Minangkabauers te Kotagedang, 1890 |
Asal usul (menurut berbagai versi): Minangkabau—Menang
Kerbau atau Minanga; Tappanoeli—Tapian na Oeli (dipopulerkan oleh Inggris).
Bata—Mada (dibaca: Bata). Pada awalnya penyebutan orang Minangkabau belum
dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minangkabau
dan Melayu mulai dibedakan karena adanya perbedaan (system) pewarisan (matrilineal).
Tapanoeli juga digunakan sebagai nama generik
untuk seluruh wilayah Tapanuli yang sekarang. Tapanoeli sebelumnya, dan
kemudian nama tempat berikutnya yang lebih popular Sibolga. Tapanoeli
mendahului Sibolga. Karena itu nama Tapanuli yang digunakan sejak Inggris. Pada
era VOC awal, Tapanoeli belum dikenal. Di Pantai Barat Sumatra nama tempat yang
sudah dikenal sejak masa lampau adalah Baros, Batahan, Tikoe, Pariaman dan
Indrapoera.
Nama Padang muncul di Sumatra Barat yang sekarang dan
nama Tapanoeli di Tapanuli yang sekarang. Nama-nama baru tersebut menyusul
nama-nama yang sudah eksis sebelumnya seperti Pariaman, Tikoe, Indrapoera dan
Baros. Nama-nama baru yang muncul seperti Padang dan Tapanoeli adalah Natal, Air
Bangies, Sibolga dan sebagainya.
Penduduk Baros adalah penduduk multi etnik.
Kelak Padang juga penduduk multi etnik. Penduduk Baros juga termasuk penduduk
berasal dari pedalaman (Batak). Demikian juga penduduk Padang juga termasuk
penduduk berasal dari pedalaman (Minangkabau). Batak dan Minangkabau adalah
sebutan penduduk di pedalaman sebagai suatu etnik.
Disebut suatu etnik karena memiliki dasar budaya yang
sama (core culture). Etnik Batak memiliki core culture yang sama: Mulai dari
Mandailing hingga Karo. Etnik Minangkabau memiliki core culture yang sama: Mulai
dari Solok hingga Pasaman.
Di Jawa terdapat beberapa etnik: Jawa,
Madura, Sunda, Banten, Tengger, Betawi dan sebagainya. Nama etnik Jawa mendapat
nama dari penamaan pulau Jawa (demikian juga Madura). Namun di pulau Sumatra
tidak ada etnik yang disebut etnik Sumatra.
Etnik Batak, etnik Atjeh dan sebagainya dibedakan dengan
etnik Melayu. Etnik Batak di pedalaman, sedangkan etnik Melayu umumnya di
pantai (pesisir). Nama Melayu merupakan kebudayaan yang didasarkan dengan core
culture sendiri, yakni menggunakan bahasa Melayu. Lalu muncul dialek-dialek
Melayu, seperti Riau, Palembang, Djambi, Deli dan sebagainya. Bahasa Melayu
sangat dekat dengan Bahasa Minangkabau. Sementara Bahasa Batak sangat dekat
dengan Bahasa Alas/Gayo. Bahasa Atjeh
sangat dekat dengan bahasa Melayu dan juga bahasa Atjeh sangat dekat bahasa
Batak. Bahasa Atjeh sangat dekat dua bahasa tetangganya: Melayu dan Batak.
Bahasa Melayu sangat berbeda dengan Bahasa Batak. Di selatan Sumatra ada bahasa
Pasamah, Redjang yang kenmudian bahasa
Komering dan bahasa Lampung. Di pulau-pulau barat Sumatra ada bahasa Nias,
Mentawai dan sebagainya.
Orang Padang dan Orang Tapanuli
Nama generik Padang menjadi nama Padang untuk
Orang Minangkabau. Demikian juga nama Tapanoeli untuk Orang Batak. Oleh karena
dari sisi etnik dalam perkembangan berikutnya, nama etnik secara perlahan
menggantikan nama regional: Nama Minangkabau bersaing dengan nama Padang.
Demikian juga nama Batak bersaing dengan nama Tapanoeli.
Oleh karenanya, nama Padang dan nama Minangkabau
sama-sama benar penggunaannya, tergantung dari sudut pandangnya saja: nama
regional atau nama etnik. Demikian juga nama Batak dengan nama Tapanoeli.
Sah-sah saja digunakan dan saling menggantikan. Dalam perkembangan lebih lanjut
nama Karo saling menggantikan dengan nama Batak, nama Pakpak/Dairi dengan
Batak. Demikian juga nama Kerintji dengan nama Minangkabau. Nama Bangkinang
dengan nama Minangkabau dan nama Rao dengan nama Minangkabau.
Nama Kota vs Nama Kampong
Kota Padang menjadi kota besar yang menjadi
asal kata Padangsch untuk seluruh alam Minangkabau. Akan tetapi Kota Medan
menjadi kota besar tidak pernah dikaitkan dengan seluruh Tanah Batak maupun
seluruh Tanah Melayu. Nama-nama yang muncul sebelum nama Medan popular adalah
nama-nama region: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan dan Labuhan Batu.
Ketika Orang Minangkabau menyebut dirinya Orang Padang
tidak ada salahnya. Demikian juga Orang Nias atau Orang Melayu di Padang tidak
salah menyebutnya Orang Padang tetapi akan tetapi tidak tepat dengan menyebut
dirinya orang Minangkabau. Yang paling runyam: Orang Batak menyebut dirinya orang
Medan, demikian juga Orang Melayu menyebut dengan orang Medan. Kesalahan ini
karena Medan adalah nama tempat (yang kemudian berkembang menjadi nama region:
onderafdeeling Medan di region Deli. Kemudian di Deli sendiri terdapat dua
region: onderfadeeling Medan dan onderfadeeling Labuhan. Karena itu muncul
penyebutan Labuhan Deli dan Medan Deli. Sementara itu region Melayu terbagi ke
dalam Melayu Langkat, Melayu Deli, Melayu Serdang dan sebagainya. Tidak ada
Melayu Medan. Yang ada Labuhan Deli (Melayu) dan Medan Deli (Batak).
Ketika orang luar menanyakan asalnya (orang) dari
mana? Boleh menyebut Orang Padang atau Orang
Minangkabau. Ketika di jawab (orang) Padang, siap-siap menjawab pertanyaan
berikutnya. Padangnya dimana? Jawab di Bukittinggi dan seterusnya
Bukittingginya dima? Jawab Baso. Hal yang aneh adalah ketika menjawab (orang)
Medan. Ketika ditanyakan lebih lanjut Medannya dimana, Jawab Sipirok. Jawaban
Sipirok adalah salah. Karena Sipirok bukan Medan.
Untuk WNI yang berasal dari Sumatra Barat
bisa menyebut Padang atau Minangkabau.
Tapi yang berasal dari Sumatra Utara hanya boleh menyebut salah satu
Melayu atau Batak. Karena dengan itu bisa menjawab pertanyaan lebih lanjut.
Melayunya dimana? Deli, Serdang atau Asahan. Bataknya dimana? Karo, Simalungun,
Toba atau Silindung. Singkat kata: menyebut Bukittinggi, karena Bukittinggi
juga adalah Padang. Tapi akan salah menyebut Sipirok adalah Medan.
Untuk Jawa Barat sebut Sunda, jangan Bandoeng. Sundanya
dimana? Jawab Priangan atau Bogor. Priangannnya dimana? Jawab Bandoeng,
Sumedang, Tjiandjoer atau Garoet. Bandongnya dimana? Jawab: Bandung, Lembang
atau Tjiwidey. Bogornya dimana: Jawab: Bogor, Megamendung, Tjibinong, Tjiomas;
Djasinga dll. Demikian juga Jawa: Jawa
Timur, Jawa Tengah, Soerakarta atau Djogjakarta.
Identitas Diri: Hollander, Preanger dan Padanger
Orang yang sejak awal mempopulerkan sebutan
‘orang’ untuk identifikasi diri adalah orang-orang Belanda, bahkan sejak kali
pertama orang-orang Belanda ke Nusantara (1595). Salah satu nama kapal
ekspedisi Cornelis de Houtman adalah De Hollander (Orang Holland). Orang-orang
Belanda juga memberi identifikasi kepada orang-orang Priangan sebagai Preanger
(sejak ekspedisi van Verbeek ke Priangan tahun 1703). Penyebutan Orang Jawa
(Javaan) teridentifikasi pada tahun 1711 (Oprechte Haerlemsche courant, 13-10-1711).
Penyebutan untuk orang Melayu (Maleier) baru muncul awal 1800 sejak Pemerintah Hindia
Belanda. Meski Sunda sudah teridentifikasi sebagai nama selat (antara Jawa dan
Sumatra) di era Portugis dan penyebutan nama Preanger (VOC), identifikasi Orang
Soenda (secara keseluruhan dan tidak terbatas pada Preanger) baru muncul
belakangan (lihat Algemeen Handelsblad, 08-05-1857).
Padangsch nieuws- en advertentie-blad, 26-04-1862 |
Identifikasi diri diantara orang-orang Belanda di Hindia
Belanda juga semakin menguat, Namun bukan sebagai afiliasi diri dalam konteks
budaya tetapi sebagai warga kota (resident). Di Padang seorang pembaca menulis
dirinya sebagai Padanger (Padangsch nieuws- en advertentie-blad, 26-04-1862).
Siapa itu Padanger semakin jelas ketika seorang Padanger menulis ‘..nu dat ik
een Padanger ben, en wel van ouder tot ouder..’ (lihat Sumatra-courant: nieuws-
en advertentieblad, 06-09-1862). Sejak ini, identitas diri sebagai Padanger
semakin sering muncul di surat kabar.
Dengan demikian, identitas diri sendiri atau
penyebutan identitas bagi yang lain semakin popular diantara orang-orang
Eropa/Belanda maupun orang-orang pribumi, apakah sebagai etnik lokal (Preanger
dan Maleijer) atau warga keturunan setempat (Padanger). Penyebutan orang Bugis
(Boeginees,) kali pertama muncul tahun 1820 (Bataviasche courant, 27-05-1820), orang
Batak (Batakker) tahun 1863 (Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 10-09-1863).
Untuk sebutan Orang Minangkabau
(Minangkabauer) baru muncul ke permukaan tahun 1890 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 20-03-1890). Boleh jadi karena selama ini Orang Minangkabau
mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai Orang Melayu (Maleijer) yakni
Minangkabausche Maleiers. Tulisan GD. Willinck tahun 1909 berdasarkan buku tentang
hukum adat Minangkabau diduga telah memperkuat identifikasi Orang Minangkabau
dan sebutan Orang Minangkabau semakin popular (Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1908).
Hal ini di sisi lain akan semakin membuat jarak dengan identifikasi sebagai
Orang Melayu.
Di Medan, sebagai daerah rantau yang baru, orang-orang
Minangkabau secara perlahan mulai intens mengidentifikasi diri sebagai Orang
Minangakabau (Minangkabauer). Identifikasi ini semakin menguat pada tahun 1914 ketika
Sarikat Islam mulai memperluas wilayah di Medan (De Sumatra post, 13-03-1914).
Orang Padang dalam pengertian sosiologis bagi
Orang Minangkabau belum muncul ke permukaan sekalipun itu di Medan. Identifikasi
sebagai Orang Padang baru teridentifikasi dalam Sensus Penduduk tahun 1930.
Soerabaijasch handelsblad, 06-10-1938 |
Soal identifikasi ini menjadi penting bagi pemerintah
(Hindia Belanda) ketika kali pertama diadakan Sensus Penduduk (SP) tahun 1930.
Berbagai ahli, seperti ahli bahasa dan etnolog di Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen jauh sebelumbnya telah melakukan pekerjaan
identifikasi ini. Namun belum secara keseluruhan, sehingga koding untuk SP masih jauh dari yang diharapkan termasuk
soal dikotomi antara Orang Padang dan Minangkabauer apakah masuk Melayu. Belum
lagi seorang Dayak yang telah memeluk Islam, menyebut dirinya tidak lagi Dayak
tetapi memberikan identifikasi diri sebagai Melayu. Karenanya data SP 1930 masih
memerlukan klarifikasi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 06-10-1938).
Het nieuws van den dag voor NI, 22-02-1940 |
Identifikasi diri ini juga menjadi heboh di
parlemen. Ini bermula ketika, Mochtar anggota Volksraad tahun 1940 menyapa
konstituennya Orang Palembang sebagai Orang Sriwidjaja. Pihak lain (Belanda?) keberatan,
Karena Palembanger (Orang Palembang) bukan identik dengan Orang Sriwidjaja, hal
ini agak berbeda dimana disebut Minangkabauer dalam kehidupan sehari-hari
sebagai Orang Padang. Lantas apakah juga Bandjarees sama dengan Orang Borneo?
Orang Indonesia: Orang atau Warga
Orang terkait dengan etnik (budaya). Warga
hanya terkait dengan domisili (residentei). Misalnya: Saya warga Bandung orang
Bandung; saya warga Bandung orang Minangkabau/Padang dan saya warga Bandung
orang Jawa dan saya warga Bandung orang Batak dan saya warga Bandung orang
Melayu. Demikian juga saya warga Padang orang Batak, orang Melayu, orang Padang
atau orang Minangkabau. Akan aneh kalau menyebut: saya warga Padang orang
Medan. Akan lebih pas: Saya warga Medan orang Padang.
Sebutan orang untuk lintas negara agak
berbeda: Jika ditanya di luar negeri, sebut orang Indonesia sudah cukup, walau
anda orang Padang atau orang Bukittinggi. Malah akan lebih membingungkan
menyebut orang Padang atau orang Sunda. Mengapa sudah cukup dengan menyebut orang
Indonesia? Ini karena bahasa lambang-lambang negara: termasuk bahasa persatuan,
bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan Orang Malaysia yang memiliki
bahasa persatuan bahasa Melayu. Bukankah ada pengguna bahasa Melayu di
Indonesia? Iya ada, bedanya: bahasa Melayu orang Malaysia adalah bahasa
persatuan (nasional), sedangkan di Indonesia, bahasa Melayu adalah bahasa daerah.
Lantas bagaimana dengan orang Timor? Sebut saja Orang Timor, tetapi jangan
sebut lagi orang Timor Timur. Sebut saja Orang Indonesia. Juga bagaimana dengan
orang Papua? Sebut saja Orang Papua tetapi jangan sebut Orang Papua Nugini. Kemudian
apakah orang Papua Nugini bisa menyebut dirinya Orang Papua?. Tanyakan kepada Orang
Papua Nugini.
Last but not least: Apakah ada orang Sumatra?
Iya ada, yaitu Orang Padang, Orang Minangkabau, Orang Batak, Orang Tapanuli, Orang
Melayu dan sebagainya. Apakah ada orang Kalimantan? Juga ada: Orang Dayak,
Orang Bandjar atau lainnya. Apakah ada Orang Sulawesi? Tentu saja ada: Orang
Makassar, Orang Mandar, Orang Bugis, Orang Minahasa dan sebagainya.
Okelah. Apakah ada orang Jawa? Ada, yaitu Orang Jawa (jangan
sebut Orang Sunda, Orang Tengger dan lainnya). Sebab Orang Sunda, Orang Tengger
bukan Orang Jawa. Berikutnya: Orang Bali adalah Orang Bali, Orang Nias adalah
Orang Nias, Orang Madura adalah Orang Madura. Akan tetapi Orang Nias bukan
Orang Sumatra dan Orang Madura bukan Orang Jawa.
Bagaimana dengan di Jakarta. Orang Betawi tidak
akan menyebut orang Jakarta. Yang tetap, Orang Betawi warga Jakarta, Orang
Betawi warga Depok dan sebagainya. Lantas apakah ada orang Jakarta?. Iya ada,
tetapi bukan Orang Betawi. Mereka tersebut adalah orang yang tidak bisa lagi
menyebut afiliasinya kemana karena sudah (berdarah) campuran. Hal ini karena
ingin spesifik untuk menyebut orang Indonesia. Hal ini juga berlaku sebagai
orang Medan, orang Bandung dan sebagainya. Oleh karena sudah ada orang Bandung (etnik) maka sulit
membedakan orang Bandung multi etnik. Ada baiknya untuk yang multi etnik lebih
baik menyebutnya Orang Indonesia, daripada Orang Jakarta, Orang Medan atau Orang
Bandung.
Nama Administrasi: Pemekaran atau Penggabungan
Nama etnik berbeda dengan nama (wilayah) administrasi).
Nama wilayah administrasi dihubungkan dengan batas-batas pemerintahan.
Batas-batasnya dapat meluas atau menyempit. Pergeseran batas (wilayah)
administrasi ini karena eksistensi budaya. Penamaan wilayah administrasi
awalnya bersifat sementara dan penerapannya lebih fleksibel (jika dibandingkan
dengan batas-batas budaya).
Nama Sumatra’s Westkust adalah nama wilayah
(administrasi), bukan nama (wilayah) budaya, yaitu wilayah Pantai Barat Sumatra
antara Atjeh dan Lampung yang meliputi Bengkulu, Padang, Natal, Baros dan
Singkel. Satuan wilayah Pantai Barat Sumatra ini kemudian diadministrasikan
sebagai Residentie atau Province Sumatra’s Westkust. Demikian juga di wilayah
Pantai Timur Sumatra antara Atjeh dan Djambi yang meliputi Indragiri, Kampas,
Siak, Rokan, Labuhan Batoe, Asahan, Batubara, Deli dan Tamiang. Satuan wilayah Pantai
Timur Sumatra ini kemudian diadministrasikan sebagai Residentie atau Province
Sumatra’s Oostkust.
Pada permulaannya, Province Sumatra’s
Westkust dikurangi Bengkulu dan menambahkan Tapanoeli, sehingga Province Sumatra’s
Westkust terdiri dari Padangsche Benelanden, Padangsch Bovenlanden dan
Tapanoeli. Kemudian, Province Sumatra’s Westkust dilikuidasi (1905): Tapanoeli
menjadi residentie yang otonom. Sementara, Padangsche Benelanden bersama Padangsch
Bovenlanden menjadi residentie yang otonom yang kemudian mendapat warisan nama
Sumatra’s Westkust, tetapi kemudian mereduksi sendiri menjadi West Sumatra
(menjadi nama Provinsi Sumatra Barat yang sekarang) seperti halnya West Java.
Sedangkan Residentie Sumatra’s Oostkust,
permulaannya dipisahkan Siak dari Sumatra’s Oostkust dan terbentuk dua
residentie (1887): Siak dan Sumatra’s Ooskust. Dalam perkembangan berikutnya Sumatra’s
Ooskust mengalami pergeseran nama menjadi Oost Sumatra atau Sumatra Timur
(sebagaimana sebelumnya West Sumatra atau Sumatra Barat) dan statusnya pada
tahun 1915 ditingkatkan dari residentie menjadi Province.
Pada tahun 1923 muncul kali pertama nama
Noord Sumatra dan Zuid Sumatra (menyusul West Sumatra dan Oost Sumatra).
Penamaan ini muncul dikaitkan dengan ‘pemilu’ untuk wakil ke Volksraad
(parlemen pusat) dimana (pulau) Sumatra dibagi ke dalam empat ‘dapil’.
Sebelumnya, pada pemilu pertama 1918 (pulau) Sumatra hanya satu dapil. Keempat
dapil yang baru adalah: West Sumatra, Oost Sumatra, Noord Sumatra dan Zuid
Sumatra. Province Oost Sumatra sebagai dapil sendiri. Residentie West Sumatra
dan Residentie Riau dibentuk menjadi satu dapil bernama Midden Sumatra. Noord
Sumatra sebagai satu dapil yang terdiri dari Residentie Tapanoeli dan
Residentie Atjeh. Dapil Zuid Sumatra meliputi Palembang (termasuk Lampong),
Djambi, dan Banca en Belitung.
Yang terpilih menjadi anggota Volksraad adalah: Dr.
Alimoesa Harahap dari dapil Noord Sumatra, Mr. Firman Siregar gelar Managaradja
Soangkoepon dari dapil Oost Sumatra. Dari dapil West Sumatra dan dapil Zuid
Sumatra masing-masing satu orang wakil bernama.
Setelah era kemerdekaan (pasca pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda), di Sumatra dibentuk sejumlah provinsi: Atjeh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Djambi, Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu.
Ini berarti Sumatra Timur digabung menjadi Sumatra Utara, Sumatra Selatan (Zuid
Sumatra) dipecah menjadi Djambi, Lampung dan Sumatra Selatan. Palembang (Bangka
dan Beliting) mewarisi nama Sumatra Selatan. Sementara warisan nama Sumatra
Timur hilang, sedangkan warisan nama Sumatra Utara tetap dipertahankan. Oleh
karena, Atjeh sudah menjadi provinsi sendiri, maka nama Sumatra Utara
sesungguhnya pewarisnya adalah Tapanoeli. Sebagaimana pada masa kini, kita
Bangka dan Belitung dipisahkan dan membentuk provinsi sendiri, nama Sumatra
Selatan tetap diwarisi oleh Palembang. Yang agak sedikit berbeda adalah soal
warisan nama Riau. Pada awalnya nama Riau adalah wilayah kepulauan Riau
sedangkan Riau yang sekarang adalah Siak Indrapoera. Namun ketika terjadi
pemekaran, Siak Indrapoera mendapat warisan nama Riau yang sesungguhnya
merupakan nama Kepulauan Riau di masa lampau.
Lantas bagaimana jika Sumatra Barat mengalami pemekaran.
Mungkin sepintas tidak menjadi soal sebab dapat mewarisi nama lama: Padangsche
Benelanden (Padang Bawah/hilir) dan Padangsche Bovenlanden (Padang Atas/hulu).
Akan tetapi tidak semudah itu karena warisan nama Sumatra Barat sangat seksi.
Keduanya akan berusaha memilikinya. Namun jika kembali ke awal, nama Padang
bermula di Padangsche Benelanden sehingga Padangsch masih memiliki nama Padang.
Sedangkan Padangsch Bovenlabnden meski sudah memiliki kandidat nama Minangkabau
tetapi juga akan tertarik menggunakan
nama Sumatra Barat. Sementara di Sumatra Utara jika terjadi pemekaran, persoalannya
cukup rumit. Jika Tapanuli dimekarkan bisa menggunakan nama Tapanuli atau
Sumatra Utara (dua nama ini diwarisi). Jika Tapanuli yang dipilih maka Sumatra
Utara tinggal Sumatra Timur, tetapi pewaris terdekat nama Sumatra Utara adalah
Tapanuli (selain Atjeh). Kemungkinan lain, nama Sumatra Utara hilang dan muncul
secara bersamaan nama Tapanuli dan nama Sumatra Timur. Akan tetapi hal ini tidak
lazim nama provinsi induk dihilangkan (atau menghilang). Melihat asal-usul ini:
Sumatra Utara maupun Sumatra Barat sama-sama tidak akan ingin dimekarkan, dan
tetap seperti apa adanya dengan yang sudah ada sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar