Sangat jarang nama asli istri Mohammad Hattta, Wakil Presiden pertama Indonesia disebut. Di dalam Wikipedia disebut Siti Rahmawati. Di dalam sumber lain disebut Rahmi Rachim. Lantas mana yang benar? Untuk itu kita perlu telusuri nama aslinya. Di dalam sumber lama, De nieuwsgier, 12-03-1954 menyebut nama asli istri Mohammad Hatta adalah Siti Rachmiati Meutia.
Siti Rachmiati, istri Mohammad Hatta (foto 1963) |
Lantas
mengapa nama asli istri Mohammad Hatta menghilang dan sangat jarang ditemukan
pada masa ini? Siti Rachmiati Meutia sendiri menuturkan kepada Herawati Diah
bahwa nama Meutia tidak digunakan lagi karena dua nama sudah cukup. Oleh
karenanya, nama yang kerap ditulis adalah Siti Rachmiati.
Siti Rachmiati
Meutia Lahir di Bandoeng
Siti
Rachmiati Meutia lahir di Bandung pada tanggal 16 Februari 1926. Siti Rachmiati
Meutia adalah anak tertua Rachim (dan adiknya ada dua lagi). Ayah Siti
Rachmiati Meutia berasal dari Jawa dan ibunya dari Aceh. Sebagaimana
dituturkannya kepada Herawati Diah, Siti Rachmiati Meutia merasa benar-benar
orang Indonesia.
De nieuwsgier, 12-03-1954 |
Jika
Mohammad Hatta memanggil Siti Rachmiati dengan Yuke, lantas bagaimana Siti
Rachmiati memanggil Bung Hatta (Wakil Presiden). Siti Rachmiati tidak memanggil
Mohammad Hatta dengan Uda (sebutan saudara laki-laki di daerah Minangkabau)
tetapi dengan Kak Hatta (singkatan dari Kakanda, sebutan saudara laki-laki).
Siti Rachmiati juga menganggap tidak benar dengan panggilan Mas, karena Siti
Rachmiati menganggap dirinya orang Indonesia, sebagaimana dituturkannya kepada
Herawati Diah. Oleh karena itu, Siti Rachmiati memanggil Bung Hatta dengan
Kakanda
Siapa Herawati Diah?
Herawati Diah yang menulis perihal Siti Rachmiati Meutia adalah
wartawati kawakan, istri dari Boerhandoedin Mohammad Diah (BM Diah). Suami
istri ini adalah jurnalis sejati yang terus menggelutinya dunia media seumur
hidup. BM Diah dan Herawati Diah (bersama Hoetagaloeng) mendirikan surat kabar
Merdeka pada tahun 1945. Lalu kemudian penerbit Merdeka mendirikan surat kabar
berbahasa Inggris The Independent (Amigoe di Curacao, 17-12-1945). Lalu dalam
perkembangannya tahun 1954 muncul surat kabar berbahasa Inggris bernama Indonesian
Observer dengan editor Herawati Diah (De nieuwsgier, 23-09-1954).
Herawati menempuh
pendidikan sekolah menengah di Sekolah Kedutaan Amerika Serikat di Tokyo (Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-12-1945).
Herawati melanjutkan studi ke Amerika Serikat di Barnard College, New York. Setelah
usai studi Herawati pulang ke tanah ait pada masa pendudukan Jepang.
Herawati memulai karir jurnalistik sebagai penyiar berita
dari siaran radio yang dikuasai Jepang. Di radio yang dikuasai Jepang ini
terdapat tiga pemuda seumuran: Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah.
Sementara itu seorang pemuda bernama Boerhandoedin menjadi wartawan Asia Raya
(yang juga dikuasai oleh Jepang). Empat pumuda tersebut adalah empat pemuda
asal Padang Sidempoean: Boerhanoeddin kelahiran Kota Radja (kini Banda Aceh);
Adam Malik kelahiran Pematang Siantar, Mochtar Lubis kelahiran Sungai Penuh,
Djambi dan Sakti Alamsjah kelahiran Soengai Karang, Saat-saat situasi inilah Boerhandoedin
bin Mohammad Diah menikah dengan Herawati Latip. Orang yang mempekerjakan
mereka (Boerhanoeddin, Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah serta
Herawati) adalah Parada Harahap, pemimpin rombongan pertama orang Indonesia ke
Jepang tahun 1933 (termasuk di dalamnya Mohammad Hatta). Di Jepang, Parada
Harahap dijuluki sebagai The King of Java Press. Pada masa pendudukan Jepang,
Parada Harahap adalah penasehat pimpinan militer Jepang di bidang media.
Setelah Indonesia merdeka, Boerhandoedin Mohammad Diah
(BM Diah) mendirikan surat kabar bernama Merdeka (sebagaimana seniornya, Parada
Harahap pada tahun 1919 pernah mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang
Sidempoean). Sementara Adam Malik melanjutkan kantor berita Antara yang telah
dirintisnya pada tahun 1937 (sebagaimana seniornya, Parada Harahap mendirikan
kantor berita pertama pribumi tahun 1925 bernama Alpena dengan editor merangkap
wartawan WR Supratman). Mochtar Lubis juga ikut bergabung di kantor berita
Antara.
De tijd: dagblad voor
Nederland, 21-07-1947: ‘Sepuluh jam setelah penangkapan sejumlah anggota kantor
berita Antara Indonesia dilakukan konferensi pers. Mochtar Lubis, Direktur
Antara, mengatakan: Belanda telah memperlakukan kami dengan baik, pemancar kami
diambil. Ketika kami ditangkap, kami tegang. Keluhan utama bahwa mereka telah
menyita mobil saya. Kemudian kantor berita Antara ditutup’
Alasan penutupan kantor berita ini tidak diketahui.
Mochtar Lubis yang sebelumnya membantu Adam Malik (Antara) kemudian bergabung
dengan BM Diah (Merdeka). Namun tidak lama kemudian kantor berita Antara
diizinkan kembali beroperasi, Mochtar Lubis kembali menjadi kepala editor.
Lalu, surat kabar Merdeka (BM Diah) dan kantor berita Antara (Adam Malik) berkolaborasi
kembali.
Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-08-1947: ‘Minggu lalu. edisi pertama dari koran pagi
republik baru di Batavia, bernama "Masa Indonesia Masa", subjudul
"The Times of Indonesia". Direktur editorial majalah adalah Mr Asa
Bafagih, general manager Mr MT Hoetagaloeng, penerbit adalah Mr BM Diah Dalam
redaksi sekarang termasuk Tuan Soemadi dan Mochtar Lubis. Majalah ini juga
termasuk kolom berita domestik singkat dalam bahasa Inggris’. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 13-01-1948: ‘Selain koran republican Merdeka terbit
majalah berita bergambar bernama Merdeka di Batavia, yang mana sebagai editor
adalah Mochtar Lubis’. Het vrije volk:
democratisch-socialistisch dagblad, 27-01-1948: ‘…sebagai wartawan
Indonesia, Mochtar Lubis (di majalah Merdeka) telah menyatakan bahwa Republik
akan mengajukan "enam poin" yang akan digunakan di bawah
..verduidelijking ..der Ko’. Het dagblad:
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 04-03-1948: ‘Berita
Indonesia melaporkan bahwa kantor berita Republik, Antara akan segera dibuka
kembali yang berkantor di Batavia. Mochtar Lubis akan termasuk dalam pimpinan,
dan oleh karena itu, kantor berita akan melayani koran republik, Merdeka’.
Lantas kemana Sakti Alamsjah?. Sakti Alamsjah terus
berkarir di radio, tetapi tidak di Batavia lagi tetapi di Radio Bandoeng (yang juga
dikuasai Jepang). Saat Sakti Alamsjah (Siregar) berkarir di radio (Bandoeng),
teman-teman sekampungnya terus berkiprah di media cetak: Adam Malik (Batubara) dan
Mochtar Lubis di kantor berita Antara dan Boerhanoedin Pohan alias BM Diah
tetap di surat kabar Merdeka. Sedangkan sang senior, Parada Harahap didapuk
sang junior (Soekarno, Hatta dan Amir) menjadi kepala pusat dokumentasi Kantor
Kementerian Penerangan RI.
Dalam perkembangannya, Parada
Harahap mulai sibuk menulis buku diantaranya buku berjudul Kebebasan Pers
(lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 04-02-1950). Sementara Mochtar Lubis
mendirikan surat kabar Indonesia Raya (lihat Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 22-11-1950). Surat kabar ini
mengambil nama lagu Indonesia Raya (karya WR Supratman, anak buah Parada
Harahap). Sedangkan Sakti Alamsjah (bersama teman-temannya Djamal Ali, Palindih
dan Asmara Hadi) mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng (lihat Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 30-12-1950). Nama surat kabar ini Fikiran Ra’jat
terbit di Bandoeng (oleh Soekarno) dan dibreidel tahun 1932 (lihat De Sumatra
post, 13-06-1932).
Namun dalam perkembanganya Mochtar Lubis mulai berseteru
dengan Soekarno (lihat De nieuwsgier, 02-03-1951). Mochtar Lubis dalam
editorial Indonesia Raya menyebut Soekarno (Presiden) adalah yang bertanggung
jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan Jepang. Sejak itu,
hubungan Soekarno dan Mochtar Lubis terus menghangat dan menggelinding
kemana-mana. Mochtar Lubis tidak mau ditekan, malah memprovokasi dengan
berkunjung ke Amerika Serikat (De nieuwsgier, 17-05-1951).
Melihat situasi ini,
Adam Malik (Direktur Antara) berangkat ke Bandung sehubungan dengan perayaan
ulang tahun yang pertama Pikiran Rakyat (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 31-05-1951). Sudah barang tentu, Adam Malik mendapat undangan
dari sohibnya Sakti Alamsyah. Kedatangan Adam Malik ke markas Pikiran Rakyat
tentu saja tidak sekadar ikut merayakan ulang tahun Pikiran Rakyat, tetapi juga
ada pembicaraan ‘bilateral’ antara Adam dan Sakti tentang soal yang besar:
polemik antara Soekarno dan Mochtar Lubis.
Akibat polemik ini, surat kabar Indonesia Raya ditutup. Pers
bebas tampaknya mulai dikekang Soekarno. Para wartawan dan SPS memprotes
pengekangan pers dengan melakukan demonstrasi yang dipimpin langsung Mochtar
Lubis (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 06-08-1953). Surat kabar Java Bode, surat kabar legendaris
(sejak 1863) berbahasa Belanda sejak
awal tahun 1952 sudah diakuisisi oleh Parada Harahap.
Setelah perseteruan
Soekarno dan Mochtar Lubis berlarut-larut, akhirnya Mochtar Lubis dituntut. Lalu
SPS dan PWI bereaksi membentuk komite aksi (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-10-1956). Mochtar Lubis di pengadilan,
dihadiri banyak massa tetapi ditunda karena tidak didampingi pembela
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
23-10-1956). Mochtar Lubis didampingi pengacara mantan menteri kehakiman dari
kabinet Mr. Burhanuddin Harahap (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 03-11-1956). Dalam kasus Mochtar Lubis, surat kabar
Pikiran Rakyat juga turut mengadakan demonstrasi di Bandoeng.
Sementara itu Pikiran Rakyat yang menuding militer sebagai pendukung
regim yang memerintah (Soekarno) lalu Pikiran Rakyat disita militer. Hal ini
menyebabkan PR tidak beroperasi lagi para pegawai dan wartawan kehilangan
pekerjaan.
Singkat kata: Indonesia
Raya dibreidel. Lalu kemudian terjadi peristiwa G 30 S/PKI dan peralihan
kekuasaan dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto).
Angkatan Darat (rejim
Soeharto) melihat ini sebagai peluang lalu meminta para kru Pikiran Rakyat
untuk menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata (mulai 24 Maret 1966). Lalu
kemudian Sakti Alamsjah dengan Atang Ruswita memimpin kawan-kawan mereka eks
kru Pikiran Rakyat mendirikan surat kabar baru tetapi dengan nama lama: Pikiran
Rakyat. Sakti Alamsjah sebagai pemimpin umum dan Atang Ruswita sebagai pemimpin
redaksi. Setelah setahun kemudian Pikiran Rakyat sejak 24 Maret 1967 terbit/
Dalam hal ini, Pikiran Rakyat di bawah pimpinan Sakti Alamsyah berada dalam
track baru di awal orde baru.
Sebagaimana diktehaui tiga pendiri orde baru: Suharto,
Adam Malik dan Hamengkubuwono. Adam kembali bertemu Sakti Alamsyah. Mochtar
Lubis kembali bernafas dan menerbitkan kembali surat kabar Indonesia Raya yang memiliki
motto ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Sakti Alamsyah dengan
Pikiran Rakyat juga mulai mendapat ‘angin’. Sohib mereka yang secara teknis
mentor politik mereka Adam Malik sudah berada di jajaran pemerintahan Orde
Baru.
Dalam fase awal manajemen baru Pikiran Rakyat (Sakti
Alamsyah dan Atang Ruswita) motto surat kabar Pikiran Rakyat berubah dari dari ‘Mengadjak Pembatja Berfikir Kritis’
menjadi ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pemberiaan motto baru
Pikiran Rakyat yang persis sama dengan surat kabar Indonesia Raya, yakni ‘Dari
Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Hal ini tidak lazim, dan tidak boleh
kecuali diperbolehkan yang satu terhadap yang lainnya. Boleh jadi Sakti
Alamsyah yang meminta izin kepada Mochtar Tentu untuk menggunakan motto yang
sama atau sebaliknya Mochtar Lubis yang menyarakan Sakti Alamsyah untuk
menggunakan motto yang sama.
Dua surat kabar yang
berbeda nama berbeda tempat juga pernah memiliki motto yang sama, yakni:
‘Oentoek Sagala Bangsa’. Surat kabar yang pertama menggunakan motto ini adalah
surat kabar Pertja Barat di Padang selepas surat kabar itu diakuisisi oleh Dja
Endar Moeda tahun 1900. Dja Endar Moeda adalah editor surat kabar tersebut
sejak 1897 (editor pribumi pertama). Surat kabar lainnya yang menggunakan motto
‘Oentoek Sagala Bangsa’ adalah surat kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan
pada tahun 1909. Surat kabar ini pendiri dan editornya Dja Endar Moeda. Parada
Harahap pernah menjadi editor Pewarta Deli, setelah surat kabar Benih Merdeka
dibreidel di Medan tahun 1918 dimana Parada Harahap sebagai editor. Pada tahun
1919, Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan dan mendirikan dan
bertindak sebagai editor surat kabar Sinar Merdeka.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar