Kapur Barus, atau kamper hanya ditemukan di Tanah Batak. Paling tidak hal itu disebutkan dalam buku-buku kuno. Tidak pernah disebutkan kapur Barus berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, semua penulis mendeskripsikannya bahwa kapur Barus tersebut diproduksi (sebagai hasil hutan) di daerah antara Batahan dan Singkel (1’10'N-20’20’) dengan ketinggian 1.000-1.200 Meter Dpl. Kota Barus sendiri berada di pantai dengan ketinggian 1-3 meter dengan posisi gps-nya 1.84ZB; 110.43OL. Jika kamper tumbuh di hutan-hutan ketinggian lebih dari 1.000 meter itu berarti daerah yang menjadi kediaman penduduk Batak. Dengan kata lain produsen kapur Barus adalah penduduk Batak.
Kapur Barus dalam Al Qur'an |
Jung
Huhn adalah orang
pertama Eropa yang memasuki tanah Batak, seorang ilmuwan kali pertama
mendeskripsikan secara intensif tentang Tanah Batak. Jung Huhn seorang geolog dan botanis ditugaskan Guberbur Jenderal di Batavia untuk
memetakan geologi dan botani Tanah Batak tahun 1840. Dalam satu risalahnya,
Jung Huhn menyebut aliran kapur Barus ini bermula di Loemoet dan Hoeraba (dua wilayah terluar
Angkola). Informasi ini
seakan membuka penjelasan teka-teki, darimana sesungguhya kamper berasal yang
pusat transaksinya sejak dari jaman kuno di Barus.
Pelabuhan Barus sudah sejak lama
dikenal oleh orang-orang Angkola. Informasi ini paling tidak ditemukan di dalam
Daghregister, cacatan harian di Casteel Batavia. Disebutkan pada tahun 1703
seorang Tionghoa baru datang dari Angkola. Tionghoa ini berangkat dari Angkola
menuju Barus selama 11 hari perjalanan. Tionghoa ini pada mulanya datang dari
Singapoera (Pantai Timur Sumatra) melalui daerah aliran sungai (DAS) Baroemoen
dan telah berdagang selama 10 tahun di Angkola. Tionghoa yang beristri seorang
putri Angkola dengan satu anak perempuan mereka dari Barus menumpang kapal Tionghoa
menuju Padang dan selanjutnya berlayar ke Batavia.
Pada tahun 1773
seorang botanis Inggris, Charles Miller melakukan ekspedisi kulit manis ke
Angkola. Di dalam ekspedisi ini Miller fokus memetakan sumber produksi kulit
manis (di hutan-hutan Angkola bahkan ditemukannya pohon kulit manis ada yang
berdiameter lebih dua meter). Charles Miller juga mengabadikan temuannya di
Angkola pohon Andalimon yang digunakan oleh penduduk (suatu komoditi yang belum
tersebar luas). Dalam perjalanannya, Miller menemukan sejumlah pohon kamper di
hutan-hutan dekat Loemoet.
Informasi sentra produksi kapur Barus
ini semakin mulai terbuka sejak Charles Miller dan Jung Huhn. Seorang penulis
Belanda, Joustra dalam bukunya Batak Spiegel (1920) menyebut pohon kamper (Dryobalanops
Camphora Colebr.) terbaik berasal dari Singkil, suatu pelabuhan di sisi luar
Pakpak. Jika informasi terdahulu digabung, sentra produksi kapur Barus antara
Singkil (di utara) dan Batahan (di selatan) dan pelabuhan yang berada di tengah
adalah Barus, maka sentra produksi kapur Barus berada di Tanah Batak mulai dari
Mandailing di selatan dan Alas. Gayo dan Pakpak di utara. Empat pelabuhan ini
terhubungan dengan pedalaman: pelabuhan Singkel ke Pakpak, Gayo dan Alas;
pelabuhan Barus ke Toba dan Silindoeng; pelabuhan Loemoet ke Angkola; dan pelabuhan
Batahan ke Mandailing. Pelabuhan Barus adalah pelabuhan utama yang merupakan
hub internasional. Pelabuhan Batahan, Lomoet dan Singkil menjadi pelabuhan feeder
(pelabuhan pendukung Barus).
Daerah Angkola
Pendapat FW Junghuhn
bahwa aliran kapur Barus bermula di Loemoet dan Hoeraba tentu bukan tanpa alasan. Charles Miller memasuki Tanah
Batak melalui pelabuhan Pontjang hanya ke Angkola dan Padang Lawas (1773). FW Junghuhn
(dan Rosenberg) pada tahun 1840 tidak hanya memulai ekspedisi ke Angkola
(mengikuti rute Miller), tetapi juga melakukan ekspedisi ke Mandailing (hingga
gunung Ophir/Talamau di perbatasan Pasaman) di selatan, juga ke timur hingga ke
Biela (muara sungai Baroemoen) serta ke tempat lainnya: ke Sipirok, Silindoeng
dan Toba. Rosenberg melakukan ekspedisi ke Singkel dan pulau-pulau di pantai
Barat Sumatra terutama Nias dan Mentawai. Gabungan data/informasi ini yang
besar kemungkinan dasar utama pendapat FW Jinghuhn bahwa aliran kapur Barus bermula di Loemoet dan Hoeraba (daerah Angkola).
Miller (1773) dan Junghuhn (1840)
melalui rute Pontjang ke muara sungai Loemoet hingga ke (pelabuhan) Loemoet di
pedalaman. Dari Loemoet ke Angkola via (jembatan rotan sungai) Batangtoru. Rute
ini juga yang digunakan oleh (pedagang) Tionghoa dari Angkola menuju Baroes
(via Loemoet). Berdasarkan peta Marga Batang Toru adalah Poeloengan, Anggoli
adalah Pohan serta Loemoet, Hoeraba, Marancar dan Sipirok adalah marga Siregar.
Enam daerah marga ini lingkuran terluar dari hutan rimba Batangtoroe yang
kelesatariannya masih terjaga hingga hari ini (telah menjadi hutan lindung).
Hutan-hutan (jungle) yang lebat ini yang menjadi habitat berbagai pohon raksasa
seperti kamfer, kemenyan dan damar yang juga baru-baru ini telah diidentifikasi
sebagai habitat Orang Utan Tapanuli (yang memiliki genetik yang berbeda dengan
Orang Utan di Kalimantan).
Loemoet dan
Hoeraba adalah wilayah Angkola. Jika memperhatikan orang Tionghoa yang berada
di Angkola selama 10 tahun yang datang dari timur di Panai (Pantai Barat
Sumatra) dan pulang dari barat di Barus (Pantai Barat Sumatra), ini
mengindikasikan bahwa Angkola (boleh jadi yang pertama) adalah koridor timur
dan barat Sumatra yang sudah sejak lama terhubung (sejak jaman kuno). Boleh
jadi daerah Angkola satu-satunya wilayah yang sudah terbuka sejak jaman kuno.
Daerah Angkola dalam banyak hal sangat menarik perhatian bagi geolog maupun
botanis Eropa (setelah Miller dan Junghuhn).
Daerah Angkola sudah terbuka sejak
jaman kuno ini dapat ditunjukkan dengan keberadaan candi Simangambat di Angkola
dekat Siabu (yang diduga sudah ada pada abad ketujuh). Daerah Siaboe ini tidak
memproduksi kamper dan kemenyan tetapi sentra produksi emas (hingga ini hari).
Lalu percandian Padang Lawas yang situsnya sudah ada pada abad ke-11. Pusat
percandian Padang Lawas ini besar kemungkinan pelabuhan sisi timur (selain
Barus) keluarnya produksi emas, kamper, kemenyan dan lain sebagainya. Satu-satunya
koridor dari pantai barat Sumatra (katakanlah dari Barus) hanya melalui Lomoet,
Batangtoroe dan Hoeraba.
Sebagaimana
diketahui Belanda sudah melakukan kontak dagang dengan Barus tahun 1663 dan
Singkel 1668. Ini masuk akal memulai kontak dagang di dua tempat tersebut
karena lebih populer dan Barus sendiri sudah sejak lama menjadi kota dagang
utama. Ketika Inggris datang untuk mengambil peruntungan dengan memprovokasi
Atjeh agar pelabuhan Baroes tetap independen. Namun anehnya, setelah Belanda
meninggalkan Baroes dan Singkel pindah ke Padang, Inggris bukannya membangun
pos dagang di Baros tetapi lebih memilih di teluk Tapanoeli, persisnya di Pulau
Pontjang. Dari pelabuhan inilah kelak Miller (1773) dan Junghuhn (1840) masuk
ke pedalaman Tanah Batak (sebagaimana jauh sebelumnya tahun 1703 pedagang
Tionghoa dari Angkola ke Loemoet lalu dilanjutkan dengan perahu ke Baroes.
Pelabuhan Loemoet adalah pelabuhan
kecil di hulu sungai Lomoet. Sedangkan pelabuhan Baroes adalah pelabuhan besar
di hilir sungai Baroes. Inggris tidak memilih keduanya, tetapi membangun
pelabuhan baru di Pontjang (antara Baroes dan Loemoet). Mengapa? Marsden (1787)
dalam bukunya The History of Sumatra (yang dirilis kembali 1811) menyebut teluk
Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra (terhalang oleh
pulau Moersalla). Marsden menyebut, meski teluk Tapanoeli adalah terbaik tetapi
orang Batak disebutnya bukan pelaut, tetapi lebih menekuni pertanian dan eksploitasi
hasil-hasil hutan yang sungguh kaya luar biasa. Ini masuk akal, tidak perlu
menjadi pelaut karena toh dari lahan yang subur sudah mencukupi (yang mana para
pedagang yang berdatangan). Boleh jadi ini alasan Inggris memilih teluk
Tapanoeli dibandingkan dengan Baros: pelabuhan yang baik, pintu keluar produk
komoditi alami seperti emas, kamper dan kemenyan. Hal yang sama juga dilakukan
Inggris dengan membangun pelabuhan baru di Natal (menggantikan pelabuhan kuno
di Batahan).
Traktat London
(1824) mengakhiri kekuasaan Inggris di teluk Tapanoeli dan wilayah Angkola di
Tanah Batak. Dengan adanya tukar guling Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda)
maka seluruh pantai barat dan pantai timur Sumatra berada di bawah yurisdiksi
Belanda (dan Inggris di Semananjung yang berpusat di Penang). Namun anehnya, pasca
Inggris pindah ke Semenanjung, Belanda bukan membangun pos di Baros (pos mereka
yang sudah ada sejak 1663), namun lebih memilih pulau Pontjang sebagaimana
Inggris. Belanda kemudian pada tahun 1840 memindahkan pelabuhan dari (pulau)
Pontjang ke pantai di sebuah kampung kecil namanya Sibalga (yang kelak menjadi
ibukota Residentie Tapanoeli di Sibolga). Sejak era Belanda kedua ini, Sibolga
berkembang pesat dan Baroes mulai ditinggalkan. Hub internasional berpindah
dari Baros ke Padang yang mana Sibolga menjadi pelabuhan yang bersama-sama
Baros aliran produksi menuju Padang. Dengan demikian, apa yang menjadi pendapat
Junghuhn bahwa Lomoet adalah pintu keluar komoditi kuno sedikit banyak ada
benarnya, tidak hanya Lomoet menjadi pelabuhan feeder bagi Baroes sejak jaman
kuno tetapi sejak Inggris dan Belanda Lomoet tetap menjadi penting sebagai
pintu keluar komoditi dari Angkola.
Kekayaan Angkola, Kemakmuran Baroes
Untuk mengenal spasial
kota (pelabuhan) Barus janganlah terlalu dekat (sempit) dan juga jangan terlalu
jauh (luas), Jika terlalu dekat, kita akan terjebak bahwa kota Barus adalah
produsen kamper untuk seluruh dunia. Ini sangat naif. Sebab, kenyataanya, di
Barus tidak terdapat vegetasi pohon kamper yang ada hanya pelabuhan transaksi
komodi kamper. Oleh karena pelabuhan ini sangat sentral dan ramai lalu disebut
pelabuhan Barus. Sebaliknya, melihat spasial Barus jangan terlalu jauh dan
luas, sebab pintu keluar produk dagangan kamper dari pedalaman hanya ditemukan
di muara-muara sungai berikut: sungai Baros, sungai Sorkam, sungai Tapoes,
sungai Singkel, sungai Loemoet, sungai Batangtoroe, sungai Batang gadis, sungai
Natal dan sungai Batahan. Semua muara sungai ini ada di pantai barat Sumatra.
Sedangkan pintu keluar produk kamper di pantai timur Sumatra ada di muara
sungai-sungai berikut: Tamiang, Deli, Asahan, Baroemen dan Rokan.
Wilayah vegetasi hutan pohon kamper di Tapanoeli |
Vegetasi hutan
pohon-pohon kamper (dan kemenyan) tidak ditemukan di kota-kota pantai di pantai
timur Sumatra. Vegetasi pohon kamper (dan kemenyan) hanya ditemukan di
pedalaman di sepanjang pegunungan Bukit Barisan yang sekarang. Hal yang sama
juga vegetasi hutan pohon kamper tidak ditemukan di kota-kota Singkel, Tapoes,
Baroes, Sorkam, Tapanoeli, Natal dan Batahan tetapi justru di wilayah-wilayah
hulu kota-kota tersebut di pedalaman di dalam hutan-hutan rimba yang merupakan
bagian dari topografi pegunungan Bukit Barisan yang sekarang. Wilayah vegetasi
pohon kamper (dan kemenyan) ini tidak lain berada di wilayah penduduk Batak
dari Gunung Talamau (Ophir) di selatan hingga Gunung Leuser di utara.
Mengapa lalu kemudian Palembang menjadi
pusat perdagangan kamper (dan kemenyan) yang baru di pantai timur Sumatra, dan
telah beralih dari Baroes di pantai barat Sumatra? Palembang menjadi hub
internasional ke Tiongkok. Produk kamper (dan kemenyan) dari pedalaman di Tanah
Batak di sepanjang Bukit Barisan mengalir ke pantai timur Sumatra melalui
sungai-sungai di Tamiang, Deli, Asaahan dan Baroemoen. Peta distribusi kamper
(dan kemenyan) inilah yang membuat Kerajaan Chola di India menyerang Sriwijaya
di Palembang dan kemudian membangun pelabuhan baru di hulu sungai Baroemoen. Situs
peninggalan percandian Padang Lawas (abad ke-11) adalah salah satu situs
peninggalan Kerajaan Chola di Sumatra. Sejak Padang Lawas ditinggalkan oleh
koloni-koloni India, muncul kerajaan-kerajaan besar (keseultanan) di Atjeh yang
meneruskan siklus perdagangan kamper (dan kemneyan). Semakin menguatnya
kesultanan-kesultanan di Atjeh (terutama Kesultanan Atjeh), pelabuhan Baroes
menjadi sangat ramai kembali. Aliran produk kamper (dan kemenyan) pada era baru
ini adalah pelabuhan Loemoet di Angkola yang diteruskan ke Baroes. Aliran
produk kamper (dan kemneyan) yang lain di pelabuhan Singkel di Taroemon. Oleh
karenanya, ketika VOC melakukan ekspansi dan membuka pos dagang di pantai barat
Sumatra ditetapkan di Baroes (1668) dan di Singkel (1672).
Satu-satunya
sumber informasi terawal tentang wilayah pedalaman (penghasil kamper dan
kemneyan) adalah Daghregister di Casteel Batavia tahun 1703 yang mencatat
riwayat seorang pedagang Tionghoa yang telah berdagang selama 10 tahun di
Angkola. Pedagang Tionghoa ini datang dari Singapoera melalui muara sungai
Baroemoen (1693) dan kembali ke Batavia (1703) dari Angkola melalui Baroes
setelah menempuh perjalanan dengan istrinya putri Angkola dengan satu putri
mereka selama 11 hari. Dari Baroes keluarga ini melanjutkan perjalanan ke
Padang dan lalu berlayar ke Batavia.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar