Baru-baru ini (tahun 2017), Kota Barus ditetapkan sebagai Titik Nol Islam Nusantara dan telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Penetapan Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara dengan sendirinya menambah situs baru tentang peradaban (permulaan, pertumbuhan dan perkembanga) penyiaran agama Islam di masa lampau. Bukan tidak mungkin suatu waktu akan muncul suatu situs baru.
Peta Tapanoeli, 1830 |
Serial
artikel ini tidak dalam konteks pembuktian Kota Barus sebagai Titik Nol Islam
Nusantara. Akan artikel-artikel sejarah Kota Barus berikut lebih pada
pembuktian (empiris) bahwa hal apa saja yang terkait (dikaitkan) dengan Kota
Barus. Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara sudah dibuktikan oleh pihak
yang lain, tetapi masih banyak yang dihubungkan dengan Kota Barus belum teruji
(terbuktikan). Mari kita telusuri dengan artikel pertama.
Serial artikel
Sejarah Barus ini merupakan rangkaian serial sejarah lainnya, seperti Sejarah Kota
Medan, Sejarah Kota Padang, Sejarah Jakarta, Sejarah Kota Depok, Sejarah Bogor,
Sejarah Bandung, Sejarah Semarang, Sejarah Kota Surabaya, Sejarah Kota Makassar
dan Sejarah Kota Padang Sidempuan. Suatu saat akan tiba waktunya Sejarah
Singapoera, Sejarah Kota Kualalumpur, Sejarah Palembang dan Sejarah Kota Banda
Aceh.
Barus Sudah
Terkenal Sedari Doeloe
Setiap
masa (era) ada permulaan, pertumbuhan dan perkembangannya: era kolonial Eropa/Belanda,
era Budha/Hindu, era Islam, era pendudukan Jepang dan era Republik Indonesia.
Jauh sebelumnya ada yang disebut era perdagangan (komoditi) kuno: emas, kamper,
kemenyan, damar, benzoin, koelit manis, getah poeli dan sebagainya.
Siapa yang
memulai adanya perdagangan (transaksi dagang) di Barus di jaman kuno tentu tidak
mudah membuktikannya. Namun pengetahuan berikutnya dapat digunakan untuk
menjelaskan masa lampau. Komoditi kuno adalah komoditi komersil, ada penjual
(hingga ke sumber di gunung-gunung di Tapanuli) dan ada pembeli (hingga ke end
user di Yunani). Pusat transaksi strategis ini muncul di Barus. Lantas mengapa
pedagang-pedagang di era kuno (sebelum ada agama Islam dan Kristen) Mesir, Arab
dan Persia data berniaga jauh ke Barus. Itu karena sudah ada sebelumnya
perantara (pedagang-pedagang India) yang meneruskan dari Barus ke Eropa oleh
para pedagang Mesir, Arab dan Persia. Lambat laun pedagang-pedagang Mesir, Arab
dan Persia tidak tergantung kepada pedagang-pedagang India, melainkan langsung
berniaga ke Barus seiring dengan perkembangan pelayaran (kapal dan navigasi).
Lantas mengapa pedagang-pedagang India mengetahui ada komoditi kuno di Barus.
Itu juga karena informasi yang diperoleh dari pedagang-pedagang lokal di
pesisir pantai Baru atau langsung mendapat informasi dari perilaku penduduk
Batak di Tapanuli (menggunakan komoditi kuno sebagai bahan obat dan bahan
kecantikan dan bahan pengawetan, sebagai minyak lampu, rempah-rempah dalam
masakan). Semua itu sudah barang tentu dimulai oleh demam emas sebelumnya, yang
mana pedagang-pedagang India melakukan pengumpulan emas dari pedagang-pedagang lokal
di Baru, Tapanoeli, Batahan dan Natal (yang menjadi teritori penduduk Batak).
Para pedagang internasional dari India ini menjualnya kepada penduduk India yang
memang sangat membutuhkannya. Secara teoritis, ada penjual baru ada pembeli
atau dengan kata lain ada sumber (sentra produksi) baru ada rantai perdaganga.
Penduduk yang memproduksi di tempat sumber komoditi adalah awal semua
permulaan. Ada dulu penduduk Batak, baru ada produksi dan perdagangan baru
kemudian muncul tempat transaksi yang tetap (kota).
Pada
era perdagangan awal (komoditi kuno) termasuk dalam hal ini era Hindu/Boedha
dan era Islam. Dalam fase transisi dari era Boedha/Hindu ke era Islam inilah
awal masuknya agama Islam ke Nusantara (baca: Nederlandsch Indie atau
Indonesia). Arus orang dan komoditi di Barus bersifat kontinu dari masa lampau
hingga agama Islam bermula, tumbuh dan berkembang di Tanah Arab.
Pada saat sebelum
masuknya Islam ke Nusantara di Barus, hubungan perdagangan di Barus sudah lebih
dahulu ada pedagang-pedagang Mesir, Arab dan Persia yang berniaga ke Barus
untuk mendapatkan komoditi kuno yang boleh jadi ditemukan di tempat lain. Hanya
ada di wilayah sekitar Kota Barus (kini Tapanuli). Selain itu, tentu saja belum
ada kerajaan di Barus yang menjadi pusat transaksi. Kerajaan-kerajaan yang
menjadi Islam disebut Kesultanan. Pendiri kesultanan-kesultanan ini umumnya
adalah orang-orang Moor. Dengan demuikian, transaksi perdagangan di Barus yang
dilakukan oleh pedagang-pedagang Arab (yang telah beragama Islam) di Barus
menjadi awal mulanya kemudian munculnya (kerajaan menjadi) Kesultanan. Jaraknya
tentu sangat jauh: antara permulaan adanya agama Islam di Barus dengan
kesulutanan yang terbentuk dan berkembang hingga mampu menyebarkan Islam secara
luas di Nusantara.
Bukti bahwa keberadaan Barus sudah sejak lama
ada sudah didiskusikan oleh Ptolomaeus (sebelum adanya agama Kristen dan agama
Islam). Juga terdapat terminologi kafura (yang diduga Kapur/Kamper Barus) di
dalam kita suci Injil dan Alquran melalui bahasa Persia. Dengan demikian, Kota
Barus sudah terkenal sebelum adanya agama Kristen dan agama Islam. Pada saat
permulaan orang-orang Arab beragama Islam (abad ke tujuh) agama Islam juga
turut dibawa ke Barus. Pada fase inilah awal kontak penduduk asli di Nusantara
dengan ajaran agama Islam.
Lantas apa itu Titik Nol. Suatu titik awal dalam
perjalanan jarak dan waktu antara satu tempat dengan tempat lain. Titik akhir
dalam suatu interval garis contnuum perjalanan jarak dan waktu adalah Titik Nol
berikutnya. Jika disebut nusantara atau Indonesia, maka dimana akhir perjalanan
jarak dan waktu bagi yang membawa suatu pesan, maka akhir perjalanan itu adalah
titik nol untuk perjalanan jarak dan waktu berikutnya. Inilah yang dimaksud
Titik Nol Barus (kontak pertama, awal mula di Nuasantara). Titik Nol yang lain
boleh jadi Titik Nol Penyebaran agama Islam di Jawa, titik nol penyebaran agama
Islam di Makassar dan sebagainya. Titik nol yang lain juga bisa titik nol
perguruan tinggi Islam, titik nol mahasiswa Islam bersatu (HMI) dan sebagainya.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Ingin suatu saat berkunjung ke sana.
BalasHapusTerima kasih banyak, kak.
waqiah