Jumat, 28 Februari 2020

Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada (sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali Malang (membuang anggaran dua kali).

Kanal Kali Malang dibangun pada tahun 1860an. Kanal ini dibangun sejatinya bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya, Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi’.

Kanal Kali Malang adalah satu hal. Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut. Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal, tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi. Normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Sistem Pembangunan Kanal di Batavia: Prakondisi

Soal bencana banjir Jakarta akhir-akhir ini semua terkesan menjadi ahli pengendali banjir. Yang paling terbebani dan menjadi pusat perhatian adalah Pemerintah DKI Jakarta. Oleh karena semua telah menjadi ahli banjir, maka sebagian dari mereka memojokkan, atau paling menhujat Pemerintah DKI Jakarta dan sebagian yang lain, coba memberi usul sebagai solusi. Usulnya juga aneh-aneh. Satu usul yang lebih aneh lagi adalah mengusulkan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempelajari solusi banjir ke Belanda.

Usul belajar/studi banjir ke Belanda tentu saja pada masa ini tidak relevan lagi, karena ahli-ahli pengendali banjir yang paham banjir di wilayah tropis terutama dala hal ini ahli banjir untuk Jakarta tidak ada lagi. Mereka sudah meninggal semua. Penerusnya tidak ada lagi karena keahlian para ahli pengendali banjir asal Belanda sudah lama dipinggirkan (Pemerintah RI/Pemerintah Jakarta).   

Karakteristik banjir di seputar Jakarta berbeda dengan karakteristik banjir di pantai-pantai Belanda. Tempo doeloe, ahli-ahli banjir Belanda tidak segera paham karakteristik banjir di Batavia. Tahap ini dapat dikatakan sebagai prakondisi. Tahap ini dimulai pada permulaan Gubernur Jenderal Coen yakni menerapkan sistem kanalisasi untuk kebutuhan transportasi (bukan untuk pengendalian banjir),

Gubernur Jenderal Coen merancang kota (Batavia) di atas rawa-rawa dengan menrapkan aplikasi kanalisasi untuk kebutuhan transportasi dan mendukung sistem pertahanan. Secara teoritis, saat itu, banjir dipahami sebagai berkah. Perancangan pembangunannya juga tidak sulit karena sistem perancangan yang digunakan mirip dengan yang sudah sejak lama dilakukan di Belanda. Para ahli kanal yang didatangkan ke Batavia dengan cepat bekerja tanpa kesulitan yang berarti. Oleh karena itu pembangunan kanal tidak dimaksudkan sepenuhnya untuk pengendalian banjir. Hasil rancangan ini masih terlihat di wilayah kota terutama di seputar Kali Besar.

Sistem kanalisasi pada tahap prakondisi ini dilakukan dengan dua cara: pembangunan kanal penghubung dan pembangunan kanal untuk kebutuhan mensuplai air.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sistem Pengendali Banjir Jakarta Sudah Final: Butuh Normalisasi

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar