Minggu, 28 Mei 2017

Sejarah Kota Padang (39): Asal Usul Nama Kota Padang, Mangacu pada Nama Gunung Padang; Kota Bermula Muaro Sungai Arau

Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Padang adalah nama kota. Suatu kota yang sudah dikenal sejak lama. Nama Padang, sebagai suatu nama tempat sudah diberitakan dalam surat kabar tahun 1744 (lihat Amsterdamse courant, 11-02-1744). Sejak itu, nama Padang kerap muncul dan nama itu tidak pernah berubah hingga kini.

Peta kuno, 1619 (buatan Portugis)
Ada nama kota yang dapat ditelusuri dan ada juga nama kota yang sulit/tidak diketahui. Beberapa kota mengadopsi nama kampong lama, beberapa kota namanya diperkenalkan oleh orang Eropa/Belanda.

Namun yang tetap menjadi pertanyaan kapan nama Padang diadopsi sebagai nama tempat utama (hoofdplaats) yang menjadi Kota Padang? Lantas, apa arti nama Padang, bagaimana asal-usulnya. Meski pertanyaan ini tidak terlalu penting, tetapi menelusuri asal-usul nama Kota Padang tentu menarik. Sebab, sebagaimana kita lihat nanti, sejatinya kota (stad) Padang justru bermula di sisi timur sungai Batang Arau di kaki gunung Padang. Suatu tempat yang berada di seberang sungai perkampungan (kota) Moearo. Mari kita lacak!

Sumber Pertama

Kota Padang, bukanlah kota kuno. Kota Padang adalah kota baru. Dalam peta-peta kuno, nama Padang sebagai kota tidak dikenal (belum teridentifikasi). Dalam peta paling kuno tahun 1619 nama Padang sebagai kota penting di Pantai Barat Sumatra belum teridentifikasi. Nama Padang baru teridentifikasi dalam peta yang lebih baru (1752). Dalam peta tahun 1752 dua nama tempat yang diidentifikasi sebagai kota utama adalah Indrapoera (di barat) dan Indragiri (timur). Padang belum menjadi kota utama.

Peta Sumatra 1752
Dalam peta kuno, terbitan berbahasa Portugis tahun 1619 kota-kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar kemungkinan sebagai simpul perdagangan dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing (Batahan) dan di Minangkabau (Pariaman).

Dengan demikian nama Padang di dalam peta muncul sebagai nama kota antara tahun 1619 dan 1752. Oleh karena, nama Padang sudah disebutkan di dalam surat kabar pada tahun 1744 sebagai pelabuhan, sudah barang tentu nama Padang sudah disebut jauh sebelumnya.

Aktivitas perdagangan Belanda (VOC) di Pantai Barat Sumatra dibagi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en Miangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931). Sejarah Pantai Barat Sumatra pada periode pertama dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615. Periode kedua, dimana Pantai Barat Sumatra diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; periode ketiga, dimana penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan periode keempat, penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek VOC.

Pada periode ketiga inilah Kota Padang dimana terdapat hubungan antara Belanda (VOC) dan penduduk. Sebagai tindak lanjut hubungan itu adalah pada tahun 1666 Belanda berhasil mengusir Atjeh ditempat yang kemudian dikenal sebagai kota Padang  (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Saat itu Kerajaan Atjeh menguasai pos perdagangan di bagian utara Sumatra, seperti Hooftstad (Atjeh), Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou, Cirkel, Barros, Batahan, Paffaman, Ticou, Priaman en Padang (lihat De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt…door De La Porte, 1766). Namun dalam berbagai literature, nama tempat dimana VOC membuka pos perdagangan tidak menyebut nama Padang (baru disebut Padang kemudian). Akan tetapi nama yang sering muncul adalah Moearo.

Leydse courant, 04-05-1764
Sejak kehadiran Belanda ini, diduga nama Padang muncul sebagai suatu nama tempat. Jika ini tahun awal VOC di Moeara sebagai titik tolak, maka nama Padang muncul antara 1666 dengan 1744. Periode waktu ini cukup lama, 78 tahun. Berbagai kemungkinan terjadi dalam periode tersebut.  Namun yang tetap menjadi pertanyaan memerlukan penelusuran lebih lanjut adalah soal titik waktu paling tinggi presisinya.

Sebagaimana diketahui, Padang sempat ditinggalkan karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota (pos perdagangan) penting, bahkan Air Bangis masih lebih penting sebagaimana terindikasi dalam berita Leydse courant, 04-05-1764: ‘pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau) Chinco, Air Bangies dan Barros..sedangkan di Padang hanya menempatkan administrator tingkat dua..’. Sangat logis bahwa penempatan administratur di Padang (1764) dan berita keberadaan pelabuhan Padang (1744). Artinya, paling tidak ada waktu 20 tahun antara waktu dimana tahun 1744 Padang sudah dianggap penting secara ekonomis (perdagangan) dan tahun 1764 ketika (pemerintahan) VOC menganggap sudah waktunya melakukan penempatan pegawai di Padang.

Pantai barat dan pantai timur Sumatra (minus Atjeh) secara administratif VOC memisahkannya. Untuk pantai timur Sumatra sudah sejak lama menempatkan Guburnur VOC di Malaka, sedangkan pantai barat Sumatra (karena masih tahap eksploratif) langsung berada di bawah Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Pada tahun 1684 Gubernur Malaka mengirim suatu ekspedisi ke Pagarroejoeng untuk melakukan kontak kerjasama perdagangan yang dipimpin Thomas Dias. Rute yang digunakan adalah dari (poelaoe) Gontong menyusuri sungai Siak lalu via darat melalui Liepa Kain (kini Lipat Kain) menuju ibukota Pagarroejoeng. Dalam laporan Thomas Dias yang telah bertemu Radja Pagarroejoeng tidak terindikasi adanya pemahaman Pagarroejoeng terhadap wilayah pantai barat Sumatra kecuali hanya pantai timur Sumatra, terutama permasalahan Pagarroejoeng dengan (kerajaan) Djohor. Sementara (eksistensi) di pantai barat Sumatra merujuk pada informasi tentang perseteruan VOC (Belanda) dan EIC (Inggris) dengan (kerajaan) Atjeh. Dengan demikian, sejauh kehadiran Thomas Dias di Pagarroejoeng tidak ada akses (mudah) hubungan antara pantai barat Sumatra (kota-kota lama seperti Indrapoera dan Pariaman) dengan ibukota Pagarroejoeng di pedalaman. Artinya, Atjeh sangat berkuasa di pantai barat Sumatra dan Pagarroejoeng (secara defacto) berorientasi ke (pantai) timur Sumatra. Jika memang ada akses dari pantai barat Sumatra ke Pagarroejoeng, tentu saja ekspedisi Thomas Dias akan dilakukan dari pantai barat (karena jarak yang lebih pendek). Sebab, saat itu, paling tidak sejak tahun 1666 sudah ada aktivitas VOC di muara sungai Batang Araoe (setelah berhasil mengusir pengaruh Atjeh).  Ekspedisi Thomas Dias (perjalanan pulang-pergi) sendiri dilakukan selama 20 hari.    

Informasi nama Padang sebagai nama suatu tempat hanya diketahui di pantai barat Sumatra. Pada tahun 1684 ketika ekspedisi VOC ke Pagarroejoeng melalui pantai timur Sumatra tidak terindikasi adanya hubungan (dagang) perdagangan Pagarroejoeng dengan pantai barat Sumatra (kecuali hanya Atjeh di pantai barat Sumatra). Satu dokumen tertua yang menyatakan sudah adanya nama Padang sebagai nama tempat (plaats) ditemukan dalam dokumen Daghregister Batavia, 1 Maret 1701. Suatu dokumen yang berisi tentang keberadaan seorang pedagangan Tionghoa di Angkola (kini Padang Sidempoean) yang mengindikasikan lalu lintas perdagangan di pantai barat Sumatra.
Daghregister Batavia, 1 Maret 1701 mencatat sebagai berikut (diringkas): ‘orang yang ditanyai itu [seorang Tionghoa] memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang, maka dia memberitahukan niatnya kepada para raja di sana [Angkola] dan para raja memberinya banyak beras dan sejumlah buah-buahan dan sayur mayur sebagai bekal dalam perjalanan [dari Angkola] ke Baros yang ditempuhnya bersama istri [asli Angkola] dan anaknya dalam sepuluh hari, kemudian ada sebuah kapal milik orang Cina bernama Thieko yang ada di pelabuhan Baros, dan dari sana bersama istri dan anaknya pada tanggal 27 bulan yang lalu [1701] dia tiba di sini [Batavia] setelah melewati Padang, dan bergabung dengan orang-orang sebangsanya dia mulai bercocok tanam dan mengerjakan berbagai kegiatan lain’. Dokumen lengkap ini dapat di baca dalam: Daniel Perret, “Pemeriksaan atas Seorang Pedagang  Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701” dalam Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 9. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
Keberadaan nama Padang sebagai nama sebuah tempat berdasarkan informasi pedagang Tionghoa di Angkola paling tidak telah dikenal pada tahun 1701. Dengan kata lain, nama Padang sebagai nama tempat diduga muncul paling tidak antara tahun 1666 dan tahun 1701. Periode waktu ini (1666-1701) konsentrasi VOC (Belanda) tengah berada di Celebes (baca: Sulawesi) dalam Perang Gowa. Setelah pasukan Aroe Palaka ikut dalam pembebasan pengaruh Atjeh membantu pasukan Poolman di muara sungai Batang Araoe (1666) langsung bergabung dengan pasukan Speelman dan berhasil melumpuhkan Kerajaan Gowa (1667-1669).

Nama Padang sebelum kehadiran VOC/Belanda adalah suatu nama wilayah, bukan nama tempat (plaats). Tampaknya gunung Padang lebih penting daripada sungai Araoe sebagai penanda navigasi. Berbeda dengan nama tempat (plaats) Semarang dan Soerabaja yang mengadopsi dari nama kampong yang sama dengan nama sungai; sementara kota Bandoeng mengadopsi nama kampong Bandoeng di sungai Tjitaroem (tidak ada sungai Bandoeng). Dalam Daghregister yang bertanggal 28 Januari 1661 dicatat sebuah surat yang berasal dari Padang. Akan tetapi nama Padang tidak mengindikasikan nama tempat tetapi hanya suatu wilayah (tentu saja wilayah yang dimaksud adalah seputar gunung Padang).  Ini ibarat datang surat dari Minangcabau tetapi dimana tempat di wilayah Minangcabau tidak diketahui secara jelas. Dalam hal ini wilayah Padang berada di daerah aliran sungai Araoe dimana terdapat kampong Moearo. Tidak ada nama tempat kampong Araoe atau kampong Padang.

Pasca Perang Gowa inilah VOC kemudian mulai melirik ekspansi secara besar-besaran ke Sumatra, yang diawali dengan ekspedisi Thomas Dias ke Pagarroejoeng dari Malaka tahun 1684 dan pentingnya pencatatan kisah pedagang Tionghoa yang sudah selama 10 tahun berada di Angkola (1690-1701) di dalam Dahgregister Batavia. Catatan pedagang Tionghoa asal Angkola (Padang Sidempoean) ini juga menjadi sangat berarti untuk mengetahui sejak kapan nama Padang dicatat sebagai sebuah nama tempat. Satu-satunya, sejauh ini, sumber tertua nama Padang adalah informasi pedagang Tionghoa dari Angkola (Padang Sidempoean) tersebut.

Perlu dicatat kembali bahwa setelah berakhirnya kekuasaan Sriwidjaja, kerajaan-kerajaan yang memiliki pengaruh kuat adalah Keradjaan Aroe (diduga kuat di Angkola/Padang Lawas), kerajaam Pagarroejoeng dan kerajaan Atjeh plus kerajaan Malaka (dan kemudian kerajaan Djohor). Kerajaan-lerajaan Malaka, Atjeh dan Djohor adalah kerajaan-kerajaan yang mengandalkan angkatan perang di laut; sedangkan kerajaan-kerajaan Aroe dan kerajaan Pagarroejoeng mengandalkan angkatan darat (kavelari). Dalam buku Mendes Pinto (1539) pada era Portugis di Malaka (sebelum Belanda/VOC datang) kerajaan Aroe memiliki hubungan persahabatan yang kuat dengan kerajaan Pagarroejoeng. Jika kerajaan Aroe membutuhkan bantuan jika harus menghadapi kerajaan Atjeh, kerajaan Pagarroejoeng siap mengirimkan pasukan cadangan, demikian sebaliknya, jika kerajaan Pagarroejoeng dapat meminta pasukan tambahan dari kerajaan Aroe. Eskalasi politik itu, berdasarkan Mendes Pinto terkesan antara tiga kerajaan itu berada di pantai timur Sumatra. Konfrontasi kerajaan Atjeh dalam hal ini jika pasukan kerajaan Atjeh menganeksasi kota-kota pelabuhan sungai di pedalaman seperti di sungai Siak dan suangai Indragiri (wilayah teritori Pagarroejoeng) dan di sungai Baroemoen, Asahan dan lainnya termasuk Deli (wilayah teritori Aroe). Ini mengindikasikan bahwa kerajaan Batak Kingdom Aroe dan kerajaan Minangkabaoe Kingdom Pagaroejoeng adalah kerajaan-kerajaan di daratan di pedalaman, bukan kerajaan-kerajaan lautan. Oleh karena itu dua kerajaan daratan ini tidak pernah mengembangkan kota-kota pelabuhan. Yang mengembangkannya adalah kerajaan Atjeh yang mana di pantai barat Sumatra seperti Indrapoera, Pariaman, Tikoe (garis pantai Pagaroejoeng Kingdom) dam Batahan, Baroes dan Singkel (garis pantai Aroe Kingdom). William Marsden dalam bukunya (1785) menyebutkan bahwa sangat bingung mengapa Batak Kingdom bukan pelaut meski memiliki pelabuhan terbaik (di telok Tapanoeli). Kebingungan Marsden ini tentu juga berlaku untuk Minangkabaoe Kingdom yang bukan pelaut. Tentu saja dua kerajaan ini tidak perlu menjadi pelaut karena wilayah teritorinya (di pedalaman) sangat kaya sumber-sumber alam dan telah lema mengembangkan sistem pertanian sendiri. Para pedagang dari mancanegaralah yang datang sendiri untuk berdagang. Dengan demikian, dalam hal ini, Batak Kingdom Aroe tidak pernah terhubung secara intens (memiliki pengaruh) dengan Natal (suksesi Batahan) dan Telok Tapanoeli (suksesi Baros) dan idem dito Minangkabaoe Kingdom Pagaroejoeng dengan Padang (suksesi Indrapoera dan Pariaman) dan Ajer Bangies (suksesi Tikoe). Kota-kota pelabuhan ini independen dari Aroe dan Pagarroejoeng tetapi terkooptasi oleh kerajaan Atjeh (yang memang raja lautan dan penguasa kota-kota di pantai barat Sumatra).

Gunung Padang

Gunung Padang, sisi timur sungai Batang Araoe
Dua situs penting sebagai penanda utama di sekitar nama Kota Padang muncul yang diduga sudah eksis sejak lama adalah nama sungai (Batang Araoe) dan nama gunung (Padang). Dua nama ini masih terkait dengan nama-nama dari India Selatan. Dua nama situs ini adalah factor penting dalam navigasi jaman kuno. Dengan kata lain, Araoe (bahasa India Selatan, aroe=sungai) dan Padang (bahasa India Selatan, padang=terang atau terlihat) adalah terminology kuno. Dengan demikian, penamaan sungai berdasarkan kata aroe (bergeser menjadi araoe) dan penamaan gunung berdasarkan kata padang. Dan karena itu penyebutan nama sungai menjadi Sungai (Batang) Araoe dan nama gunung menjadi Gunung Padang.

Gunung Padang dan gudang di Moearo, 1870
Sungai Batang Araoe adalah sungai yang terbilang salah satu sungai yang sangat besar di Pantai Barat Sumatra (selain sungai Singkel dan sungai Batahan) yang dapat dilayari cukup jauh ke pedalaman. Sedangkan nama, Gunung Padang termasuk salah satu gunung yang terbilang tinggi di Pantai Barat Sumatra yang langsung bersentuhan dengan pantai. Dari jauh di lautan, gunung ini terlihat sangat jelas, suatu situs yang diduga menjadi penanda navigasi yang penting di jaman kuno. 

Meski nama Gunung Padang dan Sungai Batang Araoe sudah sejak lama dikenal, tetapi di sekitarnya tidak muncul pelabuhan yang penting, seperti Batahan, Pariaman, Tikoe dan Indrapoera. Hal ini disebabkan di muara Sungai Batang Araoe bukanlah tempat yang strategis untuk simpul perdagangan kuno ke pedalaman, seperti Batahan (dari pedalaman di Mandailing), Pariaman dan Tikoe (pedalaman di Minangkabau) dan Indrapoera (pedalaman di Kerintji).

Nama tempat yang muncul kemudian di sekitar Sungai Batang Arau dan Gunung Padang adalah Moearo (Moearoe?). Tempat ini merupakan tempat marjinal yang diduga merupakan area pemukiman pelaut-pelaut dari pulau-pulau di sekitar (seperti Mentawai dan Nias). Sejauh itu, Moearo bukan pelabuhan yang ideal dan besar melainkan pelabuhan kecil.  

Moearo sebagai salah satu nama tempat diantara nama-nama tempat utama antara Tikoe dan Indrapoera kemungkinan baru diperhatikan ketika Belanda (VOC) mulai melihat penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek (periode keempat, 1666). Moearo menjadi pertimbangan terakhir VOC sebagai penetapan suatu tempat sebagai post perdagangan. Hal ini karena politik yang terjadi di Pantai Barat Sumatra saat itu.

Peta 1700
Pada tahun 1666, di sekitar Moearo ini Atjeh sudah sejak beberapa decade menetapkan sebagai pos perdagangan baru sebagai perluasan pos-pos perdagangan yang sudah ada jauh sebelumnya (Singkel, Baros, Batahan, Pariaman, Tikoe dan Indrapoera). Lalu kemudian, Belanda mengakuisisi Moearo dan sekitarnya dari Atjeh sejak 1668. Sejak inilah diduga nama Padang muncul sebagai nama suatu tempat utama (seperti Tapanoeli, Natal, Air Bangie, Air Hadji (Painan) yang sejajar dengan kota-kota lama (Baros, Batahan, Pariaman, Tikoe dan Indrapoera). Nama Padang dalam hal ini paling tidak sudah dicatat pada tahun 1701 (dalam Daghregister Batavia).

Tipologi Penamaan Kota Padang

Bagaimana nama Gunung Padang diadopsi sebagai nama tempat yang utama (hoofdplaat) di Moearo dan sekitarnya diduga karena peran Belanda (VOC) dalam proses membangun pos perdagangan yang baru. Dengan kata lain, Padang muncul sebagai nama tempat utama seiring dengan perkembangan di Moearo sebagai tempat post perdagangan VOC yang baru.

Moearo ini secara teknis sangat strategis sebagai pos perdagangan VOC karena terlindung oleh pengaruh alam dari lautan (badai) dan juga karena Moearo memiliki geografis yang sesuai dengan fungsi pertahanan (sungai, rawa dan gunung).

Casteel/Fort Padang (Peta 1753)
Namun seperti biasanya VOC/Belanda tidak pernah mengakuisisi suatu tempat pemukiman atau suatu pusat perdagangan pribumi. Pejabat VOC/Belanda selalu memilih posisi yang berada di hilir suatu tempat pemukiman atau pusat pedaangan lama. Ini dapat dilihat pada penetapan posisi Casteel Batavia yang berada di hilir (pelabuhan) Cunda Kalapa (Sunda Kelapa); idem dito penetapan posisi Casteel Semarang, Casteel Soerabaja. Pola inilah yang dilakukan di muara sungai Batang Araou. Castel (benteng) VOC dibangun berada di seberang (tempat pemukiman) Moearo yang berada persis di kaki gunung Padang (lihat Peta 1753). Dalam peta buatan Johannes van Keulen ini posisi benteng (casteel berada di sisi kanan sungai Batang Araou di Apenberg.

Benteng (fort) Padang (1700-1709)
Belanda (VOC) umumnya memberi nama suatu tempat berdasarkan nama (situs) yang sudah ada. Dalam hal ini ada tiga pilihan situs: Moeara (pemukiman), Padang (gunung) Batang Araoe (sungai). Dari tiga nama situs ini karena posisi benteng (casteel) berada di kaki gunung Padang maka nama casteel yang selalu menjadi ibukota (stad) maka nama Padang yang diadopsi. Belanda (VOC/Pemerintah Hindia Belanda) untuk menetapkan ibukota umumnya tidak pernah mengakuisi pemukiman penduduk tetapi memilih tempat tidak jauh dari tempat pemukiman yang sudah ada. Untuk penamaan ibukota baru ini ada dua cara: memberi nama baru atau mengadopsi nama pemukiman lama. Nama baru sesuai situs (casteel Batavia, bangunan Buitenzorg, Fort de Kock, Fort Eloet, Fort van der Capellen). Nama lama sesuai nama pemukiman (Bandoeng dan Medan), Untuk nama Kota Padang sesuai nama alam yakni gunung (sedangkan Semarang dan Soerabaja adalah nama sungai).    
.
Sketsa/Peta 1695
Besar dugaan pos perdagangan di sekitar muara sungai Batang Aroau belum sepenuhnya aman, dan untuk lebih mengamankan pos pedagangan di hilir sungai VOC kemudian membangun benteng baru di sisi barat sungai. Bentuk benteng (fort) Padang yang baru ini dapat dilihat pada sketsa benteng yang dibuat pada tahun 1700-1709. Benteng baru ini menjadi pemisah antara pos perdagangan di hilir sungai dengan pemukiman penduduk asli di hulu sungai.

Tidak diketahui kapan benteng di sisi barat sungai dibangun. Benteng ini sudah eksis jauh sebelumnya (lihat Peta 1695). Pembangunan benteng baru di sisi barat sungai Batang Araou ke arah hulu mirip dengan strategi pembangunan benteng baru di Batavia. Setelah Casteel Batavia dan sekitarnya menjadi ibukota (stad), dibangun empat benteng untuk mengawal Batavia yakni di Jacatra (kini Mangga Dua), Angke, Riswijck (kini Stasion Djoeanda) dan Nordwijck (kini Harmoni).
.
Sketsa/Peta 1781
Dalam perkembangan lebih lanjut pos perdagangan yang bermula di benteng (fort) sisi timur sungai (seberang Moearo) diperluas. Sisi timur sungai menjadi wilayah pemerintahan Eropa/Belanda. Sementara sisi barat sungai mulai dari benteng hingga ke hilir menjadi tempat pemukiman Eropa/Belanda, orang-orang Tionghoa dan orang-orang pendatang lainnya. Situasi ini dapat diperhatikan pada sketsa yang dibuat pada tahun 1781.

Pada era Inggris (1795-1819) sisi barat sungai berkembang pesat, Gudang-gudang berada di garis depan (dekat dengan laut) sedangkan pos militer tetap berada di belakang (ke arah hulu). Ini berbeda dengan Batavia, Semarang dan Soerabaya (yang justru sebaliknya). Ini mengindikasikan di laut sudah lebih aman dibandingkan dari daratan. Sedangkan posisi gudang, tangsi militer dan tempat tinggal tidak mengakuisisi tempat pemukiman di Moearo tetapi memilih ke arah hulu.  Pada era Pemerintahan Hindia Belanda Kantor Gubernur telah direlokasi ke sisi barat sungai di arah barat benteng (era Gubernur AV Michiels).

Pusat pemerintahan di Kota Padang di hulu Moearo, 1867
Dengan demikian, Kota Padang, bukanlah kampong Moearo, tetapi area yang tidak jauh di hulu (per)kampong(an) Moearo. Area ini berseberangan dengan Gunung Padang. Sedangkan kampong Moearo sendiri berseberangan dengan ujung Gunung Padang di garis pantai (yang mana gunung tersebut disebut orang Eropa/Belanda sebagai gunung berok (Apenberg). Oleh karena tempat utama (hoofdplaat) adalah Padang, maka nama Moeara senmakin tidak popular. Lalu Moearo sendiri menjadi bagian dari (kota) Padang.

Peta Padang, 1879
Nama Kota Padang diadopsi dari nama gunung (Gunung Padang), bukan nama perkampongan (Moearo). Sebelum menjadi nama kota, nama Padang diadopsi sebagai nama benteng, yakni Fort Padang. Sebagaimana lazimnya, Belanda tidak pernah mengakuisisi kampong/kota yang sudah ada, melainkan mendirikan/membangunnya tidak jauh dari perkampungan yang ada. Penduduk adalah mitra orang-orang Belanda dan tidak mengakuisisinya (seperti halnya dalam perang).

Tipologi pendirian Kota Padang ini terbilang unik. Kota Semarang dan Soerabaya mengikuti nama kampong yang mengambil nama alam (sungai). Kota Medan dan Kota Bandoeng (mengadopsi nama kampong). Kota Batavia dan Kota Buitenzorg (memperkenalkan nama baru: nama wilayah). Kota Padang bukan mengambil nama kampong Moearo. Juga tidak mengambil nama alam (sungai Batang Araoe), tetapi Kota Padang mengambil nama alam (gunung Padang) yang mana sebelumnya diadopsi sebagai nama benteng (fort Padang). Untuk menambah pemahaman kita, nama Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan Fort van der Capellen (kini Batusangkar) mengikuti nama-nama benteng yang mengadopsi nama pahlawan Belanda di Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock dan Godert van der Capellen.

Tiga kota besar Sumatra (1870an): Padang, Sidempuan, Palembang
Ada sedikit perbedaan sejarah nama ibukota Padang dengan ibukota Sibolga. Ibukota Padang yang mengambil nama alam (gunung Padang) awalnya berada di sisi timur sungai Batang Araou di kaki gunung Padang, lalu kemudian relokasi ke sisi barat sungai Batang Araou (dengan tetap membawa nama Fort Padang). Sementara ibukota Sibolga bermula di di dekat kampong Tapanoeli ketika era Inggris. Pada era Belanda ibukota dipindahkan ke dekat kampong Si Bolga. Dalam perkembangannya nama Sibolga (Si Bolga) menjadi ibukota dan nama Tapanoeli diadopsi menjadi nama wilayah (Residentie Tapanoeli). Nama Padang tidak hanya nama ibukota, tetapi juga diadopsi menjadi nama wilayah (Residentie Padang Benelanden dan Residentie Padang Bovenlanden). Provinsi Sumatra’s Westkust pada tahun 1845 terdiri dari tiga residentie: Residentie Padang Benelanden dan Residentie Padang Bovenlanden serta Residentie Tapanoeli.

Last but not least: nama Padang Sidempuan (ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola di Residentie Tapanoeli) diadopsi dari nama kampong Padang Sidempoean. Pada saat pembentukan Residentie Tapanoeli dan ibukota relokasi dari kampong Tapanoeli ke kampong Sibolga tahun 1845, Padang Sidempoean sudah menjadi kota. Pada tahun 1880, kota Padang Sidempoean sudah hampir setara dengan Kota Padang (lihat perbandingan peta Padang tahun 1880 dan peta Padang Sidempoean tahun 1879). Saat itu kota Medan tentu saja belum menjadi sebuah kota tetapi masih mirip sebuah kampung besar (Onderafdeeling baru dibentuk dengan penempatan controleur di Medan tahun 1875). Yang menjadi kota terbesar saat itu di Sumatra adalah Kota Padang, kota terbesar kedua adalah Padang Sidempoean dan kota terbesar ketiga adalah Palembang (lihat serial artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini).
Satu keutamaan Kota Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Mandailing en Ankola saat itu adalah sebagai kota pendidikan. Pada tahun 1879 di Kota Padang Sidempoean )onderafdeeling Angkola) dibuka sekolah guru (kweekschool) untuk menggantikan sekolah guru sebelumnya di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Guru terkenal di sekolah guru Tanobato adalah Willem Iskander, sementara guru terkenal di sekolah guru Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Di Kota Padang Sidempoean sejak 1870 sudah terdapat empat buah sekolah dasar pemerintah. Pada tahun 1879 di Kota Padang baru terdapat satu buah sekolah dasar pemerintah; sementara di Kota Palembang sama sekali belum ada sekolah. Catatan: sekolah guru di (pulau) Sumatra hanya ada dua buah: satu di Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan satu lagi di Kota Padang Sidempoean.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar