Barus adalah kota tertua di Nusantara, Kota Barus berumur lebih dari 1000 tahun. Kota Barus lalu menua dan layu. Kota-kota muda bermunculan di Tapanoeli, umurnya baru beberapa tahun tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada fase pertumbuhan kota-kota baru di Tapanoeli ini ada tiga tokoh awal yang patut dicatat: FW Junghuhn, TJ Willer dan N van der Tuuk.
Peta Baroes, 1906 |
Tiga tokoh awal tersebut, cukup memberi arti dalam perubahan radikal di pedalaman
Tanah Batak. Tiga tokoh ini adalah ilmuwan. FW Junghuhn adalah sarjana, ahli geologi dan botanis; TJ Willer
adalah sarjana, ahli geografi sosial; dan N van der Tuuk, sarjana, ahli
linguistik. Tiga orang inilah yang boleh dikatakan sebaga pionir dan pembuka
pintu masuk ke lingkungan peradaban dan ilmu pengetahuan orang Batak yang
selama ini disembunyikan oleh penduduk Batak dari orang asing. Suatu peradaban
dan pengetahuan tumbuh berkembang di pedalaman Tanah Batak nyaris tak tersentuh
orang luar, meski kota pelabuhan di pantai barat Sumatra di Barus sudah berumur
ribuan tahun.
Sarjana pertama yang masuk ke pedalaman
Tanah Batak adalah Charles Miller tahun 1772 (lihat William Marsden. The
History of Sumatra, 1811). William Marsden sendiri hanya mengumpulkan informasi
tentang pedalaman Tanah Batak di Barus dan Natal. Miller memang tidak membuat
laporan komprehensif, tetapi dari surat-suratnya yang mengisahkan perjalanan ke
pedalaman Tanah Batak di Angkola dan Padang Bolak terungkap bahwa penduduk
sangat makmur (sawah dan ternak), hutan-hutan yang kaya (pohon kamper yang
besar-besar dan bahkan pohon kulit manis ada yang berdiameter dua meter); sudah
memiliki kepandaian memuat senapan dan mesiu dan pakaian perempuan mirip
pakaian yang digunakan di tanah Melayu di Semenanjung. Miller memang tidak bisa
berjalan sendiri, harus dipandu, tetapi Miller merasa pemandu tersebut telah
menyesatkan arah (rute) perjalanan [Miller sendiri merasa ada kesan banyak hal
yang disembunyikan oleh penduduk]. Orang Eropa berikutnya yang memasuki Tanah
Batak adalah Burton dan Ward (lihat Nacht en morgen op Sumatra door G Warneck,
1873). Setelah melakukan perjalanan dari kampong Sibolga lima hari tiba di
Silindoeng. Burton dan Ward selain gagal dalam misinya juga tidak memberi
informasi apapun tentang pedalaman Tanah Batak.
Pada saat ilmuwan
FW Junghuhn dan TJ Willer memasuki Tapanoeli (1840), ekonomi kopi telah
menggantikan ekonomi gula sebagai komoditi primadona di Jawa. Kopi sendiri di
Jawa sudah dintroduksi sejak 1710 oleh VOC. Sedangkan kopi di pantai barat
Sumatra diintroduksi oleh Inggris. Dalam laporan Raffles yang pernah melakukan
ekspedisi ke Minangkabau (1818), kopi penduduk sudah banyak yang menghasilkan.
Ibukota Pertama Sumatra’s Westkust
Berada di Tapanoeli, 1821
Selama hampir
satu abad, Pantai Barat Sumatra menjadi wilayah pertarungan dan peruntungan
tiga negara adikuasa: Belanda, Inggris dan Prancis. Di Batavia, Prancis
mengambil kendali dari Belanda dari 1795-1800; lalu kemudian Belanda berkuasa
kembali, akan tetapi tidak lama kemudian Inggris mengambil alih kendali dari
Belanda 1811 dan menguasai Jawa hingga tahun 1816. Sejak 1816, eskalasi politik
tiga negara adikuasa di Pantai Barat Sumatra lebih stabil.
Singkil (lukisan Rosenberg, 1840) |
Pada tahun 1819
Sumatra’s Westkust diklaim kembali oleh Belanda sebagai wilayahnya. Ini sebagai
kelanjutan proses kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Hindia
Belanda setelah pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1816 komisaris
Belanda, Mr. Cornelis Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van
der Capellen en Arnold Adriaan Buyskes mengambilalih kembali kekuasaan Inggris.
Untuk wilayah Pantai Barat Sumatra, baru pada tahun 1819 Belanda mengakuisisi
kembali di bawah kepemimpinan Kommissaris J. du Puy.
Struktur Pemerintahan di Res. Sumatra's Westkust, 1921 |
Asisten Residen
yang diangkat di Residentie Sumatra’s Westkust adalah WJ Waterloo. Namun
kedudukan (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust bukan ditetapkan di Padang
melainkan ditempatkan di Tapanoeli. Ini mengindikasikan bahwa Padang yang
awalnya dinominasikan sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust harus
dilupakan dan lalu dipindahkan ke tempat yang sesuai di 'kota' Tapanoeli. Dalam
Pemerintahan Hindia Belanda yang pertama ini di Sumatra’s Westkust, Asisten
Residen didukung oleh tiga komisaris dan tiga pejabat keuangan. Selain itu
Asisten Residen dibantu oleh sejumlah pejabat sipil dan komandan militer di
sejumlah tempat. Di Padang ditempatkan dua pejabat sipil yakni kepala pelabuhan
(havenmeester) dan kepala gudang (pakhuismeester). Pejabat sipil lainnya ditempatkan
di Natal yang berfungsi sebagai kepala pelabuhan yang juga merangkap kepala
gudang.
Komandan militer tertinggi di Sumatra's
Westkust berpangkat Majoor yang ditempatkan di Natal (dekat Tapanoeli).
Komandan militer dibawahnya berpangkat Kapitein ditempatkan di Padangsch
Bovenlanden. Selain itu ada sejumlah komandan berpangkat Luitenan yang
ditempatkan di tempat berbeda, diantaranya Letnan Dua berada di Pariaman dan
Letnan Satu di Ajer Bangies.
Beberapa
posthouder (kepala kantor dagang) ditempatkan diantaranya di Poeloe Chinco, di
Air Hadji (Painan), Tikoe, Poeloe Batoe dan di Baros. Penempatan ‘markas’
militer di Natal dengan pangkat tertinggi mayor besar kemungkinan karena di
Natal sejak era VOC sudah didirikan benteng yang setara dengan benteng
Marlborough di Bencoolen. Oleh karenanya, penetapan ‘kota’ Tapanoeli sebagai
hoofdplaat (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust yang pertama adalah atas
dasar pertimbangan bahwa teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai
barat Sumatra dan benteng di Natal sebagai benteng terbaik kedua setelah
benteng Bencoelen (Inggris). Pemilihan benteng Natal sebagai markas militer
utama dengan sendirinya menjadikan ibukota Sumatra's Westkust di Tapanoeli
lebih aman dari pihak Inggris yang berada di selatan Sumatra di Bencoelen
(Bengkulu).
Padang sendiri pada era VOC belumlah
tempat utama (hoofdplaat) di pantai barat Sumatra. Bentuk pemerintah di era VOC
yang dibentuk masih sangat sederhana. Sebagaimana diketahui, Padang sempat
ditinggalkan sebagai posthiuder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh
Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota penting, bahkan Air Bangis
sendiri masih lebih penting dari Padang. Hal ini terindikasi dalam berita
Leydse courant, 04-05-1764 sebagai berikut: ‘Pemerintah VOC menempatkan Residen
di (pulau) Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan
di Padang hanya menempatkan administrator tingkat dua'. Oleh karenanya, pada
saat mulai membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra's Westkust, pilihan
kota cukup banyak, salah satu diantaranya 'kota' Tapanoeli.
Pada era
Portugis, tiga kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatra adalah Baros,
Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Pada awal era VOC muncul nama-nama pelabuhan
baru: Tapanoeli, Natal, Air Bangies, Ticoo, Padang, Chinco dan Air Hadji
(Painan). Pelabuhan Tapanoeli menggantikan popularitas pelabuhan Baros, Natal
menggantikan Batahan dan Padang menggantikan Indrapoera.
Pelabuhan Tapanoeli berada di Teluk
Tapanoeli. Pelabuhan Natal berada di muara sungai Batang Natal dan Pelabuhan
Padang berada di muara sungai Batang Arau. Pada awal era VOC, pelabuhan di teluk
Tapanoeli berada di Pulau Pontjang. Pada akhir era VOC pelabuhan di teluk
Tapanoeli bergeser ke pantai di ‘kota’ Tapanoeli. Kelak nama pelabuhan
Tapanoeli ini berubah menjadi Sibogha (Sibolga).
Penetapan
Tapanoeli sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust diduga karena di pantai
barat Sumatra masih bercokol Inggris di Bengkulu (di selatan). Bahkan pada
tahun 1818 Raffles masih mengunjungi ke wilayah pedalaman di Minangkabau. Baru tanggal 17 Mei 1819
Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air Bangies dibebaskan pada
tanggal 3 Oktober 1820. Residenti Natal dibebaskan tanggal 17 Oktober 1820.
Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih wilayah dan properti VOC
tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli termasuk kantor di
Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara keseluruhan baru terbebaskan
(kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921 berdasarkan Resolutie
Gouverneur Generaal.
Sementara di sebelah utara terdapat
Kesultanan Atjeh yang masih bersifat independen. Ibukota Tapanoeli seakan
berada di tengah antara ibukota Atjeh dan ibukota Bengkulu. Kota pelabuhan
Padang relatif lebih dekat dengan wilayah Inggris di Bengkulu.
Di era VOC,
sejumlah tempat, kota pelabuhan di pantai barat Sumatra beberapa kali berganti
tuan diantara Belanda, Inggris dan Perancis. Misalnya VOC (Belanda) pernah
berada di Baros, Singkel dan Padang. Inggris pernah berada di Tapanoeli, Natal,
Pariaman, Padang dan Bengkulu. Perancis pernah berada di Air Bangies dan
Padang.
Kesulitan Belanda (VOC) untuk melakukan
ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De nieuwe
reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766) disebutkan
sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kesultanan Atjeh (De Koning van
Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah Hooftstad,
Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel), Barros, Batahan,
Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar kekuasaan
kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King of
Kings).
Setelah
berakhirnya pendudukan Inggris di Hindia Belanda tahun 1816, semua
tempat-tempat yang pernah ‘dikuasai’ oleh Belanda di masa sebelumnya diklaim
oleh Belanda (kecuali Bengkulu yang sejak awal tidak pernah dikuasai oleh
Inggris). Oleh karenanya, ketika Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan
di pantai barat Sumatra merasa perlu memilih dan menetapkan dimana ibukota
(residentie) berada. Pilihan dan penetapannya jatuh pada Tapanoeli.
Pada tanggal 17 Maret 1824 terjadi
perundingan yang diakhiri dengan perjanjian dan penandatanganan antara Belanda
dan Inggris yang dikenal sebagai Traktat London. Satu kesapakatan dalam
perjanjian ini adalah ‘tukar guling’ antara Bengkulu (Inggris) dan Malaka
(Belanda). Sejak perjanjian ini, Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Ini dengan sendirinya, Residentie Sumatra’s Westkust bertambah luas menjadi
wilayah baru antara Singkel dan Bengkulu. Sejak perubahan wilayah inilah terjadi
proses pemindahan ibukota Residentie Sumatra’s Westkust dari kota Tapanoeli ke
kota Padang. Pada tahun 1825 Kol. HJJL de Stuers diangkat menjadi residen dan
komandan militer di Sumatra’s Westkust. Berdasarkan resolutie van den
Gouv.-Gen. 1 November 1825, Majoor Rothmalder, komandan berpangkat tertinggi di
Natal en Onderhoorigheden menjadi berada di bawah komando Kol. HJJL de Stuers.
Dengan diangkatnya Stuers sebagai residen, status Sumatra’s Westkust
ditingkatkan menjadi Residen. Lalu, Padang menjadi ibukota Sumatra’s Westkust
yang baru (lihat juga Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 1887). Residen berikutnya adalah Kol. Raaff yang
juga merangkap sebagai Militaire commandant hingga 1829. Selanjutnya Residen
Sumatra’s Westkust adalah Mac Gillavry sebelum dilanjutkan oleh Kol. AV
Michiels.
Perpindahan
ibukota di awal pembentukannya tidak hanya di Sumatra’s Westkust. Juga terjadi
di di Preanger dan Sumatra’s Oostkut serta di Mandailing dan Angkola. Setelah
Belanda berkuasa kembali (mengambil alih dari Inggris) di Preanger dibentuk
pemerintahan yang beribukota di Tjiandjoer. Baru tahun 1871 Resientie Preanger
ibukotanya dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng. Demikian juga di Sumatra’s Oostkust
awalnya ibukota di Bengkali, lalu tahun 1887 dipindahkan ke Medan. Hal serupa
juga terjadi di afdeeling Mandailing dan Angkola yang beribukota sejak 1840 di
Panjaboengan dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1870. Bahkan pada tahun
1875 ibukota Residntie Tapanoeli pernah dipindahkan dari Sibolga ke Padang
Sidempoean dan kembali lagi ke Sibolga tahun 1880.
Pemilihan Tapanoeli sebagai ibukota
Sumatra’s Westkust boleh jadi bukan hanya karena alasan geopolitik saat itu.
Akan tetapi teluk Tapanoeli sejak era VOC sudah diakui sebagai pelabuhan
terbaik di pantai barat Sumatra. Pantainya yang dalam terlindung oleh Pulau
Moersala sehingga kapal-kapal dapat merapat dengan tenang tanpa dihantui oleh
badai besar dari samudara India. William Marsden di dalam bukunya The History
of Sumatra menyebut teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat
Sumatra, tapi sayang katanya, penduduk Batak bukan pelaut.
Junghuhn, Willer dan Van der Tuuk
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Minta ijin share tentang barus, Admin.
BalasHapusSilahkan saja. Terimakasih apresiasinya. Tolong disebut sumbernya ya. Kelabjutan serial artikel Barus belum sempat dipublish, saat ini masih berada di kota-kota lainnya. Suatu saat akan kembali ke Barus.
Hapusgambar rumah ,pelabuhan,rumah raja di barus tampilkan
BalasHapus