Bulan
Bahasa dan Sastra di Indonesia adalah pada bulan Oktober. Namun sejak kapan
penggunaan bahasa dan sastra di Indonesia tentulah sangat menarik untuk
ditelusuri. Mari kita mulai dari sebuah pantun/puisi/syair/gurindam asli
Indonesia yang tercatat. Pantun/puisi asli Indonesia muncul pada tahun 1813.
Pantun/Puisi tersebut dimuat dalam surat kabar Java government gazette edisi 30-01-1813. Lantas apakah pantun tersebut
sebagai pantun tercatat yang tertua di Indonesia? Bahkan pantun tersebut dibuat
jauh sebelum terjadinya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Java government gazette, 30-01-1813 |
Pemahaman kita selama ini tentang pantun Melayu ditulis dalam aksara Jawi (Arab-Melayu)
hanya ditemukan di Kepulauan Riau, keliru, ternyata pantun Melayu yang ditulis
dalam aksara Latin justru ditemukan di Jawa. Publikasi pantun di Jawa ini
(1813) bahkan jauh sebelum Elisa Netscher mengunjungi Riaouw untuk meneliti
bahasa dan sastra Melayu tahun 1849 (dua tahun setelah munculnya Gurindam Dua
Belas karya Raja Ali Haji). Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra
(edisi terakhir 1812) meski telah menyatakan adanya pantun di Sumatra tetapi tidak sebuah
pantun pun yang ditanslasinya ke dalam aksara Latin.
Bagaimana semua itu terjadi perlu
penelusuran lebih lanjut.’ Sebab pada masa ini masih banyak penggemar pantun di
Indonesia, seperti Gubernur Sumatera Barat di Padang, Irwan Prayitno. Elisa
Netscher, Gubernur Sumatra’s Westkust, 1870 (mantan Residen Riaouw) juga adalah
pengagum pantun dan jago berpantun.
Introduksi Pantun di Surat Kabar
Pantun sudah ada di
nusantara sejak lama. Demikian juga surat kabar sudah sejak lama di Hindia
Belanda. Namun penulisan pantun dengan menggunakan aksara Latin dimuat di surat
kabar belum lama. Surat kabar di era VOC terbit tahun 1774. Pada era pemerintah
Hindia Belanda muncul surat kabar pemerintah tahun 1810 yakni Bataviasche
koloniale courant (edisi pertama tanggal 05-01-1810). Akan tetapi surat kabar
ini tidak berumur lama karena Hindia Belanda diduduki oleh Inggris pada tahun
1811. Di dalam surat kabar berbahasa Belanda baik edisi VOC maupun edisi
pemerintah tersebut tidak pernah terdeteksi pemuatan pantun.
Pada era pendudukan Inggris muncul
surat kabar berbahasa Inggris bernama Java Government Gazette (edisi pertama
29-02-1812). Surat kabar ini dengan sendirinya telah menggantikan peran surat
kabar berbahasa Belanda Bataviasche koloniale courant. Dalam beberapa edisi Java
Government Gazette muncul pemuatan puisi/pantun yang ditulis oleh orang-orang
Eropa (Inggris dan Belanda) dalam bahasa Inggris.
Seorang penduduk pribumi
yang bernama Salamut (diduga tinggal di Semarang) coba menulis pantun di surat
kabar Java Government Gazette untuk menanggapi puisi/pantun yang ditulis oleh
orang-orang Eropa. Pantun Salamut yang ditulis bulan December 1812 tersebut dimuat
pada edisi 45 Java Government Gazette (2 Januari, 1813). Untuk mengantarkan
pantunnya tersebut, penulis Salamut memberi kata pengantar. Anehnya, pantun dan
kata pangantar tersebut ditulis dalam bahasa Melayu.
Java government gazette, 02-01-1813 |
Apa yang menarik untuk
diperhatikan dari bahasa dan sastra (pantun) tersebut adalah penggunaan bahasa
Melayu lisan ke dalam bahasa tulisan aksara Latin. Tampak masih tercampur
dengan ucapan bahasa Eropa (Inggris dan Belanda) seperti seenee (sini) dan
geela (gila). Juga tampak penyalinan bahasa lisan seperti apa ke bahasa tulisan
(appa) dan ingat (eingat). Tentu saja tampak soal ejaan seperti oe, dj dan ch
yang belum konsisten. Singkat kata: ini seakan masih (seakan) belajar
mengucapkan dengan baik dan menuliskannya dengan benar. Gambaran ini menjelaskan
proses awal dalam pembelajaran mengkoding lisan dengan tulisan (aksara Latin).
Suatu hal yang baru memang jika dibandingkan pengetahuan penduduk dalam bahasa
lokal (bahasa dan kasara Jawa). Namun demikian, introduksi awal bahsa Melayu
dengan menggunakan aksara Latin di dalam surat kabar (berbahasa Eropa)
terbilang cukup berani. Penulis ini boleh dibilang pionir. Jika tidak demikian,
kita tidak akan temukan hal tersebut di masa kini (Eureka!).
Pada tahun 1803 terbit buku kamus
Bahasa Belanda-Bahasa Melayu dan Bahasa Melayu-Bahasa Belanda karya Dr. W. van
Rees yang diterbitkan JH Moeleman Junior di Arnhem. Buku ini didistribusikan
secara luas yang boleh jadi pedoman bagi orang Belanda maupun non-Belanda di
Hindia Belanda. Buku kamus ini menjadi sangat penting karena Kerajaan Belanda
telah membentuk pemerintahan di Hindia Belanda setelah berakhirnya era VOC
(1799). Pada tahun 1815 terbit buku pengajaran di dalam bahasa Melayu (Onderwijs
in de Maleische taal) oleh penerbit Holtrop, Amsterdam. Pada tahun 1824 terbit
kamus Belanda-Melayu dan Melayu-Belanda karangan Roorda van Eysinga yang
diterbitkan Batavia Landsdrukkerij di Batavia. Setelah itu sudah mulai banyak
kamus dalam berbagai versi dan penulis. Sementara itu pada tahun 1923 muncul
buku tentang tata bahasa Melayu karya JE van Breugel. Pada waktu yang relatif
bersamaan (1824) terbit buku kembar W. Marsden yang berjudul Maleische spraakkunst
dan buku yang berjudul Grammaire de la langue Malaie. Sejak itu muncul berbagai
versi tata bahasa Melayu oleh sejumlah penulis.
Ini mengindikasikan
bahwa bahasa Melayu yang sudah sejak lama digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara telah memiliki pedoman dalam proses pembelajaran dan penyebarluasan pemakaian
bahasa Melayu yang ingin belajar bahasa Melayu baik bagi setiap orang Eropa
(Belanda) maupun penduduk etnik lain (seperti di Jawa). Seperti contoh Wilde, A.
de, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek, Benevens twee stukken tot oefening
in het Soendasch. Uitg. Door T. Roorda. Amst, J. Müller. 1841.
Khasanah Bahasa dan Sastra Melayu
Publikasi yang terbilang
terawal tentang sastra Melayu adalah buku berjudul Sjair Bidasari yang
dibukukan oleh Dr. W. van Hoevell. Buku puisi asli Melayu (oorspronkelijk
Maleisch gedicht) diterbitkan tahun 1845. Buku ini disertai dengan terjemahan
yang dijual f10 per buku (Javasche courant, 25-01-1845). Publikasi lain yang
muncul adalah karya-karya Radja Ali Hadji, Abdoel Moeloek dan Koning van Barbarije
yang dikumpulkan oleh PP Roorda van Eysinga yang diterbitkan tahun 1847
(disebutkan karya Ali Hadji dari Riaouw dibuat tahun 1846). Terkait dengan karya-karya
Radja Ali Hadji ini terbit tulisan Elisa Netscher berjudul De twaalf spreukgedichten.
Een Maleisch gedich (1853) dan yang berjudul Raadgeving. Maleisch gedicht
(1857).
Elisa Netscher adalah seorang
sarjana bahasa. Selain pernah berkunjung ke Riaouw, Elisa Netscher juga
berkunjung ke Tapanoeli yang menghasilkan karya berjudul Battasche taalstudie
(1857). Satu karya E. Netscher
yang dapat ditambahkan di Mandailing dan Angkola berjudul ‘Aan te ekeningen omtrent
de taal der Loeboe's en Oeloe's [Mandheling] op Sumatra, naar meded. van TJ. Willer
(1855). Meski tidak terkait dengan bahasa, karya Elisa Netscher terawal di
pantai barat Sumatra adalah penerjemahan ke dalam bahasa Melayu Verzameling van
overleveringen van het rijk van Mänang-Kabou (1850). Sebagaimana diketahui abang E. Netscher adalah Franciscus Henricus
Johannes (FHJ) Netscher yang pernah menjabat sebagai Resident Tapanoeli
(1853-1856). Pada tahun 1860 E, Netscher diangkat sebagai sekretaris Gubernur
Jenderal dan juga merangkap sekretaris Raad van Ned. Indie yang lalu kemudian
E. Netscher ditunjuk sebagai Resident Riaow sejak 1861 (dan kelak pada tahun
1870 diangkat sebagai Gubernur Province Sumatra’s Westkust). Dengan modal
pemahaman bahasa (dan tentu saja lingkungan) mengantarkan Elisa Netscher menjadi
pejabat tinggi di wilayah pantai timur Sumatra dan wilayah pantai barat
Sumatra.
Di
pantai barat Sumatra, seperti diduga, tentu saja tidak akan ada studi bahasa
dan sastra Melayu yang dipublikasikan. Meski demikian, bukan berarti tidak ada
penggunaan bahasa Melayu di Minangkabau. Pengajaran sudah barang tentu juga
dengan menggunakan bahasa Melayu (di luar bahasa Minangkabau). Ini dapat
diperhatikan dari buku yang diterbitkan pada tahun 1861 berjudul: ‘Kitab tjonto
soerat roepa roepa serta pitoeah dan pengadjaran jang berbagei. (Brieven boek,
in het Menangkabau Maleisch) terbitan Bat. Landsdrukkerij. Buku lainnya adalah
Menangkabausch-Maleische zamenspraken karya Si Daoed Radja Medan yang
diterbitkan Nijhoff tahun 1872. Justru yang tidak terduga adalah hasil-hasil
studi tentang Minangkabau hanya ada dua judul yang dipublikasikan: selain karya
tejemahan E Netscher adalah laporan dengan judul yang sama Verzameling van
overleveringen van het rijk van Manang-Kabou yang ditulis oleh JT Grushuis
dimuat di Indisch archief (1864).
Sebaliknya di
Tapanoeli publikasi terbilang sangat banyak, paling tidak ada 22 buah
publikasi, termasuk karya E. Netscher berjudul Battasche taalstudie (1857). Publikasi
tertua adalah karya FJ Willer Tijdschr. van NI (1846) berjudul Verzameling der
Battahsche wetten en instellingen in Mandheling en Pertibie yang juga diterbitkan
oleh Batavia Drukkerij v.h.Bat. Genootschap. Dalam daftar ini juga termasuk
karya-karya van der Tuuk tentang bahasa (tatabahasa, grammar dan kamus) dan
sastra, serta GK Niemann berjudul Mededeelingen omtrent de Letterkunde der
Bataks dimuat dalam Bijdr. 1866. Sebagaimana penulis pribumi, Si Daoed Radja
Medan, juga Willem Iskander menhasilkan karya menyadur buku Nicolaas Anslijn
Nz., De brave Hendrik: een leesboekje voor jonge kinderen. D. du Mortier en
Zoon, Leiden 1833. Buku yang sangat terkenal di Eropa ini diterjemahkan oleh
Willem Iskander ke dalam aksara Latin bahasa Mandailing dan Angkola dengan
judul Hendrik Nadenggan Roa: sada Boekoe basaaon ni Dakdanak (penerbit van
Zadelhoff & Fabritius, Padang, 1865).
Willem Iskander sebelumnya telah menulis buku pelajaran dengan
menggunakan aksara Latin dengan judul Boekoe Parsipodaan Ni Dakdanak Di Sikola
diterbitkan W. Ogilvie, Batavia, 1862. Buku ini selain mendeskripsikan cara
penulisan dalam aksara Latin juga disertai sejumlah cerita pendek. Buku
terkenal dari Willem Iskander yang masih digunakan hingga ini hari berjudul
Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek (terbit pertama di Batavia, 1872). Satu
buku lagi yang mendampingi buku Willem Iskander adalah buku yang ditulis oleh
Dja Sian (murid Willem Iskander) berjudul Boekoe etongan Mandailing etongon ni Dakdanak
dimedja (penerbit Bat, Landsdrukkerij. 1868).
Buku-buku
sastra Melayu terus berkembang. Buku sastra berikutnya yang terbit adalah Boek
Saier oetawa Terseboet Pantoen yang diterbitkan Lange & Co tahun 1857
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
28-01-1857). Kemudian menyusul buku berjudul Pantoen Malaijoe keluaran W.
Ogilvie. Buku ini merupakan kumpulan Inlandsche.Gedischten (Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-11-1861).
Sumatra courant, 21-10-1871 |
Bataviaasch nieuwsblad, 18-12-1886 |
Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek, 1872 |
Di Padang Sidempoean
juga terdapat buku berjudul Pantoen Seloka yang berisi pantun berbahasa Melayu yang ditulis oleh
Charles Adriaan van Ophuijsen. Buku pantun ini digunakan dalam kurikulum
sekolah (schoolschrift). Namun buku pantun ini tidak diketahui tahun terbit dan
penerbit. Charles Adriaan van Ophuijsen adalah guru di sekolah guru
(kweekschool) Padang Sidempoean. Sebagaimana diketahui Kweekschool Padang
Sidempoean dibuka tahun 1879 dan ditutup tahun 1892. Charles Adriaan van
Ophuijsen menjadi guru selama delapan tahun di Kweekschool Padang Sidempoean,
lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Charles Adriaan van
Ophuijsen juga kolektor pantun Mandailing dan Angkola (Tapanoeli). Koleksi pantunnya
berjudul De poëzie in het Bataksche volksleven (Puisi dalam kehidupan penduduk
Batak) yang terbit dalam Volgr. 5, I,
bl. 402-32, 1886. Dua bait yang dikutip di atas yang dimuat pada surat kabar Bataviaasch
nieuwsblad edisi 18-12-1886 adalah koleksinya. Charles Adriaan van
Ophuijsen juga kolektor pepatah yang koleksinya diberi judul Bataksche
spreekwoorden en spreekwijzen. Koleksi ini diterbitkan dalam Deel XXXIV, bl.
72-99, 1891, en Deel XXXV, bl. 613-638, 1892. Charles Adriaan van
Ophuijsen, yang juga menulis buku Tata Bahasa Melayu kelak terkenal dengan Ejaan Ophuijsen (sebelum ejaan Soewandi dan ejaan EYD).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar