Hampir setiap kota ada pecinan (China Town), termasuk di Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan. Eksistensi orang-orang Tionghoa di Kota Padang yang menjadi cikal bakal pecinan sudah ada sejak dari doeloe. Sebagaimana di kota-kota lain, orang-orang Tionghoa di Padang awalnya berdatangan karena tujuan berdagang. Orang-orang Tionghoa di Kota Padang bahkan lebih dahulu hadir jika dibandingkan di Kota Medan. Mereka awalnya melakukan aktivitas berdagang keliling lalu kemudian terbentuk homebase dan lalu menetap yang kemudian terbentuk perkampungan orang-orang Tionghoa. Perkampungan orang-orang Tionghoa ini kini disebut pecinan.
Winkelstraat di Padang 1890 (Jalan Niaga) |
Kedatangan Orang
Tionghoa di Padang
Pada
tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat orang-orang Tionghoa. Jumlahnya
sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias,
Melayu, Bengalen dan lainnya. Jumlah orang-orang Tionghoa terus bertambah dan
sudah memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein
dan Letnan Chinezen. Pada tahun 1869 populasi orang-orang Tionghoa di Kota
Padang sekitar 300 orang. Orang-orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500
orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi
orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.
Komunitas-komunitas
orang Tionghoa diduga awalnya berdiam di perkampungan-perkampungan di pinggir
pantai baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Baros
(Tapanoeli), di Laboehan (Deli), di Moeara (Padang) dan Bengcoelen. Mereka ini
tersebar dan terhubung oleh pedagang besar dari kapal-kapal dagang orang-orang
Tionghoa yang memiliki homebase di Penang, di Malaka, Singapoera, Pulau Onrust
(teluk Jakarta) dan Batavia (Jakarta).
Menurut laporan
Netscher (Resident Riaou) yang melakukan ekspedisi di Deli tahun 1863, di
Laboehan ditemukan Maleijers, Atjeh, Batak. Selain itu terdapat sekitar dua
puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran.
Klenteng Tionghoa di Padang, 1880 |
Sumber pertama
keberadaan orang Tionghoa di pedalaman Pantai Barat Sumatra dicatat oleh Dagh
Register di Batavia. Orang Tionghoa yang melaporkan itu telah berdagang selama
10 tahun di Angkola sejak 1690. Selama dia berada di Angkola, juga
mondar-mandir antara Angkola dengan Malaka/Singapoera. Pada tahun 1701 ia dan
keluarganya hijrah ke Batavia (menikah dengan putri Angkola dan dikaruniai
seorang putri berumur empat tahun). Untuk menuju Batavia, mereka berangkat dari
Angkola ke Baros selama 11 hari perjalanan. Di Baros mereka menumpang kapal
orang Tionghoa dan singgah di Padang lalu melanjutkan pelayaran ke Batavia. Orang
Tionghoa dan keluarganya yang baru tiba dua hari di Batavia melaporkan pada
tanggal 27 Maret 1701 di Casteel Batavia yang dicatat di dalam Dagh Register.
Untuk
meningkatkan kinerja ekonomi penduduk, pemerintah mendorong pengusaha-pengusaha
Tionghoa untuk melakukan aktivitas perdagangan ke pedalaman. Penyebaran
orang-orang Tionghoa ini dari kota-kota pantai, seperti Padang, Painan,
Pariaman, Sibolga dan Singkel ke pedalaman seperti Fort de Kock, Solok dan
Padang Sidempuan diduga kuat sejak tahun 1860an ketika terjadi booming kopi.
Pecinan di Kota
Padang
Chinese Kamp te Padang 1890 |
Ke utara: sepanjang
jalan Cantioe hingga Poeloekaram dan batas-batas utara persi no. 1531, 1530 dan
166, ke timur dan perbatasan utara-timur kiri persil no. 1561, batas antara
Poeloe Ayer dan Kampong Palinggam; selatan, sungai besar Batang Arau; ke barat
Kali Ketjil, pipa waterleiding garis yang ke arah barat sejauh seratus meter
dari sisi barat dari jalan P'oeloe Karam dan melalui Pondok ke tempat itu garis
jalan melalui Kampong Sablah dan lebih lanjut.
Oleh
karena populasi Tionghoa terus meningkat dan demikian dengan orang asing
lainnya, peraturan tahun 1884 tersebut kemudian diperbarui berdasarkan Beslit No.
34 tangga 3 Februari 1891 yang mengatur batas-batas baru.
Peta Kota Padang (1867) |
Untuk
lingkungan orang-orang Arab, Kling, Hindu dan India lainnya baru diatur kembali
berdasarkan beslit tanggal 20 Maret 1902, yaitu: Batang Araurivier mulai dari
jembatan dekat Javabank hingga jembatan besar, jalan yang menuju Emmahaven; jalan
ini ke arah barat sampai Gantingweg, Ranah, Alang-Lawas, Koeboeran-Dagang,
Old-Kantineweg, Pasar Ambatjang, Goeroen-Ketjil ke jembatan batu di Gereja
Katolik Roma dan dari sana sepanjang Kolangleiding hingga jembatan belakang Javabank.
Sisa daerah ini, ditutup sebagaimana dalam keputusan terdahulu No, 758 tanggal
30 Oktober 1884 yang akan ditunjuk sebagai lingkungan bagi Chiueezen untuk selanjutnya.
Selain itu, bagian dari lingkungan Poeroes, ke utara dari jalan utama ke
Oedjoeng Karang persil 628 dan persil 297 hingga ke tepi laut; ke timur: jalan
besar Oedjoeng-Kaiang; ke selatan: jalan besar persil 1495 dan 1565; ke barat
adalah laut.
Pecinan Lainnya
di Sumatra’s Westkust
Pecinan
tidak hanya di Kota Padang. Pengaturan lingkungan orang-orang Tionghoa diatur
hingga kota-kota kecil seperti Painan, Batang Kapas, Air Bangies, Poelau Tello,
Pariaman, Fort de Kock, Padang Pandjang, Fort van der (Japellen, Pajakumbu dan Solok.
Selanjutnya pengaturan juga dilakukan di Sibolga, Batang Toru, Singkel,
Goenoeng Sitoli, Natal, Padang Sidempuan dan Panjaboengan.
Besluit van den
Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 juga mengatur
tentang wilayah pecinan seperti di Padang Sidempuan dan Fort de Kock.
Pengaturan ini di Padang Sidempuan meliputi ke utara yakni sisi barat dan sisi
timur sejauh 100 meter jalan besar dari Padang Sidempuan menuju Sibolga. Ke
timur sepanjang sisi jalan sebelah utara sejauh 200 meter hingga ke benteng. Ke
selatan sebelah sisi Aek Sibontar hingga jembatan Aek Rukare. Sementara di Fort
de Kock adalah sebagi berikut: ten Noorden en ten Westen de weg loopende van af
den weg van Pajakombo tot aan den tembok; ten Oosten de pasar en de weg, die
vandaar loopt tot aan den weg naar Pajakombo; ten Zuiden de lijn getrokken van
de tembok tot aan het telegraafkantoor en vandaar tot op de pasar.
Pengaturan
pecinan ini tidak terlalu jelas, kecuali pengaturan lingkungan untuk
orang-orang Eropa/Belanda. Lingkungan komunitas sesungguhnya terbentuk secara
alamiah baik bagi penduduk pribumi maupun penduduk Tionghoa, Arab, Kling dan
lainnya.Yang jelas lingkungan orang-orang Eropa/Belanda yang terus berkembang
justru penggusuran yang terjadi. Penetapan zona untuk Tionghoa malahan lebih
bermotif pembatasan orang-orang Tionghoa yang di satu sisi agar lebih mudah
diawasi dan di sisi lain tidak berbaur dengan penduduk pribumi yang jumlahnya
jauh lebih besar. Boleh jadi pengawasan ini dilakukan karena khawatir
terjadinya kerusuhan sepeerti yang pernah terjadi di Batavia dan Crawang di era
sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar