Radja Boerhanoedin
bukanlah orang biasa. Radja Boerhanoedin adalah orang yang luar biasa dan
karena itu Pemerintah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) memberinya bintang.
Jabatan prestisius yang pernah diduduki oleh Radja Boerhanoedin adalah Komandan
di Onderdistrict Tanahabang, Batavia (Distrik dikepalai oleh Demang dan
Onderdistrict oleh Komandan; pada tahun 1910 terminologi Demang diubah menjadi
Wedana dan Komandan menjadi Asisten Wedana). Radja Boerhanoedin pada masa awal
karir adalah orang yang piawai di medan perang, dan pada masa akhir karirnya
memiliki anak dan cucu yang tidak kalah hebatnya. Radja Boerhanoedin meninggal
dunia di Batavia dan dimakamkan di tempat pemakaman dimana kelak anaknya (Tengku
Radja Sabaroedin) dan juga cucunya (Tengku Radja Boerhanoedin) dimakamkan di
Petamboeran.
Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 14-07-1866 |
Profil Radja
Boerhanoedin sudah ditulis di Wikipedia. Namun yang tertulis dalam situs
tersebut sedikit agak berbeda dengan dokumen sejaman di masa lampau. Disebutkan
Radja Boerhanoeddin lahir di Padang, akan tetapi tidak ada dokumen yang
dikutip. Lantas dimana Radja Boerhanoedin lahir? Banyak dokumen yang mengindikasikan bahwa Radja Boerhanoedin dan keturunannya
(anak dan cucunya) dikaitkan dengan bangsawan di Sumatra’s Ooskust (Pantai
Timur Sumatra). Bagaimana itu bisa terjadi?.
Siapa
sesungguhnya Radja Boerhanoedin? Itu pertanyaannya. Mari kita telusuri. Untuk
sekadar navigasi bagi pembaca, sejumlah data dan informasi dalam menulis
artikel ini sudah pernah dikutip di dalam berbagai artikel saya dalam blog ini,
selain di laman Sejarah Kota Padang, juga di laman-laman lainnya, yakni:
Sejarah Kota Medan, Sejarah Jakarta, Sejarah Bogor, Sejarah Bandung, Sejarah
Depok, Sejarah Tapanoeli dan Sejarah Padang Sidempuan. Oleh karerna itu tidak semua sumber disebut lagi. Mari kita mulai dengan
sub judul: Radja Boerhanoedin di Siak Indrapoera.
Radja Boerhanoedin di Siak Indrapoera
Nama
Radja Boerhanoeddin kali pertama muncul tahun 1866. Radja Boerhanoeddin dengan
Surat Keputusan Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, tanggal 10 Julij
1866, No. 9 diangkat sebagai pejabat pribumi yang diperbantukan kepada
Assistent-resident di Siak Sri-Indrapoera (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-07-1866). Pengangkatan Radja
Boerhanoeddin ini pada tahun 1866, sesungguhnya baru tiga tahun setelah
ekspedisi Belanda ke Deli (Januari 1863). Ekspedisi ke Deli ini dipimpin oleh
Resident Riaow yang berkedudukan di Tandjong Pinang, Elisa Netscher.
Peta Afd. Mandailing dan Angkola (Tapanoeli), 1862 |
Dalam
ekspedisi ke Deli inilah Radja Boerhanoeddin ikut serta sebagai komandan pribumi
dan setelah pulang kemudian diangkat sebagai pejabat di Siak Indrapoera. Radja
Boerhanoeddin terbilang cukup berprestasi dalam ekspedisi Belanda ke Deli.
Sebagai komandan perang (dari hulubalang pribumi) yang turun ke darat di
Laboehan (Netscher sendiri hanya berada di atas kapal perang yang membuang sauh
di hilir Laboehan (Deli), Radja Boerhanoeddin berhasil melucuti (senjata) hulu
balang Atjeh dan juga berhasil bernegosiasi dengan empat pemimpin Batak untuk
bertemu dengan Netscher di atas kapal. Hanya alasan inilah yang memungkinkan
Radja Boerhanoeddin dianugerahi bintang medali perak untuk keberanian dan
kesetiaan (de zilveren medaille voor moed en trouw). Bintang ini setara dengan
Militaire Willemsorde 3de Klasse.
Peta Afd. Bengkalis, 1862 |
Berdasarkan
Staatsblad No.48 tanggal 27 Maret 1864 organisasi pemerintahan sipil di Siak
terdiri dari Asisten Residen dan dua Controleur. Berdasarkan Almanak Pemerintah
tahun 1867 ada tambahan controleur untuk Asahan, Deli, Batoebara, Laboehan
Batoe, Siak. Sebagaimana diketahui Resident Riaou berkedudukan di Tandjong
Pinang (Bintan). Residentie Riaou terdiri dari: Kepulauan Riaou dan Kesultanan
Siak (pantai timur Sumatra). Dalam proses otorisasi Belanda di Pantai Timur
Sumatra (Sumatra’s Oostkust) diduga peran Radja Boerhanoeddin sangat penting.
Elisa Netscher mendapat bintang Ridders dier
orde (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws-
en advertentieblad, 21-06-1864). Sedangkan Radja Boerhanoedin bintan
Willemsorde 3.
Segera setelah
penaklukan Deli, pada tahun yang sama pejabat setingkat controleur ditempatkan
di Laboehan (Deli) yang bekerjasama dengan Sultan. Pada tahun 1865 controleur
Deli, Baron de Caet digantikan oleh controleur C. de Haan. Pada masa de Haan
datang Nienhuys dari Oost Java dengan dua investor dari Batavia untuk memulai
merintis perkebunan tembakau di Deli. Pada akhir jabatan de Haan dilakukan
ekspedisi ke Bataklanden (hingga ke pinggir danau Toba). Dalam perkembangan
berikutnya Sultan Deli ditinggikan diantara sultan-sultan yang lainnya. Dua
matahari di Pantai Timur Sumatra dalam fase berikutnya bersaing merebut hati
Belanda (antara Sultan Siak dan Sultan Deli). Persaingan ini akhirnya
mengakibatkan pada tahun 1870 Siak dipisah lalu Residentie Sumatra’s Oostkust
dibentuk dengan ibukota di Bengkalis (pada tahun yang sama, 1870 ibukota
Afdeeling Mandailing dan Angkola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang
Sidempoean).
Prestasi
Elisa Netscher di Pantai Timur Sumatra menjadi alasan utama Elisa Netscher
dipromosikan menjadi Gubernur Pantai Barat Sumatra pada tahun 1870. Kedatangan
Elisa Netscher ke Pantai Barat Sumatra seakan melanjutkan tugas yang pernah
dijabat abangnya sebelumnya FHJ Netscher, sebagai Residen Tapanoeli tahun 1853
(Bredasche courant, 04-08-1853). FHJ Netscher mengakhiri tugasnya tahun 1956
(lihat Almanak 1857). Di satu pihak, ketika berakhirnya masa jabatan FHJ Netscher,
sebaliknya, Elisa Netscher justru baru memulai tugas yang sesungguhnya di
Riaouw.
Tugas Elisa
Netscher ini ke Riaow awalnya dimulai tahun 1849. Saat itu Netscher sebagai
ilmuwan di bidang linguistik yang mendalami bahasa Melayu. Pada kurun waktu
yang sama (1851) N. Van der Tuuk dikirim ke Tapanoeli untuk studi bahasa
Batak.Sebelum van der Tuuk sudah ada dua ilnuwan yang bertugas di Mandailing
dan Angkola yakni geolog dan botanis FW Junghuhn dan ahli geografi sosial, FT
Willer. Kedua ilmuwan ini juga difungsikan untuk pembentukan (otoritas)
pemerintahan Belanda. Hasil ekspedisi pertama Netscher ini diduga kuat yang
membuka jalan dalam pembentukan otoritas pemerintahan Belanda di Riaow (tahun
1852) yang berkedudukan di Tandjong Pinang. Elisa Netscher kemudian melakukan
ekspedisi kedua ke Riaouw tahun 1856. Kemudian ekspedisi ketiga dilanjutkan
pada tahun 1857 untuk melengkapi pemahaman keseluruhan di Pantai Timur Sumatra.
Hasil-hasil ekspedisi ini ditulis Netscher dalam berbagai karya ilmiah yang kemudian
juga menjadi sebab yang kuat pembentukan otoritas Belanda di Bengkalis tahun
1858. Dalam ekspedisi ke Pantai Timur Sumatra besar dugaan dipandu oleh Radja
Boerhanoedin yang telah menjadi pegawai pemerintah di Batavia yang dimutasi ke
Tandjong Pinang (Kantor Residen). Radja Boerhanoedin memiliki latar belakang
pendidikan guru (kweekschool). Tingkat pemahaman Elisa Netscher yang
komprehensif tentang Pantai Timur Sumatra mengantarkannnya diangkat sebagai
Residen Riaouw yang berkedudukan di Tandjong Pinang pada tahun 1860. Tugas
utama Elisa Netscher sebagai Residen Riaow adalah memperluas otoritas Belanda
hingga ke arah utara (perbatasan Atjeh). Dalam perluasan wilayah otoritas itu
(invasi ke Pantai Timur Sumatra bagian utara) Radja Boerhanoedin dilibatkan
(sebagai opsir pemerintah).
Elisa
Netscher berperan penting dalam persiapan invasi ke Atjeh. Radja Boerhanoedin
dalam hal ini juga memainkan peran penting. Satu lagi tokoh penting dalam hal
ini adalah WA Jellinghaus (pejabat eksekutif Menteri Koloni di Batavia). Saat
itu Radja Boerhanoedin adalah komandan di Batavia. Besar dugaan Elisa Netscher
yang mengusulkan Radja Boerhanoedin yang melakukan ekspedisi awal ke Atjeh.
Elisa Netscher sangat kenal dengan Radja Boerhanoedin di Pantai Timur Sumatra.
Elisa Netscher
menjadi Gubernur Pantai Barat Sumatra berakhir 1878. Abangnya FHJ meninggal
dunia tahun 1878. Elisa Netscher lalu kemudian diangkat debagai anggota dewan
(Raad van Ned. Indie). Elisa Netscher meninggal dunia tahun 1880 (lihat De
standaard, 07-04-1880). Elisa Netscher masih tengah menjadi anggota Raad van
Ned. Indie. Dua bersaudara yang berkontribusi untuk Sumatra tamat. WA
Jellinghaus kemudian diangkat menjadi Residen Batavia. Lalu Radja Boerhanoedin
diangkat kembali sebagai Komandan di Batavia.
Sepeninggal
Elisa Netscher, boleh jadi Radja Boerhanoedin termasuk salah satu orang yang
paham betul Pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1879 ibukota Residentie Sumatra’s
Oostkust dipindahkan ke Medan (Afdeeling Deli) dan afdeeling Bengkalis
dikeluarkan dan kembali masuk ke Residentie Riaow. Pada sekitar tahun 1879 ini
Radja Boerhanoedin diangkat menjadi Komisaris Jenderal Atjeh dan Deli.
Pada tahun yang
sama, 1879 di Padang Sidempoean dibuka sekolah guru atau kweekschool. Sementara
di Portibie yang telah berubah nama menjadi Padang Lawas dibentuk kembali
pemerintah tahun 1879 yang sempat dibubarkan pada tahun 1843). Loehat yang
pertama dibentuk di Padang Lawas sebanyak lima loehat, yakni: 1. Tanah Rambei
en Oeloe Bila, 2. Dollok, 3. Padang Bolak, 4. Baroemoen, 5. Sosa (lihat De
locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 05-07-1880). Dengan
demikian, afdeeling Mandailing dan Angkola, Afdeeling Padang Lawas dan
Afdeeling Laboehan Batoe terintegrasi di bawah sistem pemerintahan otoritas
Belanda. Untuk kali pertama coast-to-coast terjadi antara Pantai Barat Sumatra
dan Pantai Timur Sumatra. Namun dalam proses pembentukan Pantai Timur Sumatra
ini ada satu persoalan yang muncul. Laboehan Batoe yang sebelumnya menyusul
Asahan menjadi bagian Pantai Timur Sumatra kemudian disusul Kota Pinang yang
sebelumnya bagian dari Residentie Tapanoeli. Ada dua lanskap yang tersisa yaitu
lanskap yang dulu ditemukan FJ Willer sebagai komunitas emigran (keturunan)
Soetan Mengedar Alam. Akan tetapi Dr. Angan berhasil memfasilitasi sehingga dua
lanskap itu akhirnya dimasukkan ke Laboehan Batoe. Radja Boerhanoedin dan Dr.
Angan besar kemungkinan memainkan peran dalam penuntasan pembentukan
pemerintahan Pantai Timur Sumatra ini.
Radja Boerhanoedin Menjadi Komandan di
Batavia
Dalam perkembangannya kemudian Radja Boerhanoeddin dimutasi ke Batavia sebagai pejabat (ambtenaar). Keberadaan Radja Boerhanoeddin terindikasi dari surat seorang pembaca di Padang yang memiliki jabatan sebagai Commandant Batavia yang mengucapkan terimakasih kepada Radja Boerhanoeddin yang telah menolong keluarganya dalam peristiwa banjir besar di Batavia beberapa waktu sebelumnya. Pembaca menulis yang terkesan dari beberapa idiom yang digunakan diduga seorang asal Jawa, yang kini boleh jadi tengah berada atau bertugas di Padang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 16-03-1872).
Ini mengindikasikan bahwa Radja Boerhanoeddin sudah di Batavia sebelum
tahun 1872. Jabatan Radja Boerhanoeddin di Batavia sebagaimana terungkap dari
surat pembaca adalah sebagai ambtenaar (pejabat sipil). Kantor Radja
Boerhanoeddin di Batavia tidak diketahui dengan jelas. De standaard, 20-09-1872
menyebutkan jabatan Radja Boerhanoeddin sebagai kommandant van het 3de district.
Setelah Radja Boerhanoeddin di Batavia, kabar beritanya
tidak terdeteksi lagi. Baru tahun 1883 nama Radja Boerhanoeddin muncul kembali
ketika dirinya diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima (commandant
in het vierde en vijfde district) di Batavia (lihat De locomotief, 10-01-1883).
Mengapa nama Radja Boerhanoedin begitu lama tidak muncul (1872-1883)?
Apakah Radja Boerhanoeddin dilibatkan dalam ekspedisi ke Atjeh? Perang Atjeh
sendiri mencapai puncaknya dan hancurnya kraton dan masjid Atjeh pada tahun
1874. Dengan melihat prestasi Radja Boerhanoeddin sebagai pemegang medali
perang dan memiliki kedekatan emosional di Pantai Timur Sumatra sebelah utara (Noord-Oostkust
van Sumatra) besar kemungkinan Radja Boerhanoeddin berpartisipasi dalam Perang
Atjeh. Oleh karenanya, sepulang dari Atjeh dan pada tahun 1883 Radja
Boerhanoeddin diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima di Batavia.
Jabatan komandan ini berbau-bau militer (hanya pimpinan militer pribumi yang
berhasil di medan perang yang kapabel dalam jabatan ini?).
Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1874 |
Secuil
berita yang muncul tahun 1874, Radja Boerhanoeddin disebutkan sebagai Kepala
Siak yang cerdik (een slim Siaksch Hoofd). Oleh karena itu, Radja Boerhanoeddin
diajak kerjasama dan untuk menjaganya (memfasilitasinya) ditempatkan di Batavia sebagai komandan sebuah distrik
pinggiran di Batavia, yang mana jabatan ini lebih merupakan sebuah gelar
daripada sebuah kantor nyata. Radja Boerhanoeddin dianggap penting karena
kedekatannya dengan Sultan Atjeh dan dapat dimanfaatkan. Diantara
orang-orang non-Belanda yang terkait dengan Atjeh, Radja Boerhanoeddin
terbilang paling sesuai (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 20-01-1874).
Pada fase
pengangkatan Radja Boerhanoeddin menjadi komandan di Batavia menjadi heboh.
Kehebohan ini bukan karena posisinya sebagai komandan (setingkat camat
sekarang) di Batavia, tetapi latar belakangnya dari perspektif (sudut pandang)
kolonial Belanda. Semua surat kabar di Hindia Belanda, di Belanda dan bahkan di
Suriname melaporkan penempatan Radja Boerhanoeddin. Dari semua surat kabar itu
tidak satupun yang menulis profilnya, hanya memberitakan keterkaitannya dengan
Atjeh. Ini dapat dimaklumi karena peristiwa besar yang menyita perhatian di
Hindia Belanda dan di Belanda adalah dalam perihal penaklukan (Kesultanan)
Atjeh. Perang Atjeh adalah perang terbesar Belanda yang membutuhkan daya dan
dana yang sangat besar. Sebagai perang besar, Perang Atjeh juga perang terakhir
Belanda di Nederlandsch Indie. Untuk soal strategi penaklukan Atjeh, juga
muncul pro-kontra tidak hanya dari orang Belanda juga dari orang pribumi, tidak
hanya warga Belanda biasa tetapi juga (mantan) pejabat Belanda. Tentu saja
Radja Boerhanoeddin tidak mengira begitu pada akhirnya (kraton dan masjid Atjeh
hancur lebur). Namun ada satu surat kabar edisi 18 Maret 1874 yang menyusun
profil Radja Boerhanoeddin secara lengkap (yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah).
Pada bulan-bulan yang
sama, pada saat guru Willem Iskander berangkat studi ke Belanda, Willem Iskander
mengeluarkan pernyataan yang menyesali dan tidak adanya yang peduli dengan
kehancuran kraton (dan masjid) Atjeh. Provinciale Noordbrabantsche en 's
Hertogenbossche courant, 28-04-1874: ‘Dari Tuan Iskander, direktur sekolah bagi
guru asli Mandheling di Sumatera, yang pada saat ini dengan tiga magang dalam
perjalanan ke Belanda,….menerima hari ini penduduk surat dari kediaman, yang
antara lain mencegah jatuhnya kraton dari Atchin telah membuat kesan yang baik
di sini....menulis asli yang sama, bahwa tidak ada yang simpati sedikit pun
untuk Atchin, dan bahwa ‘Atchinees’ bahkan digunakan sebagai istilah
pelecehan’. Sebagaimana diketahui pada bulan April 1874 guru Willem Iskander
bersama tiga guru muda yakni Barnas (dari Tapanoeli), Ardi Sasmita (dari
Madjalengka) dan Raden Mas Surono (dari Soerakarta) betolak dari Tanjung Priok
ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje. Mereka tiba di bandar
Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874.
Pada tahun 1878
Radja Boerhanoeddin (sebagai Komandan Distrik ketiga di Batavia) mutasi. Ini terlihat dari
adanya pelelangan berbagai perabotan, peralatan dan perlengkapan yang dilakukan oleh Radja Boerhanoeddin sebagaimana diiklankan di surat kabar
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
04-02-1878).
Kepindahan
Radja Boerhanoeddin dari Batavia diduga terkait dengan posisinya yang diangkat
sebagai 'Komisaris Jenderal' Atjeh dan Deli. Jabatan baru ini diduga berkedudukan
di Laboehan atau di Medan (ibukota Afdeeling Deli dipindahkan ke Medan dari
Laboehan tahun 1879). Juga diketahui Radja Boerhanoeddin telah mendapat bintang medali
Willemsorde (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
16-03-1882). Bintang ini besar kemungkinan diberikan kepada Radja Boerhanoeddin
dalam partisipasinya pada sebelumnya dalam ekspedisi ke Deli yang kemudian ekspedisi ke Atjeh. Perang (Atjeh) terjadi tahun
1874.
Pada tahun 1881
terinformasikan bahwa Radja Boerhanoeddin telah menjual dua persil lahan di
Blok-M (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
07-06-1881). Ini menunjukkan bahwa Radja Boerhanoeddin terbilang kaya di
Batavia. Sumber pendapatan utamanya sejak menjadi Komandan Distrik paling tidak
sebesar f150 per bulan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 16-03-1882). Atas jasanya, pemerintah
pernah memberikan Radja Boerhanoeddin bonus sebesar f2000..
Setelah sekian lama,
Radja Boerhanoeddin kembali menduduki jenis jabatan yang dulu pernah
dipegangnya, yakni kini diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima
(commandant in het vierde en vijfde district) di Batavia (lihat De locomotief,
10-01-1883). Jabatan ini tampaknya merupakan jabatan terakhir Radja
Boerhanoeddin. Saat memulai menjabat ini muncul polemik karena banyak dan
hampir seluruh bawahannya diganti dengan orang-orangnya. Lalu, nama Radja
Boerhanoeddin mulai menghilang. Terakhir, Radja Boerhanoeddin terdeteksi pulang
dari Medan yang teridentifikasi dalam manifes kapal (Bataviaasch nieuwsblad,
24-08-1896).
Radja Boerhanoeddin telah memainkan
banyak peran dalam ekspedisi ke Deli dan juga dalam hal persiapan perang ke
Atjeh (Perang Atjeh). Dengan latar belakang Radja Boerhanoedin sukses di Pantai
Timur Sumatra, akhirnya mendapat medali ketika dirinya tahun 1871 menjadi
Komandan di distrik Batavia (Tandjong Priok). Pejabat eksekutif Menteri Koloni
WA Jellinghaus yang mengusulkan bintang diberikan kepada Radja Boerhanoedin. WA
Jellinghaus diangkat menjadi Pejabat eksekutif Menteri Koloni 1 November 1871 (sebelumnya
menjadi Residen Tegal 1865-1871). Jellinghaus menganggap itu pantas diberikan
kepada Radja Boerhanoedin, tetapi dibalik itu Jellinghaus memroyeksikan Radja
Boerhanoedin untuk tugas baru (yang lebih berat). WA Jellinghaus merekrut Radja
Boerhanoedin untuk tugas ekspedisi ke Atjeh. Radja Boerhanoedin berangkat pada
bulan Agustus 1872 dari Batavia menuju Tapak Toewan melalui Padang dan Singkel
yang dibantu oleh Latib. Radja Boerhanoedin kembali ke Batavia bulan Oktober
1872. Ketika perang dimulai, pada bulan Januari 1873 Radja Boerhanoedin
berangkat ke Tapak Toewan melalui Padang. Pemilik bintang Ridder der Orde v.d.
Ned. Leeuw ini menjadi Residen Batavia pada April 1873. Setelah selesai
bertugas di Pantai Timur Sumatra, tahun 1883 Radja Boerhanoedin (kembali)
menjadi Komandan di Batavia yang mana bosnya sekarang adalah Residen WA Jellinghaus. Radja Boerhanoedin
diberitakan surat kabar meninggal dunia di Batavia tanggal 25 September 1902. Penghargaan
tertinggi Radja Boerhanoedin adalah menerima Ridderkruis der 4e klasse van de
Militaire Willemsorde berdasarkan prestasinya pada ekspedisi kedua Atjeh.
Radja Sabaroedin, Anak Radja Boerhanoedin Ikut Ekspedisi
ke Tamiang
Satu diantara anak Radja Boerhanoedin adalah (Tengku) Radja
Sabaroedin. Pada tahun 1907, Radja Sabaroedin diangkat menjadi Komandan Pasar
Senen yang sebelumnya menjabat sebagai Posthouder di Kepulauan Seribu
(Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907).
Komandan dalam
hal ini, seperti ayah Radja Sabaroedin yakni Radja Boerhanoedin adalah jabatan
setingkat camat pada masa ini. Pada saat itu, nama jabatan pemimpin pribumi
belum seragam dan masih disesuaikan dengan penggunaan setempat. Di Residentie
Padangsche dikenal sebagai Kepala Laras dan di Afdeeling Mandailing dan Angkola
disebut Kepala Koeria. Di Batavia, setingkat Laras dan Koeria ini disebut
Komandan (untuk pribumi dan Timur asing lainnya). Untuk orang-orang Tionghoa, secara khusus komunitas Tionghoa
disebut Letnan, Kapten dan Mayor (tergantung besar kecilnya populasi komunitas). Pada tahun 1870an di Tandjong Balai, selain letnan Tionghoa juga ada letnan Mandailing. Oleh karena itu, pengertian komandan dalam struktur pemerintahan non-Belanda bukan diasosiasikan
dengan (komandan garnisun) militer atau lainnya (meski para Komandan ada juga yang dari militer,
seperti Radja Boerhanoedin). Komandan dalam hal ini
adalah jabatan dalam struktur pemerintahan pada wilayah administrasi tertentu yang
dijabat oleh pribumi.
Radja
Sabaroedin adalah kerabat kesultanan yang terlibat mendukung militer Belanda.
Radja Sabaroedin adalah pahlawan Belanda yang sukses berperang melawan penduduk
Atjeh di Tamiang.
Hulubalang Deli di Perang Tamiang, 1893 |
Atas
kontribusinya di Tamiang, Atjeh dan kesetiaannya terhadap pemerintah kolonial
Belanda, Radja Sabaroedin dianugerahi bintang Zilveren Ster voor Trouw en
Verdienste, Militaire Willemsorde 4de kl. Bintang ini kurang lebih sama dengan
medali yang diperoleh ayahnya, Radja Boerhanoedin. Sehabis berdinas di
perang Atjeh, Radja Sabaroedin terdeteksi bertempat tinggal di Tandjong Poera
(De Sumatra post, 10-05-1902). Radja Sabaroedin menjadi posthouder di Kepulauan
Seribu, Batavia. Lalu kemudian, pada tahun 1907 dipindahkan menjadi Komandan
Pasar Senen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907). Jenis jabatan yang
pernah dipegang ayahnya, Radja Boerhanoedin pada tahun 1870an di Batavia.
Wilayah Administrasi Res. Batavia (termasuk Afd. Buitenzorg) |
Pejabat
pemerintah non-Belanda di Batavia tertinggi adalah Demang (tingkat distrik)
yang membawahi beberapa Komandan (tingkat onderdistrict). Pejabat-pejabat di
Batavia ini ditransfer dari berbagai tempat di Nederlandsch Indie (terutama
Jawa dan Sumatra). Residentie Batavia sendiri terdiri dari beberapa afdeeling
(kabupaten), dua diantaranya Afd. Stad en Voorsteden dan Afd, Meester Cornelis.
Di Afd. Stad en Voorsteden terdiri dari dua District (kecamatan) yakni Batavia
dan Weltevreden. Afd, Meester Cornelis terdiri tiga Distrik yakni Kebajoran,
Meester Cornelis dan Bekasi. District Batavia terdiri dari tiga onderdistrict
(di bawah kecamatan tetapi di atas kampong) yakni Pendjaringan (1), Manggabesar
(2) dan Tandjongpriok (3). District Weltevreden terdiri dari tiga onderdistrict
yakni Tanah Abang (4), Gambir (5) dan Senen (6). Dalam hal ini, Radja
Sabaroedin adalah Komandan (Pasar) Senen (6). Sedangkan ayahnya sebelumnya
adalah Komandan distrik tiga (Tandjongpriok) pada tahun 1872 dan Komandan
distrik empat dan lima (Tanah Abang dan
Gambir) tahun 1883. Pada tahun 1888 Soetan Abdoel Azis, pejabat di kantor
Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempoean diangkat menjadi
Asisten Demang di District Kebajoran dan pada waktu yang bersamaan Asisten
Demang di District Weltevreden adalah Maharadja Soetan (Kepala Koeria
Batoenadoea Padang Sidempoean). Soetan Abdoel Azis adalah ayah Dr. Haroen Al
Rasjid dan kakek Dr. Ida Loemongga, Ph.D (perempuan Indonesia pertama bergelar
doktor) sedangkan Maharadja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan (pendiri
Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908). Soetan Abdoel Azis (Nasoetion) dan
Maharadja Soetan (Harahap) adalah
murid-murid angkatan pertama Willem Iskander di sekolah guru Kweekschool
Tanobato yang tidak menjadi guru tetapi berkarir di pemerintahan. Dalam
perkembangan lebih lanjut (1910) terminologi Demang diubah menjadi Wedana dan Komandan
diubah menjadi Asisten Wedana (Wakil Wedana).
Karir Radja Sabaroedin terus
meningkat. Radja Sabaroedin kemudian diangkat menjadi Wedana di Weltevreden
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1910). Kemudian Radja
Sabaroedin ditunjuk menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Batavia (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-04-1913).
Dewan Kota (gemeenteraad) Batavia
dibentuk tahun 1905 sehubungan dengan pembentukan kota (gemeente), lalu disusul
di kota-kota lain seperti Bandoeng (1906), Padang (1906) dan Medan (1909). Anggota
dewan ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah karena kapasitasnya. Pada tahun
1917 anggota dewan dipilih oleh konstituen. Di Medan, pribumi pertama yang
terpilih dan menjadi anggota dewan kota tahun 1918 adalah Radja Goenoeng. Di
Padang, salah satu anggota dewan yang terpilih adalah Dr. Abdoel Hakim. Kajamoedin
Harahap gelar Radja Goenoeng, alumni Kweekschool Fort de Kock 1897 adalah
penilik sekolah di Medan dan Dr. Abdoel Hakim (Nasoetion), alumni Docter Djawa
School 1905 adalah Kepala Dinas Kesehatan di Padang.
Namun karir Radja
Sabaroedin mendapat masalah. De Preanger-bode, 09-06-1915 melaporkan dalam kasus
pembunuhan Fientje Phoenix, Radja Sabaroedin sebagai Wedana diduga terlibat
menerima suap dalam pembebasan pelakunya. Atas kasus itu Radja Sabaroedin
dipecat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1915). Radja
Sabaroedin yang telah memiliki masa bakti selama 35 tahun dalam pelayanan
negara tamat dan hilang sekejap. Radja Sabaroedin setelah menyelesaikan hukuman
kemudian pulang kampong ke Medan.
Surat kabar Benih Mardeka muncul tidak
lama setelah berlangsungnya Rapat Umum di Medan yang terdiri dari Sarikat Islam
Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Boedi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah,
Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll yang berkumpul di bioskop Oranje yang
diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas dalam rapat umum
tersebut tentang ketidakadilan oleh orang asing terhadap rakyat dimana
pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’ (De Sumatra post,
11-09-1916). Rapat akbar serupa tahun sebelumnya telah diadakan di Bandoeng. Motto
surat kabar Benih Mardeka adalah ‘Orgaan oentoek menoentoet keadilan dan
kemerdekaan’. Yang membidani surat kabar ini adalah M. Samin (dari SI), Mohamad
Joenoes (Medan Setia) dan Abdullah Lubis (Sarikat Goeroe-Goeroe). Surat kabar
Benih Mardeka menjadi surat kabar pribumi kedua di Medan (selain Pewarta Deli
yang didirikan Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda tahun 1909, pemilik surat kabar Pertja Barat di Padang, 1900).
Dalam perkembangannya
Radja Sabaroedin di Medan mulai menggeluti investasi pers yang dalam hal ini menjadi
investor baru di Benih Mardeka. Radja Sabaroedin mengakuisisi saham Mohamad
Samin dan Abdullah Lubis di surat kabar Benih Mardeka. Terjadi restrukturisasi
dan Radja Sabaroedin lalu kemudian menjadi direktur NV. Setia Bangsa.
Karakter Benih Mardeka yang
revolusioner mulai kendor setelah Radja Sabaroedin mulai intens di Benih
Mardeka dan posisi kepala editor dipegang oleh M. Joenoes. Benih Mardeka
sebelumnya tersandung kasus delik pers tentang laporan poenalie sanctie. Lalu
Benih Mardeka dibreidel. Mohamad Samin memilih jalur politik di SI, sedangkan
Abdullah Lubis bergabung dengan Pewarta Deli. Setelah Benih Mardeka dihidupkan
kembali dengan masuknya investor Radja Sabaroedin. Parada Harahap sempat
menjadi editor Benis Mardeka sebelum pulang kampung untuk mendirikan surat
kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919).
Meski
M. Samin dan Parada Harahap tidak berada di Benih Mardeka lagi, tetapi kedua
tokoh revolusioner masih kerap mengirim tulisannya ke Benih Mardeka. M. Samin
semakin focus di SI sedang Parada Harahap focus di Sinar Merdeka Padang
Sidempuan. Benih Mardeka, surat kabar yang pertama mengusung kata merdeka
lambat laun mulai redup dan menghilang. Benih Mardeka yang di awal pendiriannya
menarik garis lebar dengan para planter dan pemerintah colonial kemudian (di
penghujung usianya) Benih Mardeka terkesan berkolaborasi dengan pihak-pihak
yang yang dulu menjadi seteru dari Benih Mardeka.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1923: ‘Ulang tahun edisi surat kabar
pribumi berbahasa Melayu yang muncul di Medan, Benih Mardeka yang diterbitkan
oleh NV. Setia Bangsa (yang kini) di bawah direksi Tengkoe Radja Sabaroedin
pada tanggal 31 Agustus tahun ini dirilis sejumlah kegiatan yang dihiasi oleh
berbagai potret termasuk anggota keluarga kerajaan dan otoritas administratif
tertinggi dan pemerintah SOK (Sumatra’s Oostkust), pelopor perkebunan Deli
Cramer dan Nienhuys’.
Tengkoe
Radja Sabaroedin dikabarkan meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun di
Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924). Dalam awal karirnya, Radja Sabaroedin
setelah perang di Tamiang dianugerahi bintang medali de Militaire Willemsorde
4de kl. (De Preanger-bode, 23-07-1924). Tengkoe Radja Sabaroedin dimakamkan di
dekat makam ayahnya, Radja Boerhanoedin di Petamboeran, Batavia. Dalam berita ini juga terungkap bahwa Radja Boerhanoeddin
adalah mantan ‘Komandan’ Tanah Abang (commandant van Tanah Abang).
Radja Boerhanoedin dilaporkan lahir di tahun 1835. Tidak diketahui kapan Radja Boerhanoedin meninggal. Jika anaknya, Radja Sabaroedin meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun maka Radja Sabaroedin lahir tahun 1861. Ini artinya umur ayahnya pada saat Radja Sabaroedin lahir adalah 26 tahun. Radja Boerhanoedin sendiri menyelesaikan sekolah rakyat tahun 1855 lalu ditempatkan sebagai pegawai (klerk) pakhuismeester di Padang. Lalu kemudian Radja Boerhanoedin dipindahkan sebagai pegawai di Kantor Residen di Batavia, lalu magang di Kantor Residen Bantam di Serang, kembali lagi ke kantor Batavia sebelum dipindahkan ke Kantor Residen Riaou dan kemudian dipindahkan ke Kantor Asisten Residen Siak. Sejak 1862 Radja Boerhanoedin diangkat sebagai zandeling (misionaris) Residen Riaou (Netscher, mantan Residen Tapanoeli) ke wilayah-wilayah utama di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) yang menjadi prakondisi sebelum penaklukan Deli. Netscher sendiri sangat berpengalaman di Pantai Barat Sumatra dan diangkat sebagai Residen Tapanoeli tahun 1854. Salah satu anak buah Netscher yang berpengalaman di Pantai Timur Sumatra adalah Asisten Residen Mandailing dan Angkola, AP Godon (sejak 1847 hingga 1857). Senior AP Godon bernama TJ Willer (Asisten Residen Mandailing dan Angkola 1843-1846) seorang ahli geografi sosial pernah bertugas di setahun bersama-sama dengan ahli geologi dan botani FW Junghuhn di Afdeeling Portibie (kini Padang Lawas) di sepanjang aliran sungai Baroemoen menemukan emigran komunitas (keturunan) Sutan Mengedar Alam di Panai. Ini dengan sendirinya para pejabat-pejabat di Tapanoeli sudah sedikit banyak mengetahui situasi dan kondisi di Pantai Timur Sumatra. Oleh karena itu, pengangkatan Netscher sebagai Residen Riaou dalam upaya aneksasi Belanda ke wilayah di utara Pantai Timur Sumatra (Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli) adalah realistis. Lantas apa hubungannya Radja Boerhanoedin dengan Netscher dan daerah-daerah di sebelah utara Pantai Timur Sumatra. Keduanya adalah tokoh penting dalam pembentukan otoritas Belanda di Pantai Timur Sumatra. Disebutkan dalam profil, Radja Boerhanoedin memiliki garis keturunan dari (kerabat) Sultan Alam Bagagar Sjah (menurut Alamank 1932 Soeltan Alam Bagagar Sjah adalah Regent van Pagaroejoeng dan Soetan Iskandar regent van Padang). Jika ditarik garis kekerabatan di Pantai Timur Sumatra (kerabat) Sultan Alam Bagagar Sjah dan (kerabat) Sutan Mangedar Alam di Laboehan Batoe dan Batoebara/Serdang terjadi hubungan yang dekat melalui perkawinan. Latar belakang ini menjadi alasan yang kuat, sejak Radja Boerhanoedin diangkat misionaris Netsher sejak 1862 di Pantai Timur Sumatra, tugas pertama Radja Boerhanoedin adalah melakukan pendekatan dengan para pihak di Koeboe, Panai, Bila, Kota Pinang dan Portibie (kini Padang Lawas). Sebagaimana diketahui wilayah-wilayah di daerah aliran sungai Baroemoen ini adalah wilayah Belanda di Residentie Tapanoeli (yang tahun 1845 Luit. Col. A, van der Hart menyisir habis sisa-sisa pengikut Tambusai hingga ke daerah pantai di Bila dan Panai; Hart sendiri adalah ‘anak kesayangan’ Jenderal AV Michiels yang berani langsung ke jantung pertahanan Padri di Bondjol, 1837 dan di Daloe-Daloe, 1838) namun belum secara intens diperhatikan. Kerjasama antara Netscher (Resident Riaow) dengan Radja Boerhanoedin di sisi utara Siak, Riaow (Koeboe/Rokan, Panai, Bila, Pinang dan Portibie) adalah seakan tugas lanjutan Netscher ketika sebelumnya menjadi Residen Tapanoeli. Tentu saja tidak sulit bagi Radja Boerhanoedin bertugas dan bernegosiasi di hilir sungai Baroemoen (yang didominasi penduduk Batak) yang menjadi batas pemisah antara Melayu di Siak dan Melayu di Batoebara/Serdang dan Deli/Langkat. Radja Boerhanoedin kurang berhasil di daerah pantai Asahan. Area ini melting pot: Batak, Melayu dan Tionghoa karena wilayah ini sangat terkait dan terikat dengan Radja-Radja di Silindoeng/Toba (lihat Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-10-1867) yang mana pengaruh Sisingamangaradja masih sangat kuat (di awal permulaan misi Nommensen di Silindoeng). Radja Boerhanoedin cukup berhasil di Batoebara (karena secara historis wilayah ini terkait dengan emigran Minangkabau pada awal krisis dengan Padri). Last but not least: sebagaimana di Asahan, di Deli juga tidak mudah, karena pengaruh kuat dari utara (Atjeh) sebagai pemegang supremsi di Deli, juga pengaruh kuat di belakang pantai hingga ke pedalaman (Batak) sebagai pemasok komoditi perdagangan dan market barang-barang impor industri. Singkat kata: dalam hubungan perdagangan secara historis secara bilateral Minangkabau sangat dengan Siak dan Batak dengan Atjeh. Dalam hubungan ini Radja Boerhanoedin orang paling kabel di wilayah-wilayah utara Pantai Timur Sumatra untuk kepentingan Belanda. Oleh karenanya Radja Boerhanoedin tidak terlalu asing di Pantai Timur Sumatra dan area di belakang garis pantai di pedalaman terutama di Afdeeling Portibie (yang mencakup Pinang, Panai dan Bila). Sebagaimana dilihat nanti, kelak anak-anak dan cucu-cucu Radja Boerhanoedin begitu powerful di Province Oost Sumatra. Dan, boleh jadi, Radja Boerhanoedin dalam hal ini Radja Boerhanoedin adalah ‘anak asuh’ yang dipersiapkan oleh Godon dan Netscher yang kerabatnya banyak ditemukan di Panai sebagai emigran?. Kedua orang ini tergolong pejabat Belanda yang humanis di Pantai Barat Sumatra seperti halnya senior mereka AV Michiels dan A. van der Hart (tentu saja analisis ini masih sangat prematur, masih memerlukan analisis lebih lanjut). Namun yang tetap menjadi teka-teki: apakah Radja Boerhanoedin secara genealogis berasal dari Pantai Barat Sumatra atau dari Pantai Timur Sumatra?. Sebab, sejak memulai karir di Batavia (1856) jejaknya tidak pernah muncul di Pantai Barat Sumatra tetapi justru jejak sepanjang hidupnya di Pantai Timur Sumatra (hingga cucu-cucunya).
Ini menunjukkan bahwa ayah (Radja Boerhanoedin) dan anak
(Radja Sabaroedin) sama-sama pernah menduduki jabatan Komandan di Batavia.
Radja Boehanoedin kali pertama menduduki jabatan komandan ini pada tahun 1872
(kommandant van het 3de district/) dan kemudian pada periode kedua pada tahun
1883 (commandant in het vierde en vijfde district). Sedangkan Radja Sabaroedin
menduduki jabatan komandan pada tahun 1907 di (Pasar) Senen.
Chinese Markt (Pasar Senen) 1770-1772 (kanan, Kwitang)
|
Radja Boerhanoedin, Anak Radja Sabaroedin Gugat Parada Harahap Kasus Delik Pers
Parada
Harahap, sejak hijrah dari Padang Sidempoean ke Batavia tahun 1923, sejumlah aktivitasnya semakin berkibar di Batavia. Investasinya semakin meningkat tajam, jiwa
revolusionernya semakin menyala. Parada Harahap di Batavia berada pada puncak
setelah surat kabarnya yang baru Bintang Timoer (suksesi Bintang Hindia,
didirikan 1923) yang didirikan tahun 1925 menjadi surat kabar pribumi dengan
tiras tertinggi. Sebagai sekretaris Sumatranen Bond, Parada Harahap lalu
mempelopori didirikannya supra organisasi tahun 1927 yang diberi nama
Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Organisasi PPPKI
adalah induk organisasi-organisasi kedaerahan yang bersifat nasional. Supra
organisasi ini berhasil menyatukan semua organisasi-organisasi kedaerahan yang
mana organisasi kedaerahan ini diharapkan melebur menjadi satu organisasi
nasional. Organisasi PPPKI ini dalam struktur organisasi yang pertama Parada
Harahap sebagai sekretaris dan ketua adalah MH Thamrin. PPPKI berkantor di Gang
Kenari. PPPKI adalah pembina diadakannya Kongres Pemuda tahun 1928 dimana
komite kongres duduk sebagai bendahara Amir Sjarifoeddin (Parada Harahap selain
sekretaris PPPKI juga adalah ketua pengusaha pribumi semacam Kadin di Batavia).
Pada tahun 1929 Tengku Radja Boerhanoedin, anak Tengku
Radja Sabaroedin memulai perantauan ke Batavia tahun 1929 (lihat De Sumatra
post, 19-04-1929). Disebutkan bahwa Tengku Radja Boerhanoedin adalah orang
terkenal di Medan. Berita ini juga mengindikasikan bahwa Tengku Radja Boerhanoedin
selama ini hanya tinggal di Medan dan kini sudah tinggal di Batavia.
Hijrahnya Tengku Radja Boerhanoedin
ke Batavia tahun 1929, berselang lima tahun setelah ayahnya, Tengku Radja
Sabaroedin meninggal dunia di Batavia tahun 1924. Tengku Radja Sabaroedin
sendiri sendiri pada 1918 pulang kampong ke Medan setelah lama berdinas di
Batavia (sebagai pejabat) dan memulai investasi di bidang media. Salah satu yang
diajak Tengku Radja Sabaroedin berbisnis di bidang Media adalah Parada Harahap
(seorang mantan editor Benih Mardeka). Namun hubungan kerja ini tidak lama dan
Parada Harahap pulang kampong ke Padang Sidempoean untuk mendirikan surat kabar
Sinar Merdeka. Sejak itu, Benih Mardeka di Medan semakin lembek (bekerjasama
dengan Belanda) dan sebaliknya Sinar Merdeka di Padang Sidempoean semakin tajam
(berlawanan dengan Belanda). Parada Harahap yang telah menjadi pentolan
Sumatranen Bond di Pantai Barat Sumatra (sebagai ketua regional Tapanoeli) dalam
perkembangannya hijrah ke Batavia tahun 1923 dan mendirikan surat kabar Bintang
Hindia dengan Dr. Abdul Rivai (alumni Docter Djawa School di Batavia dan mantan
editor Bintang Hindia yang pernah diterbitkan di Belanda). Sebagaimana
diketahui, rekan bisnis Parada Harahap di bidang media di Medan tahun 1918, Tengku
Radja Sabaroedin meninggal dunia di Batavia tahun 1924. Tentu saja Parada
Harahap hadir dalam pemakaman Tengku Radja Sabaroedin. Catatan: tokoh-tokoh
Sumatra yang meninggal pada dekade tersebut adalah: selain Radja Sabaroedin,
1924 yakni Dja Endar Moeda, pendiri sekolah swasta di Padang 1895, Radja
Persuratkabaran Sumatra (1926); Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D, ahli hukum Belanda bergelar
doktor pertama pribumi (1927); Mr. Soetan Casajangan, pendiri Indische
Vereeniging di Belanda tahun 1908 (1929) dan Dr. Abdul Rivai (1933).
Tengku Radja
Boerhanoedin selama ini tidak terdeteksi sebagai seorang pejabat (sementara
ayahnya Tengku Radja Sabaroedin dan kakeknya Radja Boerhanoedin
terkenal sebagai pejabat di Batavia). Tengku Radja Boerhanoedin diduga berprofesi sebagai pebisnis di Medan
dan (hijrah) memulai karir bisnis di Batavia tahun 1929. Setelah beberapa tahun
sejak kedatangan Tengku Radja Boerhanoedin di Batavia namanya tidak pernah
muncul di media. Namun tak diduga nama Radja Boerhanoeddin timbul ke permukaan
tahun 1931. Persoalannnya cukup menyita
perhatian publik karena kasus penggelapan dengan Firma Lindeteves-Stokvis yang
berakhir dengan tuntutan pengadilan (dengan vonis kurungan penjara selama satu
tahun).
Parada Harahap telah mengenal ayah Tengku
Boerhanoedin yakni Tengkoe Sabaroedin di Medan. Tengkoe Sabaroedin di Medan
memulai investasi media sekitar tahun 1918, saat mana surat kabar Benih Mardeka
di rundung masalah. Awalnya Benih Mardeka digugat soal delik pers, namun di
pengadilan tidak terbukti. Akan tetapi dalam perkembangannya Direktur Benih Mardeka
digugat ke pengadilan karena masalah perdata (penggelapan dana proyek
pembagunan sekolah bantuan pemerintah). Akibatnya Direktur M. Samin harus
lengser dari Benih Mardeka. Saat Benih Mardeka diterbitkan kembali (setelah
dibreidel) muncul investor Radja Sabaroedin. Awalnya Parada Harahap masih
bersedia kerjasama dengan Radja Sabaroedin, namun akhirnya muncul keretakan
apakah karena perbedaan orientasi politik atau sebab-sebab lain semisal
perilaku tidak diketahui jelas. Secara politis, Parada Harahap sebelum investor
baru masuk (era M. Samin) Parada Harahap mempelopori pelaporan kekejaman para
planter terkait dengan poenalie sanctie, masalah investigasi pelacuran kelas
bawah maupun kelas atas di Medan, promosi persatuan dan kesatuan di kalangan
pribumi baik karena perbedaan etnis maupun agama dan kepercayaan.
Lalu dalam
perkembangannya Boerhanoeddin muncul dan dikenal sebagai pengusaha di Kudus.
Disebutkan Boerhanoeddin adalah voorzitter van den strootjes-fabrikantenbond di
Koedoes. Pada waktu pembentukan Komisi Cukai yang anggotanya terdiri dari para
residen, bupati dan anggota Volksraad. Dalam pembentukan komisi ini,
strootjes-fabrikantenbond ingin memiliki perwakilan di komisi yang mana sebagai
kandidat adalah Boerhanoeddin. Melihat persoalan ini, visi pergerakan dan
naluri jurnalistik Parada Harahap bereaksi.
Parada Harahap saat itu tengah
menjadi soroton. Di satu sisi Parada Harahap berada pada puncak karirnya di
Batavia dan di sisi lain Parada Harahap telah ikut aktif memanaskan kebangkitan
bangsa, pembentukan partai politik dan kedekatannya dengan konsulat Jepang (api
dalam sekam di mata Belanda). Karena kiprahnya yang semakin menjadi-jadi
membuat polisi dan intel menjadi gerah dan berusaha menjeratnya dengan berbagai
dalih. Namun semua itu Parada Harahap bisa lolos (karena sudah berpengalaman
dengan tekanan Belanda sejak dari kampungnya di Padang Sidempoean). Kabar
berita pencalonan Boerhanoedin sebagai anggota komisi cukai tidak pula luput
dari perhatiannya. Sebelumnya, Parada Harahap sempat menggoyang parlemen dengan
menyebut anggota dewan pribumi di Volksraad sangat lembek. Singkat kata: Parada
Harahap tengah menyuarakan hatinya melalui media yang dipimpinnya untuk menuju
jalan lurus kebangkitan bangsa dan pergerakan politik yang jujur (tidak
disusupi oleh orang-orang yang tidak bersih).
Pada bulan Desember 1932
dan Januari 1933 surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap
menyoroti Boerhanoeddin. Surat kabar Bintang Timoer menulis bahwa Boerhanoeddin
tidak memenuhi syarat untuk anggota komisi. Berbagai ulasan muncul dalam
Bintang Timoer yang mengaitkan Boerhanoeddin adalah mantan narapidana dan
bahkan riwayat orang tuanya Radja Sabaroedin pada masa lalu.
Pemberitaan tentang Boerhanoeddin
yang dianggap menyudutkan Boerhanoeddin dalam pencalonan mendapat reaksi dari
Boerhanoeddin sendiri yang dianggap menghina dan menuntut pasal penghinaan ke
pengadilan. Parada Harahap lalu didakwa dengan pasal penghinaan. Di pengadilan,
Parada Harahap berdalih, perihal latar belakang Boerhanoeddin (yang diketahui
Parada Harahap) ditulis untuk kepentingan umum. Parada Harahap berganggapan
bahwa tulisan itu tidak bermaksud untuk menyerang nama baik atau kehormatan
Boerhanoedin tetapi hanya semata-mata untuk diketahui umum.
Pengadilan
akhirnya memutuskan para terdakwa dianggap telah menghina dan diancam kurungan.
Para terdakwa (Parada Harahap dan para wartawannya) mengajukan permohonan bahwa
mereka tidak bersalah dan dilakukan pembebasan atau cukup dengan hukuman
ringan. Pengadilan mengetok palu Parada Harahap dan kawan-kawan dihukum denda
f50 atau kurungan 25 hari (tentu saja Parada Harahap dkk akan memilih bayar
denda).
Parada Harahap
sudah beratus kali menghadapi sidang 'meja hijau' dan semuanya dengan dalih delik
pers (sejak dari Padang Sidempoean hingga Batavia). Sebagaimana diketahui,
Parada Harahap tidak pernah berutang kepada Belanda dan justru Belanda (polisi
dan intel) selalu mengincar Parada Harahap bagaimana untuk menjeratnya.
Kasus-kasus pengaduan yang dialamatkan kepada Parada Harahap dengan dalih delik
pers menjadi durian runtuh bagi Belanda. Bahkan soal iklan utang piutang di
Bintang Timoer tahun sebelumnya tidak luput dari delik aduan. Simak berikut
ini: De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus
kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena
korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap
mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret.
Ketika dituduhkan Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi
pendapatannya. Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi
mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab
untuk bagian jurnalistik, jawab Parada Harahap (enteng). Bagian administrasi
bertanggungjawab untuk iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa
di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung
jawab?. Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.
Lantas
apa yang menjadi pangkal perkara gugatan Radja Boerhanoedin terhadap surat
kabar Bintang Timoer milik Parada Harahap. Meski terdapat dalam tulisan,
ternyata bukan soal latar belakang dirinya yang dikaitkan dengan ayahnya Radja
Sabaroedin, melainkan soal mengungkit kembali apa yang pernah dialami Radja
Boerhanoedin dalam persidangan tahun 1931 yang menyebabkan masuk penjara. Kasus
persidangan Parada Harahap dan kasus persidangan Radja Boerhanoedin terjadi pada
tahun yang sama. Parada Harahap bulan
Januari, Radja Boerhanoedin bulan Juli 1931. Esensinya beda. Karena itu, Parada
Harahap mengungkit kembali agar pencalonan Radja Borhanoedin menjadi perhatian.
Parada Harahap bermaksud mengingatkan (publik) malah sebalikya mendapatkan
gugatan (individu). Situasi pengadilan di era kolonial yang cenderung berat
sebelah. Berikut hasil persdiangan Radja Boerhanoedin yang menjadi pangkal
perkara Parada Harahap harus mendapat putusan denda f50 atau kurungan 25 hari.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-07-1931: ‘Radja Boerhanoedin mendapat order
pembelian dari sebuah perusahaan untuk membeli mobil mewah di Batavia. Di dalam
pengadilan disidangkan. Presiden Justitie bertanya: ‘Mengapa Anda
menandatangani pesanan pembelian sementara dengan pihak pengorder belum ada
kesepakatan?’. Lalu terdakwa (Radja Boerhanoedin) menjawab: ‘Karena majikan
Lindeteves mengatakan bahwa masih ada sedikit permasalahan’. Presiden:
‘Bagaimana pembayarannya dengan pembayaran mobil tersebut?’, Terdakwa
menjelaskan bahwa dia mengeluh bahwa dia tidak mempunyai uang tetapi dia telah
mengeluarkan cek yang disimpan di Bank Escrivto Ned-Indie kepada Mr. Schotel
sebesar f13.100.-. Presiden: ‘Apakah Anda memiliki cukup dana untuk memeriksa
cek itu dengan bank?’ Terdakwa: ‘Saya tidak tahu itu lagi’. Presiden: ‘Kalau
begitu saya akan memberitahu Anda bahwa pada tanggal 23 April 1930, kredit Anda
dengan bank itu sudah nol’. Terdakwa: ‘Ya, tapi ketika saya memberikan cek itu,
saya bilang cek itu hanya sebuah jaminan (saja) dan jangan ditebus (dulu)’.
Presiden: ‘Apakah tidak terlalu aneh memberi cek sebagai jaminan bila tahu
tidak memiliki dana untuk penutupnya? Terdakwa tidak menanggapi hal ini
(lagi)’.
Tentang delik pers di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) sudah sejak lama ada. Selain kasus delik pers Parada Harahap vs Tengku Radja Boerhanoedin baru-baru ini (1933), tentu saja kasus delik pers Parada Harahap tahun 1931. Parada Harahap digugat dengan mengunakan pasal delik pers selama ini tidak terhitung banyaknya, bahkan sejak dari Padang Sidempoean ketika pada tahun Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919). Kasus delik pers juga menimpa surat kabar Benih Mardeka di Medan (1918) ketika laporan Parada Harahap tentang kekejaman para planter di perkebunan dimuat surat kabar Benih Mardeka pada beberapa edisi tahun 1917 (yang dilansir surat kabar di Jawa, Soeara Djawa, 1918). Karena awalnya soal itu, surat kabar Benih Mardeka sempat dibreidel sebelum dihidupkan kembali oleh investor baru Radja Sabarroedin (ayah Tengku Radja Boerhanoedin). Beberapa tahun sebelumnya tahun 1905 di Padang juga terjadi kasus delik pers. Dja Endar Moeda, editor sekaligus pemilik investasi Pertja Barat dikenai pasal delik pers karena menyiarkan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang pejabat Belanda di Kajoetanam. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan diusir dari Kota Padang (editor Pertja Barat digantikan oleh adiknya Dja Endar Bongsoe, guru di Kotanopan). Sejak kasus pers itu, Dja Endar Moeda hijrah ke Medan dimana sebelumnya menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh di Kotaradja (kini Banda Aceh) tahun 1907 dan kemudian mendirikan surat kabar Pewarta Deli di Medan (1909). Kasus delik pers berikutnya muncul di Batavia tahun 1912 yang mana surat kabar Medan Prijaji, pimpinan Tirto Adhi Soerjo dalam soal pemberitaan yang dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap seorang pejabat (setingkat aspirant controleur). Ganjaran yang diterima Tirto lebih ringan dari Dja Endar Moeda. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda selain hukum cambuk juga pengusiran di kota Padang, sementara Tirto Adhi Soerjo (yang kini disebut Bapak Pers Nasional) hanya diganjar pengasingan selama tiga bulan ke Lampoeng (setelah itu kembali ke Batavia). Oleh karena Medan Prijaji meninggalkan hutang selama tidak terbit kepada investor, lalu surat kabar itu tutup dan Tirto kemudian mulai sakit-sakitan dan meninggal dunia di Buitenzorg tahun 1918. Dja Endar Moeda dengan investasi kuat dari diri sendiri, medianya justru makin banyak mulai dari Padang, Sibolga, Atjeh dan Medan (yang menjadikannya mendapat julukan Radja Persuratkabaran Sumatra).
Dalam hubungan ini, saya coba menelusuri lebih jauh ke belakang sejak kapan
soal delik pers di Nederlandsch Indie. Sangat tidak terduga, ternyata (dan
boleh jadi) kasus delik pers pertama adalah gugatan Radja Boerhanoedin kepada
surat kabar Java Bode pada tahun 1883. Gugutan ini terkait dan muncul ketika Radja
Boerhanoedin menduduki jabatan untuk periode yang kedua kali sebagai Komandan
di Batavia (periode pertama 1872). Intinya: Radja Boerhanoedin menggugat ke
pengadilan editor Java Bode, Mr. J. Kieffer dan Majoor Chinese Oey Tjeng Tan. Java Bode pada edisi 13
Oktober telah menulis berita yang dikutip Kieffer atas perkataan Oey Tjeng Tan
yang menyatakan Radja Boerhanoedin sebagai pejabat orang Melayu asal Sumatra
yang ditulis Kieffer sebagai pejabat yang sangat kacau dan menekan orang-orang
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1883).
Radja Boerhanoedin tidak menerima itu dan menganggap fitnah dan penghinaan. Kemudian
di pengadilan terdakwa (Kieffer dan Oey Tjeng Tan) dengan bantuan advocaat Mr.
Maclaine Pont dianggap tidak bersalah karena kurang bukti. Dalam sidang itu
dihadiri banyak warga yang ingin tahu, kebanyakan orang-orang luar kota Batavia,
Cina dan Arab. Tuntutan dua tahun penjara tidak terpenuhi dan para terdakwa
dibebaskan. Anehnya sebagian warga yang hadir menentang Boerhanoedin, meskipun disebutkan
Radja Boerhanoedin adalah pemegang bintang Willlemsorde.
Kilas Balik: Peran Tokoh Padang Sidempoean di Deli dan Atjeh
Dua diantara tokoh
penting dalam permulaan pembentukan otoritas Belanda di Riaow (Riau dan Siak),
Pantai Timur Sumatra (Sumatra Timur) dan Atjeh (Aceh) adalah Elisa Netscher dan
Radja Boerhanoedin. Kedua tokoh ini sentral sebagai kombinasi Belanda dan
pribumi. Perluasan otoritas Belanda tersebut, karena sebelumnya sudah terbentuk
otoritas Belanda di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) yang terdiri dari
tiga residentie: Padangsch Benelanden (ibukota di Padang), Padangsch
Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock) dan Tapanoeli (ibukota di Padang
Sidempoean). Peran Pantai Barat Sumatra sangat dominan dalam perkembangan lebih
lanjut otoritas Belanda di Riau, Sumatra Timur dan Aceh.
Bagaimana proses berlangsung
tidaklah bersifat acak tetapi terstruktur (by design). Pemerintah Hindia
Belanda adalah pemerintahan yang sangat besar, berpengalaman dan para
pejabatnya hampir semua berpendidikan tinggi alumni Eropa (Belanda). Sementara
kaoem pribumi banyak yang tidak tahu apa yang dipikirkan Belanda, apa yang
telah dan akan dilakukan Belanda, dan tidak tahu bagaimana semua itu
terintegrasi satu sama lain. Pada saat inilah beberapa pribumi yang cerdas dan
terpelajar dilibatkan. Meski mereka dilibatkan tetapi tidak sepenuhnya mereka
pahami gambar besarnya. Mereka ini cenderung sebagai pemain di lapangan (bukan
inisiator, bukan pemikir dan juga bukan pemilik otoritas atau pemilik kekuasaan).
Singkat kata: mereka yang jumlahnya segelintir ini hanya sebagai alat
pemerintah Belanda untuk mencapai tujuannya (kolonial).
Radja Boerhanoedin hanya
satu diantara sedikit tokoh pribumi terpelajar saat itu. Radja Boerhanoedin dan
Willem Iskander hidup sejaman. Mereka berdua terbilang adalah sejumlah penduduk
Sumatra terawal yang diintroduksi dengan pendidikan modern yang menggunakan
aksara latin.
Secara teknis pendidikan modern baru
diperkenalkan pada tahun 1846 di Afdeeling Agam oleh Asisten Residen Steinmenzt.
Introduksi pendidikan juga dilakukan di Afdeeling Mandailing dan Angkola oleh
Asisten Residen AP Godon tahun 1851, Pada tahun 1854 dua siswa Mandailing dan
Angkola dikirim untuk studi kedokteran di Batavia bernama Si Asta dan Si Angan.
Sekolah kedokteran yang dibuka sejak 1851 ini kemudian disebut Docter Djawa
School. Dua siswa asal Mandailing dan Angkola ini merupakan siswa pertama yang
diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa.
Radja Boerhanoedin salah
satu diantara sejumlah penduduk yang mendapatkan pendidikan modern aksara latin
yang memasuki pendidikan yang lebih tinggi (selain yang telah disebutkan Si
Asta dan Si Angan). Radja Boerhanoedin melanjutkan
pendidikan ke sekolah guru (kweekschool) yang baru dibuka di Fort de Kock pada
tahun 1855.
Saat itu, introduksi pendidikan
modern baru ada di Jawa, Padangsch, Mandailing dan Angkola (Tapanoeli) dan
Minahasa. Sementara sekolah tinggi baru dua bidang, yakni: pendidikan guru dan
pendidikan kedokteran (di Batavia). Pendidikan guru baru dua buah yakni di
Soerakarta yang dibuka tahun 1851 dan sekolah guru di Fort de Kock sebagai
sekolah guru kedua yang dibuka tahun 1856. Yang mendirikan sekolah guru di Fort
de Kock adalah JAW van Ophuijsen, Asisten Residen Agam.
Pada tahun 1857 Si Sati,
siswa sekolah di Mandailing dan Angkola melanjutkan pendidikan ke pendidikan
yang lebih tinggi. Tidak ke sekolah guru di Fort de Kock dan juga tidak ke
Soerakarta serta tidak juga mengikuti kakak kelasnya Si Asta dan Si Angan di
sekolah kedokteran (di Batavia) tetapi langsung studi ke Belanda. Si Sati di
Belanda mengikuti sekolah pendidikan guru di Haarlem dan lulus tahun 1861
dengan akta guru. Pada tahun 1862 Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem
Iskander pulang ke tanah air dan mendirikan sekolah guru (kweekschool) di
kampong halamannnya di Tanobato. Dengan demikian, tahun 1863 Kweekschool
Tanobato merupakan sekolah guru ketiga di Nederlandsch Indie.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa
Radja Boerhanoedin pada tahun 1863 ikut berpartisipasi dengan Elisa Netscher
melakukan ekspedisi ke Deli (invasi dan pendirian otoritas Belanda). Radja
Boerhanoedin yang telah mengikuti sekolah guru Kweekschool di Fort de Kock
tidak diketahui jelas apakah berhasil menyelesaikan studinya. Namun hanya
dilaporkan memulai kerja sebagai pegawai (klerk) pakhuismeester di Padang. Lalu
kemudian Radja Boerhanoedin dipindahkan sebagai pegawai di Kantor Residen di
Batavia, lalu magang di Kantor Residen Bantam di Serang, kembali lagi ke kantor
Batavia sebelum dipindahkan ke Kantor Residen Riaouw dan kemudian dipindahkan
ke Kantor Asisten Residen Siak. Sejak 1862 Radja Boerhanoedin diangkat sebagai
zandeling (misionaris) Residen Riaou (Netscher, saudara mantan Residen
Tapanoeli) ke wilayah-wilayah utama di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s
Oostkust). Radja Boehanoedin kemudian dimutasi dari Tandjong Pinang ke Siak
Indrapoera tahun 1866.
Setelah Elisa Netscher
dipromosikan dari Residen Riaouw menjadi Gubernur Sumatra Westkust tahun 1870, Radja
Boehanoedin juga dipromosikan pada bulan Desember 1871 menjadi Komandan (setingkat
camat) di Distrik 3 di Batavia. Meski dua tokoh ini berjauhan namun keduanya
tetap berinteraksi. Pejabat eksekutif Menteri Koloni Jellinghaus di Batavia dan
Gubernur Elisa Netscher memulai rencana untuk langsung aneksasi ke Kesultanan
Atjeh (setelah adanya ekskalasi politik di Eropa antara Inggris dan Belanda
tentang wilayah-wilayah jajahan). Sehubungan dengan itu, bentuk-bentuk
perlawanan Si Singamangaradja di Toba (seputar danau Toba) meski tidak
diabaikan, tetapi dengan langsung membentuk otoritas Belanda di Atjeh akan
dengan sendirinya Sisingamangaradja akan terjepit diantara otoritas Belanda
oleh pemerintah Sumatra Timur di timur, pemerintah Atjeh di utara dan pemerintah
Tapanoeli di barat (Sibolga dan Singkel) dan di selatan (Mandailing dan Angkola).
Jellinghaus dan Elisa Netscher menjadi tokoh utama dalam persiapan aneksasi ke Atjeh dan peran mereka diduga
sangat berperan penting. Perang dimulai April 1873. Namun serangan dan pendudukan
Atjeh ini terbilang tidak sukses. Perencanaan Jellinghaus dan Elisa Netscher
tidak tepat.
Radja Boerhanoedin,
bekas anak buah Elisa Netscher yang kini berada di Batavia sebagai Komandan di
Distrik 3 mulai dipertimbangkan. Lalu Jellinghaus
mendiskusikannya dengan Radja Boerhanoedin untuk mempelajari lebih lanjut
tentang Atjeh. Radja Boerhanoedin kemudian dikirim ke Atjeh pada bulan Mei 1873.
Radja Boerhanoedin tampaknya
menggantikan peran ahli-ahli lain tentang Atjeh. Tentu saja Radja
Boerhanoedin dikirim ke Atjeh tidak dalam konteks sebagai ilmuwan sebagaimana Elisa
Netscher ke Riaouw (1850an) dan FW Junghuhn dan FJ Willer ke Tapanoeli (1840an).
Sepulang dari Atjeh, Radja Boerhanoedin berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda
tanggal 17 November 1873 menerima bintang de Militaire Willemsorde 4a klasse. Catatan: Snouck
Hurgronje pada fase berikutnya dikirim ke Atjeh.
Perang Atjeh pertama yang gagal (1873) dilanjutkan pada awal tahun
1874. Rencana perang frontal mulai dipersiapkan. Perang ini tergolong perang
yang memerlukan dana dan daya yang sangat besar. Secara mominal nanti terhitung
menghabiskan biaya sebesar f40.000. Perang ini menjadi perang Belanda terbesar
di Hindia Belanda. Sebagai perang frontal menjadi muncul pro kontra tidak hanya
diantara Belanda dengan pribumi, tetapi juga di antara orang-orang Belanda dan
diantara orang-orang pribumi sendiri.
Peta Kraton dan Masjid Atjeh, 1873 |
Perang kedua Atjeh ini
membuat pusat Kesultanan Atjeh luluh lantak. Kraton dan masjid hancur lebur.
Dalam konteks inilah Willem Iskander melakukan protes. Boleh jadi Willem
Iskander berpikir sama dengan orang-orang yang kontra dengan perang frontal
bahwa kraton dan masjid adalah lambang masyarakt Atjeh. Belanda dalam hal ini
tidak hanya mengalahkan pasukan dan kekuatan Atjeh tetapi juga sekaligus
(prsikologis) rakyat Atjeh.
Denah lingkungan Kraton Atjeh, 1873 (no.5 masjid) |
Perang Atjeh telah
membuka jalan untuk pembentukan otoritas pemerintah Belanda di Kotaradja (kini
Banda Aceh). Namun perang itu sendiri meninggalkan kesan yang belum selesai
dianggap telah berlebihan. Para humanis Belanda terus protes. Anehnya penduduk pribumi di
Hindia Belanda hanya berdiam diri kecuali di beberapa wilayah dan beberapa
orang termasuk Willem Iskander.
Masjid Atjeh sebelum dihancurkan (1874) |
Sementara Perang Atjeh
(Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien) dan Perang Batak (Sisingamangaradja) berlangsung
(bergerilya) sejumlah persoalan belum selesai di Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara,
Deli dan Tamiang. Dalam hubungan ini peran Radja Boerhanoedin, Komandan di
Batavia dikirim (lagi) ke Pantai Timur Sumatra sebagai pejabat pemerintah pusat
dengan titel Komisaris Jenderal Deli dan
Atjeh. Tampaknya tugas Radja Boerhanoedin ini dimaksudkan untuk memperkuat
teritori dengan pembentukan sturuktur pemerintahan sipil yang berada di sisi
luar daerah operasi militer (DOM). Daerah operasi militer Belanda saat itu yang
masih tersisa di Hindia Belanda adalah di Atjeh pedalaman dan di utara danau
Toba.
Radja Boerhanoedin memainkan peran
penting di Batoebara karena kekosongan kepemimpinan sambil membentuk
pemerintahan. Radja Boerhanoedin sedikit kesulitan di wilayah Asahan dan
Laboehan Batoe. Namun pada akhirnya dapat diselesaikan. Asahan berhasil
dibentuk pemerintahan, lalu Laboehan Batoe. Dalam hubungan ini Kota Pinang
dipisahkan dari Afdeeling Padang Lawas (Tapanoeli) dan dimasukkan ke Laboehan
Bator. Dua lanskap diantara Asahan dan Laboehan Batoe (yang dulu ditemukan
keturunan emigran Soetan Mangedar Alam) yang tidak masuk Asahan dan juga tidak
masuk Laboehan Batoe, meski mereka ingin membentuk pemerintahan sendiri,
akhirnya dimasukkan ke Laboehan Batoe. Tokoh yang terkenal dalam menyelesaikan
wilayah sisi terjauh Tapanoeli dan sisi terjauh Sumatra Timur adalah Dr. Angan
yang sejak lama bertugas di wilayah tersebut sebagai pensiunan dokter
pemerintah. Jasanya diperlukan dalam kasus perkuatan struktur pemerintah di
wilayah tersebut yang boleh jadi bekerjasama dengan Radja Boerhanoedin. Dr.
Angan adalah adik kelas Willem Iskander, alumni Docter Djawa School). Dr. Angan
adalah teman Dr. Asta (siswa kedokteran pertama dari luar Jawa). Persoalan di
Deli adalah penyelesaian kisruh lahan dimana Sultan Deli mengokupasi lahan penduduk
dengan memberi konsesi kepada para planter dimana muncul perlawanan dari
penduduk Batak di hulu sungai Deli yang dipimpin oleh Datuk Sunggal (terkenal
dengan Perang Sunggal). Sedangkan di Tamiang tidak dalam hal konsesi lahan
perkebunan tetapi perihal yang terkait dengan ditemukannya pertambangan minyak.
Perlawanan penduduk yang dipimpin oleh para pemimpin Tamiang dilakukan dengan
pengerahan militer seperti di Sunggal. Perang di Tamiang (yang dikenal sebaga
Perang Tamiang) ini membawa korban banyak di kedua belah pihak. Dalam perang
Tamiang ini (1893), Radja Sabaroedin sudah tua dan tinggal di Batavia sebagai
Komandan Distrik. Yang menggantikan peran Radja Boerhanoedin di Tamiang adalah
anaknya Radja Sabaroedin (yang juga kemudian mendapat bintang).
Setelah perlawanan yang
berlarut-larut di Toba dan Atjeh akhirnya Belanda berkuasa penuh di seluruh
wilayah. Di Atjeh Teuku Umar melanjutkan perang dengan cara bergerilya.
Beberapa kali Teuku Umar menyerah dengan bekerjasama dengan Belanda. Dalam
perlawanan yang terakhir, Teuku Umar tewas tertembak di Meulaboeh dan meninggal
11 Februari tahun 1899. Perlawanan Teuku Umar dilanjutkan istrinya Tjut Nyak
Dhien, Namun pada akhirnya Tjut Nyak Dhien berhasil ditangkap (1905) lalu
diasingkan ke Jawa (1906) dan pada tahun 1908 meninggal dunia.
Perang Atjeh dan Perang Batak
relatif bersamaan. Sisingamangaradja
terus melakukan perlawanan tanpa henti dan konsisten. Tidak sekalipun
mau bekerjasama dengan Belanda. Sisingamangaradja tidak hanya berperang dengan
Belanda (yang dibantu pasukan pribumi), tetapi Sisingamangaradja juga harus
mempertahankan eksistensinya dari penduduk Batak karena dianggap beberda agama/kepercayaan.
Pengaruh Nommensen, misionaris Kristen di Bataklanden (Silindoeng dan Toba)
sangat kuat dan bahu membahu dengan Belanda untuk menghancurkan Sisingamangaradja.
Akhirnya Sisingamangaradja XII tewas tertembak militer Belanda dan meninggal pada
tanggal 17 Juni 1907 di Dairi (utara danau Toba). Habis sudah perlawanan heroik
dari Sisingamangaradja XII (tampaknya tidak ada yang menangisinya kecuali para
pengikut setianya yang memiliki kepercayaan yang sama). Meski demikian, Sisingamangaradja
harum namanya, sebab perlawanan heroiknya hingga tetes darah penghabisan dan
tidak pernah sekalipun menyerah. Sisingamangaradja benar-benar pahalawan sejati
Indonesia, pahlawan Indonesia yang terakhir (The Last of the Mohicans
Indonesia).
Berakhirnya Perang Atjeh
dan Perang Batak maka berakhir pula perang Belanda di Indonesia. Mengapa
disebut Indonesia, sebab pada tahun tewasnya Sisingamangaradja XII sudah muncul
di berbagai tempat terutama di kota-kota besar kebangkitan bangsa Indonesia.
Seperti di Padang muncul tahun 1900 organisasi kebangsaan yang disebut Medan
Perdamaian yang digagas oleh Dja Endar Moeda. Lalu setahun setelah wafatnya Sisingamangaradja
XII muncul organisasi mahasiswa kebangsaan di Belanda tahun 1908 yang digagas
oleh Soetan Casajangan.
Berakhirnya Perang Atjeh dan Perang
Batak dan tewasnya tidak The Last of the Mohicans Indonesia, Sisingamangaradja
XII, maka babak baru perjuangan bangsa Indonesia dimulai. Tidak lagi dengan
senjata tetapi dengan otak.
Para pemimpin Indonesia
yang mulai banyak terdidik dengan pendidikan modern, strategi perjuangan berubah
total: dari senjata bergeser dengan pemikiran yang jernih baik melalui pena
yang tajam maupun organisasi yang revolusioner diantaranya: di Padang, Dja
Endar Moeda mulai menyuarakan ketidakadilan (1898-1910), di Medan, Mangaradja
Salamboewe idem dito menyuarakan ketidakadilan (1902-1908) dan di Belanda,
Soetan Casajangan idem dito menyuarakan ketidakadilan (1907-1913). Ketiga tokoh
ini murid Charles Adriaan van Ophuijsen, yang sama-sama alumni Kweekschool
Padang Sidempoean.
Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe
mengawali karir sebagai penulis di Kantor Residen di Sibolga dan lalu menjadi
Djaksa di Natal. Akan tetapi baru satu tahun jabatan ini ditinggalkannnya dan
dipecat. Hasan Nasoetion lalu hijrah ke Medan dan menjadi editor Pertja Timor tahun
1902 (wartawan pemberani). Mangaradja Salamboewe adalah anak dari Dr. Asta
(dokter pribumi pertama dari luar Jawa). Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan adalah pendiri organisasi kebangsaan Indonesia pertama, Indisch Vereeniging
di Belanda, Soetan Casajangan adalah anak dari Maharadja Soetan, kepala koeria
Batoenadoea Padang Sidempoean yang pernah menjadi asisten Demang di Weltevreden
(semasa Radja Boerhanoedin sebagai Komandan di Distrik Batavia). Maharadja
Soetan sendiri adalah murid pertama Willem Iskander di Kweekschool Tanobato.
Berakhirnya Perang Atjeh dan Perang Batak meninggal penderitan yang mendalam di Atjeh dan Toba. Penduduk hidup susah dan kemiskinan di mana-mana, anak usia sekolah tidak bersekolah dan dunia luar tidak terinformasikan sama sekali. Pembentukan pemerintah secara perlahan dibenahi agar roda pemerintahan berjalan sebagaimana di daerah-daerah lain. Rekonstruksi terutama di Atjeh segera dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah sekitar. Untuk itu, pejabat, guru dan dokter adalah Mandailing dan Angkola dilibatkan. Mengapa harus dari Angkola dan Mandailing?
Guru-guru Tapanoeli yang dikirim ke
Atjeh antara lain Mohammad Taib ke Kroeng Raba. Mohammad Taib kelak dikenal sebagai ayah dari SM
Amin Nasution, kelahiran Atjeh yang menjadi Gubernur Sumatra Utara pertama; Aden
Lubis, kelak dikenal sebagai ayah dari Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen
RI pertama); Madong Lubis, kelak dikenal sebagai ahli Bahasa Melayu yang
menjadi Bahasa Indonesia. Di bidang pers, untuk mencerdaskan bangsa, Dja Endar
Moeda, setelah diusir Belanda dari Padang karena delik pers lalu hijrah dan mendirikan
surat kabar Pembrita Atjeh di Kotaradja (Banda Aceh) pada tahun 1909. Dja Endar Moeda sendiri
pernah menjadi guru di Singkel (sebelum hijrah ke Kota Padang). Pejabat-pejabat
Tapanoeli tidak hanya dikirim ke Riaouw, Sumatra Timur dan Djambie, tetapi juga
sangat banyak dikirim ke Atjeh, diantaranya: Djamin Soripada dikirim ke Sabang,
kelak dikenal sebagai ayah dari Amir Sjarifoedin kelahiran Medan 1907 (Perdana
Menteri RI); Mangaradja Gading dikirim ke Djambie, ayah dari Abdul Hakim
Harahap kelahiran Saroelangoen 1907 (Wakil Perdana Menteri dan Gubernur Sumatra
Utara keempat); Radja Panoesoenan, kelak dikenal sebagai ayah Mochtar Lubis,
kelahiran Soengai Penoeh, 1922. Radja Panoesoenan sebelum ke Djambie adalah pegawai
di Bengkalis dan di Medan. Tentu saja guru-guru lainnya dikirim ke Silindoeng
dan Toba antara lain: Soetan Martoewa Radja (ayah MO Parlindoengan) ke
Taroetoeng; Soetan Casajangan ke Dolok Sanggoel (HIS); GB Joshua Batoebara ke
Balige (HIS). Sudah barang tentu guru, dokter dan pejabat serta jurnalis yang ditempatkan atau merantau ke Deli dan sekitarnya (Sumatra Timur). Jumlah mereka yang berasal dari Mandailing dan Angkola sangat banyak
jumlahnya dan menjadi dominan di Medan dibanding dari daerah lain. Ini terutama setelah Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra's Westkust. Yang pertama terindentifikasi Sjech Hadjie Ibrahim yang bahkan sudah berada di Deli sejak tahun 1875 (saat Medan menjadi ibukota kecamatan). Sjech Hadjie Ibrahim diangkat sebagai kepala kampong Kesawan (kepala kampong pertama di Medan). Pejabat terawal yang ada di Medan yang berasal dari Mandailing dan Angkola adalah Soetan Goenoeng Toea (kakek Amir Sjarifoeddin) tahun 1885. .
Last but not least: Sebagaimana,
guru, dokter dan pejabat serta jurnalis pers, di bidang politik juga tidak
terkecuali. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan menjadi anggota dewan kota pertama Kota Medan dari kalangan pribumi yang dipilih (pilkada) tahun 1918. Sementara di Atjeh sendiri hal ini dimulai ketika Residentie Atjeh dibentuk, Yang mana residentie yang masih
tergolong baru ini diubah struktur wilayahnya dimana Afdeeling Singkel yang
sebelumnya masuk Residentie Tapanoeli dimasukkan ke Residentie Atjeh, demikian
juga dengan Afdeeling Tamiang dimasukkan ke Residenti Atjeh. Lalu pada pemilu kedua (1924)
untuk menentukan wakil ke dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Sumatra dibagi
menjadi empat dapil: Oost Sumatra, West Sumatra, Zuid Sumatra dan Noord Sumatra
(masing-masing dapil memilih satu orang untuk ke Volksraad). Dapil Noord Sumatra merupakan gabungan Residentie
Tapanoeli dan Residentie Atjeh (penggabungan ini karena kedekatan emosional secara
historis). Komposisi dapil ini berlangsung hingga era kolonial di Indonesia
berakhir.
Pada pemilu 1924, semua suara Atjeh
diberikan kepada Dr. Alimoesa. Demikian juga pada pemilu-pemilu selanjutnya suara
dari Atjeh diberikan kepada Dr, Abdoel Rasjid (yang terpilih tiga periode). Alimoesa Harahap dan Abdoel Rasjid adalah
kelahiran Padang Sidempoean. Untuk dapil Oost Sumatra (Sumatra Timur)
dimenangkan oleh Mr. Mangaradja Soeangkoepon (empat priode terpilih mewakili
dapil Sumatra Timur). Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, alumni
Belanda adalah abang dari Dr, Abdoel Rasjid. Mengapa Atjeh memberikan suara sepenuhnya
kepada kandidat asal Mandailing dan Angkola? Apakah karena banyaknya guru, dokter,
jurnalis dan pejabat asal Mandailing dan Angkola yang membantu rakyat Atjeh
pasca perang? Ataukah karena Willem Iskander pernah membela Atjeh dan memprotes
Belanda karena melancarkan serangan frontal terhadap Atjeh?
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar