Sabtu, 28 Desember 2019

Sejarah Jakarta (70): Sejarah Gambir, dari Koningsplein hingga Lapangan Merdeka Tugu MONAS; Pasar Gambir Sejak 1904


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Secara teknis, sejarah Gambir dan Pasar Gambir belum pernah ditulis. Padahal, secara teoritis Gambir sudah sejak lama dipersepsikan sebagai pusat Batavia yang tidak tergantikan bahkan hingga ini hari sebagai pusat Jakarta yang notabene juga menjadi pusat Indonesia. Dalam bahasa tata surya, keberadaan Gambir adalah semacam ‘lobang hitam’ yang mampu menyedot perhatian semua rakyat Indonesia. Lantas mengapa sejarah Gambir terabaikan? Nah, itu dia.

Koningsplein (Peta 1860) dan Tugu Monas
Nama Gambir menjadi muncul populer sejak tahun 1904. Ini sehubungan dengan pembukaan festival yang kali pertama diadakan. Festival ini berpusat pada area Pasar Gambir. Festival ini baru menemukan bentuknya pada tahun yang ketiga tahun 1906 sebagai pasar tahunan (jaarmarkt) untuk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1906). Pada era Republik Indonesia tradisi ini tetap diteruskan dengan nama Pekan Raja Djakarta (Djakarta Fair dan selanjutnya disebut PRJ). Festival atau Pasar Gambir dengan nama terakhir PRJ tamat setelah direlokasi ke Kemayoran tahun 1992 dengan nama Jakarta International Expo (JIE).  
.   
Dalam blog ini, penulisan Sejarah Gambir adalah bagian dari keseluruhan Sejarah Jakarta Pusat yang mana pada altikel sebelumnya sudah ditulis sendiri-sendiri tentang sejarah Pasar Senen, sejarah Tanah Abang, sejarah Menteng (plus sejarah kanal Gresik), sejarah Kwitang, sejarah Salemba (Struiswijk), sejarah Kemayoran, sejarah Matraman, sejarah Istana Merdeka, sejarah Sawah Besar (plus sejatah jalan Lautze), sejarah Pacenongan, sejarah Pasar Baru dan sejarah Petojo. Beberapa artikel menunggu editing antara lain sejarah Gunung Sahari, Ancol, Kemayoran, Rawasari dan sejarah Bukit Duri. Untuk segera menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 27 Desember 2019

Sejarah Jakarta (69): Sejarah Petojo, Sudah Dikenal Sejak VOC/Belanda; Fort Riswijk, Pabrik Batu Bata, Pabrik Batu Es Terkenal


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Petojo bukanlah nama baru di Jakarta. Nama Petojo bahkan sudah eksis sesjak era VOC/Belanda. Kampong Petodjo terletak tidak jauh dari benteng (fort) Riswijk. Posisi GPS kampong Petodjo berada di sisi barat sungai Krokot (sementara Fort Riswijk berada di sisi timur sungai Krokot). Dua situs tua ini diduga terkait satu sama lain. Situs pertama adalah Fort Riswjik. Kampong Petodjo diduga adalah pemukiman awal pasukan pribumi yang bekerja di Fort Riswijk. Namun nama Petodjo baru populer pada era Pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat industri batu bata.

Javasche courant, 08-12-1838
Pada era VOC/Belanda (1619-1799), pusat industri batu bata berada di utara sawah besar. Lalu lintas utama di area industri batu bata ini kemudian dikenal sebagai Steenbakker Gracht (kanal pembakaran batu bata). Kanal ini tampaknya menjadi moda transportasi air untuk mengangkut batu bata ke kota (stad) Batavia. Kanal ini terhubung dengan sungai Tjiliwong di Mangga Besar. Dalam perkembangannya, di sisi kanal Steenbakker Gracht dibangun jalan darat yang kini dikenal sebagai jalan Tangki Lio.

Pabrik batu bata di Petodjo dikelola oleh pemerintah (lihat Javasche courant, 08-12-1838). Disebutkan, para pekerja yang bekerja di pabrik batu bata di Petodjo dan orang yang bekerja di benteng (fort) Prins Frederik (nama baru Fort Noordwijk) dibiayai oleh pemerintah. Informasi ini mengindikasikan bahwa fort Riswijk tidak difungsikan lagi (tetapi Fort Noordwijk masih difungsikan). Kini, kampong Petodjo menjadi dua kelurahan di kecamatan Gambir, Jakarta Pusat: Petojo Selatan dan Petojo Utara. Untuk menambah pengetahuan kita tentang sejarah Petojo mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Kamis, 26 Desember 2019

Sejarah Jakarta (68): Sejarah Pasar Baru, Kampong Noordwijk Menjadi Wijk Pasar Baroe; Komunitas India di Pasar Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Namanya Pasar Baroe jelas pasar yang baru. Pasar lamanya adalah Pasar Senen. Pertanyaannya mengapa dibangun pasar yang baru di kawasan (area) Noordwijk sementara sudah ada pasar di area Weltevreden (Sebelumnya disebut Pasar Vinke atau Pasar Snees). Jarak antara Pasar Senen dengan Pasar Baroe tidak begitu jauh. Tentu saja ada sebabnya yang menjadi sejarah Pasar Baroe penting diketahui. Pada masa ini Pasar Baroe ini berada di kelurahan Pasar Baru, kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Pasar Baru (Peta 1860)
Pada tahun 1865 Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling (semacam kabupaten): Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg  (lihat Dr. Hollander, 1869). Afdeeling Stad en voorsteden (Batavia dan Weltevreden) terdiri dari area-area Molenvliet; Noordwijk, Rijswijk, Batoe Toelis; Pasar Baroe, Parapattan, Tanah-abang, Weltevreden, Kramat, Struiswijk, Goenoeng Sari, Tanah Njonja. Jumlah penduduk sekitar 63.000 jiwa yang mana diantaranya terdapat sekitar 3.000 Europeanen en 17.000 Chinezen. Pada tahun 1900, Batavia (Afd. Stad en voorsteden: District Batavia dan District Weltevreden) terdiri dari enam onderdistrict, yakni: Manggabesar, Pendjaringan, Tandjong Priok, Gambir, Tanahabang dan Senen (lihat W. J. van Gorkom, 1912). Nama-nama kampong di onderdistrict Manggabesar adalah Klenteng, Kebondjeroek, Patjebokan, Sawah Besar, Djawa, Kroekoet, Petodjo Ilir, Petodjo Sawah, Doeri, Tanah Sreal, Tandjong Kramat, Angke, Djembatan 5 Koelon, Djembatan 5 Wetan, Blandongan dan Pintoe Besie.

Berdasar Sensus 1930 Sawah Besar dikategorikan sebagai kampong sementara Pasar Baroe dikategorikan sebagai wijk [lihat Alphabetisch Register van de Administratieve-(Bestuurs-) en Adatrechtelijk Indeeling van Nederlandsch-Indie. Deel I: Java en Madoera. Door W. F. Schoel. Landsdrukkerij, Batavia, 1931].

Rabu, 25 Desember 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (28): Organisasi Mahasiswa Indonesia; Indische Vereeniging (1908) Hingga Dewan Mahasiswa UI (1952)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Organisasi mahasiswa telah memainkan peran yang sangat berarti dalam tiga fase: (1) Gerakan keabangsaan dalam pembentukan Indonesia hingga merdeka (1908-1945). Organisasi mahasiswa juga terus aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1947-1949). Organisasi mahasiswa tetap aktif mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa (1952-1953). Tiga fase ini bersifat continuum.

Sejarah Organisasi Mahasiswa Indonesia, 1908-1952
Organisasi mahasiswa pertama Indonesia dengan nama Indische Vereeniging  didirikan pada tahun 1908 di Leiden, Belanda. Organisasi ini digagas dan dipimpin oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Organisasi ini tetap eksis yang diantara pemimpinnya yang terkenal antara lain Dr. Soetomo (1921), Mohamad Hattta (1924) dan Parlindungan Lubis (1938). Pimpinan terakhir pada tahun 1945 adalah FKN Harahap. Pada perang kemerdekaan Indonesia terbentuk dua organisasi mahasiswa. Di Jogjakarta didirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang dipimpin oleh Lafran Pane dan di Djakarta dibentuk organisasi Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI) yang dipimpin oleh Ida Nasution. Lalu pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam rangka untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa pada tahun 1952 didirikan dewan mahasiswa Universitas Indonesia di dua wilayah: Di Djakarta ketua terpilih adalah Widjojo Nitisastro (dari fakultas ekonomi) dan di Bandung ketua terpilih adalah Januar Hakim Harahap (dari fakultas teknik). Pada tahun 1953 ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan, AM Hoetasoehoet diangkat menjadi ketua Panitia Peringatan Sumpah Pemuda di Djakarta.

Kesinambungan organisasi-organisasi mahasiswa sejak pembentukannya yang pertama menunjukkan peran mahsiswa cukup besar mulai dari membangunan kesadaran bebangsa, aktif dalam pergerakan politik hingga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana organisasi-organisasi mahasiswa ini terbentuk menarik untuk diketahui. Tentu saja juga menarik untuk mengetahui mengapa semua inisiator organisasi mahasiswa (Soetan Casajangan, Lafran Pane, Ida Nasution dan Januar Hakim Harahap) berasal dari Kota Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)? Untuk tidak lupa sejarah organisasi mahasiswa Indonesia, mari kita telusuri sumber-sumber (tertulis) tempo doeloe.

Selasa, 24 Desember 2019

Sejarah Jakarta (67): Sejarah Pacenongan, Awalnya Bernama Moordenaarslaan (Gang Pembunuh); Pusat Percetakan Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta, dekat Monas terdapat satu kawasan (area) yang disebut Pacenongan. Kawasan Pacenongan ini berpusat di Jalan Pacenongan. Dengan memperhatikan namanya, kawasan ini dapat dibilang sebagai kawasan tertua di Indonesia. Kawasan ini awalnya disebut kawasan para Pembunuh (Moordenaars), namun dalam perkembangannya diperhalus menjadi hanya Pacenongan. Apa arti pacenongan? Kita lihat nanti.

Javasche courant, 21-08-1841
Pada awal pemerintahan Hindia Belanda Jalan Pacenongan adalah batas wijk (kelurahan) yakni Wijk 19. Wijk 19 meliputi area yang dibatasi oleh kanal Riswijk di selatan, jalan Molenvliet di barat, jalan Prinsen di utara dan jalan Moordenaars di timur. Dengan memperhatikan peta masa kini, Wijk 19 ini termasuk kawasan Sawah Besar, kampong halaman Ridwan Saidi. Apakah Ridwan Saidi mengetahui riwayat ini?  

Tentu saja sejauh ini sejarah Pacenongan belum pernah ditulis. Oleh karena di Pacenongan tempo doeloe terdapat situs-situs penting dan kejadian-kejadian penting, maka oada ini hari perlu kiranya didokumentasikan kembali agar tidak gagal paham tentang Kawsan Pacenongan. Untuk memahami sejarah Paconangan lebih jauh, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 23 Desember 2019

Sejarah Jakarta (66): Jalan Lautze, Doeloe Namanya Chinese Kerkweg (Jln Klenteng); Siapa Lautze, Mengapa Ada Masjid Lautze


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta ada namanya jalan Luutze. Nama jalan ini unik karena tidak ada di kota lain. Nama Lautze ditabalkan sebagai nama jalan untuk menggantikan Chinese Kerkweg terjadi pada tahun 1950 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1950). Ruas jalan Lautze ini berada di antara jalan Taman Sari dan jalan Kartini di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Java-bode, 17-10-1950
Di Bandung ada namanya jalan Pasteur, tidak ada di tempat lain. Di Medan ada jalan Multatuli. Di Surabaya, di Semarang dan di Jogjakarta tidak ada nama siapa-siapa. Ini menunjukkan setiap kota memiliki caranya sendiri-sendiri memandang sejarah masa lampaunya dan sadar menabalkan nama jalan untuk memberi inspirasi ke masa depan. Di Semarang dan Soerabaua nama-nama jalan berbau Belanda dan Cina telah dihapus. Di Jogjakarta tidak ada yang dihapus karena dari doeloe memang tidak ada yang berbau Belanda dan Cina.

Apa hebatnya Lautze sehingga harus ditabalkan menjadi nama jalan menggantikan Chinese Kerkweg? Itu die pertanyaannya. Lantas siapa Lautze? Satu yang terpenting pada masa ini di jalan Lautze terdapat masjid Tionghoa yang diberi nama masjid Lautze. Masjid ini unik karena berbau Tionghoa. Nah, utuk menghindari gagal paham, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.