedan yang cukup sukses. Selain pemilik bisnis properti dan bisnis otomotif serta restoran, Ibrahim Baswedan juga mulai merambah ke bisnis bioskop. Keluarga Baswedan juga mulai ada yang memiliki pendidikan tinggi.

De Indische courant, 24-12-1932: ‘Pembukaan bioskop Alhambra. Bioskop rakyat di Kertopaten, yang memutar film bisu, pada tiga bulan terakhir ini telah diubah menjadi bioskop film suara, yang secara resmi dibuka kemarin. Bioskop ini sekarang diberi nama Bioskop Alharnbra. Banyak yang menggunakan undangan untuk menghadiri acara pembukaan. Pemiliknya, Tuan Baswedan, menyambut para tamu di pintu masuk gedung, tempat banyak hiasan bunga menghiasi. Bioskop Alhambra memiliki perangkat film Klang; ruangan telah diperbaharui dengan baik. Bioskop telah mengumumkan kemarin malam film perdana yang akan diputar adalah film yang berkaitan dengan pekerjaan berisiko polisi di Amerika Serikat’.

Dalam perkembangannya, Ibrahim Baswedan juga akan membuka bioskop modern di Toendjoengan (lihat De Indische courant, 14-09-1933). Disebutkan saudara laki-laki Ibrahim Baswedan, yang baru saja tiba dari Prancis, tempat ia menyelesaikan studinya dan menjadi seorang arsitek, membuat desain untuk bioskop baru, yang akan didekorasi sesuai dengan tuntutan konstruksi teater modern. Bioskop baru akan, antara lain, berisi ruang untuk seribu kursi dan lobi, seluruhnya terbuat dari kaca cermin, singkatnya, kita dapat diberitahu bahwa teater baru akan menjadi satu-satunya, belum ditemukan di Jawa dan di seluruh Hinidia. Rencana telah diajukan ke Gemeente untuk persetujuan dan direncanakan untuk memulai pembangunan teater baru tahun ini.

Sukses Ibrahim Baswedan adalah satu hal, kegagalan Baswedan yang lain adalah hal lain lagi. Aboebakar Awad Baswedan dan kongsinya dan juga Salim bin Ali Mahfoed pada bulan Desember 1933 dinyatakan pailit (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933).

Situasi dan kondisi politik pada tahun 1933 sangat panas. Ir. Soekarno ditangkap (lagi) dan kemudian disusul pers pribumi dibreidel (untuk sementara waktu). Pada bulan November 1933 tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang yang dipimpin oleh Parada Harahap. Dalam rombongan ini terdapat Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohamad Hatta yang baru pulang studi dari Belanda. Rombongan ini sangat antusias disambut di Jepang. Parada Harahap dijuluki pers Jepang sebagai The King of Java Press. Rombongan para revolusiner ini ke Jepang sebagai reaksi terhadap pengadilan Ir. Soekarno di Bandoeng yang rumornya akan diasingkan dan juga reaksi terhadap penangkapan terhadap Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin. Rombongan revolusioner ini ke Jepang dalam rangka misi perdagangan yang bermuatan politik. Pada tanggal 14 Januari 1934 rombongan revolusioner tiba kembali dari Jepang di tanah air dan merapat di pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja. Pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan ke pengasingan di Flores dari pelabuhan Tandjong Priok. Rombongan di Soerabaja disambut oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Beberapa waktu sebelumnya pembereidelan pers pribumi telah dicabut.

Kunjungan Parada Harahap (dianggap) telah memprovokasi pers Belanda. Direktur NV Bintang Hindia yang kini mengoperasikan tiga media, yang tertua adalah Bintang Timoer menulis secara provokatif hasil kanjungan ke Jepang di surat kabar Bintang Timoer. Surat kabar Sinar Pasoendan tanggal 10 lewat memberitakan bahwa sekarang Parada [Harahap] dan Dr. Soetomo adalah target serangan pers putih (pers Belanda) dan melampiaskan cemoohan yang hanya untuk mempermalukan penduduk pribumi yang tidak menerima Parada [Harahap] dan yang lainnya diterima dengan sangat baik di Jepang (lihat Haagsche courant, 24-03-1934). Lebih lanjut disebutkan surat kabar Adil pada 8 Januari menganggap bahwa pers putih (Belanda) dianggap sebagai keseluruhan harus (dipandang) seperti musuh yang hanya mengejar kepentingannya sendiri dan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Surat kabar Adil juga memberi peringatan keras ke pers putih atas serangannya kepada Dr. Soetomo yang dikaitkan-kaitan dengan urusan bank. Pewarta Deli juga menentang kampanye pers Eropa melawan PBI [yang dipimpin oleh Dr. Soetomo].

Musuh pers pribumi tidak lagi hanya pemerintah (polisi Belanda) tetapi juga pers Belanda. Perang terhadap pers Belanda sudah dimulai Parada Harahap sejak 1927 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927). Kekhawatiran pemerintah dan pers Belanda terhadap pers pribumi menjadi kenyataan pada tahun 1932. Lebih-lebih karena ditahannya Ir. Soekarno.

De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh media rakyat pribumi ditempatkan pada daftar hitam, dan kini dilarang. Surat kabar dan majalah yang dilarang adalah sebagai berikut: Persato'an Indonesia, Simpaj, Sedio Tomo, Aksi, Indonesia Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sim Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara Oemoem, Soeara Oemoem (edisi Java), Sipatahoenan, Medan Ra'jat, dan Fikiran Ra'jat djeung pergeraken Ir. Soekarno. Seperti dapat dilihat, termasuk kedua suratkabar Melayu yang pribumi dan Chineesch. Di antara majalah yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan Siang Po, baik yang muncul di Batavia, bahkan majalah Fikiran (anggota pengurus Dr Ratu Langi di Manado). Majalah lainnya adalah organ nasionalis, semua jaringan media dapat dikatakan sebagai arah revolusioner’.

Sejak Parada Harahap di Jepang pers Belanda mulai lagi membuka front. Kini tampaknya pers Belanda mulai menjatuhkan para pemimpin Indonesia dan juga mulai menggembosi media-media pribumi dengan strategi pecah belah (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1935). Pers Belanda mulai menyerang kelemahan-kelemahan pers pribumi terutama tentang manajemen pengelolaan usaha media. Isu yang diapungkan pers Belanda ini bersambut dari pemerintah. Parada Harahap menjadi target.

Dunia Jurnalistik dan Dunia Politik: Abdurrachman Baswedan

Setelah diberlakukannya kembali pers pribumi dan setelah kembalinya tujuh revolusioner Indonesia dari Jepang dan merapat di Soerabaja pada tanggal 14 Januari 1934 banyak hal yang terjadi di bidang pers. Satu yang penting adalah manajemen surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja terkesan berwarna ‘internasional’ (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-02-1934). Disebutkan bahwa manajemen Soeara Oemoem kini ada di tangan dari sebuah perusahaan ‘internasional’, karena terdiri dari orang Sumatra, seorang Tionghoa, Chua Chee Liang dan seorang Arab, [Abdurrachman] Baswedan.

Het nieuws van den dag voor N-Indie, 02-02-1934
Disebutkan lebih lanjut bahwa direksi surat kabar nasionalis Soeara Oemoem mengungkapkan kesedihannya karena pemimpin redaksinya Junus Sjaranamual telah mengundurkan diri. Seperti diketahui, Sjaranamual adalah penerus Tjindar Boemi, yang masih harus menjalani hukuman di (penjara) Soeka Miskin (Bandoeng) karena tuduhan penghasutan. (Sementara itu) Pemimpin redaksi yang mengundurkan diri mengumumkan di majalah yang sama bahwa ia dipaksa untuk meminta pengunduran dirinya, karena atas permintaan teman sekampongnya, Tuwanakota (tersandera). Dalam berita ini juga disebutkan pemimpin redaksi surat kabar Djawa Barat adalah Mohamad Masseri , seorang nasionalis, politisi dari (organisasi politik) Kaoem Betawi dan Slamet sekarang mengisi posisi Administratur di surat kabar Bintang Timoer.

Sementara sejumlah Minahasa keluar dari media nasionalis, sebaliknya sejumlah Tionghoa dan Arab mulai berpartisipasi pada media nasionalis. Dari kalangan Arab, Abdurrachman Baswedan dapat dikatakan yang pertama. Tarik menarik diantara kalangan Minahasa dan Ambon kerap terjadi. Kasus (penyaderaan) Sjaranamual boleh dikatakan sebagai kasus terbaru.

Pada tahun 1928 ketika dilakukan Kongres PPPKI, kalangan Minahasa dan Ambon tidak mengirim delegasinya dan disesalkan oleh Sekretaris PPPKI, Parada Harahap. Namun untuk kasus Boedi Oetomo sedikit berbeda meski Boedi Oetomo tidak mengirim delegasi tetapi Dr. Soetomo (ketua panitia Kongres) dianggap sudah terwakili di dalam Kongres PPPKI 1928 (tentu saja tidak/belum ada delegasi Tionghoa maupun Arab). Diantara para pemimpin pribumi (plus Tionghoa dan Arab) masih mendua melihat Belanda.

Pada 1930 Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mendirikan persatuan orang-orang Kristen dari kalangan pribumi dengan memisahkan diri dari CSP (Belanda) dengan nama Persatuan Masehi Indonesia. Dari pihak Belanda sempat kaget dan meminta Soetan Goenoeng Moelia membatalkannya. Soetan Goenoeng Moelia menjelaskan secara diplomatis bahwa pertimbangannya karena orang Kristen pribumi sudah sangat banyak dan kami tidak ingin dipimpin oleh minoritas Belanda. Sekali lagi pihak Belanda mengusulkan agar niat itu ditarik kembali, tetapi Soetan Goenoeng Moelia tidak bersedia. Soetan Goenoeng Moelia tetap bersikeras dan lalu meminta Laoh, anggota Volksraad sebagai ketua dan Emil Harahap sebagai sekretaris. Lalu kemudian muncul lagi permintaan, yang anehnya dari kalangan Ambon meminta inisial organisasi diubah karena mirip PNI, sedangkan yang dari kalangan Belanda (organisasi induk) meminta kata 'Indonesia' dihilangkan karena menurut mereka pemerintah penggunaan nama Indonesia belum dibenarkan. Perminntaan ini juga ditolak Soetan Goenoeng Moelia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-12-1930).

Mengapa begitu cara berpikir Soetan Goenoeng Moelia. Boleh jadi Soetan Goenoeng Moelia terinspirasi dari protes Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (pemilik dan editor surat kabar Pertja Barat) pada tahun 1901 di Padang, bahwa orang pribumi yang Islam atau yang Kristen jangan dipisahkan secara politik dimana Kristen disamakan dengan Eropa/Belanda. Menurut Dja Endar Moeda 'kami bersaudara' dan memiliki 'perilaku yang sama' meski berbeda dalam keyakinan (politik pecah belah dihalangi oleh persaudaraan yang kuat). Soetan Goenoeng Moelia adalah anak dari Hamonangan Harahap, teman satu kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1884. Tentu saja Soetan Goenoeng Moelia sepaham dengan Parada Harahap (sekretaris PPPKI) dan Amir Sjarifoeddin Harahap (bendahara panitia Kongres Pemudia 1928). Soetan Goenoeng Moelia mendapat gelar doktor (Ph.D) pada bidang pendidikan dan filsafat di Belanda pada tahun 1933 dan kelak pada tahun 1945 diangkat sebagai Menteri Pendididikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara).

Sejak dibentuknya PPPKI pada tahun 1927, bibit persatuan terus tumbuh dan upaya kesatuan terus dikembangkan. Para pemuda sudah bersatu pada tahun 1928 (Kongres Pemuda 1928) dan misi kesatuan telah dinyatakan: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,, Indonesia. Partai-partai yang mengusung Indonesia semakin banyak paling tidak telah didirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Ketika Ir. Soekarno diasingkan ke Flores, PNI dibubarkan tahun 1934 lalu dibentuk Partai Indonesia dan partai Pendidkan Nasional Indonesia. Ketika organisasi kedaerahan sudah mengusung kesatuan Indonesia, Boedi Oetomo sendiri masih terbelenggu dengan platformnya sendiri sebagai organisasi kedaerahan (belum mengusung kesatuan Indonesia). Baru-baru ini orang Indo-Arab mulai berkongres. Indo-Arab merujuk pada orang Arab yang lahir di Hindia.

Het nieuws van den dag voor N-Indie, 27-09-1934
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-09-1934: ‘Persatuan Orang Indo-Arab. Konferensi di Semarang. Surat kabar Tionghoa-Melayu, Matahuri melaporkan bahwa konferensi orang-orang Indo-Arab akan diadakan di Semarang pada awal Oktober. Agenda tersebut meliputi hal-hal berikut: organisasi dan posisi politik dan ekonomi orang Indo-Arab--orang-orang Arab yang lahir di sini. Promotor kongres ini adalah pemimpin redakasi Soeara Ummum, [Abdurrachman] Baswedan, seorang peranakan Arab di Surabaya.

Orang-orang Arab di Soerabaja lambat laun profesinya semakin beragam. Keluarga Baswedan tidak lagi hanya sebagai pebisnis, tetapi juga sudah ada yang menjadi jurnalis dan arsitek. Di bidang bisnis, diantara keluarga Baswedan nama Ibrahim Baswedan masih dianggap sebagai pebisnis terkenal. Ibrahim Baswedan sudah memiliki bisnis di bidanh tekstil (lihat Soerabaijasch handelsblad, 15-01-1936). Namun seperti apa sikap politik orang-oramg Arab belum jelas. Tidak ada informasi yang diketahui dari kongres Indo-Arab yang dilakukan di Semarang pada bulan Oktober 1934.

Yang mengalami kemajuan adalah Boedi Oetomo. Setelah kongres Boedi Oetomo yang pertama di Jogjakarta bulan Oktober 1908 hingga ini masih kukuh sebagai organisasi kedaerahan (dan belum mendukung kesatuan Indonesia). Baru pada tahun 1935 Boedi Oetomo, atas desakan Dr. Soetomo (PBI/Partai Bangsa Indonesia) mencair yakni Boedi Oetomo melakukan fusi dengan PBI dengan membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra). Sebagai ketua Parindra terpilih Dr. Soetomo. Ini berarti Bodi Oetomo yang sejatinya didirikan oleh Soetomo dkk pada bulan Mei 1908 kini, di tangan Dr. Soetomo kembali ke kittah (persatuan dan kesatuan nasional). Selain Dr. Soetomo, dua tokoh lainnya dibelakang fusi ini adalah Dr. Sardjito dan Dr. Soepomo. Ketiga orang ini sudah sejak lama mempengaruhi Boedi Oetomo untuk kembali ke jalan yang benar setelah Ir. Soekarno gagal menghimbau pada tahun 1927.

Akhirnya muncul berita yang menyatakan sikap politik orang-orang Arab (lihat De Indische courant, 11-02-1936). Setelah kongres di Semarang, orang-orang Arab mengambil sikap politik mengusung persatuan dan kesatuan dengan mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Persatoean Arab Indonesia (PIA). Namun bagaimana dengan Tionghoa, Minahasa dan Ambon?

De Indische courant, 11-02-1936
Dalam kongres Persatoean Arab Indonesia yang diadakan di Pekalongan bulan Januari 1936 telah berhasil memilih ketua yakni ARA (Abdurrachman Awad)  Baswedan. Dalam kongres ini diputuskan bahwa kantor pusat PIA ditetapkan di Batavia (lihat De Indische courant, 11-02-1936). Dalam kongres ini juga terinformasikan sebagai penasehat adalag ASA Alatas (anggota Volksraad). Susunan lengkap pengurus pusat PIA adalah sebagai berikut: ARA Baswedan sebagai ketua; A Assagaf sebagai wakil ketua; dan A Bajasut sebagai sekretaris. Untuk komisaris terdiri dari: Hassan Argoebi (Kapitein Arab); Moahamd bin Aboebakar Alatas; Abdul Badjerei; dan Ali Basjaib.

Orang-orang Arab tidak hanya orang tua saja yang dipersatukan untuk mendukung kesatuan Indonesia, juga di kalangan pemuda kemudian terbentuk organisasi pemudanya (lihat  De Indische courant, 06-07-1936). Disebutkan bahwa tadi malam di gedung Moeratoel Ichsan pemuda Arab melakukan pertemuan yang diprakarsai oleh Hoesein Baswedan. Nama organisasinya adalah Asjababoel Arabia yang artinya Perhimpoenan Pemuda Arab. Dalam susunan pengurus terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan dua orang komisaris. Sebagai ketua adalah Hoesein Baswedan.

Populasi orang Arab di Oost Java khususnya di Kota Soerabaja sangatlah banyak. Marga Baswedan hanyalah sebagian kecil saja. Dikatakan populasi orang Arab di Soerabaja karena pemimpin komunitasnya berpangkat Majoor. Pangkat Majoor hanya terdapat di empat kota: Majoor China di Medan, Majoor China di Batavia, Major China di Semarang dan Majoor China di Soerabaja. Hanya ada satu Majoor Arab (di Soerabaja). Majoor Arab di Soerabaja adalah Sech Achmad bin Abdullah Bodsaid (lihat De Indische courant, 02-10-1936) Majoor Arab ini juga memimpin komunitas Bangladesh di Soerabaja. Di kota-kota lain pangkat tertinggi hanya Kaptein China (antara lain di Padang, Bandoeng dan Buitenzorg). Majoor kira-kira setara dengan Bupati untuk golongan pribumi. Di Kota Semarang pimpinan komunitas Arab hanya setingkat kaptein dan di Kota Pasoeroan komunitas Arab dipimpin oleh yang berpangkat letnan. Dalam hal ini di Kota Soerabaja, Majoor membawahi satu atau lebih Kaptein; dan Kaptein membawahi satu atau lebih Letnan.

Pada tahun 1937 kembali PAI mengadakan kongres (lihat De Indische courant, 30-03-1937). Kongres ini merupakan kongres kedua setelah sebelumnya tahun 1936 dilakukan di Pakalongan. Kongres ini diadakan pada hari Minggu di Stadstuintheater (bioskop milik Ibrahim Baswedan) dimana sekitar 800 orang hadir. Kongres ini dibuka oleh AR Baswedan yag kemudian memberi kesempatan kepada Ir. Alatas (anggota Volksraad) untuk naik ke podium.

De Indische courant, 30-03-1937
Kongres PAI di Soerabaja ini menghasilkan tiga mosi, tentang: 1. Dukungan untuk asosiasi dan kerja sama dalam perang melawan riba; 2. Permintaan kepada Pemerintah untuk membuka tiga sekolah Belanda-Arab (Hollandsch-Arabische) di Jawa, mirip dengan HAS di Solo; 3. Permintaan kepada Pemerintah untuk memisahkan kelompok orang Arab dalam Undang-Undang Pemilihan dari kelompok orang Cina (orang asing non-Belanda) dalam undang-undang pemilihan. Satu keputusan lainnya dari kongres ini adalah bahwa Kantor administrasi pusar PAI yang sebelumnya di Batavia, yang diketuai oleh ARA Baswedan dipindahkan ke Semarang.

Hollandsch-Arabische School merupakan tipologi sekolah yang telah dikimbangkan oleh Pemerintah sejak 1914 bagi kalangan pribumi yang disebut Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang kemudian diadopsi untuk kalangan orang Tionghoa (HCS). Untuk kalangan orang Eropa/Belanda sendiri sudah sejak lama eksis sekolah ELS (dimana sebelum HIS dibuka, siswa pribumi, Arab dan Tionghoa bisa mendaftar di ELS).

Kegiatan kepemudaan di kalangan orang Arab melalui PAI tetap eksis. Kegiatan yang dilakukan paling tidak dilakukan pertandingan catur antara tim Pemoeda Moehammadijah dan pemuda PAI (lihat  De Indische courant, 27-04-1937). Dalam pertandingan beregu ini yang dilangsungkan di clubhouse Pemoeda Moehammadijah ini tim pemuda PAI kalah dengan skor 21/2 vs 71.2. Dalam tim pemuda PAI terdapat nama Salim Baswedan.

De Indische courant, 27-04-1937
Salim Baswedan diduga kuat adalah anak dari Ali Baswedan, pecatur handal di Soerabaja. Ali Baswedan adalah pendiri klub catur di komunitas orang Arab di Soerabaja.  Nama yang sebenarnya dari Ali Baswedan adalah Achmad Baswedan. Ali Baswedan adalah nama kakeknya. Ayah Achmad Baswedan alias Ali Baswedan adalah Salim Baswedan. Dalam hal ini, pecatur muda Salim Baswedan adalah anak dari Ali Baswedan. Salim Baswedan mengambil nama dari nama kakeknya. Diantara anggota marga Baswedan, hanya keluarga Ali bin Salim Baswedan yang nemiliki bakat dalam permainan catur. Untuk aktivis organisasi dari marga Baswedan adalah Abdurachnan Baswedan (senior) dan Hoesein Baswedan (junior). Pada saat itu olaheraga paling populer yang disukai oleh semua kalangan adalah permainan catur dan sepak bola.  

Dalam perkembangannya diketahui kantor pengurus (Het hoofdbestuur) PAI yang sempat dipindahkan dari Batavia ke Semarang (hasil kongres Soerabaja) kembali dipindahkan ke Batavia (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-11-1937). Tidak disebut secara jelas mengapa kantor pusat kembali ke Batavia. Padahal ketuanya sendiri AR Baswedan beralamat di Semarang. Akibat perpindahan ini terjadi sedikit perubahan dalam struktur pengurus.

Setelah mengalami perubahan, susunan pengurus PAI saat ini terdiri sebagai berikut: Ketua ARA Baswedan (Semarang), Wakil ketua HMA Hoesein Alatas (Batavia), Sekretaris A Bajasut (Batavia) dan Bendahara Abd Assegaf (Batavia). Dua anggota pengurus lainnya adalah Said Bahrisj (Soerabaya) dan Ar. Alaydroes (Soerabaja. Sekretariat organisasi beralamat di Petjenongan 48, Batavia-Centrum, sedangkan alamat pribadi ketua (AR Baswedan) adalah: Komedistraat 32, Semarang.

AR Baswedan sudah beberapa tahun pindah dari Soerabaja ke Semarang. Kepindahan ini terkait dengan perpindahan AR Baswedan sebagai editor surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja (sejak 1933) dan menjadi editor surat kabar Matahari di Semarang (1934). Surat kabar Matahari adalah surat kabar yang diterbitkan baru. Itulah sebab dalam kongres kedua tahun 1936 kantor pusat PAI dipindahkan dari Batavia ke Semarang. Sebab AR Baswedan sudah sejak 1934 berada di Semarang hingga kini (1937).

Het nieuws van den dag voor N-Indie, 24-03-1934
Surat kabar Matahari adalah surat kabar baru yang diterbitkan di Semarang. Surat kabar ini muncul setelah kepulangan tujuh revelusioner dari Jepang yang dipimpin oleh Parada Harahap. Surat kabar Matahari adalah jaringan surat kabar nasionalis yang terkait dengan Parada Harahap (Bintang Timoer di Batavia, Pewarta Deli di Medan dan Soeara Oemoem di Soerabaja. Surat kabar nasionalis lainnya adalah Pemandangan, Sin Po, Keng Po dan Siang Po (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-03-1934).

De Indische courant, 29-12-1933
Surat kabar Bintang Timoer didirikan oleh Parada Harahap tahun 1926. Pada tahun 1929 pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, Abdullah Lubis editornya mengundurkan diri dan meminta bantuan kepada Parada Harahap di Batavia. Parada Harahap lalu meminta editor Bintang Timoer, Djamaloedin alias Adinegoro (abang dari Mohamad Jamin) untuk mengisi kekosongan di Medan (Parada Harahap pernah menjadi editor Pewarta Deli tahun 1918). Abdullah Lubis adalah salah satu anggota rombongan revolusioner yang berkunjung ke Jepang. Tidak lama setelah rombongan dari Jepang ini tiba di Soerabaja, tim editor surat kabar pimpinan Dr. Soetomo mengalami perubahan yang mana salah satu editornya adalah Abdurrachman Baswedan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-02-1934). Perpindahan Abdurrachman Baswedan dari Soeara Oemoem (Soerabaja) ke surat kabar Matahari (Semarang) mirip yang terjadi pada tahun 1929 ketika Adinegoro dipindahkan dari Batavia ke Medan. Sebagai catatan tambahan: menjelang Kongres PPPKI (senior) Kongres Pemuda (junior) tahun 1928 Parada Harahap menerbitkan surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang dan edisi Soerabaja. Surat kabar edisi Soerabaja inilah bertransformasi pada tahun 1930 menjadi surat kabar Soeara Oemoem (organ PBI yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution). Pada saat itu Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI dan Dr. Soetomo menjadi ketua panitia Kongres PPPKI. Sedangkan kepanitiaan pada Kongres Pemuda diketuai oleh Soegondo, sekretaris Mohamad Jamin (adik Adinegoro) dan bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap (ketiganya adalah mahasiswa Rechthoogeschool). Dua kongres ini disponsori oleh organisasi perdagangan pribumi di Batavia (semacam Kadin pada masa ini) yang dipimpin oleh Parada Harahap. Sepulang dari Jepang Parada Harahap menulis buku berjudul ‘Menoedjoe matahari terbit : perdjalanan ke Djepang November 1933-Januari 1934’ yang diterbitkan oleh Bintang Hindia, 1934. Penerbit Bintang Hindia adalah milik Parada Harahap yang juga menerbitkan surat kabar Bintang Timoer. Surat kabar pertama yang didirikan Parada Harahap di Batavia (1923) adalah diberi nama Bintang Hindia (yang kini namanya menjadi percetakan dan penerbitan). Parada Harahap hijrah dari Padang Sidempoean ke Batavia tahun 1922 setelah surat kabarnya yang didirikan di Padang Sidempoean tahun 1919 yang diberi nama Sinar Merdeka dibreidel pada tahun 1922. Sebelum surat kabar Bintang Timoer diterbitkan tahun 1926, Parada Harahap pada tahun 1925 mendirikan kantor berita pribumi yang diberi nama Alpena dengan merekrut WR Soepratman sebagai editornya (WR Supratman tinggal di rumah Parada Harahap). Itulah sebabnya mengapa lagu Indonesia Raya karya WR Supratman diperdengarkan di dalam Kongres Pemuda tahun 1928. Di dalam Kongres Pemuda, Soegondo terhubung langsung dengan DR/ Soetomo (ketua panitia Kongres PPPKI), sedanngkan Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap terhubung langsung dengan Parada Harahap (sekretaris PPPKI). Pada saat itu Parada Harahap adalah sekretaris Sumatranen Bond yang mana sebagai tokoh mudanya adalah Mohamad Jamin, sedangkan di Bataksche Bond, Parada Harahap adalah mantan ketua yang mana Amir Sjarifoeddin Harahap adalah tokoh pemudanya. Abang Mohamad Jamin bernama Djamaloedin alias Adinegoro adalah editor di surat kabar Bintang Timoer. Pada masa itu semua orang terhubung satu sama lain (tidak ada yang Lone Ranger).

Setelah kongres Parsatoean Arab Indonesia (PAI) yang diadakan di Soerabaja tahun 1937 ini, namanya telah berubah menjadi Partai Arab Indonesia yang disingkat PAI (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-11-1937). Perubuhan platform organisasi itulah yang diduga sebab mengapa kantor pusat PAI kembali dipindahkan ke Batavia. Organisasi wajah baru yang berubah status dari paguyuban (Vereeniging) menjadi organisasi partai (Partij) yang akan memperjuangkan tiga mosi yang dihasilkan pada kongres di Soerabaja. Salah satu dari tiga mosi itu adalah perjuangan untuk mendirikan sekolah (Hollandsch-Arabische School di (pulau) Jawa. Sedangkan mosi utama lainnya adalah memisahkan Arab dari Tionghoa dalam kelompok pemilih(an). Dengan dibentuknya Partai PAI ini semua mosi ini akan lebih mudah tercapai. Pembentukan Partai PAI pada dasarnya mengikuti pola pembentukan PNI (di era Ir. Soekarno). Ketua Partai PAI (tetap) dijalankan oleh Abddoerrachman Baswedan (yang doskong oleh Parada Harahap dan Dr. Soetomo).

De Sumatra post, 14-01-1922
Partai pertama adalah NIP (Nationaal-Indische Partij). yang dipimpin oleh Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kemudian dibubarkan pemerintah. Lalu partai yang pertama didirikan setelah terbentuknya PPPKI tahun 1927 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Sebelumnya partai ini bernama Perhimpoenan Nasionalis Indonesia yang didirikan di Bandoeng suatu paguyuban yang dibentuk dari Algeemenn Studi Club di Bandoeng tahun 1926. Suatu studi klub yang kedua yang dibentuk setelah yang pertama dibentuk di Soerabaja pada tahun 1924 oleh Dr. Soetomo dkk. Perubahan status PNI ini menjadi partai didukung oleh Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI. Sebelum (menjelang) kongres PPPKI tahun 1928 PNI diubah dari Perhimpoenan menjadi Partai. Parada Harahap dan Ir. Soekarno cukup dekat karena ketika Ir. Soekarno mendirikan studi klub di Bandoeng tahun 1926 kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer di Batavia. Dalam suatu editorial di Bintang Timoer, Parada Harahap mendesak Ir. Soekarno untuk terjun ke lapangan dan tidak hanya di lingkaran kampus. Proses komunikasi inilah yang mendorong Ir. Soekarno mendirikan partai PNI pada bilan Desember 1927 yang di dalam deklarasinya di Bandoeng turut dihadiri oleh Parada Harahap. Untuk sekadar catatan tambahan, di kantor PPPKI di Gang Kenari, yang mana sebagai sekretaris adalah Parada Harahap hanya tiga foto yang dipajang: Pangeran Diponegoro, Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta. Boleh jadi tiga tokoh ini adalah idola Parada Harahap. Itulah sebabnya Parada Harahap meminta hadir Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta berpidato di dalam Kongres PPPKI pada tahun 1928. Namun Mohamad Hatta tidak bisa hadir karena kesibukan kuliah mempersiapkan tesis (skripsi) di Belanda tetapi Mohamad Hatta yang menjabat sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) mengutus Ali Sastroamidjojo sebagai perwakilan PI. Parada Harahap sendiri sudah lama mengenal Mohamad Hatta yakni sejak kongres Sumatranen Bond di Padang pada tahun 1919 dan 1921 yang mana saat itu Mohamad Hatta dari delegasi kota Padang dan Parada Harahap sebagai ketua delegasi dari Tapanoeli. Saaat itu Parada Harahap pada tahun 1919 telah mendirikan surat kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka. Dalam dua kongres Sumatranen Bond di Padang sebagai pembina kongres adalah Dr. Abdul Hakim Nasution (ketua NIP di wilayah Pantai Barat Sumatra). Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr. Abdul Hakim Nasution adalah sama-sama satu kelas di Docter Djawa School/STOVIA dan sama-sama lulus tahun 1905. Jika Ir. Soekarno berguru ke Dr. Tjipto maka Parada Harahap dan Mohamad Hatta berguru kepada Dr. Abdul Hakim Nasution. Dalam bahasa umum, tidak ada orang yang lahir sendiri, tetapi semua orang terhubung satu sama lain untuk melahirkan gagasan besar. Untuk sekadar catatan tambahan lagi: Sumatranen Bond awalnya didirikan di Belanda dengan nama Sumatra Sepakat pada bulan Januari 1917 yang mana sebagai ketua Dr. Sorip Tagor dan sekretaris Soetan Goenoeng Moelia. Sorip Tagor Harahap adalah kelahiran Padang Sidempoean, dokter hewan pertama dari kalangan pribumi yang diraih pada tahun 1920 di Utrecht. Sorip Tagor kelak dikenal sebagai kakek buyut Inez dan Risty Tagor serta Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto, mantan Ketua DPR).

Het nieuws van den dag voor Ned-Indie, 27-11-1902
Yang muda berguru kepada yang tua (Primus inter pares). Mohamad Hatta dan Soetomo juga berguru kepada Soetan Casajangan. Dr. Soetomo pernah menjadi ketua Pehimpunan Indonesia di Belanda dan juga Mohamad Hatta kini (sejak 1926) menjadi ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah pendiri Indische Vereeniging tahun 1908 yang menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Dalam pembentukan PPPKI yang digagas oleh Parada Harahap pada tahun 1927 diadakan di rumah Dr. Hoesein Djajadingrat. Untuk sekadar catatan tambahan pada saat Indisch Vereeniging dibentuk tahun 1908 di Belanda, dimana yang menjadi presiden (pertama) adalah Soetan Casajangan dan Hoesein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Dalam hal ini Parada Harahap dan Soetan Casajangan berasal dari kampong yang sama di Pandang Sidempoean. Dalam pembentukan PPPKI ini di rumah Dr. Hoesien Djajadiningrat turut dihadiri oleh Mangaradja Soeangkoepon (anggota Volksraad). Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon yang berasal dari Padang Sidempoean adalah anggota Indisch Vereenining di Belanda. Dalam bahasa umum lagi: Tidak ada orang yang lahir sendiri, tetapi semua orang terhubung satu sama lain dalam menyusunn barisan (shaf) yang rapih. Imamnya dalam urusan berorganisasi ini adalah Dja Endar Moeda yang mendirikan organisasi (vereeniging) pribumi pertama di Padang pada tahun 1900 yang diberi nama Medan Perdamaian (Boedi Oetomo adalah copy paste dalam pembentukan Boedi Oetomo). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Soetan Casajangan di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean (1884). Untuk catatan tambahan lagi: Dr. Abdul Hakim Nasution adalah wali kota pertama Kota Padang (dari kalangaa pribumi). Dr. Abdul Hakim Nasution adalah besan dari MH Thamrin. Pada era kolonial Belanda hanya ada dua dari kalangan pribumi yang menjadi wakil wali kota (locoburgemeester) yakni Abdul Hakim di Padang (1931-1042) dan MH Thamrin (1930-1932 (di Batavia). Sementara Dja Endar Moeda sendiri kelak dikenal sebagai mertua Dr. Haroen Al Rasjid Nasution.  Kelak Dr, Haroen Al Rasjid, kelahiran Padang Sidempoean dikenal sebagai ayah dari Dr. Ida Loemongga dan Mr. Gele Haroen. Dr. Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia bergelar doktor (Ph.D) di Belanda tahun 1930 dan Mr. Gele Haroen adalah residen pertama Lampoeng (kini lagi diusulkan sebagai pahlawan nasional). Dr. Ida Loemongga dan Mr. Gele Haroen dalam hal ini adalah cucu dari Dja Endar Moeda. Serba kebetulan Dja Endar Moeda (pendiri Medan Perdamaian di Padang), Soetan Casajangan (pendiri Indische Vereeniging di Belanda), Mangaradja Soangkoepon, Abdoel Hakim (pendiri NIP cabang Pantai Barat Sumatra di Padang), Sorip Tagor (pendiri Sumatranen Bond di Belanda), Soetan Goenoeng Moelia (pendiri Persatoean Masehi Indonesia di Batavia), Parada Harahap (pendiri PPPKI) dan Amir Sjarifoeddin berasal dari kampong yang sama (kota Padang Sidempoean).

Pihak pemerintah terkesan mulai was-was haluan politik orang-orang Arab yang kini Persatoean Arab Indonesia menjadi sebuah partai. Orang Arab menjadi lebih dekat dan semakin menyatu dengan pribumi baik di kalangan elit maupun kalangan menengah bawah. Pemuda Arab sudah tampak lebih akrab dengan para pemuda Moehammadijah. Ketua Partai PAI Abdoerachman Baswedan semakin mengkristal di kalangan aktivis nasionalis. Sikap curiga pemerintah dan orang-orang Belanda terhadap orang (keturunan) Arab ketika baru-baru ini pabrik tekstil yang dimiliki orang Arab menurunkan upah (lihat De Indische courant,    28-12-1937).  Aparat segera bergegas menyelidik. Sebab ada diduga bermotif politik untuk memancing keresahan di masyarakat yang pada gilirannya menyudutkan pemerintah karena banyak banyak penduduk/pekerja berhenti bekerja di satu susu dan di sisi lain penerimaan pajak pemerintah berkurang.

Pada hari Jumat siang administratr pabrik tekstil milik Ibrahim Baswedan di Bagong Djoewingan mengumumkan upah harian akan diturunkan dari 15 sen menjadi 10 sen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-12-1937). Disebutkan Sekitar 150 hingga 200 pria dan wanita menyatakan bahwa mereka tidak mungkin bekerja dengan uang segitu sehari dan karenanya akan terpaksa mencari pekerjaan lain. Menurut manajer pabrik bahwa beberapa lusin laki-laki dan perempuan berubah pikiran pada hari-hari berikutnya dan kembali bekerja. Akan tetapi menurut manajer/kepala pabrik menyatakan bahwa hanya akan mungkin untuk terus bekerja jika semua mau melanjutkan pekerjaan dengan upah yang dikurangi tersebut. Lebih jauh manajer mengatakan bahwa tidak semua karyawan berhenti bekerja. Sekitar 400 orang masih bersedia bekerja di pabrik yang mana sekitar setengah dari jumlah mereka ini tidak ingin terus bekerja dengan tingkat upah tersebut.

Asisten-wedana Djabakotta dan sejumlah aparatur dari Badan Intelijen Politik dikirim untuk melakukan penyelidikan. Namun dari hasil penyelidikan yang dibuat mereka hanya berkesimpulan hanya masalah konflik upah dan tidak memiliki dasar politik. Tim penyelidik ini yakin bahwa tidak mungkin membayar upah lebih tinggi karena pasar tekstil lagi mengalami kelesuan sementara stok (inventori) di gudang masih sangat banyak. Tim ini juga yakin bahwa pabrik-pabrik lain juga akan mengalami hal yang sama. Disebutkan bahwa para pekerja ini tidak hanya penduduk Soerabaja dan sekitar tetapi beberapa pekerja berasal dari tempat lain, termasuk Sidoardjo, Probolinggo dan Pasoeroean dan percaya bahwa mereka tidak dapat terus bekerja untuk upah baru yang ditawarkan. Inspektorat Tenaga Kerja (Provinsi Jawa Timur) sudah mendapat laporan penyelidikan ini namun menurutnya masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.

Pobia (pemerintah) Belanda ini juga pernah terjadi pada tahun 1934. Ketika tujuh revolusioner Indonesia yang dipimpin oleh Parada Harahap berangkat ke Jepang menjadi heboh tidak hanya di Hindia tetapi juga di Belanda. Sepulang dari Jepang rombongan revolusioner mendarat di Soerabaja tanggal 14 Januari 1934 (untuk wait en see). Seetelah seminggu di Soerabaja di bawah ‘kawalan’ Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution, tujuh revolusioner itu kembali ke kota masing-masing. Parada Harahap dan Mohamad Hatta kembali ke Batavia. Namun tidak lama kemudian Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap dan diadili. Di pengadilan dihadirkan saksi (konsulta Jepang di Batavia). Atas kesaksian konsulat, bagaimana kunjungan mereka ke Jepang, akhirnya Parada Harahap dan Mohamad Hatta dibebaskan.

Pemerintah tentu saja jelas mengetahui siapa Ibrahim Baswedan pemilik pabrik tekstil di Bagoeng Soerabaja ini. Pobia Belanda semakin menjadi-jadi karena orang-orang Arab telah besatu dan telah memiliki partai. Ibrahim Baswedan adalah sepupu Abdoerachman Baswedan. Di dewan kota (gemeenteraad) juga ada tokoh Indonesia sebagai anggota dewan senior (wethouder)  Dr. Radjamin Nasution. Para intel dan polisi Belanda beranggapan bahwa kekuatan ekonomi dan kekuatan politik dapat dimainkan secara bersamaan. Namun yang terus menjadi momok bagi polisi dan intel Belanda adalah para aktivis politik revolusioner yang lihat seperti Soekarno, Parada Harahap dan Mohamad Hatta (mereka bertiga ini sudah teruji). Parada Harahap yang pernah mengelola surat kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka (1919-1921) dan kemudian di breidel, dan ketika hijrah ke Batavia juga Parada Harahap terus diawasi dan dijerat setiap saat. Satu kisah pengadilan yang sengaja menjerat Parada Harahap namun dapat diatasi Parada Harahap dengan enteng dan mampu berkelit dengan jawaban jitu seperti berikut.

De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan kepada Parada Harahap  bahwa ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya (sumber penerimaan). Parada menjawab: ‘Bagaimana saya bertanggungjawab?’. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’. ‘Iya betul, tapi saya hanya bertanggungjawab untuk bagian jurnalistik’, jawab Parada Harahap enteng lalu menandaskan, ‘bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan’. Polisi terus mencecar: ‘Ah’, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?’. Parada Harahap spontan menjawab: ‘Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

Pada tahun 1938 akan diadakan kongres PAI yang ketiga (lihat Soerabaijasch handelsblad, 02-02-1938). Disebutkan kongres  ini diadakan di Semarang dari tanggal 15 hingga 18 April di Semarawg. Sehubungan dengan kongres ini ada desas-desus bahwa ketua Dewan Pusat, ARA Baswedan akan mengundurkan diri tetaipi ditentang oleh Dewan Pusat.

Tidak diketahui secara jelas mengapa Abdoerachman Baswedan ingin mengundurkan diri sebagai ketua PAI. Yang mulai jelas adalah mengapa terjadi pengurangan upah di pabrik tekstil di Soerabaja. Ternyata tidak hanya pabrik Baswedan  yang kewalahan dengan stok di gudang, tetapi juga ternyata pabrik lainnya. Penyebab utama sudah mulai dilontasrkan oleh pengusaha di Soerabaja karena kebijakan impor yang mengabaikan eksistensi pabrik tenun (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-08-1938). Arus impor telah menahan laju penjualan pabrik tekstil. Apakah para pabrikan sudah mulai bersuara sehubungan dengan semakin menguatnya partai PAI? Lantas apakah masalah pabrikan ini terkait dengan rumor mundurnya AR Baswedan? Karena merasa gagal menyuarakan keluhan pengusaha tekstil sehingga harus merugikan pengusaha tekstil dan menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan?

Setelah protes para pabrikan tekstil di Soerabaja, tidak lama kemudian diberitakan bahwa semua perngusaha tekstil di Soerabaja telah bersatu dengan membentuk asosiasi Nederlandsch Indische Vereeniging van Textielfabrikanten pada tanggal 1 Agustus 1938 (lihat De Indische courant, 19-08-1938). Pada pertemuan kedua tanggal 15 Agustus terbentuk susunan pengurus sementara, sebagai berikut: Tan Tjiang Ling (directeur der NV Ned.-Ind. Textielfabriek ‘Kasri) sebagai ketua; CH Caa1s (directeur der NV Taxtiel-Industrie ‘Java’) sebagai wakil ketua; Brahim Baswedan (directeur der Bontwèverlj ‘Bagong Djoewingan) sebagai kommissaris; Alsaldi bin Awad Martak (directeur der Textielfabriek ‘Martak) sebagai kommissaris; Mr PG Jansen (secretaris der verg. ‘Ned.-Ind. Fabrikaat’) sebagai sekretaris-bendahara (adviseerende stem).

Abdoerrachman Baswedan jelas tidak mudah untuk mengudurkan diri, para pengurus pusat ingin tetap sebagai ketua. Permintaan para pengurus ini dapat dipahami, tidak hanya karena Abdoerrachman Baswedan sebagai pendiri, tetapi yang paling utama adalah hanya Abdoerrachman Baswedan yang memiliki kedekatan khusus dengan para revolusioner Indonesia. Abdoerrachman Baswedan adalah ‘hub’ antara orang Arab dengan pribumi ketika arus Indonesiasi para Indo ingin melebur dengan (pribumi) Indonesia.

Dalam minggu-minggu terakhir pembicaraan tentang Indo tengah marak terutama di koran-koran berbahasa Melayu. Adanya keinginan orang-orang Indo (Belanda, Tionghoa dan Arab yang lahir di Hindia) ingin lebur dengan orang (diakui sebagai) Indonesia karena alasan mereka lahir di Hindia. Editorial Pewarta Deli menggarisbawahi keinginan melebur itu harus sepunuhnya tidak sekadar bentuk-bentuk kerjasama dengan pribumi tetapi kenyataannya terpisa. Penduduk pribumi harus memberi kepercayaan, sementara orang Indo harus menjelaskan sendiri bahwa solusi untuk masalah orang Indo umumnya ada di tangan mereka sendiri (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-10-1938). EditEditorial surat kabar milik Parada Harahap Tjaja Timoer (suskses surat kabar Bintang Timoer) sebagaimana dikutip Soerabaijasch handelsblad, 07-10-1938 menyatakan keinginan itu sesungguhnya sudah sendirinya terlaksana, Sudah begitu dekat Indo Eropa/Belanda, Indo Arab dan Indo-Tionghoa dengan pribumi, tetapi harus orang Indo sendiri yang bisa menjelaskan. Menurut pendapat kami, titik awal terbaik yang bisa dihormati oleh orang Indonesia adalah sikap wait en see. Perlu diingat bahwa pemerintah mengelompokkan pendudukan sebagai orang Belanda, orang Asing dan orang pribumi.  Keinginan melebur khususnya Indo-Eropa. bahwa masalah itu bukan lagi masalah bagi orang Indonesia, tetapi bahwa itu adalah masalah Indo-Belanda dan Belanda yang harus diselesaikan! Sebab fakta bahwa di antara anggota IEV (Indo Eropah) di Makassar, tetap muncul suara yang menyatakan tidak akan lebih disukai untuk menyamakan status orang Indo-Eropa dengan orang pribumi bagi sebagian besar dari mereka,

Di Kota Soerabaja semuanya (yang berhaluan Indonesia) telah menyatu yang notabene dapat membahayakan sisi (eksistensi) Belanda. Eksistensi Belanda ini semakin tergerogoti sehubungan dengan semakin derasnya keinginan para Indo (Belanda) untuk diakui sebagai Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh orang Arab.

Organisasi-organisasi para Indo sudah terbentuk. Orang Arab menyatakan dirinya sebagai Arab-Indonesia (PAI), demikian juga Tionghoa-Indonesia (Persatoean Tionghoa Indonesia) dan Indo-Eropa (IEV). Organisasi para Indo haruslah dibedakan dengan konsep NIP pada era Tjipto Mangoenkoesoemo.

Pada tahun 1938 Kota Soerabaja kedatangan orang penting yang menambah kekuatan Indonesia. Dia cukup mengenal siapa Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Orang baru di Soerabaja tersebut adalah dokter bergelar doktor (Ph.D), yakni Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. seorang Tapanoeli (bermarga Lubis) kelahiran Pajakoemboeh. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan dari Riaouw di TandjoengPinang ke Oost Java di Soerabaja (Bataviaasch nieuwsblad, 26-10-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D  akan mengepalai laboratorium besar di Soerabaja. Untuk mengefektifkkan kapasitas Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D selain berfungsi di laboratorium di Soerabaja, juga akan menjadi kepala dinas kesehatan kota di Kota Soerabaja (De Indische courant, 20-12-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga akan merangkap jabatan untuk wilayah kesehatan di bawah wilayah Guberneur Oost Java.

Sjoeib Proehoeman diberitakan lulus STOVIA tahun 1917 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-12-1917). Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Stovia sama-sama lulus tahun 1912. Setelah sempat berdinas di Batavia, pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919). Ini seakan kilas balik. Pada tahun 1906 ayah Dr. Sjoeib Proehoeman, dokter hewan Si Badorang gelar Radja Proehoeman, lulusan kursus kedokteran di Buitenzorg 1886, setelah berdinas di berbagai tempat, ditempatkan di Padang Sidempoean. Pada tahun 1907 mengantar Sorip Tagor ke Buitenzorg untuk berkuliah sehubungan dengan pembukaan sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool). Lalu ketika Sjoeib Proehoeman diterima di STOVIA pada tahun 1910 giliran Sorip Tagor yang membawa anak dokter Radja Proehoeman untuk studi ke Batavia. Pada masa itu mereka ini merantau ke Jawa masih belia, lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) karena itu selalu ada yang menemani. Beberapa tahun kemudian Dr. Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Sjoeib Proehoeman dinyatakan lulus dokter (Algemeen Handelsblad, 13-11-1929). Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi berupaya mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Upaya Sjoeib Proehoeman tidak sia-sia lalu kemudian dinyatakan berhak mendapatkan gelar doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’ (Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930).

Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D telah menambah daftar orang terpelajar asal Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing er Angkola) yang meraih gelar Ph.D. Sebelumnya, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengon en het Karoland’. Setelah itu Achmad Mochtar lahir di Bondjol meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1927 dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Lalu kemudian menyusul Ida Loemongga lahir di Padang meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’. Setahun kemudian menyusul Aminoedin Pohan lahir di Sipirok meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universiteit Utrecht 1932 dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en behandeling’, Tahun berikutnya Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean meraih gelar doktor di bidang filsafat di Universiteit Leiden 1933 engan desertasi berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'.

Setelah meraih Ph.D, Sjoeib Proehoeman kembali ke kantor pusat di Batavia (Departemen Kesehatan) dan ditempatkan di rumah sakit pusat di Batavia. Namun tidak lama kemudian, Dr. Sjoeib Proehoeman dipromosikan sebagai dokter pemerintah ke kantor regional (kepala dinas kesehatan) di Sibolga (De Indische courant, 05-02-1931). Dr. Sjoeib Proehoeman adalah pejabat pribumi tertinggi di Sibolga, ibukota Residentie Tapanoeli. Dr. Sjoeib Proehoeman tidak hanya sebagai kepala dinas kesehatan tetapi juga difungsikan sebagai dokter medis di Sibolga (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1932). Sementara itu di Batavia diumumkan bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman termasuk dari enam dokter yang dipromisikan sebagai dokter kelas satu di Hindia Belanda (De Sumatra post, 03-11-1933). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sebagai kepala dinas kesehatan regional di Residentie Tapanoeli merancang desain baru dalam pengendalian penyakit tuberkulosis di Residentie Tapanoeli.  Karena dianggap sukses mendesain sistem pengendalian penyakit malaria dan penyakit tuberkulosis di Residentie Tapanoeli, sukses Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D ini kemudian menjadi perhatian pemerintah pusat dan menugaskan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D untuk melakukan hal yang sama di Riouw (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-06-1936). Dr. Sjoeib Proehoeman menggantikan Dr. Gremmee, Ph.D (De Sumatra post, 01-07-1936). Setelah sukses di Residentie Riaou, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke wilayah endemik tubercolous di Oost Java (Bataviaasch nieuwsblad, 26-10-1938).

Menurut laporan awal yang diterima dari komite sebelumnya malaria dan TBC telah banyak mengakibatkan korban kematian (Soerabaijasch handelsblad, 04-04-1940). Kasus kematian tidak hanya pribumi tetapi juga Eropa, Tionghoa dan Arab. Oleh karena itulah dukungan swasta (perusahaan-perusahaan perdagangan dan perkebunan) sangat mendukung kehadiran Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga. Kini tanggungjawab besar tentang permasalahan kesehatan serupa kembali berada di pundak Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D (yang memang memiliki pengalaman untuk dua jenis penyakit ini).

Pada tahun 1941 kembali kedatangan pendukung Indonesia. Dia adalah seorang apoteker pribumi yang baru lulus di Batavia. Sekolah apoteker di Batavia dibuka kali pertama tahun 1938 (yang terdiri dari siswa Belanda, Tionghoa dan pribumi). Salah satu lulusan kursus tiga tahun ini adalah Ismail Harahap dan ditempatkan di Kota Soerabaja. Apoteker Ismail Harahap akan bersinergi dengan tugas-tugas Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D. Dokter dan apoteker ini tentu saja sangat disambut antusias oleh anggota dewan kota senior (Wethouder) Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution. Kebetulan mereka berasal dari kampong yang sama: Padang Sidempoean. Ismail Harahap kelak lebih dikenal sebagai ayah dari Andalas Harahap gelar Datoe Oloan yang kini lebih dikenal sebagai pionir musik rock terkenal Indonesia di Soerabaja: UCOK AKA (singkatan Apotik Kaliasin).

Pada tahun 1941 dan 1942 adalah tahun-tahun yang sangat mencekam. Perang dunia tengah berlangsung dan hawanya sudah terasa di Hindia Belanda khususnya di Jawa, lebih-lebih di Soerabaja sehubungan dengan invasi (peududukan) militer Jepang. Untuk mengantisipasi situasi yang tidak menentu, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D mulai mempersiapkan tindakan pencegahan atau mitigasi (Soerabaijasch handelsblad, 27-01-1942). Dr. Sjoeib Proehoeman, sebagai dokter kota, mulai mengambil inisiatif dengan melakukan penggalangan dana masyarakat untuk pembentukan rumah sakit-rumah sakit darurat yang disebar di berbagai titik di seluruh kota. Sejumlah gudang yang tidak terpakai disulap menjadi rumah sakit darurat.

Para Pahlawan Soerabaja
Dukungan dari berbagai pihak mulai berdatangan. Salah satu dukungan tersebut berasal dari Firma Baswedan (lihat De Indische courant, 18-02-1942). Disebutkan beberapa minggu yang lalu Firma Baswedan menyalurkan sejumlah kain perban. Disebutkan bantuan datang dari banyak tangan (antara lain, berbagai sekolah-sekolah ikut membantu dalam hal ini), sebanyak 4.000 perban darurat dibuat, yang diserahkan ke layanan medis kota, Kepala layanan medis menyampaikan ucapan terima kasih yang antusias. Foto tiga pahlawan Soerabaja.

Antusiame warga kota Soerabaya dalam mengantisipasi perang ini besar dugaan beritanya sudah tersebar di dalam kota begitu ganasnya serangan militer Jepang di tempat lain. Berita itu dikutip dari surat dari anak Radjamin Nasution dari Tarempa, Riaouw. Anak Radjamin Nasution ini seorang dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar, karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya mempublikasikan isi surat tersebut sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.

Tandjong Pinang, 22-12-194l.

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.

Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa sangat dekat dari Singapura. Akhirnya serangan militer Jepang ini sampai ke Soerabaja. Pada saat serangan pertama pemboman yang dilakukan militer Jepang di Soerabaja berada di area Kaliasin (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-02-1942).

Area Kaliasin adalah tempat tinggal apoteker muda Ismail Harahap. Disebutkan dalam serangan pertama di Kali Asin ini terdapat 14 tewas (empat orang Eropa/Belanda) dan sebanyak 51 orang terluka. Beberapa bulan kemudian Juli 1942 Ismail Harahap menikah di Soerabaja. Anak mereka lahir 25 Mei 1943 yang diberi nama Andalas Harahap gelar Datoe Oloan alias UCOK AKA (Anak Kaliasin).

Akhirnya Belanda di Indonesia menyerah kepada militer Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 setelah sehari sebelumnya terjadi perundingan antara Jenderal Imamura dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh.

Abdurrachman Baswedan, Radjamin Nasution, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Soetan Geoenoeng Moelia

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pemilik portofolio tertinggi di Kota Soerabaja adalah Dr. Radjamin Nasution. Dua sahabatnya telah tiada: WR Supratman meninggal dunia pada tanggal 30 Mei 1938 dan Dr. Soetomo meninggal tanggal 17 Agustus 1938. Pimpinan militer Jepang mengangkat Dr Radjamin Nasution sebagai Wakil Wali Kota Soerabaja. Untuk posisi wali kota sendiri dipegang oleh pimpinan militer Jepang di Soerabaja.

Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1942
Untuk perayaan (slametan) Indonesia-Jepang di Soerabaja yang diadakan pada tanggal 28 hingga 30 April dibentuk komite (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1942). Komite ini diketuai oleh Roeslan Wongsokoesoemo dan sekretaris Dr Angka Nitisastro (adik kelas Dr. Radjamin Nasution di Stovia, asli Soerabaja). Proses dilakukan pada tangga 29 April dilakukan melalui rute yang dimulai dari Gemeentekantoor pukul 11.00 melalui Dijkermanstraat,  Simpang, Kajoon, Sonokembang, Palmenlaan, Jullana Boulevard, Kedoengsarie, Kedoengdoro, Blaoeran, Baliwerti, Pasar Besar, Stadstuin berakhir di Gedoeng Nasional pada pukul 11.45 untuk sebuah acara slametan.

Sejak pendudukan Jepang tidak pernah terdengar lagi nama Baswedan. Pabrik tekstil milik pengusaha (Ibrahim) Baswedan juga tidak pernah terdengar. Pabrik tekstil ini tidak beroperasi lagi. Selama pendudukan militer Jepang, orang-orang Eropa/Belanda diinternir dalam kamp-kamp di berbagai tempat, sementara orang-orang pribumi diberi kebebasan penuh, sedangkan orang-orang (keturunan) Tionghoa dan Arab agak dibatasi.

Sebagaimana yang dijanjikan oleh Jepang, pada waktunya Indonesia akan mendapatkan kemerdekaannya sendiri. Dalam hubungan ini dibentuk suatu badan yang menyiapkannya yang disebut BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan). Badan ini diresmikan pada tanggal 29 April 1945. Dua diantara anggota BPUPKI ini adalah Parada Harahap dan Abdoerrachman Baswedan. Tentu saja di dalamnya termasuk tokoh-tokoh revolusioner lainnya seperti Soekarno dan Mohamad Hatta. Badan ini kemudian dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 dan kemudian dibentuk suatu komite yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini terdiri dari: 21 orang  yang dapat dikatakan sangat menguasai bidangnya. Dalam daftar ini nama Parada Harahap dan Abdoerrachman Baswedan tidak ada lagi. Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta menjadi ketua dan wakil. Dalam daftar ini terdapat nama baru yakni Mr. Abdul Abbas Siregar.

Seperti ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942, pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Hasil-hasil pekerjaan PPKI yang sudah mulai final, pada kesempatan inilah para pemuda revolusioner mendesak Soekarno dan Mohamad Hatta untuk memproklamasikan kemerdrkaan Indonesia. Jadilah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Para interniran Eropa/Belanda masih di kamp-kamp sedangkan militer Jepang dalam posisi wait en see. Untuk tugas pelucutan senjata militer dan evakuasinya akan dilakukan Sekutu/Inggris dan juga untuk melakukan pembebasan dan evakuasi para interniran. Namun dalam kesempatan ini dimanfaatkan Belanda/NICA membonceng Sekutu/Inggris masuk ke dalam wilayah Indonesia. Arus Belanda yang semakin kuat tampaknya Sekutu/Inggris awalnya tutup mata lalu tidak berkuasa. Pemerintah Belada/NICA semakin menguat, perang melawan Inggris berlanjut perang melawan Belanda. Pemerintah Belanda/NICA akhirnya berhasil menguasai sebagain wilayah Indonesia.   

Nama Baswedan kembali muncul. Ini sehubungan dengan adanya upaya Belanda/NICA mengaktifkan kembali pabrik tekstik (lihat Nieuwe courant, 01-07-1946). Pemerintah Belanda/NICA ingin menghidupkan kembali empat pabrik tekstil yang ada di Soerabaya yang dibangun sebelum perang. Dua diantara pabrik tekstil itu adalah milik (keluarga) Arab yakni (keluarga) Baswedan dan (keluarga) Martak. Tujuannya untuk meningkatkan produksi dan untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk. Sementara itu di wilayah RI yang beribu kota di Jogjakarta kabinet dipimpin oleh Soetan Sjahrir.

Sejak Januari 1946 ibu kota RI telah dipindahkan dari Djakarta/Batavia ke Jogjakarta. Ini sehubungan dengan ketidakamanan di Djakarta. Pasukan Sekutu/Inggris telah meratakan jalan bagi pasukan Belanda/NICA untuk membentuk pemerintahan (kembali) di Indonesia. Secara perlahan wilayah-wilayah RI semakin tergerogoti dan akhirnya hanya menyisakan sedikit terutama wilayah Jogjakarta/Jawa Tengah dan (pulau) Sumatra (minus Sumatra Timur dan Sumatra Selatan).

Pada bulan Oktober 1946 Perdana Menteri Soetan Sjahrir menyusun kembali susunan kabinetnya (Kabinet Sjahrir-3). Salah satu anggota kabinetnya adalah Abdoerachman Baswedan sebagai Wakil Menteri Penerangan (lihat Trouw, 01-10-1946). Kabinet baru ini dilantik pada tanggal 2 Oktober 1946. Untuk posisi Menteri Penerangan sendiri dijabat oleh Mohammad Natsir.

Para menteri lama yang tetap dipertahankan dalam susunan kabinet baru ini antara lain Amir Sjarifoedin Harahap untuk Menteri Pertahanan, Mohamad Natsir untuk Menteri Penerangan, Maria Ulfah Santoso untuk Menteri Sosial, Dr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D untuk Menteri Pendidikan dan Agus Salim untuk Menteri Luar Negeri..

Perdana Menteri Soetan Sjahrir mengundurkan diri dan Kabinet Sjahrir-3 berakhir pada tanggal 3 Juli 1947. Perdana Menteri baru ditunjuk yakni Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Dalam susunan kabinet baru ini hanya beberapa orang yang tetap dipertahankan. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Agus Salim tetap sebagai Menteri Luar Negeri serta Ir. Djoeanda sebagai Menteri Pehubungan. Nama AR Baswedan dan Soetan Goenoeng Moelia tidak ada lagi. Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.

Dalam situasi RI tertekan, sekolompok pendukung Belanda/NICA membentuk negara-negara federal yakni wilayah-wilayah dimana pemimpin lokal berafiliasi dengan Belanda/NIC. Negara Sumatra Timur terbentuk pada tanggal 25 Desember 1947.Dalam perkembangannya kemudian menyusul terbentuknya Negara Pasoendan pada tanggal 24 April 1948. Provinsi Jawa Timur menjadi Negara Jawa Timur pada tanggal 26 November 1948. Negara federal dalam hal ini adalah suatu negara  yang mensejajarkan diri dengan Negara RI. Negara-negara federal ini secara defacto dikuasai oleh Belanda/NICA. Ketika sebagian penduduk dan pemimpin Indonesia mendukung RI, sebagian yang lain pula mendukung Belanda dalam pembentukan negara federal tersebut (menghianati RI).

Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap mengundurkan diri dan ditunjuk Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta sebagai Perdana Menteri (Presiden Soekarno tinggal sendiri, tidak ada lagi Wakil Presiden). Kabinat Mohamad Hatta dibentuk pada tanggal 29 Januari 1948. Nama-nama lama yang tetap dipertahankan antara lain adalah Agus Salim, Ali Sastroaidjojo, Hemengkoeboewono dan Ir. Djoeanda.

Dalam posisi RI yang semakin tertekan karena semakin menguatnya Belanda/NICA, lebih-lebih setelah Negara Pasoendan dan Negara Jawa Timur terbentuk, pemerintah Belanda/NICA mulai melancarkan agresi militer (invasi) ke wilayah RI. Invasi ini dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948. Ibu kota RI di Djogjakarta diduduki, dan pemimpin RI ditangkap dan diasingkan. Presiden Soekarno diasingkan ke (Negara) Sumatra Timur dan Perdana Menteri Mohamad Hatta diasingkan ke (Negara) Sumatra Selatan. Sementara Hamengkoeboewono yang juga sebagai Sultan dilakuak tahanan rumah. Lalu segera terbentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittingi dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran). Komando militer dibentuk di Sumatra yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat. Untuk perlawanan yang dilakukan TNI di Jawa dipimpin oleh Soedirman dan Abdul Haris Nasution dengan cara bergerilya.

Pemerintah Belanda/NICA dengan negara-negara federal bentukannya melihat perang tidak pernah usai. Perlawanan Republiken dan TNI tidak pernah putus. Pemerintah Belanda/NICA lelu meminta gencatan senjata dan mengajak pemimin RI ke perundingan yang diwakili oleh Mohamad Roem dkk yang diadakan di Batavia/Djakarta. Hasil perundingan akan dilanjutkan ke perundingan lebih lanjut yang akan dilakukan di Den Haag. Untuk persiapan perundingan ke Den Haag tersebut para pemimpin RI yang diasingkan (Soekarno, Hatta dan lainnya) dikembalikan ke Djogjakarta pada bulan Juni 1948.

Dalam persiapan kembali pemimipin RI ke Jogjakarta timbul kesulitan sendiri bagi Soetan Djogjakarta karena tidak ada komando militer. Khawatir terjadi chaos saat evakuasi militer Belanda/NICA dari Jogajakarta, Soeltan terus mencari keberadaan dimana Soedirman, TB Simatoepang dan Abdul Haris Nasution. Akhirnya tim pencari menemukan TB Simatoepang memimpin gerilya di hutan-hutan di Jawa Tengah di Banaran. Setelah Simatoepang kembali ke Jogja baru tenang Soeltan dan memberi kesempatan kepada militer Belanda/NICA untuk evakuasi ke Semarang. Beberapa hari kemudian baru didatangkan pemimpin RI yakni Soekarno dan Mohamad Hatta. Lalu dalam beberapa hari kemudian tiba Soedirman dan pasukannya dari hutan-hutan di selatan Jogjakarta namun tidak bersedia menemui Ir. Soekarno dan Moahamad Hatta. Soedirman dkk hanya disambut oleh TB Simatoepang di pinggiran kota Jogjakarta. Pembaca dapat menebak mengapa demikian.

Setelah segala persiapan selesai, delegasi Indonesia berangkat ke Den Haag untuk mengadakan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB). Delegasi dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta. Hasil konferensi tersebut pada intinya adalah mengakui kedaulatan RIS (Republik Indonesia Serikat), bukan Republik Indonesia. Pengakuan ini berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Namun persoalan tidak hanya selesai sampai disitu.

Sebagian penduduk Indonesia terutama para Republiken tidak puas dengan hasil KMB. Lalu mulai muncul kebingungan di antara masyarakat karena ada dua bentuk pemerintah di sejumlah wilayah. Masyarakat Sumatra Timur yang heterogen mengusulkan referendum untuk menentukan apakah Negara Sumatra Timur (NST) atau Negara Kesatuan. Gelombang protes Bubarkan NST dari waktu ke waktu emakin meningkat. Lalu diadakan referendum dan yang mana hasilnya buburkan NST dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Hal serupa juga telah terjadi di Negara Pasoendan dan Negara Jawa Timur. Akhirnya Presiden Soekarno pada upacara peringatan hari kemerdeekaan 17 Agustus 1950 menyatakan Indonesia kembali ke negara kesatuan (NKRI). Lalu besokknya diproklamasikan NKRI.

Indonesia berdaulat (kembali) secara penuh baru terjadi setelah 17 Agustus 1950. Tentu saja hal ini tidak menyenangkan bagi Belanda. Sebab, setelah deklarasi KNRI ini maka ruang gerak Belanda di Indonesia menjadi sangat terbatas, kecuali wilayah Irian Barat yang masih disandera oleh Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar