Padang adalah nama kota. Suatu kota yang sudah dikenal sejak lama. Nama Padang, sebagai suatu nama tempat sudah diberitakan dalam surat kabar tahun 1744 (lihat Amsterdamse courant, 11-02-1744). Sejak itu, nama Padang kerap muncul dan nama itu tidak pernah berubah hingga kini.
Peta kuno, 1619 (buatan Portugis) |
Ada nama kota
yang dapat ditelusuri dan ada juga nama kota yang sulit/tidak diketahui.
Beberapa kota mengadopsi nama kampong lama, beberapa kota namanya diperkenalkan
oleh orang Eropa/Belanda.
Namun yang tetap
menjadi pertanyaan kapan nama Padang diadopsi sebagai nama tempat utama
(hoofdplaats) yang menjadi Kota Padang? Lantas, apa arti nama Padang, bagaimana
asal-usulnya. Meski pertanyaan ini tidak terlalu penting, tetapi menelusuri
asal-usul nama Kota Padang tentu menarik. Sebab,
sebagaimana kita lihat nanti, sejatinya kota (stad) Padang justru bermula di
sisi timur sungai Batang Arau di kaki gunung Padang. Suatu tempat yang berada
di seberang sungai perkampungan (kota) Moearo. Mari kita lacak!
Sumber Pertama
Kota
Padang, bukanlah kota kuno. Kota Padang adalah kota baru. Dalam peta-peta kuno,
nama Padang sebagai kota tidak dikenal (belum teridentifikasi). Dalam peta
paling kuno tahun 1619 nama Padang sebagai kota penting di Pantai Barat Sumatra
belum teridentifikasi. Nama Padang baru teridentifikasi dalam peta yang lebih
baru (1752). Dalam peta tahun 1752 dua nama tempat yang diidentifikasi sebagai
kota utama adalah Indrapoera (di barat) dan Indragiri (timur). Padang belum menjadi kota utama.
Peta Sumatra 1752 |
Dalam peta kuno,
terbitan berbahasa Portugis tahun 1619 kota-kota pelabuhan penting di pantai
barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar
kemungkinan sebagai simpul perdagangan dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing
(Batahan) dan di Minangkabau (Pariaman).
Dengan
demikian nama Padang di dalam peta muncul sebagai nama kota antara tahun 1619
dan 1752. Oleh karena, nama Padang sudah disebutkan di dalam surat kabar pada
tahun 1744 sebagai pelabuhan, sudah barang tentu nama Padang sudah disebut jauh
sebelumnya.
Aktivitas
perdagangan Belanda (VOC) di Pantai Barat Sumatra dibagi ke dalam empat periode
(lihat De Westkust en Miangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931).
Sejarah Pantai Barat Sumatra pada periode pertama dimana VOC hanya melakukan
perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar
pantai, sampai sekitar 1615. Periode kedua, dimana Pantai Barat Sumatra
diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; periode ketiga,
dimana penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666;
dan periode keempat, penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek VOC.
Pada periode ketiga inilah Kota Padang dimana terdapat hubungan antara Belanda (VOC) dan penduduk. Sebagai tindak lanjut hubungan itu adalah pada tahun 1666 Belanda berhasil mengusir Atjeh ditempat yang kemudian dikenal sebagai kota Padang (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Saat itu Kerajaan Atjeh menguasai pos perdagangan di bagian utara Sumatra, seperti Hooftstad (Atjeh), Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou, Cirkel, Barros, Batahan, Paffaman, Ticou, Priaman en Padang (lihat De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt…door De La Porte, 1766). Namun dalam berbagai literature, nama tempat dimana VOC membuka pos perdagangan tidak menyebut nama Padang (baru disebut Padang kemudian). Akan tetapi nama yang sering muncul adalah Moearo.
Leydse courant, 04-05-1764 |
Sejak kehadiran Belanda
ini, diduga nama Padang muncul sebagai suatu nama tempat. Jika ini tahun awal
VOC di Moeara sebagai titik tolak, maka nama Padang muncul antara 1666 dengan
1744. Periode waktu ini cukup lama, 78 tahun. Berbagai kemungkinan terjadi
dalam periode tersebut. Namun yang tetap menjadi pertanyaan memerlukan penelusuran lebih lanjut adalah soal titik waktu paling tinggi presisinya.
Sebagaimana
diketahui, Padang sempat ditinggalkan karena tidak aman, lalu diambil alih oleh
Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota (pos perdagangan) penting,
bahkan Air Bangis masih lebih penting sebagaimana terindikasi dalam berita
Leydse courant, 04-05-1764: ‘pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau)
Chinco, Air Bangies dan Barros..sedangkan di Padang hanya menempatkan
administrator tingkat dua..’. Sangat logis bahwa penempatan administratur di Padang (1764) dan berita
keberadaan pelabuhan Padang (1744). Artinya, paling tidak ada waktu 20 tahun
antara waktu dimana tahun 1744 Padang sudah dianggap penting secara ekonomis
(perdagangan) dan tahun 1764 ketika (pemerintahan) VOC menganggap sudah
waktunya melakukan penempatan pegawai di Padang.
Pantai barat dan pantai timur
Sumatra (minus Atjeh) secara administratif VOC memisahkannya. Untuk pantai
timur Sumatra sudah sejak lama menempatkan Guburnur VOC di Malaka, sedangkan
pantai barat Sumatra (karena masih tahap eksploratif) langsung berada di bawah
Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Pada tahun 1684 Gubernur Malaka mengirim suatu
ekspedisi ke Pagarroejoeng untuk melakukan kontak kerjasama perdagangan yang
dipimpin Thomas Dias. Rute yang digunakan adalah dari (poelaoe) Gontong
menyusuri sungai Siak lalu via darat melalui Liepa Kain (kini Lipat Kain)
menuju ibukota Pagarroejoeng. Dalam laporan Thomas Dias yang telah bertemu
Radja Pagarroejoeng tidak terindikasi adanya pemahaman Pagarroejoeng terhadap wilayah
pantai barat Sumatra kecuali hanya pantai timur Sumatra, terutama permasalahan
Pagarroejoeng dengan (kerajaan) Djohor. Sementara (eksistensi) di pantai barat
Sumatra merujuk pada informasi tentang perseteruan VOC (Belanda) dan EIC
(Inggris) dengan (kerajaan) Atjeh. Dengan demikian, sejauh kehadiran Thomas
Dias di Pagarroejoeng tidak ada akses (mudah) hubungan antara pantai barat
Sumatra (kota-kota lama seperti Indrapoera dan Pariaman) dengan ibukota
Pagarroejoeng di pedalaman. Artinya, Atjeh sangat berkuasa di pantai barat
Sumatra dan Pagarroejoeng (secara defacto) berorientasi ke (pantai) timur
Sumatra. Jika memang ada akses dari pantai barat Sumatra ke Pagarroejoeng,
tentu saja ekspedisi Thomas Dias akan dilakukan dari pantai barat (karena jarak
yang lebih pendek). Sebab, saat itu, paling tidak sejak tahun 1666 sudah ada
aktivitas VOC di muara sungai Batang Araoe (setelah berhasil mengusir pengaruh
Atjeh). Ekspedisi Thomas Dias
(perjalanan pulang-pergi) sendiri dilakukan selama 20 hari.
Informasi nama Padang
sebagai nama suatu tempat hanya diketahui di pantai barat Sumatra. Pada tahun
1684 ketika ekspedisi VOC ke Pagarroejoeng melalui pantai timur Sumatra tidak
terindikasi adanya hubungan (dagang) perdagangan Pagarroejoeng dengan pantai
barat Sumatra (kecuali hanya Atjeh di pantai barat Sumatra). Satu dokumen
tertua yang menyatakan sudah adanya nama Padang sebagai nama tempat (plaats) ditemukan dalam dokumen Daghregister
Batavia, 1 Maret 1701. Suatu dokumen yang berisi tentang keberadaan seorang
pedagangan Tionghoa di Angkola (kini Padang Sidempoean) yang mengindikasikan
lalu lintas perdagangan di pantai barat Sumatra.
Daghregister Batavia, 1 Maret 1701 mencatat sebagai berikut (diringkas): ‘orang yang ditanyai itu [seorang Tionghoa] memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang, maka dia memberitahukan niatnya kepada para raja di sana [Angkola] dan para raja memberinya banyak beras dan sejumlah buah-buahan dan sayur mayur sebagai bekal dalam perjalanan [dari Angkola] ke Baros yang ditempuhnya bersama istri [asli Angkola] dan anaknya dalam sepuluh hari, kemudian ada sebuah kapal milik orang Cina bernama Thieko yang ada di pelabuhan Baros, dan dari sana bersama istri dan anaknya pada tanggal 27 bulan yang lalu [1701] dia tiba di sini [Batavia] setelah melewati Padang, dan bergabung dengan orang-orang sebangsanya dia mulai bercocok tanam dan mengerjakan berbagai kegiatan lain’. Dokumen lengkap ini dapat di baca dalam: Daniel Perret, “Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701” dalam Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 9. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
Keberadaan nama Padang
sebagai nama sebuah tempat berdasarkan informasi pedagang Tionghoa di Angkola
paling tidak telah dikenal pada tahun 1701. Dengan kata lain, nama Padang sebagai
nama tempat diduga muncul paling tidak antara tahun 1666 dan tahun 1701.
Periode waktu ini (1666-1701) konsentrasi VOC (Belanda) tengah berada di Celebes
(baca: Sulawesi) dalam Perang Gowa. Setelah pasukan Aroe Palaka ikut dalam
pembebasan pengaruh Atjeh membantu pasukan Poolman di muara sungai Batang Araoe
(1666) langsung bergabung dengan pasukan Speelman dan berhasil melumpuhkan
Kerajaan Gowa (1667-1669).
Nama Padang sebelum kehadiran
VOC/Belanda adalah suatu nama wilayah, bukan nama tempat (plaats). Tampaknya
gunung Padang lebih penting daripada sungai Araoe sebagai penanda navigasi.
Berbeda dengan nama tempat (plaats) Semarang dan Soerabaja yang mengadopsi dari
nama kampong yang sama dengan nama sungai; sementara kota Bandoeng mengadopsi
nama kampong Bandoeng di sungai Tjitaroem (tidak ada sungai Bandoeng). Dalam
Daghregister yang bertanggal 28 Januari 1661 dicatat sebuah surat yang berasal
dari Padang. Akan tetapi nama Padang tidak mengindikasikan nama tempat tetapi
hanya suatu wilayah (tentu saja wilayah yang dimaksud adalah seputar gunung Padang).
Ini ibarat datang surat dari Minangcabau
tetapi dimana tempat di wilayah Minangcabau tidak diketahui secara jelas. Dalam
hal ini wilayah Padang berada di daerah aliran sungai Araoe dimana terdapat
kampong Moearo. Tidak ada nama tempat kampong Araoe atau kampong Padang.
Perlu dicatat kembali bahwa setelah
berakhirnya kekuasaan Sriwidjaja, kerajaan-kerajaan yang memiliki pengaruh kuat
adalah Keradjaan Aroe (diduga kuat di Angkola/Padang Lawas), kerajaam
Pagarroejoeng dan kerajaan Atjeh plus kerajaan Malaka (dan kemudian kerajaan
Djohor). Kerajaan-lerajaan Malaka, Atjeh dan Djohor adalah kerajaan-kerajaan
yang mengandalkan angkatan perang di laut; sedangkan kerajaan-kerajaan Aroe dan
kerajaan Pagarroejoeng mengandalkan angkatan darat (kavelari). Dalam buku
Mendes Pinto (1539) pada era Portugis di Malaka (sebelum Belanda/VOC datang)
kerajaan Aroe memiliki hubungan persahabatan yang kuat dengan kerajaan
Pagarroejoeng. Jika kerajaan Aroe membutuhkan bantuan jika harus menghadapi kerajaan
Atjeh, kerajaan Pagarroejoeng siap mengirimkan pasukan cadangan, demikian
sebaliknya, jika kerajaan Pagarroejoeng dapat meminta pasukan tambahan dari
kerajaan Aroe. Eskalasi politik itu, berdasarkan Mendes Pinto terkesan antara
tiga kerajaan itu berada di pantai timur Sumatra. Konfrontasi kerajaan Atjeh
dalam hal ini jika pasukan kerajaan Atjeh menganeksasi kota-kota pelabuhan
sungai di pedalaman seperti di sungai Siak dan suangai Indragiri (wilayah
teritori Pagarroejoeng) dan di sungai Baroemoen, Asahan dan lainnya termasuk
Deli (wilayah teritori Aroe). Ini mengindikasikan bahwa kerajaan Batak Kingdom
Aroe dan kerajaan Minangkabaoe Kingdom Pagaroejoeng adalah kerajaan-kerajaan di
daratan di pedalaman, bukan kerajaan-kerajaan lautan. Oleh karena itu dua
kerajaan daratan ini tidak pernah mengembangkan kota-kota pelabuhan. Yang
mengembangkannya adalah kerajaan Atjeh yang mana di pantai barat Sumatra
seperti Indrapoera, Pariaman, Tikoe (garis pantai Pagaroejoeng Kingdom) dam Batahan,
Baroes dan Singkel (garis pantai Aroe Kingdom). William Marsden dalam bukunya (1785)
menyebutkan bahwa sangat bingung mengapa Batak Kingdom bukan pelaut meski
memiliki pelabuhan terbaik (di telok Tapanoeli). Kebingungan Marsden ini tentu
juga berlaku untuk Minangkabaoe Kingdom yang bukan pelaut. Tentu saja dua
kerajaan ini tidak perlu menjadi pelaut karena wilayah teritorinya (di
pedalaman) sangat kaya sumber-sumber alam dan telah lema mengembangkan sistem
pertanian sendiri. Para pedagang dari mancanegaralah yang datang sendiri untuk
berdagang. Dengan demikian, dalam hal ini, Batak Kingdom Aroe tidak pernah
terhubung secara intens (memiliki pengaruh) dengan Natal (suksesi Batahan) dan
Telok Tapanoeli (suksesi Baros) dan idem dito Minangkabaoe Kingdom Pagaroejoeng
dengan Padang (suksesi Indrapoera dan Pariaman) dan Ajer Bangies (suksesi
Tikoe). Kota-kota pelabuhan ini independen dari Aroe dan Pagarroejoeng tetapi
terkooptasi oleh kerajaan Atjeh (yang memang raja lautan dan penguasa kota-kota
di pantai barat Sumatra).
Gunung Padang, sisi timur sungai Batang Araoe |
Gunung Padang dan gudang di Moearo, 1870 |
Meski
nama Gunung Padang dan Sungai Batang Araoe sudah sejak lama dikenal, tetapi di
sekitarnya tidak muncul pelabuhan yang penting, seperti Batahan, Pariaman,
Tikoe dan Indrapoera. Hal ini disebabkan di muara Sungai Batang Araoe bukanlah
tempat yang strategis untuk simpul perdagangan kuno ke pedalaman, seperti
Batahan (dari pedalaman di Mandailing), Pariaman dan Tikoe (pedalaman di
Minangkabau) dan Indrapoera (pedalaman di Kerintji).
Nama tempat yang
muncul kemudian di sekitar Sungai Batang Arau dan Gunung Padang adalah Moearo
(Moearoe?). Tempat ini merupakan tempat marjinal yang diduga merupakan area pemukiman
pelaut-pelaut dari pulau-pulau di sekitar (seperti Mentawai dan Nias). Sejauh
itu, Moearo bukan pelabuhan yang ideal dan besar melainkan pelabuhan kecil.
Moearo
sebagai salah satu nama tempat diantara nama-nama tempat utama antara Tikoe dan
Indrapoera kemungkinan baru diperhatikan ketika Belanda (VOC) mulai melihat
penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek (periode keempat, 1666). Moearo
menjadi pertimbangan terakhir VOC sebagai penetapan suatu tempat sebagai post
perdagangan. Hal ini karena politik yang terjadi di Pantai Barat Sumatra saat
itu.
Peta 1700 |
Tipologi Penamaan Kota Padang
Bagaimana
nama Gunung Padang diadopsi sebagai nama tempat yang utama (hoofdplaat) di
Moearo dan sekitarnya diduga karena peran Belanda (VOC) dalam proses membangun
pos perdagangan yang baru. Dengan kata lain, Padang muncul sebagai nama tempat
utama seiring dengan perkembangan di Moearo sebagai tempat post perdagangan VOC
yang baru.
Moearo ini secara teknis sangat strategis
sebagai pos perdagangan VOC karena terlindung oleh pengaruh alam dari lautan
(badai) dan juga karena Moearo memiliki geografis yang sesuai dengan fungsi
pertahanan (sungai, rawa dan gunung).
Casteel/Fort Padang (Peta 1753) |
Benteng (fort) Padang (1700-1709) |
.
Besar dugaan pos perdagangan di sekitar muara sungai
Batang Aroau belum sepenuhnya aman, dan untuk lebih mengamankan pos pedagangan
di hilir sungai VOC kemudian membangun benteng baru di sisi barat sungai. Bentuk
benteng (fort) Padang yang baru ini dapat dilihat pada sketsa benteng yang
dibuat pada tahun 1700-1709. Benteng baru ini menjadi pemisah antara pos
perdagangan di hilir sungai dengan pemukiman penduduk asli di hulu sungai.
Dalam
perkembangan lebih lanjut pos perdagangan yang bermula di benteng (fort) sisi timur sungai
(seberang Moearo) diperluas. Sisi timur sungai menjadi wilayah pemerintahan Eropa/Belanda.
Sementara sisi barat sungai mulai dari benteng hingga ke hilir menjadi tempat
pemukiman Eropa/Belanda, orang-orang Tionghoa dan orang-orang pendatang
lainnya. Situasi ini dapat diperhatikan pada sketsa yang dibuat pada tahun
1781.
Dengan demikian, Kota Padang, bukanlah
kampong Moearo, tetapi area yang tidak jauh di hulu (per)kampong(an) Moearo.
Area ini berseberangan dengan Gunung Padang. Sedangkan kampong Moearo sendiri
berseberangan dengan ujung Gunung Padang di garis pantai (yang mana gunung
tersebut disebut orang Eropa/Belanda sebagai gunung berok (Apenberg). Oleh
karena tempat utama (hoofdplaat) adalah Padang, maka nama Moeara senmakin tidak popular. Lalu Moearo sendiri menjadi bagian dari (kota) Padang.
Nama Kota Padang diadopsi dari nama gunung (Gunung
Padang), bukan nama perkampongan (Moearo). Sebelum
menjadi nama kota, nama Padang diadopsi sebagai nama benteng, yakni Fort Padang.
Sebagaimana lazimnya,
Belanda tidak pernah mengakuisisi kampong/kota yang sudah ada, melainkan
mendirikan/membangunnya tidak jauh dari perkampungan yang ada. Penduduk adalah
mitra orang-orang Belanda dan tidak mengakuisisinya (seperti halnya dalam
perang).
Ada sedikit perbedaan
sejarah nama ibukota Padang dengan ibukota Sibolga. Ibukota Padang yang
mengambil nama alam (gunung Padang) awalnya berada di sisi timur sungai Batang
Araou di kaki gunung Padang, lalu kemudian relokasi ke sisi barat sungai Batang
Araou (dengan tetap membawa nama Fort Padang). Sementara ibukota Sibolga
bermula di di dekat kampong Tapanoeli ketika era Inggris. Pada era Belanda
ibukota dipindahkan ke dekat kampong Si Bolga. Dalam perkembangannya nama
Sibolga (Si Bolga) menjadi ibukota dan nama Tapanoeli diadopsi menjadi nama
wilayah (Residentie Tapanoeli). Nama Padang tidak hanya nama ibukota, tetapi
juga diadopsi menjadi nama wilayah (Residentie Padang Benelanden dan Residentie
Padang Bovenlanden). Provinsi Sumatra’s Westkust pada tahun 1845 terdiri dari
tiga residentie: Residentie Padang Benelanden dan Residentie Padang Bovenlanden
serta Residentie Tapanoeli.
Last but not least: nama Padang Sidempuan (ibukota
Afdeeling Mandailing dan Angkola di Residentie Tapanoeli) diadopsi dari nama
kampong Padang Sidempoean. Pada saat pembentukan Residentie Tapanoeli dan
ibukota relokasi dari kampong Tapanoeli ke kampong Sibolga tahun 1845, Padang
Sidempoean sudah menjadi kota. Pada tahun 1880, kota Padang Sidempoean sudah hampir setara dengan Kota Padang
(lihat perbandingan peta Padang tahun 1880 dan peta Padang Sidempoean tahun
1879). Saat itu kota Medan tentu saja belum menjadi sebuah kota tetapi masih mirip sebuah kampung besar (Onderafdeeling baru dibentuk dengan penempatan controleur di Medan tahun 1875). Yang menjadi kota terbesar saat itu di
Sumatra adalah Kota Padang, kota terbesar kedua adalah Padang Sidempoean dan kota terbesar ketiga adalah Palembang (lihat serial artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini).
Sketsa/Peta 1695 |
Tidak diketahui kapan
benteng di sisi barat sungai dibangun. Benteng ini sudah eksis jauh sebelumnya
(lihat Peta 1695). Pembangunan benteng baru di sisi barat sungai Batang Araou
ke arah hulu mirip dengan strategi pembangunan benteng baru di Batavia. Setelah
Casteel Batavia dan sekitarnya menjadi ibukota (stad), dibangun empat benteng
untuk mengawal Batavia yakni di Jacatra (kini Mangga Dua), Angke, Riswijck (kini
Stasion Djoeanda) dan Nordwijck (kini Harmoni).
.
Sketsa/Peta 1781 |
Pada era Inggris (1795-1819) sisi barat sungai
berkembang pesat, Gudang-gudang berada
di garis depan (dekat dengan laut) sedangkan pos militer tetap berada di belakang (ke arah hulu). Ini berbeda dengan
Batavia, Semarang dan Soerabaya (yang justru
sebaliknya). Ini mengindikasikan di laut sudah lebih aman dibandingkan dari
daratan. Sedangkan posisi gudang, tangsi militer dan tempat tinggal tidak
mengakuisisi tempat pemukiman di Moearo tetapi memilih ke arah hulu. Pada era Pemerintahan Hindia
Belanda Kantor Gubernur telah direlokasi
ke sisi barat sungai di arah barat benteng (era Gubernur AV Michiels).
Pusat pemerintahan di Kota Padang di hulu Moearo, 1867 |
Peta Padang, 1879 |
Tipologi
pendirian Kota Padang ini terbilang unik. Kota Semarang
dan Soerabaya mengikuti nama kampong
yang mengambil nama alam (sungai). Kota Medan dan Kota Bandoeng (mengadopsi nama
kampong). Kota Batavia dan Kota Buitenzorg
(memperkenalkan nama baru: nama wilayah). Kota Padang bukan mengambil nama kampong Moearo. Juga tidak
mengambil nama alam (sungai Batang Araoe), tetapi Kota Padang mengambil nama
alam (gunung Padang) yang mana sebelumnya diadopsi sebagai nama benteng (fort
Padang). Untuk menambah pemahaman kita, nama Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan
Fort van der Capellen (kini Batusangkar) mengikuti nama-nama benteng yang
mengadopsi nama pahlawan Belanda di Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock dan Godert
van der Capellen.
Tiga kota besar Sumatra (1870an): Padang, Sidempuan, Palembang |
Satu keutamaan Kota Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Mandailing en Ankola saat itu adalah sebagai kota pendidikan. Pada tahun 1879 di Kota Padang Sidempoean )onderafdeeling Angkola) dibuka sekolah guru (kweekschool) untuk menggantikan sekolah guru sebelumnya di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Guru terkenal di sekolah guru Tanobato adalah Willem Iskander, sementara guru terkenal di sekolah guru Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Di Kota Padang Sidempoean sejak 1870 sudah terdapat empat buah sekolah dasar pemerintah. Pada tahun 1879 di Kota Padang baru terdapat satu buah sekolah dasar pemerintah; sementara di Kota Palembang sama sekali belum ada sekolah. Catatan: sekolah guru di (pulau) Sumatra hanya ada dua buah: satu di Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan satu lagi di Kota Padang Sidempoean.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar