Barus adalah kota tua, jika tidak disebut sebaga kota tertua di Pnatai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Sebagai kota tua, keberadaan Kota Barus kita sangat tergantung pada informasi sekunder yang ditemukan di dalam buku dan jurnal. Catatan primer tentang Kota Barus secara eksplist baru ditemukan dalam laporan-laporan Portugis. Selanjutnya keberadaan Kota Barus kemudian diperkaya oleh catatan-catatan primer dari orang-orang Belanda, yang menganggap Barus sebagai pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatra.
Benteng Barus (Peta Barus 1695) |
Peta
kuno ini tidak berbeda jauh dengan sketsa pulau Sumatra hasil ekspedisi
Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan dalam jurnal ‘Journael vande
reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking
hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot
tijt aengeteeckent,...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari
tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada
tanggal 2 April 1595.
Catatan terawal
tetang pemerintahan di Pantai Barat Sumatra adalah pembentukan pemerintahan di Padang
pada tahun 1621 oleh Kesultanan Atjeh dengan pemimpin di Padang. Padang yang
terletak di muara sungai Batang Araoe diduga wilayah kekuasaan Atjeh terjauh di
Pantai Barat Sumatra. Kekuasaan lainnya diduga telah terbentuk di Singkel,
Baros, Batahan, Tikoe dan Pariaman.
VOC
yang sudah berkoloni di Batavia (sejak 1619) lalu memulai ekspansi ke Pantai
Barat Sumatra di Salido, Poelaoe Chinko. Pada tahun 1666 pemimpin lokal di Padang
bekerjasama dengan VOC untuk mengusir kekuasaan Atjeh di Padang (lihat
Groninger courant, 14-12-1824). Tahun inilah diduga awal pendudukan Belanda di Sumatra’s Westkust. Selanjutnya pada tahun 1668
VOC melanjutkan ekspansi ke Baros dan Singkel. Kebijakan VOC bergeser dari
kebijakan ‘bersekutu’ menjadi kebijakan ‘menguasai’.
Aktivitas
perdagangan Belanda (VOC) di Pantai Barat Sumatra dibagi ke dalam empat periode
(lihat De Westkust en Minangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931): 1.
Periode dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas
hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615; 2. Periode
dimana Pantai Barat Sumatra diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai
sekitar 1663; 3. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai sekutu VOC, sampai
dengan 1666; dan 4. Penduduk Pantai Barat Sumatra sebagai subyek VOC.
Lalu
post VOC di Baros ditarik. Di Singkel tahun 1672 VOC membuka pos perdagangan.
Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke pantai barat Sumatra dengan fokus
eksplorasi tambang batubara di Solok dan tahun 1681 memulai pertambangan emas
(di Passaman?).
Sejak VOC
melakukan ekspansi ke Pantai Barat Sumatra, wilayah kekuasaan Atjeh telah
berkurang drastis. Sebelumnya Pantai Timur Sumatra telah dikuasai oleh Belanda
yang berpusat di Malaka (sejak 1641). Praktis sumber-sumber perdagangan Atjeh satu
per satu berpindah ke Belanda dan volume perdagangan Atjeh merosot tajam.
Kekuasaan Kesultanan Atjeh mulai melemah karena sumber perdagangannya hanya menyisakan
Deli.
Deli sempat diklaim Siak
sebagai wilayah kekuasaannya. Namun Atjeh berhasil menguasainya (kelak dianeksasi
Belanda melalui perjanjian dengan Siak). Jauh sebelumnya Singkel, Baros, dan
Padang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Dalam perkembangannya, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat
persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan
lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Pada tahun 1685 terjadi
pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke
Bengkulu 1686. Pada tahun 1693 Belanda membuat kontrak dengan Raja Baros, untuk
berbagai kebutuhan pokok.
Peta Barus, 1695 |
Benteng Baroes
Tidak
diketahui secara jelas mengapa penduduk di kota-kota di pantai timur dan di
pantai barat Sumatra tidak menginginkan kehadiran (kesultanan) Atjeh. Apakah
soal ‘penjajahan’ atau apakah soal ‘kesadaran berbangsa’? Penduduk di Padang
telah meminta bantuan VOC untuk mengusir Atjeh (1666). Jelas tidak keduanya.
Besar kemungkinan soal ‘kekuasaan’ yakni membangun kekuasaan sendiri. Kekuasaan
sendiri yang berhak menentukan sendiri dengan siapa bekerjasama.
Di Baros,
kekuasaan Kesultanan Atjeh berakhir tahun 1663. Sebagai imbalan atas bantuan
dalam perlawanan terhadap Sultan Atjeh, VOC diizinkan mendirikan kantor
perdagangan di Baros. Baros menawarkan pasokan produk dari pedalaman [Tanah
Batak] melalui banyak [muara] sungai. Produk tersebut adalah kamper dan harpuis.
Harpuis adalah campuran resin dan minyak yang digunakan untuk mengoleskan
bagian bawah kapal untuk melindungi dari kotoran dan cacing.
Benteng Baros, 1695 |
Baros bekerjasama dengan VOC. Untuk
mengekalkan kerjasama, VOC mulai membangun benteng sendiri. Fungsi benteng ini
adalah tempat para pemimpin dagang VOC, gudang/lojim barak tenaga kerja dan
militer dan sebagainya. Lokasi dimana benteng dibangun, berdasarkan sketsa 1695
berada di hilir (muara) sungai Baros.
Nama-nama benteng VOC di berbagai tempat seperti di
Baros, Banda Aceh, Rohingnya, China, Arab, Persia, Jepang, India, Afrika dan
Ameruka Serikat sebagai berikut: Aden, Ahmadabad, Demak, Gresik, Matara,
Nagasaki, Palembang, Surabaya, Tegal, Tuticorin, Haruku, Banjarmasin, Patna,
Buru, Hila, Saparua eiland, Kanton/Guangzhou, Larike, Ayutthaya, Khum
Peam Lvek, Agra, Vengurla, Maputo, Trincomalee, Mannar, Surakarta, Banda
Lontar, Kalpitya, Laoutang, Wajer, Lampong Toulang Bauang, Baleshwar,
Cossimbazar, Dhaka, Hougly, Cape Comorin, Nagercoil, Cuddalore, Bimlipatam,
Conjemere, Draksharam, Golkonda, Kakinada, Palakollu, Parangipettai, Sadras,
Rembang, Pekalongan, Sumenep, Al Mukha, Jambi, Al Basrah, Esfahan, Pontianak,
Nakhon Si Thammarat, Bharuch, Kets Mandui, Barus, Airbangis, Natal, Indrapura,
Hanoi, Kupang, Loji, Dodinga, Gorontalo, Pattani, Tatta, Anomabu, Goeree
Island, Sekondi, Fuzhou, Arakan, Banda Aceh, Baghdad, Band-e Kong, Sukadana,
Banyuwangi, Syriam, Ava, Martaban, Indragiri, Abaqua, Grand Popo, Ouidah,
Jaquim, Aneho, Offra, Save, Allada, Badagri, Portudal, Rufisque, Joal-Fadiout,
Mount, Cape, Agathon, Benguela, Loango, Soyo, Cabinda, Malembo, Corisco Island,
New Castle, Philadelphia, Epe, Arebo, Appa dan lainnya.
Dalam catatan
Peta 1695 disebutkan Radja Baros adalah Radja Settia Moeda yang menggantikan
Radja Na Bolon, Radja Baros yang pertama. Gelar Radja Na Bolon mengindikasikan
raja dari (penduduk) Batak. Radja Settia Moeda, anak Radja Na Bolon
mengindikasikan raja muda yang tetap setia (kepada VOC?). Dari catatan ini
memunculkan pertanyaan: Mengapa penduduk Batak diradjakan? Apakah ada
ke(Radja)an sebelumnya di Baros?
Pantai
Barat Sumatra tetap menarik bagi perusahaan perdagangan Eropa. Setelah Baros
bekerjasama dengan VOC, Inggris melihat Baros bukan lagi pelabuhan
internasional (sejak jaman kuno). Inggris yang tetap berseteru dengan Belanda,
perusahaan dagang Inggris yang berpusat di Calcutta merasakan pelabuhan Baros
sebagai pelabuhan perusahaan dagang Belanda (VOC). Lalu kemudian Inggris
memprovokasi Kesultanan Atjeh agar Baros tetap independen.
Tidak diketahui hasilnya
apa. Yang jelas, lambat laun Belanda mundur ke Air Bangies dengan pusat di
Padang. Belanda juga memperluas ke Indrapoera dan pantai selatan Palembang. Di
pihak Inggris ingin Padang dan Bengkulu disatukan. Untuk memperkuat pertahanan
Inggris di Pantai Barat Sumatra, pada tahun 1714 benteng Malborough dibangun di
Bengkulu. Penetrasi Inggis di Bengkulu memunculkan pemberontakan penduduk pada
tahun 1719 (lihat Groninger courant, 14-12-1824).
Kesultanan Atjeh
Drastis Redup, Muncul Kembali Kerajaan Batak Islam di Barus
Awal
perselisihan Belanda dengan Kesultanan Atjeh bermula ketika ekspedisi Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman melakukan pelayaran ke Nusantara (Oost Indie)
pada tahun 1595. Pada pelayaran ekspedisi kedua (1599), Cornelis de Houtman menempatkan
seorang pedagang di Kotta Radja (kini Banda Aceh) sebagai perwakilan. Pedagang
tersebut adalah orang Belanda yang telah belajar bahasa Melayu di Madagaskar
bernama Frederik de Houtman, yang tak lain adalah saudara kandung Cornelis de
Houtman yang juga turut di dalam ekspedisi Cornelis de Hotman pertama (1596-1597).
Tidak diketahui sebab musababnya, Frederik de Houtman ditahan di Kotta Radja.
Frederik de
Houtman di dalam penahanan di Kotta Radja selama dua tahun tidak bebas
bergerak, tetapi kesempatan ini tampaknya dimaksimalkan Frederik de Houtman
untuk memperdalam bahasa Melayu. Pada tahun 1603 Frederik de Houtman
menerbitkan kamus bahasa Melayu di Amsterdam yang diselesaikannya di Goede Hoop
sepulang dari Atjeh. Kamus Frederik de Houtman adalah kamus pertama
Belanda-Melayu (yang menjadi rujukan kamus-kamus selanjutnya). Pada tahun 1605 Frederik
de Houtman ditempatkan di Amboina [Ambon].
Sejak
penahanan Frederik de Houtman tidak pernah ada orang Belanda di Atjeh. Akan
tetapi Atjeh terus berseteru dengan Portugis di Malaka. Dua kekuatan di selat
Malaka selama hampir satu abad, akhirnya berubah yang mana Belanda (VOC)
berhasil menaklukkan Malaka tahun 1641. Dengan modal pendudukan Malaka, Belanda
tampaknya ingin melemahkan dengan menyingkirkan Atjeh dari ‘wilayah-wilayah
kekuasaan’ tradisional baik di pantai timur maupun pantai barat Sumatra. Dalam
fase ini Belanda tidak mudah karena selalu dibayang-bayangi oleh pesaingnya
terutama Inggris dan Prancis. Belanda berhasil melakukan kerjasama di beberapa titik
penting: Barus, Padang dan Singkel.
Kerjasama
Belanda/VOC dengan (pemimpin) penduduk lokal di pantai barat Sumatra sangat
merugikan Kesultanan Atjeh karena pantai barat Sumatra adalah sumber utama
perdagangannya. Posisi Tanah Batak dan Minangkabau yang tidak tergantikan
karena kekayaan alamnya yang tidak ditemukan di Atjeh. Tinggal satu-satunya
Deli setelah Singkel dapat dikuasai oleh pedagang-pedagang VOC. Deli sendiri
juga dalam dilema: diantara Atjeh dan Siak muncul Inggris di Penang. Kelak posisi
Belanda semakin menguat terhadap Atjeh (paling tidak untuk urusan perdagangan) ketika
Deli berhasil dianeksasi Belanda tahun 1863. Jalan pembuka aneksasi ke Deli
didahului dengan terjadinya kesepakatan Belanda-Inggris (Traktat London 1824)
yang mana terjadi tukar guling Malaka dan Bengkulu. Dengan berakhirnya Inggris
di Pantai Barat Sumatra posisi Atjeh semakin melemah, lebih-lebih setelah
Singkel dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Residentie Tapanoeli (1845).
Secara
historis, Kesultanan Atjeh semakin menguat setelah melakukan kerjasama dengan
Turki. Hubungan kerjasama ini diimplementasikan dalam perang Atjeh-Portugis.
Setelah Belanda menaklukkan Portugis di Malaka hubungan kerjasama (bilateral)
Atjeh-Portugis terus dibina. Saat-saat hubungan mesra Atjeh-Turki inilah boleh
jadi kekuasaan Atjeh terhadap kota-kota di pantai barat maupun pantai timur
terkesan powerfull yang membuat )pemimpin) penduduk lokal tidak bisa berbuat
apa-apa atau tidak berdaya. Sementara itu, boleh jadi di mata orang Belanda,
soal Atjeh adalah soal penanaman pengaruh dan perebutan kekuasan antara asing
(Belanda) dengan asing (Turki).
Jika mundur jauh
ke belakang, kerajaan-kerajaan di pantai barat maupun pantai timur Sumatra hidup
berdampingan satu sama lain: kerajaan Baros, kerajaan Pasai, Daya dan
Peureulak, Indrapoera, Indragiri dan sebagainya. Ketika kerajaan-kerajaan di
Atjeh mengalami metamorfosis karena orang-orang Moor yang kemudian terbentuknya
kesultanan, maka dalam perjalanannya hanya satu kesultanan yang terus eksis
yakni Kesultanan Atjeh. Kesultanan Atjeh inilah yang kemudian menjadi momok
bagi kerajaan-kerajaan kecil di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Sempat
muncul kompetitor Kesultanan Siak tetapi tetap tidak berdaya terhadap
Kesultanan Atjeh. Kesultanan Siak baru berdaya ketika bekerjasama dengan
VOC/Belanda. Jika mundur lagi ke belakang, kesultanan pertama (kerajaan Islam
pertama) adalah Daroe (d’aroe) di sungai Baroemoen yang merupakan teritori
(penduduk) Batak. Saat itu nama Daroe dan Baroes sering saling tertukar, yang
boleh jadi mengindikasikan Baros juga termasuk wilayah Kesultanan Daroe.
Kesultanan Daroe ini adalah suksesi Kerajaan Aroe (Battak Kingdom) yang masih
Hindu beralih menjadi penganut agama Islam (menjadi Kesultanan Aroe). Kerajaan
Aroe muncul setelah berakhirnya imperium (Radja) Cola di Padang Lawas. Jejak imperium
Cola ini adalah percandian (candi-candi) di Padang Lawas (abad ke-10) dan nama
sungai Angkola (daerah Angkola). Kesultanan Samudara Pasai semakin menguat
(yang juga dibidani oleh orang-orang Moor) sebaliknya Kesultanan Aroe kian
melemah.
Ketika
VOC semakin meluas pengaruhnya di Nusantara (Oost Indie) dan telah memulai ekspansi
ke pantai barat Sumatra di Indrapoera, (pemimpin) penduduk Batak di Baros
melihat kesempatan ini untuk bekerjasama dengan VOC yang boleh jadi dimaksudkan
(yang utama) untuk menyingkirkan Atjeh dari Baros. Upaya ini berhasil tahun
1663 dan sebagai imbalannya Baros menginzinkan pos perdagangan VOC di Barus.
Dari Baros, VOC meluaskan perdagangannya ke Singkel, yang secara teritori masuk
wilayah (penduduk) Batak.
Dalam
perkembangannya, penguasaan wilayah perdagangan oleh VOC yang berada di wilayah
teritori (penduduk) Batak secara defacto Kesultanan Atjeh telah tamat. Sebab jiwa
Kesultanan Atjeh berada di bidang perdagangan regional. Wilayah Kesultanan
Atjeh sendiri secara alamiah tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang
hebat. Kekayaan Kesultanan Atjeh didapat dari kekayaan sumberdaya alam di Tanah
Batak dan Minangkabau dengan jalan menguasaai pelabuhan-pelabuhan di Baros,
Batahan, Indrapoera, Tiku, Pariaman Indragiri, lalu kemudian
pelabuhan-pelabuhan Singkel, Sorkam, Natal, Air Bangis dan Padang.
Kerajaan
Batak yang dulu eksis di Baroes seakan dikembalikan lagi yang mana pemimpin
(penduduk) Batak di Baroes memulai kerjasama dengan VOC. Gelar yang diberikan
kepada radja yang baru di Baroes tidak tanggung-tanggung yakni Radja Na Bolon
(Raja yang sangat besar) yang boleh jadi setara dengan gelar radja Kerajaan
Aroe (Battak Kingdom) di masa lampau.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar