Sejak kehadiran Belanda/VOC di Pantai Barat Sumatra, tidak hanya wilayah kekuasaan Atjeh yang berkurang, tetapi juga sumber-sumber utama perdagangan Atjeh semakin sedikit. VOC melakukan perjanjian dengan (pemimpin) penduduk lokal di Padang (1666), Baros (1668) dan Singkel, secara dejure perdagangan Atjeh hanya tersisa Meulaboh dan Deli.
Kantor Perdagangan VOC di Atjeh (1644) |
Penerimaan
Atjeh di Padang sangat negatif. Hal ini berlainan dengan di Deli dan Asahan
(Pantai Timur) serta di Natal, Tapanoeli, Baros dan Singkel (Pantai Barat
Sumatra). Pelabuhan-pelabuhan ini semua berhubungan dengan sumber produksi di
pedalaman di Tanah Batak. Penerimaan
terhadap Atjeh di pelabuhan-pelabuhan ini bersifat indeferen (siapapun pedagang
yang datang sama pentingnya) karena penduduk Batak berada di pedalaman.
Hanya karena faktor Belanda,
keleluasaan Atjeh semakin berkurang. Yang menarik keuntungan kehadiran Belanda
di pelabuhan-pelabuhan tersebut karena ada perebutan kekuasaan dalam hal
kesahbandaran. Terusisrnya Atjeh dari Padang disambut sangat sukacita. Perayaan
seratus tahun pengusiran Atjeh di Padang dilakukan dengan mendirikan monumen.
Hal ini tidak ditemukan di Asahan, Deli, Natal, Tapanoeli dan Baros serta
Singkel. Pengusiran Atjeh hanya dianggap sebagai persaingan biasa diantara para
pedagang: VOC dan Atjeh.
Perdagangan,
Faktor Kemakmuran Atjeh
Kerajaan-kerajaan
di Atjeh tumbuh dan lalu kesultanan-kesultanan di Atjeh berkembang karena
sumber produksi yang melimpah di Tanah Batak melalui enam pelabuhan: di pantai
barat Sumatra di Batahan, Baroes dan Singkel; di pantai timur Sumatra di Deli,
Asahan dan Panai/Biela. Kesultanan Atjeh di bawah Sultan Iskandar Muda
(1583-1636) menjadi puncak kejayaan kesultanan-kesultanan di Atjeh. Saat kejayaan
ini juga membuat Portugis sangat iri (bahkan hampir selama hampir satu abad).
Ketika ekspedisi Belanda (1595-1597) coba melakukan pendekatan dengan Atjeh,
perwakilan Belanda tanpa kompromi ditahan (1599-1602). Belanda/VOC lalu
mengalihkan konsentrasinya di Maluku.
Pangeran Atjeh, wanita dan utusan Radja Belanda (1603) |
VOC/Belanda
yang telah bermarkas di Batavia (sejak 1619), mulai mengambil alih kekuatan
Portugis di Sumatra yang dimulai dengan penaklukan Malaka pada tahun 1641. Berdasarkan peta yang dibuat Gerard Valk, 1657
di Sumatra hanya diidentifikasi Kraton Atjeh dan Jawa bagian barat, Kraton
Banten. Ini mengindikasikan kekuasaan lama hanya tinggal Atjeh dan Banten. Dengan modal Malaka, VOC mulai merangsek dengan mermperluas ekspansi ke Padang
(1666), Baros (1668) dan Singkel. Ekspansi ke Sumatra ini secara langsung telah
memengaruhi kekuatan Atjeh. Sumber-sumber perdagangan adalah faktor penting
kekuatan Atjeh (selama hampir satu abad).
Kraton Atjeh dan benteng Belanda, 1603 |
Sketsa Atjeh yang dibuat Johannes Vingboons 1665 |
Perdagangan Atjeh semakin menyempit
ketika tiga negara adikuasa (Belanda, Inggris dan Prancis) menanamkan
pengaruhnya di pantai barat Sumatra. Kekuataan bersenjata dari tiga adikuasa
ini di kawasan bukan tandingan (kesultanan) Atjeh lagi sejak pertengahan abad
ke-18 (1750-1824). Pelayaran internasional dari tiga negara adikuasa ini juga
melemahkan pelayaran internasional Atjeh.
Sketsa Gowa yang dibuat Johannes Vingboons 1665 |
Jika kita kembali ke belakang, saat Belanda membuka pos
perdagangan di Atjeh (1599-1603), Kesultanan Atjeh belumlah apa-apa. Kraton dan
masjid Atjeh yang menjadi landmark Kesultanan Atjeh masih terkesan bersahaja
yang berada di sisi timur sungai Atjeh (lihat Peta 1603). Selama Sultan
Iskandar Muda berkuasa, lokasi kraton dan masjid dipindahkan ke sisi barat
sungai (lihat sketsa Atjeh yang dibuat Johannes Vingboons 1665). Lanskap
Kesultanan Gowa (1665) justru terkesan lebih luas (lebih besar) jika
dibandingkan Kesultanan Atjeh. Oleh karena dua sketsa ini dilukis pada tahun
yang sama (1665) dan oleh orang yang sama (Johannes Vingboons), maka dua
lanskap tersebut (Gowa dan Atjeh) dapat diperbandingkan ukurannya.
Benteng Belanda di Atjeh (1603) |
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar