Ketika
penduduk Atjeh berjuang dengan senjata melawan Belanda, Willem Iskander mulai
berjuang melawan Belanda dengan pena. Ketika kraton dan masjid Atjeh telah
hancur oleh Belanda, Willem Iskander mengungkapkan rasa keprihatinannya. Itulah
perjuangan intelektual Willem Iskander, seorang guru di Tanobato, Afdeeling
Mandailing dan Angkola.
Afdeeling Padang Sidempoean (sejak 1905) |
Willem
Iskander tidak berumur panjang. Willem Iskander meninggal dunia di Belanda pada
bulan Mei 1876. Willem Iskander meninggal beberapa bulan setelah tiga guru muda
(Tapanoeli, Djawa dan Soenda) yang dibimbingnya dari tanah air untuk studi di
Belanda meninggal satu per satu di Belanda. Upaya lebih lanjut Willem Iskander mencerdaskan Indonesia sirna, tetapi visinya ‘mencerdaskan bangsa dan mengentaskan
Belanda’ telah menjadi abadi dalam bukunya yang menjadi inspirasi kepada
generasi penerusnya di Padang Sidempuan
Bagaimana kiprah generasi penerus Willem
Iskander dalam membangun visi menjadi Indonesia akan disajikan dalam sejumlah
artikel. Sumber data yang digunakan dalam serial artikel ini merupakan hasil
penelusuran yang dilakukan pada surat-surat kabar yang terbit antara 1842 dan
1942. Mari kita mulai dengan artikel pertama
Untuk sekadar pembuka:
Kehadiran Belanda (VOC) di nusantara satu per satu negeri yang berdaulat jatuh
ke tangan penjajah. Maluku, Jawa dengan Perang Jawa yang terkenal yang dimulai
dari Sultan Agoeng dan Pangeran Diponegoro, Sulawesi dan Kalimantan telah
dikuasai. Di Sumatra Palembang dan Lampong jatuh, kemudian Minangkabau lalu
Tapanuli yang dimulai di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Setelah Riau dan
Pantai Timur Sumatra jatuh giliran wilayah Batak lainnya jatuh dengan
tertembaknya Sisingamangaradja. Setelah itu hanya tinggal satu wilayah yang
masih independen yakni: Atjeh.
Perlawanan Atjeh adalah wujud
perlawanan terakhir dari wilayah-wilayah di nusantara. Jika Atjeh jatuh, maka
nusantara habis sudah. Atjeh terlalu kuat buat Belanda dan hanya dengan operasi
gabungan (darat dan laut) baru bisa menaklukkan Atjeh. Pada saat Atjeh diambang
jatuh inilah Willem Iskander berteriak, yang menjadi berita hangat di berbagai
surat kabar di Belanda maupun di Hindia Belanda. Saat nusantara habis sudah,
saat itulah Willem Iskander memulai merajut kembali nusantara.
Ujaran, ajaran dan
ijaran Willem Iskander baik melalui pengajarannnya di kelas, maupun pendapatnya
yang ditulis dalam buku maupun dicatat dalam surat kabar mulai menjadi benih
yang disemaikan di Padang Sidempuan oleh para murid-muridnya. Generasi penerus
dari Padang Sidempuan inilah kelak yang secara intens membangkitkan kesadaran
berbangsa (mempersatukan bangsa dalam bentuk persatuan) dan memperjuangkan
kemerdekaan (RI) serta mempertahankan kesatuan bangsa (NKRI).
Kelak kita lihat, sejak Afdeeling Mandailing dan Angkola maju dalam pendidikan, setelah Atjeh jatuh, generasi Padang Sidempuan yang merupakan estafet dari Willem Iskander, segera berangkat ke Atjeh untuk mengisi kebutuhan guru-guru dalam upaya untuk mencerdaskan bangsa. Zulkifli Lubis dan SM Amin Nasoetion adalah dua anak guru-guru dari Padang Sidempuan yang lahir di Atjeh yang banyak memberi kontribusi dalam upaya meraih kemerdekaan RI dan upaya memperthankan NKRI.Visi Menjadi Indonesia Bermula di Padang Sidempuan
Ketika
di tempat lain, belum begitu maju pendidikan, di Padang Sidempuan pada tahun
1879 dibuka sekolah guru (kweekschool). Murid-muridnya direkrut dari 15 sekolah
negeri yang ada di Residentie Tapanoeli. Banyaknya sekolah negeri di Residentie
Tapanoeli memungkinkan kandidat siswa terbaik untuk diterima di sekolah guru Akreditasi-A
ini mudah diperoleh.
Kweekschool
Padang Sidempuan adalah suksesi Kweekschool Tanobato yang diasuh oleh Willem
Iskander (yang meninggal di Belanda tahun 1876 saat melanjutkan studi untuk memperoleh
akte kepala sekolah berlisensi Eropa). Kweekschool Tanobato yang didirikan
Willem Iskander 1862 (setelah pulang studi dari Belanda) pada tahun 1864 diakui
pemerintah sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda. Alumni sekolah guru
Tanobato ini yang menjadi guru-guru di sekolah negeri di Tapanoeli.
Pada
tahun 1884 salah seorang alumni sekolah guru Padang Sidempuan yang baru lulus
bernama Si Saleh (kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda) bersama temannya
melakukan pengumpulan dana untuk membantu pendidikan keluarga yang tidak mampu
(Sumatra Courant, 01-05-1884). Aksi ini tentu sangat langka kala itu di Hindia
Belanda, ketika di tempat lain penduduk usia sekolah masih sulit diajak pergi
ke sekolah, di Padang Sidempuan begitu banyak yang ingin bersekolah tetapi tidak
semua orangtua mampu menyekolahkan anaknya. Saat situasi dan kondisi serupa
inilah aksi Dja Endar Moeda berlangsung yang dilaporkan surat kabar Sumatra
Courant yang terbit di Padang. Sangat menyentuh dan memiliki visi yang jauh ke
depan.
Aksi solidaritas
dari Dja Endar Moeda ini dapat diartikan Dja Endar Moeda sangat peduli
pendidikan. Adanya aksi ini juga menunjukkan banyak penduduk usia sekolah ingin
bersekolah sekalipun datang dari keluarga tidak mampu. Sikap Dja Endar Moeda
ini seakan ingin terjun langsung menyelesaikan permasalahan yang nyata di
masyarakat (penjajahan) yang besar kemungkinan dipengaruhi oleh visi Willem
Iskander (dalam bukunya Si-Boeloe-Boeloes, Si Roemboek-Roemboek, Batavia, 1872):
sikola mambuka parbinotoan (bersekolah membuka pengetahuan).
Dja
Endar Moeda tidak hanya memberi contoh tentang kebajikan dalam upaya
mencerdaskan bangsa. Dja Endar Moeda juga menunjukkan kepedulian terhadap
pendidikan di atas dirinya sendiri. Bibit nasionalis dalam diri Dja Endar Moeda
telah tumbuh dengan baik sebagaimana sebelumnya Willem Iskander, kepala sekolah
guru di Tanobato pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengirim guru dari
Tapanoeli, Djawa dan Soenda (secara nasional) untuk studi ke Belanda (untuk
mempercepat kemajuan pendidikan penduduk pribumi). Singkat kata: kepeloporan
Willem Iskander dalam dunia pendidikan pribumi telah merasuk dalam diri Dja
Endar Moeda. Pegiat pendidikan seperti Dja Endar Moeda ini di Padang Sidempuan
tentu saja sangat banyak. Mereka inilah yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru:
Tapanoeli sendiri, Sumatra’s Westkust, Atjeh, Riaou, Sumatra’s Oostkust dan
Djambie.
Kweekschool
Padang Sidempoean tiap tahun meluluskan guru-guru muda. Kweekschool Padang
Sidempuan memiliki tingkat kelulusan (rasio antara kandidat dan yang lulus
ujian akhir) paling tinggi di Hindia Belanda. Kweekschool Padang Sidempuan
diakui sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (seperti yang pernah
diakui pemerintah terhadap sekolah guru Tanobato, asuhan Willem Iskander).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Para alumni ini
tidak hanya berdedikasi di kampong halaman, sebagian besar mereka berkiprah di
luar daerahnya sekalipun jauh ke ujung Sumatra di Kota Radja (Banda Ache) dan
Tandjong Karang (Bandar Lampung) untuk membangun dan mencerdaskan bangsanya. Para
alumni ini juga adalah teladan di tingkat keluarga. Mereka berhasil mendidik
anak-anaknya dengan baik, menyekolahkan mereka setinggi-tingginya walaupun jauh
ke negeri Belanda. Anak-anak mereka tidak hanya berhasil di perguruan tinggi,
tetapi menjadi pionir di kalangan mahasiswa yang setelah lulus juga sukses
sebagai guru, dokter, politisi, wartawan, sastrawam dan sebagainya.
Sebagaimana
Kota Padang Sidempuan, Afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama Afdeeling
Mandailing dan Angkola) juga menjadi kawah candradimuka bagi siswa-siswa
sekolah dasar, tidak hanya siswa yang datang dari keluarga yang mampu tetapi
juga dari keluarga yang tidak mampu. Setelah lulus sekolah dasar, mereka
merantau ke berbagai penjuru untuk mengisi kekosongan berbagai lapangan usaha
baik sebagai pedagang, pegawai pemerintah atau pegawai swasta (seperti krani).
Persebaran
orang-orang terpelajar dari Afdeeling Padang Sidempuan ke berbagai wilayah di
Hindia Belanda di satu sisi meluaskan peran mereka jauh di luar kampong halaman
dan di sisi lain, keberadaan mereka di rantau memperkuat pemahaman mereka
tentang diri mereka tentang arti kebangsaan: tumbuhnya pemahaman persatuan dan
kesatuan. Dengan berlatar belakang sosiobudaya merantau dan tidak kembali
(perantau hanyut) yang berhadapan langsung dengan kenyataan yang mereka hadapi
dan peran yang mereka lakukan, orang-orang terpelajar dari Afdeeling Padang
Sidempuan secara seragam, dimanapun mereka berada mengedapankan persatuan dan
kesatuan menjadi prioritas. Inilah yang mendasari mereka yang kelak dikenal
sebagai visi menjadi Indonesia. Mereka tidak lagi melihat diri sendiri sebagai
orang Mandailing dan orang Angkola, tetapi sudah lebih awal melihat sebagai orang
Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Hal
inilah yang terjadi pada diri Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan, dua orang
terawal Indonesia yang melihat visi menjadi Indonesia. Dja Endar Moeda dan
Soetan Casajangan adalah guru yang sama-sama alumni Kweekschool Padang
Sidempuan. Mereka berdua tidak berbicara lagi tentang dirinya sendiri, tidak
berbicara lagi tentang kampong halaman, akan tetapi keduanya jauh dari kampong halaman
telah berbicara tentang kebangsaan (cikal bakal bangsa Indonesia).
Gagasan
kebangsaan Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan merupakan perkembangan lebih
lanjut gagasan kebangsaan yang pernah dipikirkan oleh Willem Iskander. Pada
masa itu (1869an) embrio gagasan kebangsaan Willem Iskander muncul ketika
pertama kali mengusulkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengirimkan guru muda
dari Tapanoeli, Djawa dan Soenda untuk studi di Belanda. Oleh karena itu,
Willem Iskander, Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan dapat dikatakan sebagai
tiga orang pertama Indonesia yang telah memiliki wawasan kebangsaan: visi
menjadi Indonesia.
Dalam
serial artikel ini, gagasan kebangsaan Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan
akan dideskripsikan dan dibuat dalam dua artikel yang terpisah. Kemudian secara
berturut-turut dihadirkan sejumlah tokoh asal Padang Sidempuan yang sangat
intens mengusung gagasan kebangsaan (visi menjadi Indonesia), antara lain:
Parada Harahap, Amir Sjarifoeddin, Soetan Goenoeng Moelia, Zainul Arifin Pohan,
Adam Malik, Abdul Haris Nasution, dan Mochtar Lubis.
Tokoh-tokoh asal
Afdeeling Padang Sidempuan yang berkiprah di daerah yang mengusung kebangsaan (visi
menjadi Indonesia) antara lain akan menghadirkan SM Amin Nasution dan Abdul
Hakim Harahap (di Medan), Radjamin Nasution (Soerabaja), Gele Haroen Nasution
(Bandar Lampung), Abdul Hakim Nasution (Padang). Sakti Alamsyah Siregar
(Bandung).
Mereka
ini semua adalah republiken sejati, republiken yang tidak pernah menghianati
visi menjadi Indonesia. Mereka semua adalah pendukung setia NKRI. Mereka yang
berjuang di luar kampong halaman, juga didukung habis oleh penduduk yang berada
di kampong halaman. Sebagaimana diketahui, hanya dua wilayah tersisa di
Indonesia, yakni Jawa Tengah/Djokja dan Tapanoeli yang tidak sekalipun pernah
berpikir untuk menentang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (NKRI) hingga
kini.
Tokoh-tokoh
Indonesia, tokoh-tokoh republik asal Afdeeling Padang Sidempuan menganggap NKRI
sudah final dan harus dijaga kelestariannya, karena mereka telah dengan sadar
sudah turut membangun visi menjadi Indonesia sejak awal yang melahirkan Indonesia
(NKRI).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar