Sabtu, 29 Februari 2020

Sejarah Jakarta (103): Sejarah Pluit, dari Land Fluyt hingga Waduk Pluit; Sisi Timur Sungai dari Fort Angke hingga Post de Fluyt


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Area (wilayah) Pluit awalnya adalah rawa-rawa yang sangat luas. Seperti apa peta geografis wilayah Pluit tempo doeloe sangat berbeda dengan peta masa kini (googlemap). Waduk Pluit yang sekarang tempo doeloe adalah muara sungai Grogol. Waduk Pluit yang sekarang, posisi GPSnya tempo doeloe berada di sisi timur sungai Angke. Wilayah antara sungai Angke dan sungai Grogol tersebut tepat berada area Pluit.

Pluit (Peta 1740)
Pasca serangan Mataram ke Batavia (1628) kota (stad) Batavia diperkuat dengan sejumlah benteng (fort). Salah satu benteng yang dibangun (sekitar 1650an) adalah fort Angke (di sisi timur sungai Angke). Untuk menghubungkan kota Batavia dan fort Angke dubangun kanal. Pada tahun 1684 kanal dibangun dari fort Tangerang ke fort Angke (selesai 1687). Dengan demikian antara Batavia dan Tangeran jarak dan waktu tempuh dengan transportasi air lebih pendek (Kanal ini kini dikenal sebagai sungai di sisi utara jalan Daan Mogot). Dalam perkembangannya dari fort Angke di sisi timur sungai Angke ke arah laut dibangun kanal baru. Pada ujung kanal baru ini pasca tragedi kerusuhan 1740 dibangun post militer (disebut Post de Fluyt, yang menjadi asal-usul nama Pluit). Untuk menghubungkan kota Batavia dan post Fluyt dibangun kanal baru. Antara kanal baru inilah posisi GPS waduk Pluit yang sekarang.

Lantas bagaimana sejarah Pluit? Sejauh ini sejarah Pluit belum pernah ditulis. Sebagai bagian dari penulisan sejarah Jakarta, sejarah Pluit menjadi penting untuk ditulis. Paling tidak di (kawasan) Pluit terdapat dua situs penting yakni Post Pluyt dan Waduk Pluit. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 28 Februari 2020

Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada (sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali Malang (membuang anggaran dua kali).

Kanal Kali Malang dibangun pada tahun 1860an. Kanal ini dibangun sejatinya bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya, Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi’.

Kanal Kali Malang adalah satu hal. Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut. Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal, tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi. Normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada.

Kamis, 27 Februari 2020

Sejarah Jakarta (101): Sejarah Pesing dan Hubungan Baik Batavia dan Pecking; Kanal Mookervaart Antara Tangerang dan Angke


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pesing adalah suatu area (kawasan). Salah satu situs penting terkenal di Pesing adalah stasion Pesing. Nama Pesing sendiri adalahnama  suatu kawasan yang sangat tua. Begitu tua sehingga sejarahnya tidak ada yang menulisnya. Pusing, bukan? Tapi kita tidak perlu khawatir, karena data sejarah Pesing sangat melimpah. Masalahnya adalah belum ada yang menulisnya. Karena itulah kita mulai menulisnya.

Peta 1724
Dari berbagai tulisan tentang sejarah Pesing yang dapat dibaca di internet disebutkan asal-usul dengan beragam versi. Padahal sejarah Pesing sejatinya hanya satu versi, yakni versi berdasarkan data sejarah. Dalam hal nama Pesing adalah baru. Jika suatu tempat masih baru maka asal-usulnya dapat mudah diketahui. Yang sulit adalah nama-nama kuno (baca: sebelum era VOC/Belanda). Dalam satu versi nama Pesing berasal dari bahasa Soenda, peusing yakni trenggiling. Versi lainnya Pesing berasal dari bau kencing yakni pesing. Menurut Ridwan Saidi lainnya lagi bahwa Pesing berasal dari nama pohon pesing, padahal menurut kamus botani era kolonial Belanda tidak ditemukan nama tanaman pesing (lihat Nieuw plantkundig woordenboek voor Nederlandsch Indie, 1909). Tiga versi itu tampaknya mengarang-ngarang dan menggunakan metodologi toponimi. Namun toponimi bukanlah metodologi sejarah. Oleh karena itu asal-usul nama Pesing tiga versi itu sangat naif.

Sebelum muncul nama Pesing, nama tempat terkenal adalah benteng (fort) Angke. Benteng Angke di satu sisi telah terhubung dengan Batavia. Dalam perkembangan waktu, (fort) Tangerang dihubungkan oleh kanal yang kemudian disebut kanal Mookervaart (kini lebih dikenal kali di sisi jalan Daan Mogot). Area sekitar benteng Angke inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pesing. Land di area Pesing ini pernah dimiliki oleh Nie Hokong. Untuk lebih menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Sejarah Jakarta (100): Sejarah Industri Batik di Batavia, Adakah Batik Betawi? Sejarah Batik Indonesia, Raffles dan Ir. Soerachman


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Industri batik terdapat di sejumlah tempat di Indonesia, terutama di (pulau) Jawa. Tempo doeloe sudah terkenal batik asal Jogjacarta, Solo (Soeracarta), Pakalongan dan Lasem. Pemasaran batik dari sentra-sentra batik tersebut juga hingga ke Batavia. Pasar batik terpenting di Batavia adalah di (pasar) Tanah Abang.

Sentra batik di Batavia (1930)
Tempo doeloe tidak dikenal batik Jawa, yang dikenal adalah batik asal Jogja, asal Solo, asal Lasem dan asal Paccalongan. Tapi belakangan ini, semua batik dari sentra-sentra batik tersebut adakalnya disebut batik Jawa. Lalu muncul nama batik Sunda dan kemudian nama batik Betawi. Di Depok mereka tidak menyebut batik Sunda atau batik Betawi tetapi dengan nama batik Depok (batik asal Depok). Dalam sejarahnya, orang yang pertama memperhatikan (usaha) batik adalah Raffles (lihat The History of Java). Pada era Pemerintah Hindia Belanda industri batik ini diteliti oleh Ir. Soerachman tahun 1927.

Lantas sejak kapan usaha membatik bermula di Jakarta. Sudah tentu bermula sejak era kolonial Belanda. Sebaran sentra batik di Batavia sangat luas yang terbagi ke dalam dua kelompok: batik yang diusahakan oleh orang Cina dan batik yang diusahakan oleh penduduk pribumi. Apakah semua sentra batik Batavia ini yang disebut batik Betawi? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Selasa, 25 Februari 2020

Sejarah Jakarta (99): Sejarah Kemanggisan, Kini Kampus Binus Berada; Pamanggisang, Chineese Tempel dan Kampong Toapekong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama kampong Kebon Manggis dan kampong Kemanggisan berbeda tempat. Tempo doeloe nama kampong Kemanggisan disebut kampong Pamanggisan. Kampong Pamanggisan berada di dekat kampong Kebon Djeroek, tetapi kampong Kebon Manggis berada di dekat kampong Pagangsaan. Di hulu kampong Manggis di sungai Tjiliwong terdapat kampong Bidara Tjina, sementara di hilir kampong Kemanggisan di sungai Grogol terdapat kampong Taipekong.

Pamanggisang (Peta 1824); Kemanggisan (Now)
Di kampong Taipekong tempo doeloe di era VOC.Belanda terdapat klenteng Chineses Tempel. Area klenteng inilah yang kemudian bernama kampong Taipekong. Chineses Tempel ini tidak jauh dari kampong Boegis (perkampongan orang Boegis). Sementara itu kampong Bidara Tjina tidak jauh dari kampong Bali dan kampong Malajoe. Namun kampong Bidara Tjina bukanlah kampong Cina tetapi kampong orang-orang Malajoe. Kampong Boegis, kampong Bali dan kampong Malajoe terbentuk karena pasukan pribumi pendukung VOC/Belanda ditempatkan di masing-masing area tersebut. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740 menyebabkan orang-orang Cina di Batavia terusir dan menyebar ke berbagai tempat termasuk ke area dekat kampong Bali dan kampong Boegis. Di tempat yang baru itu orang-orang Cina mendapatkan teman-teman baru (sesama para migran).
.
Lantas apakah nama kampong Pamanggisan atau Kemanggisan berasal dari tanaman/buah manggis? Untuk soal asal-usul nama tempat haruslah tetap hati-hati dan cermat, tidak sekadar letterlijk. Hal ini karena sejarah tetaplah sejarah. Ilmu sejarah bukanlah ilmu toponimi. Ilmu sejarah adalah metodologi menarasikan fakta dan data. Dalam hal ini, soal nama asal usul adalah satu hal. Hal lain yang penting adalah bagaimana sejarah Kemanggisan sendiri? Sejarah Kemanggisan tidak hanya soal asal-usul nama. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (98): Sejarah Simpruk dan Adnan Buyung Nasution, 1970; Kampong Tua di Selatan Kampong Petunduan (1903)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Simpruk bukanlah nama kampong baru, tetapi termasuk nama kampong tua di Jakarta. Meski secara geografis sangat dekat dengan kampong Petoedoean (kini menjadi Stadion GBK), kampong Simproek justru masuk wilayah land Simplicitas (Pondok Laboe). Penduduk kampong Simproek akhirnya digusur tahun 1970 sehubungan dengan pembangunan perumahan elit di Simproek.

Kampong Simproek (Peta 1903)
Sejak tempo doeloe, penggusuran adalah prakondisi sebelum pembangunan dimulai. Penggusuran sudah terjadi sejak era kolonial Belanda. Pada saat pembangunan perumahan elit pertama di Goenoeng Sahari (1870an) tidak ada korban karena lahan yang digunakan rawa-rawa. Namun pembangunan perumahan Gondangdia tahun 1903 sudah harus ada penduduk yang digusur. Penggusuran besar-besaran terjadi pada tahun 1910 saat dimulai pembangunan perumahan elit di Menteng. Pada saat era perang (1948) juga terjadi penggusuran besar-besar untuk pembangunan kota satelit Kabajoran. Penggusuran terus berlangsung ketika pada era Republik Indonesia saat dimulai pembangunan perumahan di Pondok Indah dan Simpruk. Adnan Buyung Nasution, SH pada tahun 1970 membela penduduk kampong Simproek yang akan digusur.

Masalah pengggusuran adalah satu hal. Hal lain yang penting tentang kampong Simpruk adalah seperti apa sejarahnya. Yang jelas orang kini hanya mengetahui di Simpruk terdapat perumahan elit. Namun sejarah Simpruk adalah kisah kampong Simpruk sebelum menjadi perumahan elit yang sekarang. Sejarah itulah yang belum pernah ditulis. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.