*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Inilah sejarah Universitas Indonesia yang sebenarnya. Satu fase terpenting dalam sejarah Universitas Indonesia adalah masa peralihan dari Universiteit van Indonesie menjadi Universitas Indonesia. Tokoh yang terbilang berperan penting dalam fase peralihan ini adalah Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Sementara itu, universitas negeri Universitas Gadjah Mada sudah terbentuk di Djogjakarta. Dalam proses membentuk universitas nasional (Universitas Indonesia), pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menginginkan Universitas Gadjah Mada digabung (dilebur) ke Universitas Indonesia. Namun itu tidak terjadi karena ada penolakan termasuk Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdul Hakim Harahap. Alasannya hanya satu: Universitas Gadjah Mada yang didirikan RI di Djogjakarta 1949 adalah situs penting perjuangan para Republiken. Boleh jadi alasan Abdul Hakim Harahap karena pendirian Universitas Gadjah Mada digagas oleh seniornya Prof. Mr, Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI kedua).
Inilah sejarah Universitas Indonesia yang sebenarnya. Satu fase terpenting dalam sejarah Universitas Indonesia adalah masa peralihan dari Universiteit van Indonesie menjadi Universitas Indonesia. Tokoh yang terbilang berperan penting dalam fase peralihan ini adalah Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Sementara itu, universitas negeri Universitas Gadjah Mada sudah terbentuk di Djogjakarta. Dalam proses membentuk universitas nasional (Universitas Indonesia), pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menginginkan Universitas Gadjah Mada digabung (dilebur) ke Universitas Indonesia. Namun itu tidak terjadi karena ada penolakan termasuk Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdul Hakim Harahap. Alasannya hanya satu: Universitas Gadjah Mada yang didirikan RI di Djogjakarta 1949 adalah situs penting perjuangan para Republiken. Boleh jadi alasan Abdul Hakim Harahap karena pendirian Universitas Gadjah Mada digagas oleh seniornya Prof. Mr, Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI kedua).
Prof. Soepomo (De Telegraaf, 09-01-1950) |
Sejarah
Universitas Indonesia sendiri adalah sejarah yang sangat panjang. Embrionya bermula ketika
sekolah tinggi kedokteran didirikan pada tahun 1851 di Weltevreden (kini
Gambir). Proses peralihan Universiteit van Indonesie ke Universitas Indonesia tahun
1951 hanya satu fase di dalam perjalanan panjang sejarah Universitas Indonesia.
Dengan kata lain butuh waktu 100 tahun sejak lahir (1851) hingga Universitas
Indonesia benar-benar milik pemerintah Indonesia (1951). Tahap berikutnya dalam
perkembangan Universitas Indonesia sebagaimana wujud yang sekarang sesungguhnya
baru selesai pada tahun 1963 setelah Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran
Hewan dimekarkan menjadi Institut Pertania Bogor.
Di satu sisi Universitas
Indonesia kemudian dimekarkan. Yang pertama dimekarkan dan terbentuk adalah
Universitas Airlangga di Soerabaja (1954); Universitas Hasanoedin di Makassar (1956);
Universitas Padjadjaran di Bandoeng (1957); Institut Teknologi Bandoeng (1959);
dan baru kemudian Institut Pertanian Bogor (1963). Sementara di sisi lain
universitas negeri yang pertama didirikan adalah Universitas Gadjah Mada (1949)
dan baru menyusul yang kedua Universitas Indonesia (1951); yang ketiga
Universitas Airlangga (1954); yang keempat Universitas Andalas (1955); yang
kelima Universitas Hasanoedin (1956); yang keenam Universitas Padjadjaran
(1957); dan yang ketujuh Universitas Sumatera Utara (1957).
Bagaimana itu semua berproses, tentu saja
menarik untuk ditelusuri mulai dari awal (1851). Sejarah Universitas Indonesia
hanya ditulis parsial dan terkesan ditulis oleh orang-orang tertentu saja.
Mereka ini telah memainkan penanya dengan dua sisi: satu sisi membesar-besarkan
satu figur atau satu kejadian tertentu dan satu sisi yang lain juga mengerdilkan
satu figur dan kejadian tertentu. Sejauh ini sejarah Universitas Indonesia
belum pernah ditulis secara komprehensif (lengkap dan akurat). Padahal sejarah
Universitas Indonesia tidak terpisahkan dari perkembangan pendidikan,
perkembangan bangsa, perkembangan pengetahuan, dan perkembangan politik sejak
era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Kini di era informasi, semua
data masa lampau dapat diakses oleh siapapun yang bersedia memanfaatkannya . Mari
kita mulai dari fase peralihan Universiteit van Indonesie ke Universitas
Indonesia yang mana pada fase ini nama Prof. Mr. Soepomo, Ph.D yang cukup
berperan penting.
Artikel ini
dibuat panjang lebar secara kontekstual supaya memudahkan mendapatkan uraian
yang komprehensif bagaimana proses pembentukan Universitas Indonesia dan peran
sentral Prof. Soepomo mengawali kiprahnya dan bagaimana akhir perjalanannya di
dalam empat era yang berbeda: era kolonial Belanda, era pendudukan Jepang, era
proklamasi dan perang kemerdekaan serta era pasca pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda. Dengan pendekatan kontekstual dimungkinkan untuk melihat relasi Universitas
Indonesia dengan bentuk-bentuk perguruan tinggi yang sudah ada jauh sebelumnya dan
bagaimana kelangsungan Univesitas Indonesia sebagai univeritas nasional. Dengan
pendekatan kontekstual juga dimungkinkan untuk melihat relasi Mr. Soepomo, Ph.D
sebagai tokoh pendidikan nasional memulai pendidikan dan bagaimana kelanjutan
karirnya. Untuk studi sejarah nasional, pengujian terhadap relasi itu lebih
penting dari hanya sekadar mendeskripsikan event atau figur yang terpisah-pisah
(sehingga terkesan melupakan yang lain). Dengan pendekatan analisis kontekstual
(relasi) dengan sendirinya setiap event atau figur menjadi dapat dipahami
(terjelaskan) posisinya dalam sejarah nasional Indonesia. Dalam hubungan ini, secara
khusus, sebagai bagian dari upaya pejuangan nasional (persatuan dan
kemerdekaan), sosok Mr. Soepomo, Ph,D akan sendirinya tampak menjadi bagian
tidak terpisahkan dari barisan tokoh-tokoh nasional yang terdapat di berbagai
tempat di Indonesia. Seperti kata pepatah: Semua tidak lahir secara tiba-tiba,
tidak ada yang hadir sendiri. Untuk menyusun (kembali) sejarah Universitas Indonesia
dan sejarah Mr. Soepomo, Ph.D, sebagaimana artikel-artikel lainnya di dalam
blog ini, sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman. Sumber buku dan majalah hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena buku dan majalah pada dasarnya juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari ‘sumber primer’. Adakalanya informasi yang terdapat
dalam buku dan majalah sudah ‘masuk angin’. Dalam hal ini tidak semua sumber
primer disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel yang lain dalam blog
ini. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja.
Secara dejure pada tanggal 20 Desember 1949
diresmikan pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan Perdana Menteri
Mohammad Hatta yang beribukota di Djakarta. Pemerintahan baru ini dibentuk sebagai
wujud dari hasil konferensi KMB yang mana diumumkan pengakuan kedaulatan
Indonesia oleh Belanda. Namun secara defacto Belanda masih ‘berdaulat’ di
Indonesia terhadap bidang-bidang yang penting seperti industri dan perguruan
tinggi.
Indonesia pasca KMB 1949 sejatinya terbelah-belah
bagaikan buah belimbing: antara negara-negara federal dan daerah otonom di satu
pihak dan wilayah-wilayah republik (RI) di pihak lain. Negara-negara federal pada
dasarnya adalah negara ‘setengah Belanda’ alias negara-negara boneka bentukan
Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur, Negara Pasoendan,
Negara Sumatra Selatan, Negara Indonesia Timur dan lainnya. Sementara negara-negara
otonomi diantaranya ditemukan di pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah RI hanya
tinggal secuil dan wilayah RI yang seteril hanya tinggal wilayah Djogjakarta
(dan sekitarnya) dan wilayah Tapanoeli. Saat ini wilayah Indonesia disebut
negara RIS, singkatan dari Republik Indonesia Serikat. Meski namanya berlabel Republik Indonesia
tetapi sesungguhnya hanya sebagian kecil yang masih Republik Indonesia.
Sebagian besar adalah wilayah yang menjadi negara-negara federal (dimana
Belanda masih memiliki pengaruh kuat). Satu wilayah negara federal dimana
orang-orang Republiken cukup dominan adalah Negara Sumatra Timur (NST).
Namun tidak semua orang Indonesia mengakui
hasil KMB dan juga tidak semua orang Indonesia sepakat dengan Kabinet Mohammad
Hatta meski yang menjadi presiden adalah Ir. Soekarno. Resistensi ini di ibukota
RI Djogjakarta secara sadar dibentuk pemerintahan RI yang secara definitif
memerintah pada tanggal 21 Januari 1950 dengan presiden Mr. Assaat, Perdana
Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Kabinet
Halim terdiri dari 13 menteri.
Sebelum terbentuknya Pemerintah RIS 20 Desember 1949, di
Djogjakarta pada tanggal 19 Desember 1949 telah dibentuk universitas Republik
Indonesia. Universitas republik ini merupakan kolaborasi Balai Perguruan Tinggi
Republik Indonesia dengan universitas swasta Universitas Gadjah Mada yang
namanya ditetapkan sebagai Universitas (Negeri) Gadjah Mada. Presiden
Universitas Gadjah Mada diangkat Dr. Sardjito, Ph.D. Balai Perguruan Tinggi
Republik Indonesia sendiri dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 sedangkan Universitas
Gadjah Mada dibentuk segera setelah ibukota RI pindah ke Djogjakarta pada
tanggal 3 Maret 1946 atas inisiatif Menteri Pendidikan RI Todoeng Harahap gelar
Soetan Goenoeng Moelia.
Pemerintah RIS di Djakarta dalam
perkembangannya mendirikan Universiteit van Indonesie dengan mengangkat dewan
kurator dan presiden (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 02-02-1950). Disebutkan
bahwa dewan kurator (Raad van Curatoren van de Universiteit van de RIS) sebagai
ketua adalah Mr. Wonsonegoro. Anggota dewan adalah Dr. Soekiman, Mr. Soejono
Hadinoto, Wisaksono Wirohardjo, Soetan Sjahrir, Margono Djojohadikoesoemo, C.
Katoppo, Tengkoe Kaliamsjah Sinaga dan Mr. Tengkoe Moh. Hassan. Sedangkan
presiden universitas telah diangkat Ir. Soerachman.
Pemerintah pada
tanggal 30 Djanuari 1950 mengeluarkan
Undang-Undang Darurat No. 7 yang mengatur pendidikan tinggi di
Indonesia dan Undang-undang ini memberi kekuasaan kepada Menteri Pendidikan
untuk mengambil langkah-langkah bagi pembinaan Perguruan Tinggi di Indonesia.
Undang-Undang ini dengan sendirinya menggantikan Hoger Onderwijs
Ordonnantie (1946). Undang-Undang
ini kemudian menjadi landasan bagi Menteri Pendidikan dan juga bagi Presiden
Universiteit Indonesia yang sudah ditetapkan.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (27
Desember 1949) di bawah RIS, semua bidang ditansfer (kecuali Irian Barat).
Dalam bidang pendidikan, dalam hal ini, di
satu pihak Universiteit van Indonesie yang
sudah terbentuk di Djakarta dan cabang-cabangnya di sejumlah kota (sejak 1946)
dan di sisi lain Balai Pergoroean Tinggi yang sudah dibentuk di ‘pengungsian’ di
Solo, Djogjakarta dan Klaten digabungkan dengan membentuk Balai Pergoeroean
Tinggi RIS (De vrije pers: ochtendbulletin, 30-01-1950). Nama ini di wilayah RI
disebut Balai Pergoeroean Tinggi RI. Dalam struktur Balai Pergoeroean Tinggi
RIS, para profesor Indonesia mulai ditempatkan. Para profesoer ini adalah
mereka yang telah mengajar dalam beberapa tahun terakhir di Balai Pergoeroean
Tinggi RI di Solo, Djogjakarta dan Klaten. Sebagian besar profesor ini sudah
dialihkan lebih dulu ke Universitas Gadjah Mada yang diresmikan pada tanggal 19
Desember 1949. Sebagian yang lain berafiliasi dengan Balai Pergoeroean Tinggi
RIS. Sementara di Balai Pergoeroean Tinggi RIS yang dalam hal ini eks
Universiteit van Indonesie masih terdapat profesor (asing) dari Belanda (dan
sebagian yang lain sudah pulang ke Eropa). Kelangkaan profesor terjadi Balai
Pergoeroean Tinggi RIS alias Universiteit Indonesie (meski sebenarnya juga
terjadi di Balai Pergoeroean Tinggi RI Universitas Gadjah Mada). Untuk
sementara, profesor Belanda masih dibutuhkan dan bahkan ditambah di Universiteit
Indonesie. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Balai Pergoeroean Tinggi RI
Universitas Gadjah Mada juga memerlukan profesor asing. Di dua balai perguruan
tinggi ini akan muncul permasalahan pembiayaan terutama gaji profesor asing
yang mungkin mengalami perubahan. Profesor-profesor yang sangat diperlukan
dalam hal ini terutama di bidang khusus seperti kedokteran dan teknik.
Nieuwe courant, 20-03-1946 |
Dalam perkembangannya para Republiken di
berbagai wilayah mulai gerah karena terjadi dua (kepemimpinan) pemerintahan
yang mana kepemimimpinan pemerintahan RI dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Lalu, mulai ada gerakan yang menghubungkan RI di Djogjakarta (Abdoel Hakim
Harahap) dan Republiken di Medan (NST) yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen
Harahap (adik kelas Dr. Sardjito dulu di STOVIA). Gerakan ini memunculkan
protes keras (semacam pemberontakan) ke pusat RIS di Batavia. Dr. Djabangoen
Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya menyelenggarakan Kongres
Rakyat di NST.
Gerakan RI dan Kongres Rakyat ini sangat dikhawatirkan
oleh PM (RIS) Mohamad Hatta dan para pentolan NST kasak-kusuk ke Batavia/Djakarta
menemui Mohamad Hatta untuk menghambat kongres tersebut. Namun gerakan RI dan
Kongres Rakyat yang diselenggarakan pada tanggal 25 April 1950 hasilnya yang
pada intinya adalah ‘Bubarkan NST’ dan ‘Bentuk NKRI’. Hasil ini ternyata
kemudian membuat Presiden Ir. Soekarno menjadi paham dan lalu memberikan
dukungan terhadap hasil Kongres Rakyat di Medan dan mulai memikirkan kembali
negara kesatuan RI.
Pada fase gerakan NKRI di Sumatra Timur yang
telah menjalar ke pusat (Djakarta) Menteri Pendidikan Aboe Hanifah dan Presiden
Universiteit van Indonesie Ir. Soerachman tengah berkunjung ke Belanda untuk
berdiskusi dengan Menteri Pendidikan Prof. Entten. Dua hari berikutnya Menteri
Hanifah yang didampingi oleh Menteri Entten diterima oleh Dewan Ilmu
Pengetahuan dan juga Menteri Hanifah diterima oleh Ratu Juliana (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 19-06-1950). Salah satu hal pokok tujuan
kunjungan Menteri Pendidikan dan Presiden Universitas Indonesia ini adalah
untuk mendatangkan para profesor Belanda untuk mengajar di Universiteit van
Indonesie (lihat Het Parool, 13-10-1950). Sementara univesitas republiken
Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta sudah menarik orang-orang Indonesia yang
bergelar doktor untuk jadi dosen. Situasi ini seakan mengambarkan dinamika
politik tingkat pemerintah dengan yang terjadi di level (bidang) pendidikan
tinggi, RIS beribukota di Djakarta cooperative dengan Belanda, sementara RI
(para republiken) yang beribukota di Djogjakarta mengusung RI 100 Persen.
Akhirnya gelombang perubahan terjadi. Proses perubahan
RIS menjadi NKRI Sumatra Timur yang berpusat di Medan mencapai puncak pada tanggal
17 Agustus 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 ini di Medan lalu diperingati
hari kemedekaan dengan inspektur upacara Mr. GB Josua Batubara (pemilik sekolah
Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk kali pertama dinyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raja di Medan. Dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya di
Medan dan sekitarnya maka para Republiken benar-benar merasakan kemerdekaan
sejati.
Di tingkat pusat NKRI baru terlaksana pada
tanggal 6 September 1950 yang mana PM Mohammad Hatta harus mengundurkan diri
dan kabinetnya dibubarkan yang lalu kemudian ditunjuk M. Natsir sebagai Perdana
Menteri yang baru dalam konteks NKRI. Yang mana sebagai Presiden tetap Soekarno
dan Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Negara-negara federal lainnya
lalu kemudian turut dibubarkan. Dan dengan demikian, tentu saja pemerintahan RI
di Djogjakarta lega dan legowo membubarkan diri Kabinet Halim.
Djogjakarta sebagai pusat perjuangan sebagai salah satu
alasan Universita Gadjah Mada tetap berada di Djogjakarta juga terungkap ketika
RIS beribukota di Djakarta, di Djogjakarta Wakil Perdana Menteri RI Abdoel
Hakim Harahap memimpin langsung pemindahan semua pahlawan yang gugur dalam
berjuang melawan Belanda untuk disatukan di dalam satu tempat pemakaman yang
kemudian disebut Taman Makam Pahlawan. Terkait dengan taman makam pahlawan
Djogjakarta ini Presiden Assaat menginisiasi pembangunan masjid raya baru yang
disebut Masjid Syuhada (masjid para pejuang). Taman Makam Pahlawan Djogjakarta
adalah yang pertama di Indonesia. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap merasakan
arti perjuangan dan bagaimana cara menghormati para pejuang yang telah gugur karena
Abdoel Hakim Harahap sendiri pada era Agresi Militer Belanda II (dimulai 19
Desember 1948) adalah Residen Tapanoeli yang ikut bergerilya dan berperang
melawan militer Belanda di seputar Afdeeling Padang Sidempoean.
Selanjutnya, mantan Wakil Perdana Menteri RI
di Djogjakarta Abdoel Hakim Harahap diangkat Presiden Soekarno menjadi Gubernur
Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari 1951. Province Sumatra Utara sendiri
adalah gabungan dari tiga Residentie: Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur.
Inilah kemenangan RI terhadap RIS yang dimulai di Medan.
Dr. Djabangoen Harahap dkk telah mendudukkan kembali Ir.
Soekarno menjadi Presiden NK(RI) dan juga mengantarkan Abdoel Hakim Harahap
menjadi Gubernur Sumatra Utara. Abdoel Hakim Harahap adalah pejabat ekonomi di
Djawa di era Belanda yang ditunjuk militer Jepang menjadi ketua dewan di
Tapanoeli. Pada era perang kemerdekaan Indonesia, Abdoel Hakim Harahap menjadi
Residen Tapanoeli. Dalam delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag, Abdoel
Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis)
bertindak sebagai penasehat ekonomi. Namun hasil sidang KMB tidak menguntungkan
RI yang mana RIS yang berbau Belanda tidak disetujui oleh Abdoel Hakim Harahap
yang lalu kemudian sepulang dari KMB di Den Haag langsung hijrah ke Djogjakarta
untuk bergabung dengan para Republiken (100 % RI).
RIS dibubarkan oleh Presiden Soekarno dan
terbentuk (NK)RI. Sekali lagi ini adalah kemenangan Djodjakarta (RI) terhadap
Djakarta (federalis RIS). Lalu seiring dengan
kembali Indonesia ke (NK)RI, Universitas Gadjah Mada, universitas para
Republiken (100% RI) dengan cepat tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito,
Ph.D dalam hal ini mulai menonjol di Djogjakarta.
Sementara di pihak lain
(Republiken) di Djakarta, mendapat angin segar karena Pemerintah (RI) telah menunjuk
Prof. Mr. Dr. Soepomo sebagai Presiden Universitas Indonesia (Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-03-1951).
Disebutkan bahwa Pemerintah telah mengangkat Prof. Mr. Dr. Soepomo sebagai Presiden
Universitas Indonesia. Sementara itu, Presiden Universitas Indonesia, Ir. Soerachman
Tjokrohadisoerjo mengundurkan diri atas permintaan sendiri dihormatii. Lalu
dalam perkembangannya dibentuk Jajasan Universitas Indonesia (lihat De vrije pers: ochtendbulletin,
26-07-1951). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Indonesia. Sebagai
ketua yayasan (yang merangkap sebagai Presiden Universitas Indonesia) adalah
Prof. Dr. Mr. Soepomo. Akta pendirian Univeristas Indonesia dibuat oleh notaris
Mr. Soewandi (notaris Indonesia pertama).
Ini dengan sendirinya
dewan kurator dan presiden Universiteit van Indonesie RIS dengan sendirinya
dibubarkan. Inilah kemenangan RI terhadap RIS, dan juga ini kemenangan
Djogjakarta terhadap Djakarta, dan juga ini menunjukkan peralihan dari fase
Universiteit van Indonesie (RIS) ke Universitas Indonesia (RI). Saat inilah
posisi dua presiden universitas RI mulai beriringan dalam mengembangkan
Perguruan Tinggi Nasional (PTN). Dr. Sardjito, Ph.D di Universitas Gadjah Mada
di Djogjakarta sejak 19 Desember 1949 dan Mr. Soepomo, Ph.D di Universitas
Indonesia sejak 25 Juli 1951 (sejak Jajasan Universitas Indonesia dilegalkan
oleh notaris). Oleh karenanya secara depacto dan dejure univeristas negeri (100
persen RI) baru dimulai di Djogjakarta 19 Desember 1949 di Djogjakarta dan
tanggal 25 Juli 1951 di Djakarta. Kebetulan dua presiden universitas RI ini Dr.
Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D sama-sama termasuk generasi Indonesia pertama
peraih gelar doktor (Ph.D). Dr. Sardjito meraih Ph.D di bidang kedokteran tahun
1923; Mr. Soepomo meraih Ph.D di bidang hukum tahun 1927.
Para senat Universitas Gadjah Mada tampaknya
lega setelah Ir. Soekarno mendukung penuh NKRI. Ir. Soekarno yang sempat
‘mengingkari’ RI dan membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat
Universitas Gadjah Mada. Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno terus berjuang
demi NKRI. Senat Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan memberikan gelar
doktor honaris causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe courant, 20-09-1951).
Promosi gelar tersebut dilakukan di auditorium Universitas Gadjah Mada.
Presiden Universitas, Profesor Sardjito membuka sidang dan kemudian membacakan
isi penganugerahan itu lalu diserahkan kepada Presiden Soekarno. Presiden
Soekarno kemudian menyampaikan pidato. Dalam sidang pemberian gelar doktor ini
turut hadir Presiden Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Sayang
sekali dalam gelar ini Dr. Soetomo tidak bisa lagi hadir karena telah meninggal
dunia tahun 1938. Dr. Soetomo, Ir, Soekarno, Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo,
sebagaimana kita lihat segera, adalah empar tokoh penting yang mengubah
organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan menjadi organisasi
yang bersifat nasional, organisasi yang sebelumnya (sejak 1908) ‘hanya
mendukung kemajuan di Jawa’ dan sekitarnya menjadi organisasi yang ikut
memperjuangkan ‘seluruh rakyat Indonesia’ (1931).
Ir. RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo: Sarjana Teknik
Kimia Indonesia Pertama
Ir, Soerachman hanya menjabat sebagai
Presiden Universiteit van Indonesia selama kurang lebih 1.5 tahun (Februari
1950 hingga Juli 1951). Sementara Prof. Mr. Soepomo, Ph,D sebagai Presiden
Universitas Indonesia sejak Juli 1951 baru berakhir pada bulan Maret 1954. Ini
berarti Prof. Soepomo praktis hanya menjabat satu periode saja yang lalu
kemudian digantikan oleh Prof. dr. Bahder Djohan, mantan Menteri Pendidikan Kabinet
Pertama NKRI (6 September 1950 hingga 20 Maret 1951).
Setelah Soerachman digantikan posisinya oleh
Prof. Soepomo tidak terdengar kabar beritanya lagi hingga muncul kabar telah
meninggal dunia. Raden Mas Soerachman Tjokroadisoerjo meninggal dunia di
Belanda pada bulan November 1952 pada usian 38 tahun (De Telegraaf,
17-11-1952). Ir. Soerachman pernah menerima bintang jasa Orde van Oranje Nassau
(Nieuwsblad van het Noorden, 17-11-1952).
Selanjutnya Soerachman berangkat studi ke
Belanda. Dengan kapal Rembrandt pada tanggal 15 September 1915 dari Batavia
menuju Amsterdam (De Maasbode, 16-09-1915). Dalam manifes kapak namanya dicatat
sebagao Raden Mas Pandji Soerachman. Di kota Delf Raden Mas Pandji Soerachman
terdaftar sebagai warga kota, status student yang beralamat di Voorstraat 85B
asal Weltevreden (Delftsche courant, 23-10-1915). Pada tahun 1917 RM Pandji
Soerachman termasuk salah satu yang lulus ujian propaedeuetische untuk bidang kimia
di Delft Technische Hoogeschool (Algemeen Handelsblad, 10-10-1917).
Jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1917
sudah ada sekitar 50 orang. Jumlah ini sudah sangat meningkat jika dibanding
pada tahun 1905 yang masih lima orang termasuk Soetan Casajangan. Pada tahun
1908 jumlah mahasiswa menjadi 20 orang yang mana Soetan Casajangan menggagas
dan mendirikan perhimpoenan mahasiswa Indonesia yang disebut Indisch
Vereeniging. Soetan Casajangan adalah Presiden pertama Indisch Vereeniging
dengan sekretaris Husein Djajadiningrat. Seiring dengan semakin banyaknya
mahasiswa asal Sumatra, pada tanggal 1 Januari 1917 Sorip Tagor menggagas
didirikannya organisasi mahasiswa Sumatra yang diberi nama Sumatra Sepakat yang
mana sebagai ketua adalah Sorip Tagor, sekretaris Dahlan Abdoellah dan
bendahara Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Jumlah mahasiswa
Indonesia di Belanda pada tahun 1920 sebanyak 70 orang. Soematra Sepakat
kemudian menjadi Jong Sumatranen Bond dan Indisxh Vereeniging menjadi
Perhimpoenan Indonesia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Sorip
Tagor Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.
RMP Soerachman Tjokroadisoerjo lulus ujian
candidaat untuk insinyur kimia (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 19-06-1919).
Akhirnya RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo lulus ujian ingènieursexamen scheikundig
ingenieur (insinyur kimia) pada tahun 1920 (Algemeen Handelsblad, 18-06-1920), Pada
waktu yang relatif bersamaan Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool,
Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920).
RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo adalah orang
Indonesia pertama sarjana Teknik Kimia. Sementara Sarip Tagor adalah orang
Indonesia pertama dokter hewan. Irsinyur Teknik Kimia orang Indonesia kedua lulusan
Universiteit Delf adalah AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan.
Dalam perang kemerdekaan MO Parlindoengan berjuang di Soerabaja dan sekitarnya
dengan pangkat Overste (Letkol). Setelah pengakuan kedaulatan RI, Overste MO
Parlindoengan diangkat sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) yang kelak
berubah menjadi PT PNDAD. Salah satu putri Ir. Soerachman menikah dengan salah
satu putra dari Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (Menteri
Pendidikan RI yang kedua pada Kabinet Sjahrir-I). Ir, Soerachman sendiri pernah
menjadi Menteri Keuangan, juga pada Kabinet Sjahrir-I. Sorip Tagor kelak
dikenal sebagai kakek dari Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Astriani Tagor
(istri Setya Novanto, ketua DPR). Sorip Tagor memulai pendidikan tinggi di Sekolah
Kedokteran Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Buitenzorg (kini Bogor)
1907. Sekolah Kedokteran Hewan ini dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 30-06-1928). Sorip Tagor lulus tahun 1912 dan langsung diangkat
sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
16-08-1912). Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter
Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-08-1912). Pada bulan Oktober 1913 Sorip
Tagor berangkat melanjutkan studi kedokteran ke Belanda di Rijksveeartsenijschool,
Utrecht.
Ir Soerachman tidak langsung pulang ke tanah
air. Akan tetapi masih berada di Belanda di Delft sebagai asisten di departemen
pertanian, industri dan perdagangan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-12-1920).
Ir. Soerachman baru kemudian pulang setelah beberapa bulan dengan kapal
Goentoer berangkat tanggal 21 Mei 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, 16-06-1921).
Tidak lama setelah tiba di tanah air Ir. Soerachman
diangkat sebagai asisten kimia di departmen perindustrian (De Preanger-bode, 30-06-1921).
Dr. Sarip Tagor ditempatkan sebagai dokter hewan di lingkungan istana Gubernur
General di Batavia. Ir. Soerachman kemudian dipindahkan sebagai pejabat di Departemen Perindustrian di Bandoeng (De
Preanger-bode, 05-01-1922). Ir, Soerachman diberitakan telah menjadi anggota
dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng (De Preanger-bode, 27-02-1923). Sebagai anggota fewan kota, Ir.
Soertachman dijalankon sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad (Bataviaasch
nieuwsblad, 21-11-1923). Namun tidak berhasil dan tetap sebagai anggota dewan
kota. Ir. Soerachman sebagai asisten kimia telah dipindahkan dari Bandoeng ke (departemen
industri) Buitenzorg (De Preanger-bode, 25-09-1924). Dalam kongres Inlansch
Economisch Congres di Soerabaja, Ir, Soerachman turut menyampaikan presentase
berjudul Olie-industrie en klappercultuur (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 11-11-1924).
Di Buitenzorg, Ir. Soerachman juga menjadi anggota dewan kota (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1925). Ir. Soerachman dari departemen
industri di Buitenorg melakukan penelitian industri batik di Midden Java
sehubungan dengan banyaknya usaha batik skala kecil rontok yang diduga karena
masuknya perusahaan batik berskala besar. Penelitian ini dimulai sejak bulan
Juni 1926 dan laporannya diumumkan pada bulan Desember 1927 (De Indische
courant, 07-12-1927). Untuk meningkatka produksi batik di Djogjakarta diadakan
pameran dan lomba batik dimana salah satu juri adalah Ir. Soerachman (De
Indische courant, 26-07-1928). Hasil penelitian ini telah direspon para
stakeholder di Solo dan Djogja untuk mendirikan stasion pengujian batik di
salah satu kota tersebut sebagai salah satu wujud desentralisasi yang mana hal
yang berada di bidang pertanian dipusatkan di Buitenzorg (Nieuwe Rotterdamsche
Courant, 28-11-1928). Pada tahun 1929 Ir. Soerachman diangkat sebagai konsultan
industri kelas satu oleh Departement v. Landbouw (De Indische courant, 06-05-1929).
Akhirnya stasion uji batik di Djogjakarta didirikan. Dengan keputusan direktur
pertanian, industri dan perdagangan Ir. Soerachman dari Buitenzorg ditunjuk
untuk mengepalai stasiun uji batik tersebut (Soerabaijasch handelsblad, 27-07-1929).
Pada awal pendudukan Jepang (1942), terjadi
perubahan besar, yakni peralihan orang-orang Belanda ke orang-orang Indonesia.
Orang-orang Belanda diinternir oleh militer Jepang, sedangkan orang-orang
Indonesia dirangkul militer Jepang untuk kerjasama. Ir. Soeacgman termasuk
orang Indonesia yang memiliki portofolio tinggi. Ir. Soerachman tidak hanya
orang Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana Teknik Kimia, Ir. Soerachman
juga di era pemerintahan kolonial Belanda telah mempunyai puncak karir yang
tinggi bagi seorang pribumi.
Orang Indonesia kedua yang mengambil Teknik Kimia di Delf
adalah AFP Siregar. Setelah menyelesaikan HBS di Medan pada tahun 1937 AFP
Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan dari Batavia, yang terdaftar di
dalam manifest M.O. Parlindoengan dengan menumpang kapal Indrapoera berangkat
dari Tandjong Priok tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile (Prancis). Dari kota
pelabuhan ini, MO Parlindoengan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke
Delf. MO Parlindoengan menyelesaikan studi dengan mendapat gelar Insinyur
Teknik Kimia. Pada tahun 1943 pada masa pendudukan Jepang MO Parlindoengan
langsung pulang kembali ke tanah air. MO Parlindoengan kemudian dipekerjakan
militer Jepang di inudustri senjata di Bandoeng. Saat Ir. Soerachman menajdi
pejabat industri di Djakarta/Batavia, Ir. MO Parlindoengan baru memulai karir
di Bandoeng. MO Parlindoengan adalah anak Soetan Martoewa Radja, kepala sekolah
Normaal School dan anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar, alumni
sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean 1892.
Di luar pertahanan dan keamanan, salah satu
institusi penting yang didirikan oleh pemerintah militer Jepang adalah Kantor
Urusan Ekonomi. Menurut surat kabar Asia Raja yang dikutip Soerabaijasch
handelsblad, 15-05-1942 pada tanggal 1 Mei Kantor Urusan Ekonomi telah dibuka.
Lokasi kantor tersebut adalah bangunan bekas Departement van Economische Zaken
di West Molenvliet 8. Disebutkan ada delapan posisi yang dijabat oleh orang
Indonesia. Salah satu posisi tersebut adalah Kogyo Tyuo Dyimusyo atau Hoofdkantoor
voor de Nijverheid (Kepala Kantor Perdagangan). Posisi ini dijabat oleh Ir.
Soerachman.
Untuk posisi Kepala Kantor Ekonomi cabang di Indonesia
Timoer yang berkedudukan di Makassar adalah Abdoel Hakim Harahap. Kantor Ir.
Soerachman dan Abdoel Hakim Harahap pada era kolonial Belanda persis sama
dengan yang sekarang, hanya posisi mereka yang dinaikkan untuk menggantikan
posisi yang sebelummya dijabat oleh orang Belanda. Pada akhir tahun 1942 ayah
Abdoel Hakim Harahap dikabarkan meninggal dunia di Padang Sidempoean. Lalu
keluarga Abdoel Hakim Harahap dari Makassar berangkat dengan kapal perang
Jepang ke Soerabaja. Kemudian diteruskan dengan kereta api ke Djakarta dan
dilanjutkan naik bis ke Merak dan kemudian menyeberang ke Pelabuhan Pandjang di
Lampoeng. Dari Lampoeng secara estafet perjalanan darat hingga tiba di Padang
Sidempoean. Perjalanan membutuhkan waktu dua minggu. Namun Abdoel Hakim Harahap
tidak kembali ke Makassar. Pemerintah militer Jepang di Tapanoeli yang
berkedudukan di Taroetoeng memanggil Abdoel Hakim Harahap untuk membentuk Dewan
Tapanoeli (yang sekaligus menjadi ketuanya).
Pemerintah militer Jepang sebelumnya telah
mengangkat Ir. Soekarno sebagai ketua dan Mohamad Hatta sebagai wakil ketua Dewan
Pusat yang berkedudukan di Djakarta. Sejumlah dewan yang lebih rendah juga
dibentuk di Jawa dan Sumatra. Di Sumatra, dewan yang teridentifikasi telah
dibentuk adalah di Tapanoeli (ketua Abdoel Hakim Harahap) dan dewan di Midden
Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi yang diketuai oleh Adinegoro..
Untuk level pemerintahan hanya dibentuk di
dua kota yakni di Kota Djakarta dan Kota Soerabaja. Dua kota ini adalah kota
besar dimana terdapat pusat konsentrasi pemerintah militer Jepang bagian
darat/udara di Dajakarta dan bagian laut di Soerabaja. Di Djakarta diangkat
wali kota yang dijabat oleh Dahlan Abdoellah (alumni Universiteit Leiden,
sekretaris Sumatra Sepakat di Belanda). Untuk di Soerabaja diangkat sebagai
wali kota adalah Dr. Radjamin Nasution (alumni STOVIA tahun 1912 dan anggota
senior dewan kota Soerabaja). Untuk bidang pendukung (media/propaganda)
pemerintah militer Jepang mengangkat Parada Harahap sebagai ketua komite yang
membawahi bidang radio, media cetak dan kebudayaan. Untuk membantunya, Parada
Harahap merekrut sejumlah pemuda. Untuk bidang media yang diposisikan untuk
surat kabar Asia Raja merektur BM Diah (kelak mendirikan surat kabar Merdeka).
Untuk bidang radio Parada Harahap merekrut Adam Malik (eks pemimpin kantor
berita Antara), Mochtar Lubis (kelak mendirikan surat kabar Indonesia Raja) dan
Sakti Alamsjah Siregar (kelak mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di
Bandoeng). Untuk bidang kebudayaan (termasuk kesusastraan) direkrut sastrawan
terkenal Armijn Pane (adik Sanoesi Pane dan abang Lafran Pane, pendiri HMI).
Parada Harahap sendiri pada tahun 1917-1918 terkenal dengan investigasi untuk
membongkar kasus penyiksaan kuli asal Djawa di perkebunan di Deli (peonalie
sanctie) dan ivestigasi praktik prostitusi wanita-wanita asal Jepang di Medan
yang dikelola oleh para mucikari di Siengapoera. Ketika Parada Harahap sebagai
editor, surat kabar Benih Merdeka di Medan dibreidel lalu pulang kampung ke
Padang Sidempoean untuk mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919). Pada
kongres Jong Sumatranen Bondi di Padang tahun 1919 dan 1921, Parada Harahap
sebagai ketua region Tapanoeli memimpin delegasi ke kongres tersebut. Saat
inilah Parada Harahap mengenal dan berteman dekat dengan Mohamad Hatta. Oleh
karena Sinar Merdeka dibreidel, pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke
Batavia menjadi wartawan. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar
Bintang Hindia, lalu pada tahun 1925 mendirikan kantor berita pribumi pertama
Alpena (merekrut WR Soepratman sebagai editornya). Pada tahun 1926 Parada
Harahap mendirikan surat kabar yang lebih radikal (seperti Sinar Merdeka) yang
diberi nama Bintang Timoer (langsung melejit dengan tirat tertinggi di
Batavia). Saat inilah Ir. Soekarno yang baru lulus THS yang juga aktif di
Studieclub Bandoeng kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer.
Interaksi ini membuat Parada Harahap dan Soekarno yang sama-sama revolusioner
menjadi akrab. Parada Harahap meminta Soekarno untuk mendirikan partai politik,
namun itu tidak mudah karena partai politik Indisch Partij yang didirikan oleh
Dr. Tjipto dkk belum lama dilarang pemerintah. Lalu solusinya adalah Soekarno
dkk dari Studieclub Bandoeng mendirikan organisasi kebangsaan yang disebut
Perserikatan Nasional Indonesia (Algemeen Handelsblad, 24-06-1927). Tidak lama
kemudian Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond mengundang para
pemimpin organisasi-organisasi kebangsaan di rumah Husein Djajadiningrat di
Weltevreden (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). Hasil pertemuan adalah
diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari
berbagai serikat pribumi yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI, dengan ketua komite adalah MH
Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo
(diwakili oleh Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito), Pasoendan, Kaoem Betawi (MH
Thamrin sendiri), Sumatranen Bond (Parada Harahap sendiri), Persatoean
Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia) yang
diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dari Bandoeng. Dalam pertemuan ini turut
hadir Soetan Casajangan, direktur sekolah guru Normaal School di Meester
Cornelis (kini Jatinegara) dan Mangaradja Soangkoepon (anggota Volksraad dari
dapil Oostkust Sumatra). Agenda pertama PPPKI adalah mendirikan kantor/gedung
PPPKI di Gang Kenari (gedung ini masih eksis hingga ini hari). Sebagai kepala
kantor. Parada Harahap memajang tiga potret di ruang rapat yakni Diponegoro,
Soekarno (ketua PNI di Bandoeng) dan Mohamad Hatta (ketua PI Belanda). Agenda
kedua yang terbesar adalah mempersiapkan kongres PPPKI pada bulan September
1928 yang diintegrasikan dengan kongres pemuda pada bulan Oktober 1928. Untuk
hajatan besar itu diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua kongres PPPKI dan untuk
komite kongres pemuda diangkat Soegondo (ketua PPPI, organ pemuda PPPKI)
sebagai ketua, Mohamad Jamin (ketua Jong Sumatranen Bond) sebagai sekretaris
dan Amir Sjarifoeddin Harahap (ketua Jong Bataksch Bond) sebagai bendahara. Parada
Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond juga adalah mantan ketua Bataksch
Bond. Ketiga pengurus inti komite Kongres Pemuda ini adalah sama-sama mahasiswa
Rechts Hoogeschool yang mana sebagai sebagai dosen senior mereka di sekolah
tinggi hukum tersebut adalah Prof. Mr. Husein Djajadiningrat. Sebagai sponsor
dua kongres ini Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) adalah para
pengusaha pribumi Batavia yang terhimpun dalam perhimpoenan pengusaha pribumi
Batavia (semacam Kadin pada masa ini) yang mana sebagai ketua pengusaha adalah
Parada Harahap dan termasuk pengusaha MH Thamrin sebagai anggota. Sekadar
catatan: pada tahun 1908 ketika Indisch Vereeniging didirikan yang menjadi
Presiden pertama adalah Soetan Casajangan dan sekretaris Husein Djajadiningrat.
Salah satu anggota Indisch Vereeniging adalah Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon. Indisch Vereeniging kemudian berubah nama menjadi lebih
radikal yang disebut Perhimpoenan Indonesai (PI). Dahlan Abdoellah dan Dr.
Soetomo pernah menjadi ketua PI yang mana sekarang (sejak 1926) dijabat oleh
Mohamad Hatta. Sepulang dari Belanda tahun 1923 Dr. Soetomo mendirikan
stduiclub di Soerabaja tahun 1924 dan dua tahun kemudian (1926) di Bandoeng
oleh Soekarno dan kawan-kawan. Para pengurus dan anggota studieclub Bandoeng
kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Menjelang kongres PPPKI,
Perserikatan Nasional Indonesia berubah menjadi Partai Nasional Indonesia.
Dalam kongres PPPKI ini hadir Soekarno untuk berpidato, sementara Mohamad Hatta
yang sejatinya masuk kongres pemuda (junior) diundang Parada Harahap untuk
berpidato namun berhalangan hadir dan mengutus Ali Sastroamidjojo. Hasil
keputusan kongres PPPKI adalah mengupayakan transpormasi organisasi-organisasi
kebangsaan menjadi organisasi politik. Keputusan lainnya yang juga penting
adalah DR. Soetomo terpilih sebagai ketua PPPKI yang baru dan agenda lain
kongres berikutnya di Solo tahun 1929. Sementara hasil kongres pemuda adalah
dihasilkannya sebuah putusan yang berisi ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu
bahasa, Indonesia. Hal yang penting juga dalam kongres pemuda ini adalah
diperdengarkan lagu kebangsaan yakni Indonesia Raja yang digubah dan
diperdengarkan oleh WR Soepratman (anak buah Parada Harahap). Selanjutnya
sehabis kongres PPPKI di Solo Desember 1929, para pemimpin Partai Nasional
Indonesia ditangkap termasuk Soekarno dan kemudian diadili di Bandoeng. Selama
Soekarno dipenjara, Mr. Sartono membubarkan PNI dan kemudian mendirikan partai
baru yang disebut Partai Indonesia (Partindo). Di Soerabaja Dr. Soetomo dari
studieclub dan Dr. Radjamin Nasution pemimpin organisasi pekerja pelabuhan mendirikan
Partai Bangsa Indonesia (PBI). Anggota
eks PNI tidak semua bergabung dengan Partindo yang kemudian mebentuk
partai baru yang disebut Pendidikan Nasional Indonesia dengan ketua Soekiman.
Salah satu mahasiswa yang baru pulang dari Belanda 1931, Soetan Sajhrir
bergabung dengan Partai Nasional Indonesia. Lalu kemudian masa tahanan Soekarno
dipercepat dan keluar dari penjara lebih memilih Partindo. Ketua Partindo
cabang Batavia adalah Amir Sjarifoeddin dan ketua cabang Partindo Soerabaja
adalah Mohamad Jamin. Setelah Mohamad Hatta selesai studi dan pulang ke tanah
air tahun 1932 lalu ikut bergabung dengan Soetan Sjahrir di Pendidikan Nasional
Indonesia (lalu menjadi ketuanya). Beberapa waktu kemudian Soekarno kembali
ditangkap tahun 1933. Dalam daftar yang ditangkap juga termasuk Mohamad Jamin
dan Amir Sjarifoeddin. Tidak hanya itu sejumlah pers pribumi majalah dan surat
kabar dibreidel termasuk Bintang Timoer milik Parada Harahap, Daulat Rakjat
(organ Pendidikan Nasional Indonesia) dan Soeloeh Indonesia (organ Partai
Indonesia) serta Pewarta Deli di Medan (pimpinan Abdoellah Lubis dan editor
Adinegoro). Dajamaloedin alias Adingeoro adalah abang Mohamad Jamin. Sebelum
pindah ke Pewarta Deli di Medan, Adinegoro adalah editor Bintang Timoer di
Batavia. Parada Harahap marah besar apalagi Soekarno, Mohamad Jamin dan Amir
Sjarifoeddin (yang belum selesai kuliahnya) beredar kabar akan diasingkan ke
Digoel. Parada Harahap yang tidak punya hutang kepada Belanda berinisiatif
mejalin hubungan kerjasama dengan negara lain. Dalam hal ini negara Jepang.
Parada Harahap selama ini boleh jadi sangat dekat dengan konsulat Jepang karena
Jepang punya hutang kepada Parada Harahap dalam kasus pembongkaran prostitusi
wanita Jepang di Medan tahun 1918. Pada akhir November 1933 Parada Harahap
memimpin tujuh revolusioner ke Jepang yang berangkat dari Tandjong Priok dengan
kapal Jepang Panama Maru. Diantara tujuh revolusioner ini adalah Abdoellah
Lubis dari Pewarta Deli Medan, Dr, Samsi Sastrawidagda, Ph.D guru di Bandoeng
anggota studieclub dan PNI dan Mohammad Hatta (ketua partai Pendidikan Nasional
Indonesia). Total rombongan ini selama sebulan di Jepang termasuk perjalanan
pergi-pulang. Pada tanggal 13 Januari 1934 rombongan tiba kembali di tanah air,
tidak langsung ke Batavia tetapi turun di Soerabaja, karena lebih aman karena
ada Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution dari partai PBI dan juga untuk
memonitor keadaan di Batavia. Pada saat rombongan tiba di darat, diperoleh
kabar Ir. Soekarno diberangkatkan dari Batavia ke pengasingan di Flores.Mohamad
Jamin dan Amir Sajarifoeddin dapat dihalangi karena terbilang masih muda dan
kuliah akibat tekanan Volksraad dan para dosen pribumi di Rechts Hoogeschool.
Setelah seminggi di Soerabaja, anggota rombongan yang pulang dari Jepang
kemudian pulang ke rumah masing-masing. Beberapa minggu kemudian Parada Harahap
dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia. Namun mereka lolos di pengadilan karena
kesaksian konsulat Jepang di pengadilan. Akan tetapi beberapa hari kemudian
Mohamad Hatta dan para pengurus pusat partai Pendidikan Nasional Indonesia
ditangkap termasuk Soetan Sajahrir. Tuduhan karena tulisan yang terdapat di
Daulat Rakjat beberapa bulan yang lalu (sebelum adanya pembreidelan). Akhirnya
para pmimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada akhir tahun 1934 diasingkan ke
Digoel termasuk Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir. Para revolusioner penganut
sikap non-cooperative telah dibungkam, tetapi Parada Harahap masih bebas di
luar dan juga para revolusioner yang menganut sikap cooperative dan non
cooperatve (satu hal cooperatie dengan Belanda dan hal lain non cooperative)
diantaranya MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon di Batavia (anggota
Volksraad), para pengurus PBI di Soerabaja seperti Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution, Dr. Abdoel Hakim di Padang, Dr. Sardjito dan Dahlan Abdoellah anggota
dewan kota di Batavia. Para revolusioner inilah dan para jurnalis revolusioner
yang tetap menjaga semangat revolusioner masih hidup dan bergelora. Mereka ini
semua yang terus memperjuangkan keringan hukuman bagi Soekarno, Mohamad Hatta
dan Sjahrir. Keringanan yang diberikan pemerintah Belanda (Guibernur Jenderal)
setelah MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon dari Volksraad menekan
pemerintah lalu hukuman Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir dipindahkan dari
tempat pengasingan maut di Digoel ke (pulau) Banda dan Soekarno dari Flores ke
Bengkoelen. Lantas apakah semua relasi, hubungan yang terkait ini bersifat
random? Itu sangat naif. Lalu apakah
skenario pemindahan tiga revoluisoner di pengasingan tersebut tanpa strategi
dan rencana? Itu juga sangat naif. Faktanya, tiga revolusioner ini ingin
dipindahkan ke Sumatra, tetapi hanya Soekarno yang dikabulkan karena alasan
Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir berasal dari Sumatra. Faktanya, sebelum
Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Flores sudah kerap muncul gagasan
bekerjasama dengan Jepang, bahkan Soekarno dalam suatu rapat besar mengatakan
perlu memikirkan kerjasama dengan negara lain. Bagaimana ide itu muncul? Hanya
satu orang revolusioner, Parada Harahap yang terhubung dengan (konsulat) Jepang
sejak lama di Medan, Batavia dan Soerabaja. Faktanya Mohamad Jamin dan Amir
Sjarifoeddin justru membuka firma hukum di Soekaboemi daripada di Batavia.
Seperti halnya di Bandoeng, di Soekaboemi sudah sejak lama banyak berdiam para
intelektual Indonesia seperti Sorip Tagor. Sementara di Padang paling tidak
terdapat satu pengacara revolusioner yakni Mr. Egon Hakim (anak Dr, Abdoel
Hakim, teman dekat Dr. Tjipto di dalam Indisch Pertij sesama alumni Docter
Djawa School) dan di Lampoeng terdapat paling tidak dua pengacara revolusioner
Mr. Gele Haroen (anak Dr, Haroen Al Rasjid, teman dekat Dr. Tjipto di Indisch
Partij sesama alumni Docter Djawa School) dan Mr. Abadoel Abbas. Tiga pengacara
inilah yang diduga kerap mengunjungi Soekarno di pengasingan di Bengkoelen. Secara
alamiah jika terjadi pendudukan Jepang, maka Belanda akan memusat ke tiga titik
terpenting yang memungkinkan mudah melakukan evakuasi ke Australia, yakni
Padang (untuk wilayah Sumatra di pnatai barat di pelabuhan Telok Bajoer) dan
Bandoeng dan Soekaboemi (untuk wilayah Jawa di laut selatan di Pangandaran dan
Pelabuhan Ratoe). Ke titik-titik evakuasi inilah tiga revulisoner akan dibawa
Belanda jika terjadi pendudukan Jepang. Singkat kata: saat awal pendudukan,
Belanda dalam situasi panik, Belanda bergegas ke Padang dari seluruh Sumatra
termasuk dari Bengkoelen tempat dimana Soekarno; yang di Jawa dan pulau-ulau
lain bergegas ke Bandoeng atau Soekaboemi yang mana Mahammad Hatta dan Soetan
Sjahrir dievakuasi dari Banda. Ketika Soekarno dievakuasi di Padang, Mr. Egon
Hakim yang ‘menculik’ Soekarno dan keluarga dan lalu membawanya ke Bukittinggi
dimana pemimpin militer Jepang bermarkas. Sementara di Soekabomi sudah ada
Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin yang memungkinkan berinteraksi ketika
Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir dievakuasi ke Soekaboemi. Pada masa ini, Dr.
Soetomo telah tiada, meninggal tahun 1938 dan MH Thamrin meninggal tahun 1940.
Hanya tinggal Parada Harahap, Dahlan Abdoellah dan kawan-kawan di Batavia.
Kontak Parada Harahap dan kawan-kawan di Djakarta dengan Mohammad Hatta di
Soekaboemi yang memunculkan pembentukan struktur pemimpin Indonesia di dalam
pemeirntahan awal militer Jepang di Indonesia. Namun dua revolusioner menolak
cooperative dengan Jepang yakni Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin. Lalu,
Parada Harahap, Mohammad Hatta dan Dahlan Abdoellah dari Batavia (wilayah aman
dari Belanda) melakukan kontak intens dengan Soekarno dan Egon Hakim plus
Adinegoro di Bukittinggi. Inilah lika liku jalan yang kelihatan rumit tetapi
bisa dipahami mengapa terkesan sejumlah tokoh revolusioner yang telah lama
terhubung menjadi plar penting pemimpin Indonesia di dalam struktur
pemerintahan militer Jepang di Indonesia sebagai berikut: Ir. Sokarno (ketua
dewan pusat); Mohammad Hatta (wakil ketua dewan pusat); Parada Harahap (ketua
komite media); Dahlan Abdoellah (wali kota Djakarta/Batavia); Dr. Radjamin
Nasution (wali kota Soerabaja). Lalu perluasan struktur kepemimpinan Indonesia
ini dapat dilihat di Tapanoeli (Abdoel Hakim Harahap) dan di Midden Sumatra
yang berpusat di Bukittinggi (Adinegoro). Last but not least: di Batavia Ir,
Soerachman; di Bandoeng Dr. Samsi Sastrawidagda (teman kuliah dan teman kerja
Dahlan Abdoellah di Belanda di Universiteir Leiden). Hanya satu penghubung dan
perekat dari semua tokoh-tokoh ini, yakni Parada Harahap, pemimpin pertama
tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang.
Ir. Soerachman pada era pendudukan Jepang
termasuk dalam barisan orang Indonesia yang cooperative dengan Jepang. Berbeda dengan
Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang non cooperative. Penolakan yang keras
Amir Sjarifoeddin menyebabkan dirinya harus ditangkap dan dipenjara.
Ketika hukuman mati dijatuhkan kepada
Amir Sjarifoeddin, Soekarno sebagai ketua dewan pusat membela habis-habisan,
sebagaimana dulu Soekarno dibela habis-habisan oleh MH Thamrin dan Parada
Harahap. Hukuman Amir Sjarifoeddin akhirnya dikurangi dengan hanya hukuman
penjara seumur hidup (di penjara Malang, Jawa Timur).
Dalam persiapan kemerdekaan, orang Indonesia yang
cooperative dengan Jepang dilabtkan secara langsung baik dalam BPUPKI maupun
dalam PPKI. Dalam BPUPKI terdapat nama-nama Ir. Soekarno, Drs. Mohamaad Hatta,
Parada Harahap, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ir. Soerachman, Prof, Husein
Djajadiningrat, Mohmad Jamin serta Mr. Soepomo. Untuk anggota PPKI jumlahnya
semakin mengerucut kepada sejumlah orang yang memiliki keahlian tertentu.
Belum sempat Kerajaan Jepang memberikan
tanggal yang tepat kapan Indonesia Merdeka, kota Hirosima dan Nagasaki hancur
karena bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Ketika kerajaan Jepang
mengumumkan pernyataan takluk terhadap sekutu tanpa pemberitahuan listrik padam
di seluruh Jawa selama tiga jam. Namun pernyataan takluk itu masih bisa
didengar lewat radio oleh pelaut-pelaut di Tandjog Priok yang kemudian berita
itu cepat menyebar ke darat.
Para pemuda revolusioner antara lain Chaeroel Saleh, Adam
Malik dan kawan-kawan mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta memperoklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Sejatinya revolusioner dengan portofolio tertinggi saat
itu adalah Amir Sjarifoeddin, namun situasi yang mendesak sulit menghubungi
Amir Sjarifoeddin karena berada di dalam penjara Jepang dengan penjagaan yang
ketat. Hal itulah yang menyebabkan para pemuda mengarahkan kepada Soekarno dan
Mohammad Hatta. Terbukti kedua tokoh revolusioner Soekarno dan Mohamad Hatta yang
cooperative dengan Jepang enggan tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan
pihak Jepang. Para pemuda revolusioner tidak memerlukan izin dari Jepang dan terus
mendesak hingga menculik Soekarno dan Mohamad Hatta dan kemudian proklamasi
dilakukan di Pegangsaan Timur. Selanjutnya teks proklamasi tersebut diteruskan
Adam Malik ke Mochtar Lubis dan kemudian membawanya ke Sakti Alamsjah di Radio
Bandoeng. Pada malam hari Sakti Alamsjah melalui radio membacakan teks
proklamsi tersebut sehingga dapat didengar seluruh penduduk Priangan. Siaran
proklamasi RI itu juga tertangkap di Djogjakarta dan Australia.
Provinciale Drentsche en Asser courant edisi 13-10-1945 |
Kabinet Presidensial ternyata kemudian menimbulkan
masalah. Sebab konfigurasi perjuangan Indonesia berifat parlementer dengan basis
partai-partai. Dialektika ini mudah dipahami karena Soekarno sudah sejak awal
(era PPPKI) telah mengedepankan pentingnya partai. Toh juga Soekarno dan
Mohamad Hatta sama-sama pernah menjadin pemimpin partai. Lalu Presiden Soekarno
mendukung kabinet parlementer dan membubarkan kabinetnya (kabinet
presidensial). Soekarno menunjuk Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin untuk
menyusun kabinet baru yang mana kemudian diumumkan Soetan Sjahrir sebagai
Perdana Manteri dan Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Keamanan Rakyat (yang
memang saat itu perlawanan terhadap Belanda terdapat dimana-mana). Dalam
susunan Kabinet Sjahrir posisi Ir. Soerachman digeser menjadi Menteri Keuangan
dan Prof Soepomo tetap sebagai Menteri Kehakiman. Untuk Menteri Pendidikan
diisi oleh Dr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Daftar Kabinet
Sjahrir ini dapat dibaca pada buletin Keesings historisch archief:
geïllustreerd dagboek van het hedendaagsch wereldgebeuren met voortdurend
bijgewerkten alphabetischen index, edisi 11-17 November 1945.
Kabinet Sjahrir berada dalam situasi dan
kondisi yang semakin memanas antara Inggris/Sekutu dan Belanda yang terus
menguntit di satu pihak dan berbagai paksi di internal Indonesia di pihak lain.
Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin sebagai pemimpin di depan menghadapi
Inggris/Sekutu dan Belanda juga menghadapi faksi-faksi lain di pihak Indonesia
yang meragukan kepemimpinan Soetan Sjahrir. Upaya-upaya diplomasi yang berujung
pada Perjanjian Linggarjati dianggap telah gagal kabinet Sjahrir. Akibatnya Soetan
Sjahrir mengundurkan diri dan Kabinet Sjahrir dibubarkan.
Presiden Soekarno kemudian menunjuk Amir Sjarifoeddin
sebagai perdana menteri. Setali tiga uang juga berujung pada Perjanjian
Renville yang menyebabkan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin juga harus
mengundurkan diri. Belanda yang terus merangsek menyebabkan republik semakin
terdesak. Awalnya pemerintah RI terusir dari Djakarta dan mengungsi ke
Djogjakarta, lalu kemudian garis (demarkasi) van Mook semakin menyulitkan
Republik Indonesia.
Ir. Soerachman tampaknya menyadari bahwa
bergabung dengan Republik Indonesia sudah tidak menguntungkan. Republik
Indonesia sudah terdesak jauh ke ‘pinggiran’ dengan ibukota di Djogjakarta.
Kekuatan RI memang bukan semakin menguat, sebaliknya justru Belanda semakin
menguat. Faktor inilah yang diduga mengapa Ir. Soerachman, ketika para
Republiken berjuang di bidang diplomasi dan bertempur di medan perang, lebih
memilih ‘membelot’ ke pihak Belanda dan mengingkari Republik Indonesia.
Setelah Ir. Soerachman tidak lagi duduk di kabinet dan
tidak memiliki jabatan lagi boleh jadi Ir. Soerachman mencari peruntungan di
pihak Belanda di Batavia. Dalam pembentukan pemerintahan Belanda di Batavia,
Ir. Soerachman diberikan posisi sebagai Hoofd van de Onderafdeling nij Verheidsvoorlichting
van de Afdeling Nijverheid van het Dep. E.Z (Kepala Subbagian Departemen
Perindustrian di Departemen E.Z). Namun entah mengapa jabatan itu kemudian
tidak diinginkannya apakah karena terlalu rendah? Yang jelas, Ir. Soerachman
meminta mengundurukan diri dan lalu diberi status pengunduran diri secara
hormat (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 10-11-1947).
Setelah beberapa waktu Ir. Soerachman kembali
lagi (balik kucing) ke pihak RI. Jelang konferensi Renville, di Djogjakarta
dibentuk delegasi RI. Yang bertindak sebagai ketua adalah Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap, wakil ketua Ali Sastroamidjojo. Anggota terdiri dari Dr. Tjoa Sik lon,
Soetan Sjahrir, HA. Salim dan Mr. Nasroen dengan anggota cadangan Ir. Djoeanda
dan Drs. Setijadjit. Penasehat terdapat sebanyak 32 orang termasuk Mr AK Pringgodigdo,
Prof. Dr. Mr. Soenario Kolopaking dan Ir.
Soerachman (Amigoe di Curacao : weekblad voor de Curacaosche eilanden, 08-12-1947).
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia
dengan Belanda yang diadakan di atas kapal Amerika Serikat USS Renville. Perjanjian ditandatangani pada
tanggal 17 Januari 1948. Dalam pertemuan tersebut ditengahi oleh Komisi Tiga
Negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini
dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun
1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang
disebut Garis Van Mook. Hasil perjanjian ini tidak menguntungkan RI bahkan
menjadi menyulitkan RI. Faksi yang menginginkan 100 persen RI tidak sepakat
dengan hasil perjanjian ini. Akibatnya Kabinet Amir Sjarifoeddin tertekan.
Akhirnya Amir Sjarifoeddin Harahap meletakkan jabatan dan kabinet Amir
Sjarifoeddin dibubarkan. Sebagai tikdak lanjutnyanya diangkat Mohammad Hatta
sebagai Perdana Menteri dan menyusun kabinet,
Perserlisihan antara RI dan Belanda pasca
perjanjian Renville terus meningkat. Suhu politik terus memanas dan perang
terjadi dimana-mana dan semakin meluas. Pihak Belanda melakukan langkah radikal
dengan ‘mengusir’ semua individu Republik yang memiliki pengaru untuk keluar
dari wilayah Belanda. Menurut catatan pemerintah Belanda terdapat 32 orang
pejabat atau kepala keluarganya yang sudah di Djogja untuk meninggalkan Batavia
dalam waktu dua minggu (De nieuwsgier, 20-09-1948). Perwakilan RI di Batavia
harus dikosongkan dan hanya diberikan akses saja. Di dalam daftar yang harus
diusir tersebut termasuk Ir. Soerachman, H. Agoes Salim, Mr. Pringgodigdo, Dr,
Leimana dan Mr, Maramis.
Pada bulan Maret 1946 pejabat dan pegawai pemerintah RI
mengungsi ke Djogjakarta. Rombongan terakhir adalah kementerian dalam negeri
dan kementerian penerangan. Rombongan pejabat dan pegawai RI ini dipimpin oleh
Mr. Arifin Harahap.
Setelah semua orang Republiken dievakuasi ke
Djogja ternyata sejumlah pihak masih ada keperluan ke Batavia. Namun dalam
keterangan pihak Belanda kereta api yang datang dari Djogjakarta yang hanya
diizinkan dua orang penumpang di dalam kereta yakni Ir. Soerachman dan Herawati
Diah (istri pemimpin Harian Merdeka) (De nieuwsgier, 23-09-1948). Pemberian
dispensasi kepada dua orang yang disebut tidak begitu jelas.
Ir, Soerachman ditunjuk pemerintah RI di Djogjakarta
untuk menyelidiki situasi kilang minyak Tjepoe (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 12-10-1948). Hasil penyelidikan Ir. Soerachman
bahwa kilang minyak Tjepoe masih utuh setelah terjadinya pendudukan oleh RI.
Disebutkan bahwa Ir, Soerachman telah mengerim laporan kepada Mohamad Hatta
kilang minyak Tjepo segera beroperasi. Dr. Soerachman yang telah kembali ke
Djokja mengatakan stok terbesar di Tjepoe masih aman dan tidak diapa-apakan.
Dalam perkembangannya, sebuah komite yang terdiri daro Menteri Dalam Negeri,
Soeltan Djogja dan Ir. Soerachman akan melakukan pengumpulan dana dengan cara
pinjaman dari orang-orang kaya di berbagai kota di wilayah republik (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 28-10-1948). Kota-kota tersebut antara lain Madioen,
Toeloengagoeng, Ponorogo, dan Solo..
Seperti di era pemerintahan Perdana Menteri
Amir Sjarifoeddin Harahap perselisihan RI dan Belanda untuk mengatasi
ketegangan dengan gencatan senjata dan menuju ke perundingan (Renville), pada
era pemerintahan Perdana Menteri Mohamad Hatta juga perselisihan diredakan
dengan gencatan senjata menuju konferensi KMB di Den Haag (23 Agustus-2
November 1949). Delegasi ke KMB dipimpin oleh Mohamad Hatta.
Delegasi ke KMB di Den Haag ditentukan berapa banyak dan
komposisinya yang terdiri dari pihak Repulik, negara-negara federal (bentukan
Belanda) seperti Negara Sumatra Timur. Abdoel Hakim Harahap, residen Tapanoeli
bertindak sebagai penasehat ekonomi delegasi.
Dalam delegasi ke KMB tidak termasuk Ir.
Soerachman. Namun Ir. Soerachman berpartisipasi hadir sebagai atas nama
pribadi. Ir. Soerachman dengan maskapai KLM tiba di Schiphol untuk melanjutkan
perjalanan ke konferensi KMB (De vrije pers : ochtendbulletin, 25-08-1949).
Tidak diketahui secara jelas mengapa Ir. Soerachman mengapa berangkat ke KMB
dengan atas nama pribadi.
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang
dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949
antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor
Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di
kepulauan Indonesia. Sebagaimana hasil Perjanjian Linggarjati (1947) dan Perjanjian
Renville (1948) yang ditolak oleh sebagian Republiken, setali tiga uang, hasil
KMB juga ditolak oleh sebagian para Republiken.
Satu yang terpenting dari hasil KMB adalah
penyerahan kedaualatan RI oleh Belanda yang dijadwalkan pada tanggal 27
Desember 1949. Pada periode waktu 2 Nover-27 Desember 1949 satu yang terpenting
adalah pendirian universitas republik di Djogjakarta yang diberi nama
Universitas Gadjah Mada.
Pihak-pihak yang pro KMB dan mematuhi isi perjanjian KMB
yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta kemudian membentuk
pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat). Pihak Republik yang pro KMB
tidak kembali ke Djogjakarta dan mulai menata pemerintahan RIS di Djakarta.
Sebaliknya yang kontra KMB berhijrah ke Djogjakarta dan kemudian membentuk
pemerintahan sendiri (Pemerintah RI). Ir. Soerachman yang pro KMB tidak kembali
ke Djogjakarta. Abdoel Hakim Harahap yang kontra KMB hijrah ke Djogjakarta.
Abdoel Hakim Harahap ikut membentuk pemerintahan RI di Djogjakarta sebagai Wakil
Perdana Menteri.
Sebagaimana para republiken terpecah (RIS vs
RI), eksistensi Badan Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) juga terpecah
(RIS vs RI). Ir. Soerachman diangkat untuk mempersiapkan perguruan tinggi di
Djakarta. Perguruan tinggi ini merupakan gabungan BPTRI dengan Universiteit van
Indonesie yang kemudian diberi nama Universiteit Indonesia. Ir. Soerachman
kemudian menjadi Presiden Universiteit Indonesia yang mulai melakukan
kegiatannya pada tanggal 2 Februari 1950.
Ir. Soerachman orang
Indonesia pertama sebagai insinyur (sarjana) teknik kimia lulus tahun 1920an. Sarjana
teknik kimia orang Indonesia kedua lulus tahun 1940an bernama AFP Siregar gelar
MO Parlindoengan. Berangkat studi ke Belanda dan memulai kuliah di Delf 1937
(lihat (lihat Delftsche courant, 11-09-1937). Setelah lulus dan meraih insinyur
teknik kimia di Delf, MO Parlindoengan kembali ke tanah air di era pendudukan
Jepang dan ditempatkan di industri persenjataan di Bandoeng). Ir. Soerachman dan
Ir. MO Parlndoengan yang sama-sama lulusan Teknik Kimia di Delf adalah dua
insinyur teknik kimia Indonesia yang ada. Saat ini ketika Ir. Soerachman
menjadi Presiden Universiteit Indonesia, MO Parlindoengan yang berpangkat
Overste (Letkol) yang menguasi teknologi bom produk Jepang, sepulang bergerilya
bertahun-tahun dalam perang kemerdekaan di Soerabaja dan Oost Java MO
Parlindoengan diangkat sebagai direktur Perusahaan Sendjata dan Mesioe di
Bandoeng (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,
21-07-1950). MO Parlindoengan bukan
orang baru, ketika sekutu/Inggris berseberangan dengan TRI di Bandoeng (awal
tahun 1946), Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap meminta Ir. AFP Siregar
untuk bergabung dengan TRI di divisi Siliwangi di bawah komando Kolonel Abdoel
Haris Nasution. Keahliannya dibutuhkan RI untuk menangani bom produk Jepang (MO
Parlindoengan kelak lebih dikenal sebagai penulis buku kontroversi Tuanku Rao).
Perusahaan strategis ini menjadi cikal bakal PT PINDAD yang sekarang. Sejak pasca
pengakuan kedaulatan RI inilah dua insinyur teknik kimia beda generasi ini
menginisiasi pembentukan Departemen Teknik Kimia di Fakultas Teknik,
Universiteit Indonesia di Bandoeng. Di era RIS, Ir. Soerachman di Djakarta dan
Overste Ir. MO Parlindoengan mendatangkan profesor dari Belanda yang diduga
guru mereka dulu di Delf yakni Prof. Dr. Ir. JPW Houtman. Lalu Prof. Houtman
diresmikan sebagai guru besar pertama teknik kimia di Universiteit Indonesia.
Setelah lebih dari lima tahun membangun departemen teknik kimia, pada tahun
1955 Prof. Dr. Ir. JPW Houtman kembali ke Belanda (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 22-10-1955). Disebutkan dalam perpisahan yang diselenggarakan asosiasi
Himatek himpunan mahasiswa di Teknologi Kimia di ruang besar di Teknik Kimia
hadir dosen, asisten dan mahasiswa di salah satu ruang besar di Fakultas Teknik.
Pidato pertama disampaikan oleh Simandjuntak dan Sunjoto yang masing-masing
ketua panitia dan ketua Himatek, lalu diikuti oleh Prof. dr. Soetomo
Wongsotjitro, sekretaris Senat Fakultas yang juga mewakili atas nama dekan
fakultas Prof. dr. Soetedjo (yang berhalangan). Kemudian berpidato Ketua
Departemen Teknologi Kimia Prof. dr. Dr. CO Schaeffer yang mengingatkan kembali
ketika memulai pekerjaannya tahun 1950 dengan merancang laboratorium di bagian
dari gedung Teknik Kesehatan, Departemen Kesehatan Masyarakat. Dikatakan Prof. Schaeffer
bahwa pembangunan laboratorium itu dilakukan oleh Prof. Houtman sebagai bagian yang
paling sulit dalam sejarah departemen ini sebagai bagian tidak terpisahkan dalam
proses pengajaran bagi insinyur kimia Indonesia pertama. Prof. Schaeffer
mengatakan bahwa Prof. dr. Houtman di dalam fase kehadirannnya di
departemen/fakultas tidak egois. pekerja keras dan tangguh serta ahli kimia
yang cemerlang, Juga berbicara Ir. JA. Bruin dan Ir. Tjiok Tiauw Kien, dosen di
Teknik Kimia. Akhinya Prof. Dr. Ir. JPW Houtman mengucapkan terimakasih
kepada yang telah hadir. Catatan: Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea,
seorang Djaksa di Padang Sidempoean (1885) memiliki dua anak laki-laki dan anak
perempuan: (1) Djamin Harahap gelar Baginda Soripada, seorang Djaksa di Sibolga adalah ayah dari Mr. Amir Sjarifoeddin
gelar Soetan Goenoeng Soaloon; (2) Hoemala Harahap gelar Mangaraja Hamonangan,
seorang guru di Padang Sidempoean adalah ayah dari Mr. Todoeng gelar Soetan
Goenoeng Moelia, Ph.D; (3). Salah satu anak perempuan Soetan Goenoeng Toea menikah
dengan Soetan Martoewa Radja, seorang guru di Sipirok alumni Kweekschool Padang
Sidempoean (1890). Soetan Martoewa Radja adalah ayah dari Ir. MO Parlindoengan. Kelak, Amir
Sjarifoeddin adalah Menteri Pertahanan dan kemudian Perdana Menteri; Soetan
Goenoeng Moelia adalah Menteri Pendidikan RI yang kedua (setelah Ki Hadjar
Dewantara); Last but not least: Salah satu anak Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D menikah dengan
putri dari Presiden Universiteit Indonesia, Ir. Soerachman. Dua insinyur teknik kimia pertama Indonesia ini kemudian
menjadi berkerabat melalui Soetan Goenoeng Moelia.
Pada dasarnya pendirian Universitas Indonesia
dan Universitas Gadjah Mada memiliki jalur yang berbeda. Universitas Indonesia
yang berada di Djakarta, sejarahnya dapat ditelusuri hingga jauh ke masa
lampau. Universitas Indonesia adalah sebuah garis continuum dari suatu
kebutuhan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah
Republik Indonesia. Dengan kata lain Universitas Indonesia yang sekarang dapat
ditelusuri hingga ke origin pada saat pendirian Dokter Djawa School pada tahun
1851.
Sejarah Universitas Gadjah Mada baru muncul setelah era
kemerdekaan Indonesia. Pendirian Universitas Gadjah Mada adalah respon terhadap
kebutuhan perguruan tinggi bagi Republik Indonesia yang secara defacto ibukota
RI telah dipindahkan ke Djogjakarta. Sedangkan Universitas Gadjah Mada hanya
dapat ditelusuri sejak tahun 1946 ketika didirikan perguruan tinggi Gadjah
Mada. Memang sekolah guru sudah berdiri di Soerakarta tahun 1850 tetapi tidak
pernah terhubung dengan Djogjakarta. Bahkan hingga tahun 1945 di Djogjakarta
belum pernah ada perguruan tinggi.
Dari sudut pandang masa kini pendirian
Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1949 dan pendirian Jajasan
Universitas Indonesia pada bulan Juli 1951 adalah titik awal perguruan tinggi
Republik Indonesia atau tepatnya titik awal Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Sebab sejak itulah terjadi penataan dua perguruan tinggi tersebut dilakukan
secara terencana dan sistematis. Kebetulan Presiden Universitas Gadjah Mada Dr.
Sardjito, Ph.D dan Presiden Universitas Indonesia Mr. Soepomo, Ph,D memiliki
kapasitas yang mumpuni untuk memimpin sebuah universitas; sama-sama generasi
pertama sarjana Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D).
Orang Indonesia pertama
yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913 di
Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934).
Desertasi Djajadiningrat berjudul ‘Critische beschouwingen van di Sadjarah
Banten’. Gelar doktor kedua diraih oleh Dr. Sarwono di bidang kedokteran pada
tahun 1919, lalu yang ketiga dan keempat adalah Mr. Gondokoesoemo dan RM
Koesoema Atmadja sama-sama di bidang hukum pada tahun 1922. Lalu yang kelima dan
keenam adalah Dr. Sardjito dan Dr. Mohamad Sjaaf sama-sama di bidang medis tahun
1923. Yang ketujuh adalah R Soegondo (hukum 1923).
Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 |
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Keutamaan Dr. Soepomo, Ph.D adalah orang
Indonesia kedua peraih gelar Ph.D dengan predikat Cum Laude. Ini suatu prestasi
sendiri pada masa itu. Meski bukan doktor Indonesia yang pertama, tetapi
prestasi Cum Laude tersebut telah mengangkat nama Dr. Soepomo, Ph.D sebagai
figur yang kerap diberitakan. Doktor Indonesia pertama adalah Husein
Djajadinigrat yang meraih gelar doktor tahun 1913 (bidang sastra) dengan
predikat Cum Laude. Doktor kedua adalah Dr. Sarwono meraih gelar doktor di
bidang medis pada tahun 1919. Doktor ketiga dan keempat adalah dua sarjana
hukum Gondokoesoemo dan Koesoema Atmadja yang sama-sama meraih gelar doktor
tahun 1922. Mr. Soepomo merupakan orang Indonesia ke-16 yang meraih gelar
doktor dan orang Indonesia ke-6 di bidang hukum.
Mr. Soepomo meraih gelar doktor di bidang hukum tahun
1927 di Universiteit Leiden relatif bersamaan waktunya dengan Dr. Achmad
Mochtar di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam dengan desertasi
berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’. Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D mengawali karir sebagai dokter dalam penelitian penyakit malaria bersama
Dr. Schuffner di afdeeling Padang Sidempoean sebelum melanjutkan studi ke
Belanda. Di era pendudukan Jepang Dr. Achmad Mochtar, Ph.D menjadi Direktur
Eijkman Instituut.
Soepomo memulai pendidikan tinggi di Recgts School di
Batavia. Pada tahun 1922 Soepomo naik dari kelas dua ke kelas tiga (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-05-1922), Pada tahun 1923 Soepomo lulus
ujian akhir dan berhak mendapat gelar ahli hukum (Bataviaasch nieuwsblad, 23-06-1923).
Lalu kemudian diangkat pemerintah ditempatkan di pengadilan Landraad Sragen.
Setahun kemudian muncul berita bahwa Soepomo akan melanjutkan studi ke Belanda
(De Indische courant, 30-07-1924). Soepomo berangkat tanggal 27 Agustus dari
Batavia menuju Amsterdam dengan kapal Princess Juliana (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1924). Kapal yang ditumpangi Soepomo berlabuh di
pelabuhan Amsterdam tanggal 28 September 1924 (Algemeen Handelsblad, 24-09-1924).
Selama di Belanda tidak pernah muncul nama Soepomo di publik. Boleh jadi Soepom
sangat intens belajar. Tiba-tiba muncul nama Soepomo tahun 1927 lulus doktor di
bidang hukum di Universiteit Leiden dengan prestasi Cum Laude (Algemeen
Handelsblad, 15-06-1927). Ini suatu prestasi sendiri karena Soepomo meraih
gelar sarjana hukum (MR) dan gelar doktor (Ph.D) dalam tenmpo singkat, kurang
dari tiga tahun, Mr. Soepomo, Ph,D tidak lama kemudian pulang ke tanah air
dengan kapal Jan P. Coen pada tanggal 30 Agustus 1927 dari pelabuhan Amsterdam
menuju Batavia (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-08-1927).
Di dalam manifes kapal namanya tercatat sebagai Mr. Dr. Soepomo (baca: Mr.
Soepomo, Ph.D).
Di Djogjakarta, Mr. Soepomo, Ph.D langsung
bekerja. Diantara waktunya, Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan mengisi kekosongan
sekretaris administrasi pusat asosiasi Boedi Oetomo, yang fungsinya sebelumnya
diisi oleh Adipoetranto (De Indische courant, 13-12-1927). Sebagai akademisi
yang berprestasi Mr. Soepomo, Ph.D mendapat hadiah Gadjamadaprijs dari Java
Instituut (Algemeen Handelsblad, 15-02-1928). Berapa besar nilai hadiah
tersebut tidak disebutkan. Namun hadiah tersebut dapat dianggap sebagai
penghargaan yang tinggi bagi seorang pribumi yang diberikan oleh kalangan
orang-orang Belanda. Sarjana-sarjana Belanda yang bekerja di Hindia Belanda,
disamping tugasnya seperti di pemerintahan mereka juga mendirikan
lembaga-lembaga kajian karena memiliki minat yang sama untuk mengumpulkan data,
menganalisis dan mendessiminasi untuk wilayah tertentu. Selain Java Instituut
juga diketahui keberadaan lembaga Batak Instituut, Minangkabaoe Instituut dan
Oostkust Sumatra Instituut.
Organisasi Boedi Oetomo didirikan tanggal 20 Mei
1908 di Batavia. Dalam kongres yang pertama bulan Oktober 1908 terpilih ketua
baru dan administrasi kantor pusat berkedudukan di Djogjakarta. Kantor pusat
Boedi Oetomo berpindah-pindah sesuai dengan dimana ketua terpilih berdomisili
atau bertugas tetap. Pada tahun 1927 kantor pusat berada di Djogjakarta.
Kehadiran Mr. Soepomo,
Ph.D di Beodi Oetomo dianggap penting karena Mr. Soepomo, Ph.D diharapkan dapat
memberikan perubahan besar di dalam organisasi besar Boedi Oetomo. Organisasi
Boedi Oetomo selama ini kerap diejek sebagai organisasi kedaerahan, eksklusif,
pro Belanda dan banyak mendapat dukungan dari pemerintah. Organisasi Boedi
Oetomo sebagai organisasi besar yang merasa tidak perlu untuk mendukung
organisasi nasional (baca: Indonesia) untuk mencapai cita-cita kemerdekaan
bersama. Bahkan di dalam kongres Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo muncul
suara-suara di forum ‘Boedi Oetomo tersebut yanga menyatakan bahwa Boedi Oetomo
menuntut kemerdekaan di Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar
Jawa’. Suara-suara ini sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo di
dalam kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut. Mr. Soepomo,
Ph.D adalah tonggak perubahan di Boedi Oetomo.
De locomotief: Samarangsch handels-blad, 21-08-1902 |
Pada tahun 1911 Soetomo lulus STOVIA dan
ditempatkan di Loeboek Pakam, Deli. Soetomo melihat penderitaan kuli asal Jawa
yang terikat kontrak yang sangat merugikan kuli. Setelah selesai bertugas di
Deli, Dr. Soetomo dipindahkan kembali ke Jawa. Di Batavia, Dr. Soetomo
melakukan orasi di Boedi Oetomo cabang Batavia yang dipimpin oleh Dr. Sardjito
dengan topik poenalie sanctie kuli kontrak di Deli. Dr. Soetomo dalam orasi
tersebut menggarisbawahi bahwa orang Jawa tidak (baca: Boedi Oetomo) tidak bisa
sendiri mengatasi persoalan kuli asal Jawa di Deli. Orang-orang di luar Jawa
terutama Batak dan Minahasa/Manado juga banyak yang terpelajar. Orasi Dr.
Soetomo, yang hampir empat tahun berada di Deli’ seakan di depan anggota Boedi
Oetomo ingin mengingatkan mengapa Soetan Casajangan pada tahun 1908 (beberapa
bulan setelah pendirian Boedi Oetomo) berisiatif mendidirikan Indisch
Vereeniging (Organisasi mahasiswa bersifat nasional, sementara Soetan
Casajangan hanya sendiri orang Batak sementara anggota Indisch Vereeniging yang
jumlahnya sekitar 20 mahasiswa yang sebagian besar berasal dari Jawa).
Pada tahun 1917 Parada Harahap, seorang krani
(karyawan admibnistrasi) di perkebunan Deli yang masih berumur 18 tahun melakukan
investigasi penyiksaan kuli di perkebunan dan lalu menulis laporan dan
mengirimkan ke surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan. Laporan itu
awalnya tidak menarik bagi editor, dan baru tahun 1918 laporan itu disarikan
dan ditulis ke dalam sejumlah artikel dan dimuat pada beberapa edisi. Berita
itu ternyata tidak menjadi perhatian di Medan, dianggap angin lalu karena di
Medan orang sudah sejak lama mendengar kabar burung adanya perlakukan para
planter terhadap para kuli yang tidak manusiawi. Surat kabar Soeara Djawa
beberapa bulan kemudian malansir artikel-artikel tersebut. Lalu setelah artikel
itu muncul di Jawa baru terjadi heboh. Atas hal itu, akhirnya Parada Harahap
dipecat sebagai krani. Lalu Parada Harahap hijrah ke Medan dan melamar sebagai
wartawan di Benih Mardeka tetapi justru posisi editor yang ditawarkan
kepadanya. Namun beberapa bulan sebagai editor, surat kabar Benih Mrdeka
dibreidel. Parada Harahap lalu pulang kampung di Padang Sidempoean mendirikan
surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka. Pada kongres Sumatranen Bond di
Padang tahun 1919 dan 1921 Parada Harahap adalah pimpinan delegasi dari
Tapanoeli. Di sinilah Parada Harahap bertemu Mohamad Hatta.
Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1922
setelah Sinar Merdeka dibreidel. Sebelumnya tahun 1921 Mohamad Hatta berangkat
studi ke Belanda. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang
Hindia, kemudian pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita
pribumi pertama yang diberi nama Alpena dengan merekrut WR Supratman sebagai
editor. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih
radikal yang diberi nama Bintang Timoer. Dalam tempo singkat Bintang Timoer
melejit sendiri dengan tiras paling tinggi. Pada saat inilah Ir. Soekarno yang
baru lulus THS dan menjadi anggota studiclub kerap mengirimkan tulisan ke
Bintang Timoer. Parada Harahap dan Soekarno yang sama-sama revolusioner menjadi
akrab dan saling mendukung. Lewat Parada Harahap, Soekarno kemudian lebih
mengenal Mohamad Hatta.
Pada tahun 1927 Parada Harahap, sekretaris
pusat Sumatranen Bond mengundang para pemimpin organisasi kebangsaan untuk
berkumpul di rumah Husein Djajadiningrat. Dalam petemuan ini disepakati
dibentuk organisasi para pemimpin organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan
Perjimpoenan-Perjimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI. Rapat tersebut
memutuskan MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris.
Langkah pertama adalah mendirikan kantor/gedung di gang Kenari (masih eksis
hingga sekarang). Program pertama adalah menyelenggarakan Kongres PPPKI
(senior) pada bulan September 1928 yang akan diintegrasikan dengan Kongres
Pemuda (junior). Dalam rapat pembentukan organisasi pemimpin ini turut hadir
Soetan Casajangan, Direktur Normaal School di Meester Cornelis. Organisasi yang
hadir dalam pertemuan ini antara lain selain Sumatranen Bond yang diwakili
Parada Harahap adalah Kaoem Betawi (diwakili MH Thamrin), Pasoendan, Boedi
Oetomo yang diwakili oleh Dr. Soetomo dan Perserikatan Nasional Indonesia yang
diwakili oleh Soekarno. Jelang konres PPPKI diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua
panitia kongres. Selanjutnya dalam kongres PPPKI yang pertama ini (27-9-1927)
diputuskan bahwa organisasi kebangsaan diarahkan bertransformasi menjadi
organisasi politik. Keputusan kongres yang lain adalah Dr. Soetomo terpilih
sebagai ketua PPPKI yang baru. Kongres berikutnya akan dilaksanakan tahun 1929
di Solo. Dr. Soetomo sendiri setelah cukup lama berdinas, dikirim pemerintah
studi ke Belanda tahun 1919 bersama Dr. Sardjito dan Dr. Mohamad Sjaaf. Setelah
berakhir kepengurusan Dahlan Abdoellah, Dr, Sotomo yang dipilih menjadi ketua
Indisch Vereeniging. Sejak itu nama Indisch Vereeniging diubah lebih radikal
dengan nama Indonesiasch Vereniging dan kemudian disempurnakan pada
kepengurusan Mohamad Hatta dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Pada tahun 1923
Dr. Soetomo kembali ke tanah air dan lalu kemudian mendirikan studieclub yang
pada tahun 1924 namanya disebut Indonesisch Studieclub. Pada tahun 1926
Soekarno dkk mendirikan klub studi yang meirip di Bandoeng.
Setelah kehadiran Mr. Soepomo, Ph,D di dalam
dewan pusat Boedi Oetomo, gaung nasionalis mulai muncul. Paling tidak di dalam
kongres Boedi Oetomo tahun 1928, salah satu keputusan yang boleh dianggap
penting yang ditempatkan pada butir pertama: ‘bergabung PPPKI, serikat
nasionalis (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928). Hasil keputusan
Kongres Boedi Oetomo ini secara resmi mengindikasi bahwa Boedi Oetomo bergabung
dengan PPPKI dalam pesatuan bangsa. Dengan kata lain, Boedi Oetomo telah
mengoreksi kembali visi misinya yang dianggap telah melenceng selama hampir dua
dasawarsa.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928 |
Kapasitas Mr. Soepomo, Ph.D sebagai ahli
hukum Cum Laude mulai dimaksimalkan oleh
Boedi Oetomo. Ini terlihat dari kemauan manajemen pusat yang telah membentuk
sebuah komite yang bertugas untuk fungsi redaksi sebagai organ Boedi Oetomo (De
Indische courant, 07-03-1928) Komite ini terdiri dari tiga anggota: Mr. R. Soepomo,
R. Soepadmo dan RT Nitinegoro. Boleh jadi komite itu dipandang strategis karena
hasil keputusan kongres memutuskan adanya perubahan pasal-pasal dalam statuta
organisasi Boedi Oetomo.
De Indische courant, 11-04-1928 |
Pada tanggal 9 April 1928 Boedi Oetomo
melakukan rapat umum di Solo. Sebelum rapat umum digelar, telah dilakukan
perubahan pasal-pasal pada Anggaran Dasar Boedi Oetomo (De Indische courant, 11-04-1928).
Yang terpenting dalam perubahan pasal itu adalah tujuan Boedi Oetomo untuk
mewujudkan persatuan Indonesia, bukan lagi hanya sebatas persatuan di Jawa,
Madura, Bali dan Lombok. Penggunaan nama Indonesia sudah dimasukkan dalam
statuta. Perubahan pasal-pasal ini tentu saja diumumkan pada ramat umum
tersebut. Dalam rapat umum di Solo ini juga hadir perwakilan dari Soerabaja
Studieclub, PNI dan PSI. Pada hari kedua kemudian dilakukan pemilihan dewan
pusat. Ketua terpilih adalah incumbent Koesoemo Oetojo. Posisi Mr. Soepomo,
Ph.D adalah komisaris. Disebutkan Mr. Soepomo, Ph.D sebagai Ketua Pengadilan
Landraad di Djogjakarta. Untuk kantor pusat berkedudukan di Solo.
Tiga Revolusione Indonesiar |
Mr. Soepomo, Ph.D diantara perjalanan
karirnya sebagai ahli hukum dan di dalam aktvitasnya di bidang politik,
akhirnya melepas masa lajangnya. Mr.
Soepomo, Ph.D, ketua pengadilan Landraad Djogjakarta menikah dengan putri
Pangeran Ario Mataram yang bernama RA Koes Hartati (Soerabaijasch handelsblad, 22-01-1929).
Acara pernikahan dilakukan dengan adat Djawa kuno.
Mr. Soepomo, Ph.D mulai terendus oleh pihak Belanda
sebagai seseorang yang memiliki karakter yang cenderung non cooperative. Mr.
Soepomo, Ph.D diduga figur yang memiliki kedekatan dengan PNI. Mr. Soepomo,
Ph.D yang cenderung berjiwa nasionalis (Soerabaijasch handelsblad, 06-11-1929).
Anggapan yang muncul ini dapat dikaitkan ketika Mr. Soepomo, Ph.D memberikan
kuliah pada kursus yang diselenggarakan Perkoempoelan Poetri Indonesia,
organisasi kaum perempuan PNI (De Indische courant, 08-05-1928). Disebutkan
kursus itu diberikan dalam bahasa Melayu, karena bahasa resmi PNI adalah bahasa
Melayu (baca: bahasa Indonesia).
Pada akhir tahun 1929 dilakukan Kongres PPPKI
di Solo (De Sumatra post, 04-01-1930). Kongres ini diintegrasikan dengan
Kongres Boedi Oetomo (ke-20). Situasi ini mirip dengan tahun 1928 yang mana
Kongres PPPKI diintegrasikan dengan Kongres Pemuda. Hal ini dimungkinkan karena
Boedi Oetomo telah bergabung dengan PPPKI (lihat kembali Nieuwe Rotterdamsche
Courant, 15-02-1928).
Pada tahun 1928 ketua panitia Kongres PPPKI di Batavia
adalah Dr. Soetomo di bawah kepengurusan Ketua MH Thamrin dan Sekretaris Parada
Harahap. Pada kongres kedua PPPKI di Solo, ketua PPPKI adalah Dr. Soetomo dan
sekretaris Ir. Anwari. Dua kongres dilakukan sangat berdekatan: tiga hari
pertama Kongres Boedi Oetomo dan tiga hari kedua Kongres PPPKI. Oleh karenanya
ada peserta yang hadir untuk kedua kongres ini dan juga ada yang hadir untuk
salah satu kongres saja. Pada hari kedua Kongres Boedi Oetomo turut hadi MH
Thamrin dan Parada Harahap (Bintang Timoer). Pembicara utama di dalam Kongres
Boedi Oetomo adalah Dr, Radjiman dan Mr. Soepomo, Ph.D. Dari 38 buah cabang
Boedi Oetomo, 12 cabang tidak hadir. Mr. Soepomo, Ph.D memaparkan reformasi
manajemen Boedi Oetomo dan perihal desentralisasi dan hubungan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Hari kedua berbicara Dr. Radjiman yang meminta
izin dengan bahasa Jawa. Dr. Radjiman berbicara tentang hal material dan
spiritual orang Jawa dan perbabndingan Timur dan Barat. Sebagai sumber umum
disebutnya Bintang Timoer, Indisch Courant dan Volkslectuur. Dalam forum debat
Poerbatjaraka juga ikut mendukung Dr. Radjiman yang menyatakan bahwa Boedi Oetomo
bekerja dengan hati-hati dan sabar, dan akan tiba waktunya..untuk bersatu.
Selanjutnya, dalam Kongres PPPKI terkesan lebih radikal. Pembicara utama adalah
Ir. Soekarno. Peserta sangat banyak bahkan ketua panitia meminta maaf karena
banyak yang tidak tertampung di dalam. Pembicara pertama adalah Ketua Dr.
Soetomo yang memulai pembahasan mengenai para pejabat kurang berani mandiri
seperti di masa lalu. Para pejabat juga perlu memperhatikan pihak lain pada
tingkat yang lebih besar.Dr. Soetomo juga memaparkan tentang perdagangan sangat
menyedihkan sementara investasi asing makin besar. Dr. Soetomo mengutip
Multatuli dan perlunya perlindungan bagi para pekerja kecil. Pembicara kedua
adalah MH Thamrin. Juga surat-surat dan telegram dibacakan oleh sekretaris
Anwari. Pembicara berikutnya adalag Ir. Soekarno yang mengatakan lebih banyak
tentang kondisi di Indonesia. (Tepuk tangan.). Ir. Sukarno memulai dengan
mengungkapkan harapan bahwa kaum tani, yang sekarang dipersatukan dalam
persatuan Tani (organisasi petani), akan segera memiliki kekuatan di tangan
mereka untuk menghancurkan kapitalisme secara menyeluruh. Tani, yang sebelumnya
berada dalam kondisi yang menyedihkan, kini semakin memburuk oleh pertumbuhan
modal asing yang melanjutkan eksploitasi dengan mengorbankan petani di negara
yang sama. kritik terhadap industri gula yang memenuhi
syarat sebagai racun berat bagi petani. mengajak semua orang yang dapat
membantu membuat serikat tani, dan tentu saja dengan harapan bahwa Indonesia
merdeka, 'Indonesia Merdika akan segera datang'. (Tepuk tangan).
Beberapa waktu setelah Kongres Boedi Oetomo
di Solo, Mr. Soepomo, Ph.D berangkat ke Belanda (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1930). Mr. Soepomo, Ph.D
berangkat dari Batavia tanggal 23 April dengan kapal Sibajak. Di dalam manifes
kapal Mr. Soepomo, Ph.D bersama istri. Tidak diketahui secara jelas tujuan
keberangkatan Mr. Soepomo, Ph.D ke Belanda apakah cuti bulan madu atau
kunjungan kerja sebagai ahli hukum atau pegawai pemerintah sebagai ketua pengadilan
Landraad di Djogjakarta. Sementara Mr. Soepomo, Ph.D ke Belanda, di tanah air
nama Mr. Soepomo, Ph.D muncul sebagai kandidat di Midden Java dan Oost Java
untuk Volksraad (Bataviaasch nieuwsblad, 28-05-1930).
Sepulang dari Belanda, Mr. Soepomo, Ph.D diangkat
pemerintah Departmen Kehakiman terhitung mulai berlaku 10 Nov. 1930 untuk tugas
untuk penelitian hukum hak-hak penduduk pribumi (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 01-10-1930). Tugas semacam ini pernah diberikan kepada Mr.
Husein Djajadinigrat, Ph.D dalam penyelidikan bahasa dan adat istiadat pribumi.
Terkait dengan topik ini, Mr. Soepomo, Ph.D pernah mengajukan pertanyaan kepada
salah satu pembicara dalam Kongres Kehakiman tahun sebelumnya.
Mr. Soepomo, Ph.D kemudian menarik
pencalonannya untuk kandidat Volksraad sehubungan dengan tugas baru ini (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-01-1931).
Mr. Soepomo, Ph.D dari ketua pengadilan Landraad Djogjakarta ditugaskan untuk
kegiatan yang bersifat akademik ini dan menolak untuk peluang menjadi anggota
Volksraad. Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan telah mengucapkan terimakasih atas
pencalonannya sehubungan dengan penugasan Pemerintah untuk pemeriksaan hukum
adat (De Sumatra post, 02-01-1931). Disebutkan bahwa Mr. Dr. Soepomo menempati urutan
ketiga dalam daftar calon Boedi Oetomo untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Mr. Soepomo, Ph.D diberitakan kembali dari Belanda ke
tanah air. Ini terindikasi dari daftar manifes kapal Christiaan Huygens dari Amsterdam
tanggal 10 Februari 1931 (De Sumatra post, 09-03-1931). Disebutkan R. Soepomo
dan istri. Ini dengan sendirinya menjawab bahwa Mr. Soepomo, Ph.D berangkat ke
Belanda dalam rangka tugas penelitian hukum tersebut.
Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1931 kembali
hadir Mr. Soepomo, Ph.D sebagai bagian dari dewan pusat yang berbasis di
Djogjakarta. Namun, tempat kongres dilakukan bukan di Jawa tetapi di Batavia.
Ini boleh dibilang kongres partama Boedi Oetomo di luar wilayah Jawa. Kongres
pertama diadakan di Djogjakarta pada tahun 1908. Kongres ke-21 yang berlangsung
tiga hari (Jumat sd Minggu) diadakan di Gedung Permoefakatan (PPPKI) di Gang
Kenari. Salemba (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1931). Dua
keputusan yang penting dalam rapat tertutup adalah usulan Boedi Oetomo cabang
(afdeeling) Jacatra (baca: Batavia) untuk mengubah statuta dalam arti bahwa
dalam lebih lanjut bahwa Boedi Oetomo untuk seluruh rakyat Indonesia diterima
oleh mayoritas besar, sedangkan usulan dari Afdeeling Sragen agar Boedi Oetomo merger
dengan partai politik lainnya juga diadopsi.
Mengapa Afdeeling
Batavia mengusulkan vsi Boedi Oetomo harus untuk seluruh rakyat Indonesia dan
Afdeeling Sragen menginginkan Boedi Oetomo merger dengan partai politik lain?
Boleh jadi itu karena faktor Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo. Ini dapat dikaitkan
setelah lulus tahun 1923 Soepomo di Rechts School Batavia kemudian diangkat
pemerintah ditempatkan di pengadilan Landraad Sragen. Setahun kemudian Soepomo melanjutkan
studi ke Belanda dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum tahun
1927 dan kembali ke tanah air sebagai ketua pengadilan Landraad di Djogjokarta.
Sementara itu, Dr. Sardjito setelah lulus STOVIA bersama Dr. Soetomo tahun 1919
melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Pada tahun 1923 Dr. Soetomo pulang ke
tanah air dan ditempatkan di rumah sakit Soerabaja; sedangkan Dr. Sardjito,
Ph.D juga pulang ke tanah air dan ditempatkan di rumah sakit Batavia. Pada
tahun 1924 Dr. Soetomo mendirikan studieclub Indonesiasch di Soerabaja dan pada
tahun 1925 Dr. Sardjito, Ph.D menjadi ketua Boedi Oetomo Afdeeling Batavia dan
juga terpilih menjadi anggiota dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Tiga tokoh
inilah yang telah memberi pengaruh besar dalam perubahan mindset anggota Boedi
Oetomo di berbagai kota (Soerabaja, Batavia dan Djogjakarta). Jauh sebelumnya
di Padang, pada tahun 1900 oleh Dja Endar Moeda telah mendirikan organisasi nasional Medan Perdamaian. Organ Medan Perdamaian adalah surat kabar
Pertja Barat (milik Dja Endar Moeda). Motto surat kabar Pertja Barat adalah ‘Ontoek
Segala Bangsa’ (artinya untuk seluruh suku bangsa Indonesia). Pada tahun 1909
Dja Endar Moeda juga mendirikan surat kabar Pewarta Deli di Medan. Mottonya
persis sama dengan Pertja Barat yakni “Oentok Seegala Bangsa’. Hal yang sama di
Belanda, Indisch Vereeniging didirikan oleh Soetan Casajangan tahun 1908 dengan
motto persatuan nasional. Radjieon Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang
Sidempoean. Lalu pada tahun 1927 Parada Harahap menggagas persatuan nasional
melalui pembentukan organisasi gabungan organisasi kebangsaan yang kemudian
dikenal PPPKI. Serba kebetulan: Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan dan Parada
Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Satu marga pula: Harahap.
Ini suatu kemajuan baru. Dalam kongres yang
diadakan tahun 1928 di Djogja keputusan yang penting adalah Boedi Oetomo
bergabung dengan PPPKI (sebagai federasi perhimpuan nasionalis). Lalu kemudian
pada rapat umum masih tahun 1928 pasal-2 telah diubah menjadi ‘Tujuan Boedi
Oetomo bekerja melakukan pengembangan harmonis negara dan orang-orang dari
Jawa, Madura, Bali dan Lombok untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Dalam pasal
ini hanya mengindikasikan untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Usulan Batavia
yang sekarang (1931) adalah agar tujuan itu dinyatakan mencakup seluruh rakyat
Indonesia—bukan lagi rakyat di Jawa, Madura, Bali dan Lombok tetapi juga
termasuk rakyat di Oostkust Sumatra dan Tapanoeli.
Di Tapanoeli sudah sejak lama ada kantong-kantong
komunitas Jawa, eks tentara yang tidak kembali lagi ke Jawa (seusai Perang
Bondjo, 1837 dan Perang Pertibie, 1838). Komunitas Jawa semakin banyak di
Tapanoeli yang selain eks tentara juga para migran baru sehubungan dengan
pengembangan perkebunan di Residentie Tapanoeli apakah yang langsung
didatangkan dari Jawa atau eks pekerja perkebunan yang pindah dari Oostkust
Sumatra. Hal yang mirip poenalie sacntie juga terjadi di perkebunan-perkebunan
asing di Tapanoeli. Parada Harahap telah melihat itu lebih awal sehingga muncul
gagasan Parada Harahap umtuk lebih mempersatukan seluruh Indonesia melalui
organisasi-organisasi kebangsaan yang kemudian terbentuk PPPKI. Beberapa tahun sebelumnya,
Dr. Soetomo ketika ditugaskan sebagai dokter di Tandjong Morawa Deli
(1911-1914) sudah melihat dampak negatif dari kontrak-kontrak kuli asal Jawa di
perkebunan Deli. Ketika Dr. Soetomo kembali ke Jawa pada tahun 1914 sempat
memberikan pidato umum di Boedi Oetomo Afdeeling Batavia tentang pengalaman dan
soal kontrak kuli di Deli. Dalam rapat umum itu Dr. Soetomo mengatakan orang
Jawa tidak bisa sendiri mengatasi persoalannnya sendiri, orang luas Jawa
terutama orang Batak juga sudah banyak yang terpelajar (baca: berpendidikan
tinggi). Sepulang dari Deli inilah jiwa nasionalis Dr. Soetomo tumbuh. Lalu
kemudian terbukti benar ucapan Dr. Soetomo itu, karena pada tahun 1917-1918
Parada Harahap seorang krani (karyawan administrasi) di perkebunan di Deli
membongkar kasus penyiksaan kuli di perkebunan dan mengirimkan laporan tersebut
ke surat kabar yang terbit di Medan. Artikel-artikel yang dimuat di Benih
Mardeka dilansir surat kabar Soeara Djawa di Soerabaja. Lalu heboh di Jawa.
Pada rapat umum yang diadakan Sabtu di
Gedoeng Permoefakatan cukup banyak yang hadir dari luar Boedi Oetomo. Yang
turut hadir antara lain anggota Volksraad, MH Thamrin, sejumlah anggota dewan
kota Batavia (tentu saja Dr. Sardjito diantaranya), dan dua anggota dewan kota
Soerabaja Mr. Lengkong dan Dr. Radjamin Nasution. Dua tokoh yang terakhir ini
bukan mewakili organisasi kebangsaan tetapi (tampaknya mewakili partai Partai
Bangsa Indonesia). Dr. Radjamin Nasution, sejauh ini, tidak pernah terdeteksi
sebagai anggota Sumatranen Bond maupun Bataksch
Bond.
Dr. Radjamin Nasution
lulus STOVIA tahun 1912 (setahun setelah Dr. Soetomo). Dr. Radjamin
Nasution juga pernah bertugas di Medan (1920an) sebagaimana Dr. Soetomo di
Loebok Pakam pada tahun 1911-1914. Dr. Radjamin Nasution terbilang sahabat
dekat sejak kuliah dengan Dr. Soetomo. Dr. Radjamin Nasution yang kembali
bertugas di Batavia diminta Parada Harahap untuk merangkul Dr. Soetomo dari
studiclub Soerabaja (bukan mewakili Boedi Oetomo) untuk ikut bergabung dalam
pembentukan PPPKI tahun 1927. Lalu
kemudian pada tahun 1929 Dr. Radjamin Nasution (pejabat Bea dan Cukai bidang
kesehatan) dipindahkan ke Soerabaja. Setahun kemudian Mr. Lengkong dan Dr.
Radjamin Nasution membentuk sarikat kerja pelabuhan (Tandjong Perak). Pada
tahun 1930 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution dkk mendirikan partai Partai
Bangsa Indonesia. Dalam pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja Dr.
Radjamin Nasution yang diusulkan oleh Dr. Soetomo. Akhirnya Dr. Radjamin
Nasution menjadi anggota dewan kota Soerabaja.
Pada rapat umum yang diadakan Minggu di
Gedoeng Permoefakatan beberapa pembicara naik ke panggung. Perwakilan mahasiswa
dari PI Belanda pada intinya mengingatkan agar Boedi Oetomo tidak membawa
perjuangan untuk Status Dominion (Belanda) dalam programnya. Perwakilan PPPI
(Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia) di Batavia pada initinya menyatakan untuk
kemerdekaan penuh dan tidak ada Status Dominion (suara gemuruh bersorak di
dalam ruangan). Tidak hanya itu, juga Sanoesi Pane tampil di panggung sebagai
pembicara utama. Sanusi Pane berbicara di podium tiga jam. Topik yang dibawakan
tentang ‘British India’. Sanusi Pane cukup lama di India, yang menjadi wilayah
jajahan Inggris. Topik ini menjadi perbandingan dengan yang dialami rakyat
Indonesia yang dijajah Belanda. Para hadirin terus mengikutinya dengan beberapa
kali tepuk tangan. Sanusi Pane mengatakan ‘Pemerintah juga tidak akan (terus) berusaha
menghambat gerakan dengan segala macam artikel hukum’ yang lalu disambut tepuk
tangan.
Boedi Oetomo yang melakukan kongres di Batavia tampak ‘babak
belur’ diserang oleh pihak-pihak lain (PI, PPPI). Sanusi Pane tampak lebih
sopan dengan hanya memberikan suatu perbandingan apa yang di India (Inggris) dan
apa yang di Indonesia (Belanda). Sanusi Pane ingin memicu dan memacu kesadaran
para anggota Boedi Oetomo yang mana sebagian besar anggota Boedi Oetomo
menginginkan status dominion (bukan kemerdekaan penuh). Lalu pembicara terakhir
naik panggung Hadji Agoes Salim menekankan bahwa prinsip-prinsip Boedi Oetomo dihormati.
Namun, Status Dominion tidak masuk akal untuk negara ini (baca: Indonesia),
karena Status Dominion hanya diberikan kepada ras kulit putih. Hal ini dapat
dilihat di Kanada, Australia dan Afrika Selatan, dimana mereka memberi status
Domion, bukan penduduk asli, sehingga ‘orang kulit berwarna’ itu bagian daerah,
padahal mereka hanya ‘minoritas’ yang merupakan ‘ras kulit putih’. Kaum non-cooperative
telah belajar di India bahwa bahkan Inggris yang berkuasa kini telah meminta
Gandhi untuk berpartisipasi dalam konferensi meja bundar. Ini adalah hasil dari
gerakan yang kuat secara non-cooperative. Hadjie Salim kembali menegaskan apa
pun dari ‘setengah kebebasan’ sebagai Status Dominion, orang-orang di sini (baca:
Indonesia) menuntut kebebasan penuh (tepuk tangan bergemuru).
Dalam kongres Boedi
Oetomo ini yang kali pertama diadakan di Batavia ini terkesan diskenariokan
oleh tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang nasionalis. Jika diingat kembali ketika Dr.
Soetomo keluar dari Boedi Oetomo tahun 1924 dan Ir. Soekarno pada akhir tahun
1927 menyarankan agar Boedi Oetomo untuk ikut dalam barisan perjuangan
Indonesia itu ternyata tidak cukup (hingga tahun 1931 ini). Para nasionalis
Boedi Oetomo, seperti Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D diduga berada di
balik skenario ini. Mereka yang nasionalis ini sengaja mengadakan kongres Boedi
Oetomo di Batavia dan mengundang berbagai pihak untuk bicara. Dengan demikian,
anggota Boedi Oetomo yang cooperative (dengan Belanda) dan menginginkan Status
Dominion akan mendapat pelajaran dari para ‘tetangga’ yang sengaja diundang
untuk berbicara dalam ‘hajatan’ Boedi Oetomo. Dengan kata lain Dr. Soetomo, Ir.
Soekarno saja tidak cukup menyadarkan sebagian anggota Boedi Oetomo yang kukuh
dengan prinsipnya, apalagi Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D. Karena
itu, perlu diundang tetangga, seperti PI, PPPI, Bataksch Bond (Sanoesi Pane)
dan SI (Hadji Agoes Salim). Skenario ini tampaknya berhasil.
Setelah sesi debat, akhirnya kongres ditutup pada pukul 1
siang, Ketua Boedi Oetomo Koesoemo Oetoyo menutup yang menyimpulkan bahwa Boedi
Oetomo tidak menyatakan dirinya mendukung Status Dominion. Ini akan diuji oleh
Dewan Eksekutif yang baru. Kongres telah memilih dewan baru Boedi Oetomo. Dewan
baru ini hampir semua anggota bekas dewan pusat dipilih kembali, sehingga dewan
yang sekarang adalah sebagai berikut: Ketua RMA. Koesoemo Oetoyo (anggota Volksraad),
Wakil Ketua RM Woerjaningrat; Sekretaris-1 RP Singgih, Sekretaris-2 RM.Soetedjo;
Bendahara Pinandjojo dan Komisaris terdiri dari: Wongsonegoro, Mr.
Sastromoeljono, Soekardjo dan RM Margono. Kongres Boedi Oetomo berikutnya akan diadakan
di Semarang.
Dalam kepengurusan Boedi Oetomo yang baru ini
tidak ada nama Mr. Soepomo, Ph,D lagi. Boleh jadi Mr. Soepomo, Ph,D tidak
bersedia dicalonkan karena kesibukan. Saat ini Mr. Soepomo, Ph,D tengah
menyelesaikan penelitiannya tentang hukum pribumi. Penelitian ini tidak kalah
penting dibandingkan dengan misi perjuangan yang baru Boedi Oetomo berjuang
untuk rakyat Indonesia. Penelitian Mr. Soepomo, Ph,D ini merupakan hal yang
esensial dalam hak-hak rakyat Indonesia. Tidak hanya menolak aktif di Boedi
Oetomo, Mr. Soepomo, Ph,D juga menolak untuk kandidat nomor jadi untuk
Volksraad. Penelitian Mr. Soepomo, Ph,D adalah taruhan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mr. Soepomo, Ph,D
akhirnya menjadi ayah. Anaknya telah lahir yang diberi nama RA Siti
Naidini yang diumumkan lewat iklan (Bataviaasch nieuwsblad. 04-05-1931). Di
dalam iklan tersebut disebutkan Raden Mr. Soepomo en Raden Ajoe beralamat
Batavia Centrum kelahiran putri yang diberi nama Raden Ajoe Siti Naidini. Mr.
Soepomo, Ph.D sendiri menikah dengan putri Pangeran Ario Mataram yang bernama
RA Koes Hartati (lihat Soerabaijasch handelsblad, 22-01-1929). Mr. Soepomo,
Ph,D dari kunjungan bersama istri ke Belanda tiba kembali di tanah air awal
Maret 1931 (lihat De Sumatra post, 09-03-1931). Ini berarti istri Mr. Soepomo,
Ph,D selama di kapal (yang lamanya
sebulan) dalam kondisi hamil.
Mr. Soepomo, Ph,D dalam penelitiannya
diberitakan juga dilakukan pengumpulan data di Soekaboemi (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie. 07-08-1931). Pengumpulan data dilakukan di
Soekaradja dan Plaboehan Ratoe. Dalam pengumpulan data hukum adat ini
disebutkan Mr. Soepomo, Ph,D dan Mr. Tirta dari Rechts Hoogeschool di Batavia
Centrum. Dari berita ini tidak diketahui secara jelas apakah Mr. Soepomo, Ph,D
telah menjadi dosen di Rechts Hoogeschool dan Mr. Tirta adalah asisten dosen.
Rechts School didirikan pada tahun 1907. Masa perkuliahan
awalnya tiga tahun kemudian enjadi lima tahun. Mr. Soepomo, Ph,D adalah salah
satu alumni Rechts School lima tahun, masuk 1918 dan lulus 1923. Soepomo tahun
1924 melanjutkan studi ke Belanda dan kemudian meraih gelar doktor (Ph.D) pada
tahun 1927. Pada tahun 1924 Rechts School ditingkatkan menjadi Rechts
Hoogeschool (siswa diterima yang semula lulusan Mulo menjadi lulusan HBS/AMS. Beberapa
mahasiswa terkenal di Rechts Hoogeschool adalah Soegorndo, Mohamad Jamin dan
Amir Sajrifoeddin Harahap yang menjadi pilar komite Kongres Pemuda 1928.
Mahasiswa termuda adalah Amir Sjarifoeddin yang masuk tahun 1927 (menyelesaikan
pendidikan sekolah menengah, setingkat SMP dan SMA di Harleem, Belanda). Pada
tahun ini (1931) Amir Sjarifoeddin belum lulus. Dosen terkenal di sekolah hukum
ini adalah Prof. Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D orang Indonesia pertama yang
meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1913 di Belanda. Mr. Husein
Djajadiningrat, Ph.D diangkat menjadi profeseor (dosen) di sekolah hukum ini
tahun 1924 dan kemudian Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D sejak 1929 diangkat
menjadi dekan (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 13-08-1929). Mr. Husein
Djajadiningrat, Ph.D adalah profesor pertama Indonesia dan dekan pertama
Indonesia.
Mr. Soepomo, Ph,D kembali bepartisipasi dalam
Kongres Boedi Oetomo tahun 1932 di Solo (Soerabaijasch handelsblad, 18-05-1932).
Penyelenggaraan di Solo tidak seperti yang telah diputuskan dalam Kongres Boedi
Oetomo tahun 1931. Hasil yang penting dari kongres ini adalah untuk mencari
merger Boedi Oetomo dengan serikat lain. Untuk itu telah dibentuk komite, yang
terdiri dari Mr. Wongsonegoro, Mr. Dr. Soepomo dan Mr. Abdoel Rachman.
Hasil penelitian tentang hukum adat oleh Mr. Soepomo,
Ph,D akhirnya diumumkan (De Sumatra post, 24-05-1932). Kesimpulan utama adalah
bahwa hukum adat masih berlakuk di wilayah West Java. Hasil penelitian Hukum
Adat di West Java ini akan disatukan dengan seluruh Hindia Belanda sebagai panduan
untuk masalah adat untuk kepentingan pengadilan yang selama ini belum tersedia.
Sementara itu, dengan pemahaman soal hukum adat telah menjadi topik yang kerap
dibicarakan oleh Mr. Soepomo, Ph,D. Ini terlihat dalam suatu kongres Perserikatan
Perkoempoelan Istri Indonesia ke-4 di Djogjakarta, Mr. Soepomo, Ph,D hadir
sebagai pembicara dengan tema Perempuan di dalam Hukum Adat (de vrouw In het
adatrecht) (Bataviaasch nieuwsblad, 05-05-1933). Laporan Hukum Adat di West
Java hasil penelitian Mr. Soepomo, Ph,D telah dibukukan dan dicetak oleh
Departemen Kehakiman (Bataviaasch nieuwsblad, 04-05-1934)
Mr. Soepomo, Ph,D kembali dicalonkan untuk
kandidat Volksraad (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
20-06-1934). Yang mencalonkan adalah Boedi Oetomo afdeeling Batavia untuk
wilayah pemilihan Midden Java. Pencalonan ini merupakan bagian dari nama-nama
yang diusulkan Batavia ke kongres/konferensi Boedi Oetomo. Namun hasil kongres/konferensi
yang diadakan di Solo pada tanggal 25
Juni berkata lain. Mr. Soepomo, Ph.D tidak termasuk yang dicalonkan. Tiga
kandidat Boedi Oetomo untuk Volksraad adalah MH Thamrin untuk dapil West Java,
untuk dapil Midden Java adalah RMA Koesoemo Oetoyo (ketua Boedi Oetomo) dan
untuk dapil Oost Java adalah Soekardjo (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 25-06-1934).
Satu hal yang penting dari kongres/konferensi
ini muncul protes terhadap komposisi delegasi perdagangan Nederland
(Nederlandsche handelsdelegatie) dengan Jepang yang tidak sempurna, dan bahwa
komposisi itu menurut ketua Boedi Oetomo tidak menawarkan jaminan bagi
representasi kepentingan pribumi. Ketua juga menyatakan penyesalannya bahwa
tidak ada orang pribumi yang ditunjuk untuk delegasi itu. Padahal para
revolusioner Indonesialah yang merintis jalan kerjasama dengan Jepang ketika
pada bulan November 1933 Parada Harahap memimpin tujuh orang pertama
revolusioner Indonesia ke Jepang (termasuk di dalamnya Drs Mohamad Hatta dan
Mr. Samsi Sastrawidagdam Ph.D. Para revolusioner ini berangkat ke Jepang karena
kemarahan para revolusioner sudah pada puncaknya terhadap pemerintah Belanda.
Itu bermula pembreidelan semua surat kabar yang bersifat radikal (antara lain Bintang
Timoer organ tak resmi dari PPPKI, Soeloeh Indonesia organ Partai Nasional
Indonesia, Soera Oemoem organ Partai Bangsa Indonesia, Daulat Ra’jat organ
Pendidikan Nasional Indonesia). Setelah itu Ir. Soekarno dan kawan-kawan ditangkap.
Itulah alasan mengapa Parada Harahap memimpin tujuh revousioner ke Jepang. Pada
hari yang sama setiba di tanah air di Soerabaja dari Jepang, Ir. Soekarno
diberangkatkan ke pengasingan ke Flores. Tidak hanya itu, tidak lama setelah
Parada Harahap dan Mohamad Hatta di Batavia lalu ditangkap. Namun berhasil
bebas karena kesaksian konsulat Jepang di pengadilan. Akan tetapi bebera minggu
kemudian Mohamad Hatta terkait dengan tulisan di Daulat Ra;jat sebelum ke
Jepang kemudian Mohamad Hatta dan kawan-kawan di dewan pusat Pendidikan Nasional
Indonesia ditangkap dan kini (saat kongres/konferensi) tenga berada di tahanan.
Ada rumor Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir akan segera diasingkan ke Digoel.
Pada tanggal yang bersamaan dengan
kongres/konferensi Boedi Oetomo di Solo ini juga terjadi pertemuan terpisah
para pemimpin media pribumi. Hasil keputusan pertemuan para pemimpin media ini
adalah terbentuknya Sarikat media pribumi
(semacam Sarikat Penerbit Suratkabar/SPS pada masa ini). Dewan terdiri
dari Dr. Soetomo dari Soeara Oemoem sebagai ketua, Saeroen
dari Pemandangan dan Parada Harahap dari Bintang Timoer sebagai komisaris
(Soerabaijasch handelsblad, 26-06-1934).
Dr. Soetomo dan Parada Harahap adalah dua
tokoh revolusiner yang sama-sama peduli dengan kasus poenalie sanctie di Deli.
Dr. Soetomo pernah bertugas di Deli selama tiga tahun 1911-1914 dan melihat
pendirian para kuli asal Jawa. Beberpa tahun kemudian pada tahun 1917 Parada
Harahap seorang krani perkebunan melakukan investigasi tentang rumor penyiksaan
kuli. Laporannya dikirimkan ke surat kabar Benih Mardeka di Medan. Laporan itu
baru dirilis pada tahun 1918 dalam sejumlah artikel. Beberapa bulan kemudian
surat kabar Soeara Djawa melansir artikel tersebut dan kemudian menjadi heboh
di Djawa. Surat kabar Soera Djawa kemudian diakuisi dan berganti nama menjadi
Soeara Oemoem ketika Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mendirikan Partai
Bangsa Indonesia (PBI). Surat kabar
Soeara Oemoem pimpinan Dr. Soetomo adalah organ PBI. Kini (1934) Dr. Soetomo
dan Parada Harahap menjadi motor sarikat surat kabar pribumi. Beberapa tahun
sebelumnya Parada Harahap dan Dr. Soetomo menjadi motor PPPKI. Saat itu Parada
Harahap sebagai sekretaris PPPKI dan pada Kongres PPPKI tahun 1928 yang menjadi
ketua panitia adalah Dr. Soetomo. Satu hal lagi jelang Kongres PPPKI (senior)
dan Kongres Pemuda (junior) pada tahun 1928, Parada Harahap memperluas jaringan
surat kabar miliknya, Bintang Timoer dengan membuat edisi Semarang (untuk
wilayah Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk wilayah Oost Java). Surat kabar
Bintang Timoer edisi Soerabaja inilah yang bergabung dengan surat kabar Soeara
Djawa muncul dengan nama baru surat kabar Soeara Oemoem. Surat kabar Sinar
Baroe di Semarang milik Parada Harahap diduga kuat embirionya adalah surat
kabar Bintang Timoer edisi Semarang.
Sementara di satu pihak Boedi Oetomo merger, namun di
sisi lain masih ada kekhwatiran dari Boedi Oetomo karena takut bahwa Boedi
Oetomo akan kehilangan berbagai subsidi pemerintah untuk sekolah, pesantren,
dll. Untuk mengeliminasi keberatan ini disamping Boedi Oetomo telah menjadi PIR
muncul gagasan untuk membuat departemen baru yang secara eksklusif akan
menangani masalah-masalah sosial yang benar-benar terpisah dari partai baru.
Dalam persiapan merger Boedi Oetomo dan
Partai Bangsa Indonesia (PBI) sudah dibentuk komite persiapan (Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1935). Komiter terdiri dari ketua
Soetedjo (Boedi Oetomo), wakil ketua Soerosoekartono (Partai Bangsa Indonesia),
Sekretaris-1 Sastrowijanto, Sekretaris-2 Prodjodarsono, Bendahara Partowo.
Komisaris terdiri dari Soetopo Wonobojo, Sadyoen, Partoatmodjo, Moehamad
Joesoep. Komite dibantu oleh empat subkomite.
Dalam proposal yang sudah disiapkan terindikasi Dewan
Pusat Partai Rakyat Indonesia terdiri dari 34 orang yang meliputi wakil-wakil
10 delegasi ditambah 5 dari mantan dewan pusat Boedi Oetomo dan lima dari
mantan dewan pusat Partai Bangsa Indonesia. Serikat baru akan membuat bendera
baru berwarna ‘putih hijau-merah’ yang merupakan gabungan warna bendera Boedi Oetomo
saat ini berwarna ‘merah-putih’ dan Partai Bangsa Indonesia berwarna
‘hijau-merah’. Nama serikat akan disebut Partai Indonesia Raja dan dengan
menyingkat ‘Parindra’. Untuk anggaran dasar disusun oleh komite statuta yang
teridiri dari Mr. Wongsonagoro, Mr. Soepomo, Ph.D dan Mr. Soebroto, Ph.D.
Akhirmya fusi (merger) antara organisasi
kebangsaan Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia menjadi resmi dilakukan (Bataviaasch
nieuwsblad, 30-12-1935). Fusi ini dilaksanakan pada Selasa malam pada acara
resepsi yang diadakan di Sicieteit Hadiprojo yang dihadiri oleh ratusan peserta
konfrerensi/kongres. Juga hadir anggota Volksraad MH Thamrin, Soeroso, Prawoto,
Wlrjopranoto, Kasimo. Pada pukul
sembilan Ketua Komite Kongres, Satiman membuka pidato yang pada intinya mengingatkan
peran akrif dari Mr. Soepomo, Ph.D, Mr.
RT Wongsonegoro. Mr. R. Soebroto, Ph.D dan Soediman, sebagai pendiri unit
(gabungan Boedi Oetomo dan Partai Bangsa Indonesia). Lalu kemudian dilakukan
gelar simbolis yang dilakukan oleh pramuka yang menyerahkan bendera Boedi
Oetomo dan bendara Partai Bangsa Indonesia kepada dwakil dari Soesoehoenan yang
kemudian secara simbolis diputar yang menunjukkan akhir dari yang lama dan
lahirnya partai baru, yang disebut Parindra dengan bendera berwarna merah dan
putih (roodwitte). Setelah itu, tarian dan lagu-lagu Jawa ditampilkan di
hadapan penonton. Pada pukul sebelas resepsi berakhir, Setelah itu rapat
tertutup dimulai. Dr Soetomo terpilih sebagai ketua Parindra melalui cara
diundi. Janingrat terpilih sebagai Wakil Ketua.
Bintang pada malam merger ini adalah Mr. Soepomo, Ph.D. Seorang
doktor di bidang hukum dengan predikat Cum Laude. Mr. Soepomo, Ph.D adalah
figur penting di balik perubahan sikap Boedi Oetomo untuk memperjuangkan
seluruh rakyat Indonesia (tidak hanya rakyat Jawa). Mr. Soepomo, Ph.D juga menjadi figur penting
di balik transformasi Boedi Oetomo dari organisasi kemasyarakatan menjadi
organisasi politik. Sedangkan yang menjadi matahari dalam perubahan Boedi
Oetomo sejak 1927 hingga tahun 1935 ini adalah Dr. Soetomo. Pada tahun 1927 Dr.
Soetomo ikut dalam pembentukan organisasi nasional PPPKI di rumah Husein
Djajadingrat di Weltevreden. Semua itu karena keinginan Parada Harahap melalui
Dr. Radjamin Nasution agar Dr. Soetomo bersedia mewakili Boedi Oetomo meski Dr.
Soetomo sendiri telah keluar dari Boedi Oetomo tidak lama setelah tiba di tanah
air karena perbedaan prinsip dalam perjuangan bangsa. Dr. Soetomo setelah
pulang studi dari Belanda, Dr. Soetomo yang pernah menjabat ketua Perhimpoenan
Indonesia telah menjadi nasionalis sejati. Indisch Vereeniging yang didirikan
tahun 1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan namanya telah
diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia adalah organisasi mahasiswa Indonesia di
Belanda yang bersifat continuum (berkesinambungan) untuk memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa untuk meratakan jalan menuju kemajuan dan kebebasan bangsa
(kemerdekaan Indonesia). Kini (1935) Dr. Soetomo kembali di dalam pangkuan
Boedi Oetomo yang telah berubah nama menjadi Partai Rakyat Indonesia, Dr.
Soetomo adalah ketua pertama Partai Rakyat Indonesia (suksesi Boedi Oetomo).
Dr. Soetomo semasih kuliah di STOVIA pada tahun 1908 adalah motor utama
pendirian organisasi Boedi Oetomo. Oleh karenanay tidak salah Dr. Soetomo dapat
disebut sebagai matahari Boedi Oetomo baik dari dalam maupun
dari luar.
Mr. Soepomo, Ph,D telah memberi kontribusi
yang sangat berarti bagi perubahan visi misi Boedi Oetomo. Mr. Soepomo, Ph,D
mulai terlibat intens di Boedi Oetomo setelah meraih gelar doktor (Ph.D) di
Belanda dan kembali ke tanah air. Ini bermula ketika Mr. Soepomo, Ph,D, ketua
pengadilan Landraad di Djogjakarta ditunjuk mengisi kursi kosong Wakil Ketua
Dewan pusat Boedi Oetomo tahun 1927. Sejak itu, nama Mr. Soepomo, Ph,D melekat
pada Boedi Oetomo dan sejak itu pula Mr. Soepomo, Ph,D memainkan peran dalam
perubahan arsitektur organisasi Boedi Oetomo dari organisasi kebangsaan yang
bersifat kedaerahan menjadi organisasi kebangsaan yang bersifat nasional.
Bahkan ketika Boedi Oetomo bertransformasi menjadi organisasi politik pada
tahun 1935, peran Mr. Soepomo, Ph,D cukup signifikan.
Kontribusi Mr. Soepomo, Ph,D di dalam perubahan radikal
Boedi Oetomo merupakan bagian tidak terpisahkan dari golongan muda Boedi Oetomo
yang melanjutkan studi ke Belanda. Mahasiswa-mahasiswa yang berhasil studi di
Belanda dan kembali ke tanah air dan bergabung dengan Boedi Oetomo secara
langsung dan tidak langsung telah mempengaruhi anggoat-anggota Boedi Oetomo
yang selama ini sangat cooperative dengan pemerintah. Di Belanda sendiri,
mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Indisch Vereeniging sudah sejak 1908
mewujudkan persatuan nasional yang lalu kemudian bertransformasi menjadi
organisasi yang lebih radikal dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Di dalam
organisasi inilah tokoh-tokoh Boedi Oetomo mulai merasakan arti penting
persatuan dalam mencapai kemerdekaan bangsa dan mentransformasikannya di dalam
tubuh Boedi Oetomo. Barisan transformer ini antara lain Dr. Soetomo, Dr.
Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D.
Perkembangan Pendidikan dan Pertumbuhan Perguruan Tinggi
di Hindia Belanda: Studi ke Negeri Belanda Menjadi Agen Perubahan di Indonesia
Didirikannya
Boedi Oetomo sebagai respon terhadap rendahnya mutu pendidikan pribumi dan terbatasnya
jumlah sekolah (Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1908).
Disamping itu, akses penduduk pribumi usia sekolah untuk bersekolah dan
kurangnya lulusan yang melanjutnya pendidikan tinggi ke universitas yang
bermutu menjadi pangkal perkara bagi intelektual Jawa. Dr. Wahidin adalah salah
satu intelektual Jawa yang telah melakukan monitoring ke seluruh wilayah Jawa
dan mendapatkan gambaran yang buruk tentang pendidikan pribumi sehingga Dr.
Wahidin memunculkan gagasan pembentukan dana pendidikan di Jawa.
Dr. Wahidin jelas
paham situasi dan kondisi yang dilihatnya di sekitar terutama di wilayah Jawa.
Dr. Wahidin sudah barang tentu mengetahui keberhasilan Medan Perdamaian di
Padang yang berhasil mengorganisir dana sehingga mampu memberikan bantuan
pendidikan jauh ke Semarang. Bagi Dr, Wahidin bantuan dari Medan Perdamaian itu
sudah jelas positif, tetapi permasalahannya adalah mengapa hal itu tentang
pengumpulan dana (untuk pendidikan) tidak pernah ada di Jawa. Gerakan Dr.
Wahidin untuk memajukan pendidikan di Jawa melalui dana pendidikan direspon mahasiswa
di STOVIA yang dipimpin oleh Soetomo dkk untuk mendirikan organisasi Boedi
Oetomo di Batavia pada tahun 1908.
Lantas
mengapa ide dana pendidikan itu menjadi penting dan mengapa ide itu timbul
lebih awal di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra)? Dan lalu mengapa
ide-ide itu datang dari tokoh-tokoh pendidikan asal Mandailing en Angkola (baca: Padang
Sidempoean) di Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust. Padahal
introduksi pendidikan modern (aksara Latin) justru dimulai di Jawa dan juga dua
institusi pendidikan yang lebih tinggi juga dimulai dan berada di Jawa yakni sekolah
guru Kweekschool di Souracarta (1850) dan sekolah kedokteran Docter Djawa
School di Weltevreden (1851).
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sesungguhnya akan terjawab dalam kronologis sejak introduksi pendidikan
modern (aksara Latin) di Hindia Belanda (baca: Indonesia), pertumbuhan
pendidikan tinggi hingga perkembangan universitas (seperti yang dirasakan
hingga kini). Fase Boedi Oetomo (1908-1935) berada di antara garis continuum—saat
didirikannya perguruan tinggi kedokteran Docter Djawa School oleh Belanda pada
tahun 1851 dan saat tiba waktunya Universitas Indonesia secara resmi menjadi
milik orang Indonesia tahun 1951.
Sebelum
didirikan Docter Djawa School pada tahun 1851 di Weltevereden (kini Gambir)
sudah terlebih dahulu didirikan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta (Solo)
tahun 1850. Pendirian dua perguruan tinggi ini dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan guru banru seiring dengan dibangunnya sekolah-sekolah baru oleh pemerintah
di berbagai tempat. Sedangkan pendirian sekolah kedokteran Docter Djawa School
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis di wilayah-wilayah endemik.
Guru-guru asal Belanda dan dokter-dokter asal Belanda tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, karena itu dua institusi pendidikan tinggi itu
dibutuhkan dan kemudian didirikan. Kapan introduksi pendidikan modern bagi
penduduk asli (baca: pribumi) dimulai di Hindia Belanda tidak diketahui secara
pasti.
Java government gazette, 30-01-1813 |
Usulan
TJ Willer (1846) agar di Afdeeling Mandailing dan Angkola didirikan sekolah
tidak diketahui kapan terealisasi. Namun yang jelas, pada tahun 1854 sudah ada
dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola yang tiba di Batavia untuk
mengikuti studi kedokteran (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Saat itu yang menjadi Asisten Residen
di Afdeeling Mandailing en Angkola adalah AP Godon (sejak 1848). Dua siswa ini
merupakan dua siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang
berasal dari luar Djawa. Sekolah kedokteran di Batavia ini kemudian dikenal
sebagai Docter Djawa School. Sekolah kedokteran Docter Djawa School seniri berdiri
sejak 1851. Masa kuliah di sekolah Docter Djawa School ini selama dua tahun. Untuk
sekadar menambahkan: Perpustakaan Universitas Indonesia mengakui tahun 1851 ini
sebagai rujukannya (lihat di bangunan perpustakan Universitas Indonesia).
Bagaimana sekolah kedokteran Docter Djawa ini dimulai dapat dibaca pada surat
kabar Opregte Haarlemsche Courant edisi 17-02-1852.
Opregte
Haarlemsche Courant, 17-02-1852: ‘Di daerah barat laut Batavia ada beberapa
kasus kolera lagi. Di pulau-pulau Bali dan Lombok, dan terutama di yang
terakhir, penyakit ini tampaknya berada dalam tingkat yang sangat parah. Pada tahun
1846 sudah diusulkan bahwa untuk orang-orang muda dari keluarga Jawa yang
layak, dan lebih disukai mereka yang dapat membaca dan menulis bahasa Melayu
dan Jawa, harus diberikan kesempatan untuk memperoleh keterampilan yang
diperlukan di rumah sakit militer untuk profesi pengobatan pribumi dan
vaksinasi cacar sapi. De Javaasch Courant 17 December memuat laporan yang baik
tentang kemajuan yang dihasilkan pendidikan ini di rumah sakit di Weltevreden, dengan
indikasi nama dari peserta yang diditerima diklaim telah mengadopsi pelajaran
dengan baik dan dengan menyebutkan pengasuhan yang terpuji, dimana petugas
kesehatan Bleeker dan Wassink telah mendukung tujuan yang bermanfaat dari
Pemerintah Pusat’.
Berita
ini pada dasarnya harus diartikan merujuk pada angkatan pertama (1951). Sebab surat
kabar Opregte Haarlemsche Courant edisi 17-02-1852 mengacu pada surat kabar De
Javaasch Courant edisi 17 Desember (lama pelayaran saat itu antara Batavia
dengan Amsterdam sekitar dua bulan). Oleh karena itu, para peserta yang
diterima pada angkatan pertama ini telah menunjukkan indikasi keberhasilan
sejak memulai studi. Hasil ini kemudian menjadi dasar bahwa studi kedokteran
bagi siswa pribumi ini akan terus dilanjutkan untuk angkatan-angkatan
selanjutnya. Lalu pada tahun 1854 dua siswa telah tiba di Batavia dari
Afdeeling Mandailing dan Angkola bernama Si Asta dan Si Angan yang akan
disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli (baca:
Docter Djawa School).
Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad,
18-01-1855: ‘Batavia, 25 November 1854. Satu
permintaan oleh kepala Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur
Sumatra’s Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah, bahwa
kedua anak kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar
dibawa untuk akun negara ke Batavia dan akan mengikuti kedokteran, bedah dan
kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah sakit militer
disana pada murid ini baru saja tiba dari Padang disini, dan akan disertakan di
pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli.
Dua
siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola ini kemudian lulus tahun 1856 dan
mendapat gelar Dokter Djawa (Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad:
algemeen advertentie-blad, 02-04-1857). Dalam berita-berita selanjutnya,
disebutkan Dr. Asta berada (ditempatkan) di onderafdeeling Mandailing (diduga alumni
sekolah rakyat di Mandailing dan Dr. Angan ditempatkan di onderafdeeling
Angkola (diduga alumni sekolah rakyat di Angkola). Mereka berdua inilah boleh
disebut sebagai pelopor pendidikan kedokteran di Afdeeling Mandailing en
Angkola (namanya kelak diubah menjadi Afdeeling Padang Sidempoean).
Pada tahun 1856 di Fort
de Kock didirikan sekolah guru (kweekschool). Ini berarti sudah ada dua sekolah
guru negeri setelah sebelumnya tahun 1850 didirikan di Soeracarta. Salah satu
adik kelas Dr. Asta yang bernama Si Sati tidak mengikuti sekolah kedokteran ke
Weltevreden/Batavia, dan juga tidak melanjutkan sekolah guru ke Fort de Kock,
tetapi pada tahun 1857 berangkat studi ke (negeri) Belanda untuk sekolah guru. Berita
keberangkatan Si Sati melanjutkan studi dilaporkan oleh surat kabar yang terbit
di Soerabaja: De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws-
en advertentieblad edisi 26-03-1857. Si Sati dikabarkan sudah tiba di Amsterdam
dilaporkan oleh surat kabar yang terbit di Rotterdam: Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad edisi 04-09-1857. Dalam manifest
kapal yang berangkat dari Padang tercatat nama AP Godon yang notabene adalah Asisten
Residen Mandailing en Angkola. Si Sati dan AP Godon sudah barang tentu
berangkat bersama-sama. Untuk sekadar tambahan: saat itu pelayaran masih
melalui Afrika Selatan (Terusan Suez baru dibuka tahun 1869). Sulit
membayangkan seorang pemuda belia dari daerah tropis selama sekitar dua bulan
dalam pelayaran menuju Eropa/Belanda yang beriklim dingin.
Dua tahun berikutnya setelah Dr. Asta dan D.
Angan lulus di Docter Djawa School, pada tahun 1859 menyusul diterima dua siswa
asal Mandailing dan Angkola yang bernama Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang
gelar Dja Bodie (lihat Bataviaasch handelsblad, 17-12-1859). Ini menunjukkan
bahwa prestasi Si Asta dan Si Angan selama studi di Batavia dan selama bekerja
di Afdeeling Mandailing en Angkola boleh jadi menjadi dasar mengapa dua siswa
terbaik asal Mandailing en Angkola ‘diminta’ pimpinan Docter Djawa School untuk
dikirim ke Batavia untuk dididik menjadi dokter. Boleh jadi kabar yang sudah
lama beredar bahwa Si Sati dari Afdeeling Mandailing en Angkola tengah
menjalani studi di Belanda turut memperkuat positioning siswa-siswa asal
Mandailing en Angkola untuk jaminan akan berhasil studi di Docter Djawa School.
Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs...1860 |
Dr. Asta dan Dr. Angan, dua dokter pertama
lulusan Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa dan guru Si Sati
(Nasution) alias Willem Iskander sebagai pribumi pertama berangkat studi dan
berhasil di Belanda telah menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah di pusat
pemerintahan di Batavia. Apalagi baru-baru ini (1962) Willem Iskander telah
mendirikan sekolah guru di huta (desa) Tanobato di Afdeeling Mandailing en
Angkola. Sekolah guru Kweekschool Tanobato ini mendapat respon yang luar biasa
khususnya di Afdeeling Mandailing en Angkola dan umumnya di Residentie
Tapanoeli. Sekolah guru Kweekschool Tanobato ini cepat berkembang dan cepat
pula direspon positif oleh pemerintah pusat. Tidak tanggung-tanggung, Inspektur
Pendidikan di Batavia, JA van Chijs datang sendiri ke Tanobato tahun 1864 untuk
membutikan rumor tersebut. Inilah hasil penilaian sendiri JA van Chijs.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws-
en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke
daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah,
perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon
telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya.
Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe
diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda
dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke
tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari
seluruh Bataklanden…mereka telah
diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi,
matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas
dengan kinerja sekolah ini’.
Sementara itu ternyata Afdeeling Mandailing en Angkola juga
telah surplus dokter. Dr. Dja Dorie dan Dr. Dja Bodie yang lulus Docter Djawa
School telah ditempat satu di Oostkust Sumatra dan satu lagi di Padangsch
Bovenlanden. Ternyata saat itu Afdeeling Mandailing dan Angkola hanya butuh dua
dokter, satu dokter di Mandailing dan satu dokter di Angkola. Pada tahun 1864 Docter
Djawa School ditingkatkan dengan lama studi menjadi tiga tahun. Meski demikian,
minat siswa-siswa asal Mandailing en Angkola masih tetap tinggi ke Docter Djawa
School. Secara periodik dua siswa asal Mandailing diseleksi untuk mengikuti
pendidikan kedokteran di Docter Djawa School, Jumlah siswa yang diterima di
Docter Djawa School seteiap masa penerimaan hanya sebanyak 10-12 orang saja.
Setelah sukses penerimaan siswa asal Mandailing en Angkola kemudian siswa dari
Minahasa diterima di Docter Djawa School. Pada tahun 1868 jumlah sekolah negeri
di Residentie Tapanoeli berjumlah 10 buah dimana delapan buah terdapat di
Afdeeling Mandailing en Angkola. Ini mengindikasikan bahwa di Afdeeling
Mandailing setiap penduduk usia sekolah dengan mudah mengakses sekolah yang
baik (di luar sekolah-sekolah swadaya yang juga gurunya alumni Kweekschool
Tanobato).
Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah
guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak
pantas memakai nama sekolah guru. Laporan Chijs juga menggarisbawahi
siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini
(maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara
non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah
diterjemahkan oleh Willem Iskander ke dalam bahasa Batak Mandailing/Angkola. Sementara
di Mandailing Angkola, tidak hanya Willem Iskander yang menulis buku-buku
pelajaran, juga guru-guru sekolah dasar (alumni Kweeskschool Tanobato) menulis
buku-buku pelajaran. Sebagian dari buku-buku yang ditulis itu dicetak di Padang
dan Batavia. Buku pelajaran yang ditulis Willem Iskander bahkan sudah ada yang
dicetak di Batavia tahun 1865.
Adanya kemajuan pendidikan tak terduga di Mandailing dan
Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera membangun sekolah guru di Bandoeng.
Tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah
guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian
sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta (menjadi negeri 1852), Fort
de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866). Segera akan dibuka sekolah
guru di Oengaran.
Pendidikan di Afdeeling Mandailing dan
Angkola telah meju pesat. Sekolah guru Kwekschool Tanobato menjadi yang terbaik
di Nederlandsch Indie. Faktor penting yang menyebabkan kesuksesan sekolah guru
yang ada karena kualitas guru dan minat siswa untuk belajar. Dua faktor ini
terdapat di Afdeeling Mandailing en Angkola. Guru Willem Iskander menjadi
jaminan mutu sementara siswa di Mandailing en Angkola yang berminat cukup
banyak tetapi dengan kapasitas yang terbatas (hanya 20 orang) menyebabkan
terjadi seleksi yang ketat. Sementara sekolah guru di Fort de Kock dan di
Souracarta selain guru-gurunya tidak berkualitas juga minat siswa untuk menjadi
guru dengan melanjutkan studi ke yang lebih tinggi di kweekschool terbilang
rendah. Faktor-faktor ini kemudian menjadi faktor penting yang menyebabkan
kekurangan guru di Jawa, sebaliknya di Afdeeling Mandailing dan Angkola telah
melampaui kebutuhan (surplus). Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi
‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Nederlandsch Indie,
yakni: Pendidikan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch
Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang
Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari
selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli
dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra
mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan
(sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang
terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi,
tandas Chijs’
Lalu perhatian pendidikan mulai heboh di
Jawa. Pembangunan sekolah guru baru di Bandoeng tahun 1866 adalah salah satu
solusi. Namun itu ternyata tidak cukup karena populasi pendidik di (wilayah)
Jawa sangat banyak yang mana di dalamnya penduduk usia sekolah sangat banyak
juga. Ketika ada keinginan untuk mengamandemen ‘undang-undang’ pendidikan
ternyata tidak semua orang Belanda mendukung penduduk asli (pribumi) untuk
lebih maju dalam pendidikan. Faktor ras (Belanda) juga menjadi faktor penting
mengapa seteelah berabad-abad pendidikan pribumi nyaris kurang diperhatikan.
Willem Iskander dan Kweekschool Tanobato telah memicu golongan humanis diantara
orang-orang Belanda untuk turut memperjuangkan pendidikan pribumi (khususnya di
Jawa).
Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa
dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang
dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras
alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan
28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang
dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’. Algemeen Handelsblad, 26-11-1869:‘…kondisi pendidikan pribumi di
Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap
bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu
pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban
pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Langkah pertama yang akan dilakukan di Jawa
adalah untuk melanjutkan pengembangan
pendidikan di 15 ibukota kabupaten (afdeeling), dimana tidak ada sekolah berada
selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15 ibukota afdeeling tersebut.
Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka baru delapan ibukota yang
memiliki sekolah. Masih sangat jauh dari yang diharapkan, sementara di
afdeeling Mandailing en Ankola bahkan sudah terdapat delapan sekolah negeri
saja (belum dihitung sekolah swasta/swadaya).
Surplus guru di Afdeeling Mandailing en Angkola
menyebabkan pemerintah pusat mengangkatnya menjadi guru pemerintah dan
ditempatkan di luar wilayah Tapanoeli. Guru-guru asal Mandailing en Ankola yang
diangkat menjadi guru pemerintah ditempatkan di berbagai wilayah termasuk di Residentie
Padangsch Benelanden dan Residentie Padangsch Bovenlanden. Juga ditempatkan di
residentie-residentie: Oostkust Sumatra, Atjeh, Rioau, Djambi, dan Bengkoelen.
Oleh karena itu, tidak aneh dari guru-guru dan juga dokter-dokter asal
Mandailing en Angkola yang berada di perantauan dimana anaknya sukses menjadi
guru, pejabat pemerintah, dunia swasta dan dokter dan ahli lainnya. Sebagai
contoh (seperti telah disebut di atas), antara lain: Dr. Achmad Mochtar anak
seorang guru meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1927 lahir di Bondjol tahun 1892;
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D anak seorang dokter hewan meraih Ph.D tahun 1930
lahir di Pajakoemboeh tahun 1895; Dr. Ida Loemongga, Ph.D anak seorang dokter
lulusan Dokter Djawa School meraih Ph.D tahun 1931 lahir di Padang tahun 1905.
Dalam perkembangannya, sekolah kedokteran
Docter Djawa School sejak tahun 1875 ditingkatkan kembali dengan lama kuliah
selama tujuh tahun. Pembagian masa perkuliahan dibuat menjadi dua tahun untuk
tingkat persiapan dan lima tahun untuk tingkat medik. Bahasa pengantar dalam
perkuliahan tidak lagi dengan bahasa Melayu tetapi dengan menggunakan bahasa
Belanda. Inimengindikasikan bahwa sekolah kedokteran Docter Djawa School telah jauh
meningkat jika dibandingkan dengan sekolah guru (kweekschool). Sekolah guru
yang ada Kweekschool Soeracarta, Kweekschool Fort de Kock, Kweekschool Tanobato
dan Kweekschool Bandoeng tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jika sekolah
Docter Djawa School pada saat pendiriannya masa studi dua tahun kini tahun 1875
telah meningkat menjadi tujuh tahun, sementara sekolah guru dari awal
pendiriannya masa studi dua tahun hanya meningkat menjadi tiga tahun saja. Satu-satunya
program pemerintah untuk meningkatkan sekolah guru adalah mengirim guru-guru
berprrestasi melajutkan studi ke Belanda (sebagaimana terbukti Willem Iskander
telah melakukannya).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 bulan ini, Radja
mengambil keputusan yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala
sekolah di kweekschool untuk guru Inlandsche di Tanah-Bato (Sumatera’s
Westkust), Willem Iskander, dan tiga pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk
dilatih studi dua tahun lebih lanjut untuk pendidikan inlandsch. yang dirancang
untuk menemani Iskandcr, pemuda Batak Si Banas, Soendauees mas Ardi Sasmita,
sekarang menjadi guru di sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan Soerono, guru
di Soerakarta. Sehubungan dengan keberangkatan Iskander sementara menutup
perguruan tinggi untuk Tanah-Batoe’.
Guru-guru muda berprestasi yang akan dikirim
ke Belanda adalah Banas Lubis dari Residentie Tapanoeli, Ardi Sasmita dari
Residentie Preanger dan Raden Soerono dari Resudentie Soeracrta. Untuk
pembimbing ketiga guru muda ini ditunjuk Willem Iskander. Selama di Belanda,
Willem Iskander juga berkesempatan dan diberikan beasiswa untuk meningkatkan
studinya untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Sepulang dari Belanda dengan
akte kepala sekolah, Willem Iskander akan diposisikan sebagai Direktur
Kweekschool Padang Sidempoean yang akan mulai dibuka pada tahun 1879. Selama
Willem Iskander melanjutkan studi dan membimbing guru-guru muda ke Belanda
Kweekschool Tanobato ditutup (sambil menunggu dibukanya sekolah guru yang baru
di Padang Sidempoean).
Jika Willem Iskander dapat menyelesaikan studinya untuk
mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda itu berarti Willem Iskander akan
setara dengan Diploma. Sebab ketika Willem Iskander lulus akte guru tahun 1860
kira-kira setara dengan lulusan sekolah guru setingkat sekolah menengah atas
(atau setingkat SPG beberapa dasawarsa yang lalu). Akta guru (setingkat SPG)
inilah yang akan diikuti oleh tiga orang guru tersebut. Sementara lulusan
sekolah guru Kwekschool di tiga tempat tersebut adalah lulusan setara sekolah
menengah bawah (setingkat SMP pada masa ini). Hal ini karena siswa yang
diterima di kweekschool adalah lulusan sekolah dasar. Sementara itu di sekolah
kedokteran Docter Djawa School yang juga menerima lulusan sekolah dasar tetapi
dengan lama sekolah tujuh tahun itu juga dapat dianggap setara dengan Diploma.
Namun yang menjadi pertanyaan ketika
pemerintah mengirim tiga guru muda ke Belanda dari tiga tempat yang berbeda (Banas
Lubis dari Kweekschool Tanobatot, Raden Soerono dari Kweekschool Soeracarta dan
Ardi Sasminta dari Kweekschool Bandoeng) mengapa tida ada guru dari Kweekschool
Fort de Kock (sebagai satu dari empat sekolah guru yang ada saat itu).
Perencanaan pengiriman guru ini sudah muncul pada tahun 1871. Apakah ini
terkait dengan mutu sekolah guru Fort de Kock yang mana pada tahun 1865 pernah
disebutkan oleh JA van Chijs yang mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock
gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama
sekolah guru.
Dikirimnya tiga guru ke Belanda dari empat sekolah guru
yang ada telah menimbulkan kegelisan bagi pegiat pendidikan di Padangsche. Ini
terindikasi dari keinginan mereka untuk mendatangkan Radja Medan, kapala goeroe
di skola Islam di Padang yang dimuat di dalam surat kabar Sumatra-courant :
nieuws- en advertentieblad, 22-02-1873: ‘Permintaan guru Radja Medan ditujukan
kepada pemerintah (Direkteur dari Onderwijs Eeredienst en Nijverheid di
Batavia) agar Radja Medan, guru swasta di Padang diangkat untuk menjadi guru di
Kweekschool Fort de Kock’. Siapa guru Radja Medan? Radja Medan adalah guru yang
berpengalaman di Padang telah 13 tahun menjadi guru. Radja Medan dipandang
sebagai guru yang dapat mangadjarkan sagala ilmoe dan pangadjaran dalam
pakardjaan skola. Kinerja RM selama ini dianggap baik dan tidak kurang dan para
mantan murid-muridnya banyak memuji soekoer atas kemampuan RM. Untuk pengganti
RM di sekolah Padang, Soetan Salim Hoofd-Djaksa jang soeda baranti, jang
sakarang djadi goeroe panolong (hulponderwijzer) dalam skola Islam di Padang. Namun
permintaan itu kelak diketahui tidak dipenuhi oleh pemerinta pusat, yang
diangkat adalah Baginda Chatib, alumni dari sekolah tersebut (lihat Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie, 1876).
Selain pengiriman guru-guru ke Belanda untuk
studi lebih lanjut, pemerintah juga merencanakan akan menambah sekolah guru.
Selain empat sekolah guru yang ada, dan juga sekolah guru Kweekschool Padang
Sidempoean yang tengah dipersiapkan, juga akan didiirikan sekolah guru di
Tondano (Minahasa), Ambon (Maluku), Probolinggi (Oost Java), Bandjarmasing
(Borneo) dan Makassar (Celebes). Strategi lain yang akan digunakan pemerintah
untuk meningkatkan kualitas sekolah guru adalah mendatangkan guru-guru dari
Belanda. Ini dapat dilihat dalam suatu kesempatan, di Batavia, ketika Raja
Willem III berkunjung ke Nederlandsch Indie berkesempatan mengunjungi sekolah
William III. Dalam kesempatan itu Raja menawarkan guru-guru di Belanda untuk
bekerja di Jawa. Raja berkata ketika berada di gimnasium William III di Batavia
(Algemeen Handelsblad, 04-05-1874).
Radja Willem III pada dasarnya sangat peduli dengan
pendidikan. Yang kurang peduli dengan pendidikan pribumi adalah sebagian
pejabat pemerintahan di Nederlandsch Indie. Bahkan diantara para pejabat ini
ada yang rasis. Radja Willem III sebagai keluarga kerajaan mewakili kepedulian
terhadap pendidikan. Ini dapat dilihat dengan keberadaan sekolah Koning Willem
III di Batavia (didirikan tahun 1860). Sekolah ini adalah khusus untuk
anak-anak orang Eropa/Belanda. Sedangkan untuk anak-anak pribumi, Radja Willem
III mengharapkan kehadiran guru-guru dari Belanda untuk menjadi guru di
sekolah-sekolah guru.
Peningkatan mutu sekolah guru tidak hanya
dari guru-guru yang dikirim ke Belanda tetapi juga mendatangkan guru-guru dari
Belanda. Untuk fasilitas sekolah guru penataan juga telah direncanakan setelah
sebelumnya Kweekschool Bandoeng tahun 1866 dengan gedung yang mewah. Dua gedung
sekolah yang berkualitas setara dengan Kweschool Bandoeng adalah membangun
sekolah guru yang lebih besar di Magelang sebagai pengganti sekolah guru di
Soeracrta selama ini. Hal ini juga akan dilakukan dengan membangun sekolah guru
di Padang Sidempeoan untuk menggantikan sekolah guru di Tanobato.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad 31-10-1874:‘.. Iskander sendiri setelah lulus di Belanda, comeback menjadi kepala sekolah
guru di Tapanoeli. yang sekarang sedang ditransfer, dan memperoleh organisasi
yang lebih besar’. Algemeen Handelsblad, 21-09-1875: ‘..pemerintah telah merencanakan
pengembangan pendidikan di beberapa tempat. Magelang, Bandong dan Probolinggo
(Java); di Amboina; di Tondano; untuk Bandjermasin; di Fort de Kock; Padang
Sidempoean, dan Makassar’.
Sementara itu, penduduk di Soeracarta dan di Preanger
sangat berharap kepada dua guru muda karena inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu agar sekembalinya studi dari Belanda mutu pendidikan segera
meningkat di Jawa. Namun semua harapan itu segera sirna karena tiga guru yang
dikirim tersebut mengalami sakit dan kemudian meninggal dunia satu per satu. Willem
Iskander juga tidak kembali, karena Willem Iskander tahun 1876 dikabarkan
meninggal dunia di Belanda setelah beberapa bulan sebelumnya tiga guru muda
yang dibawa Willem Iskander satu per satu meninggal dunia. Sekolah guru Kweekschool
Magelang dan Kweekschool Padang Sidempoean tetap berjalan seperti yang telah
direncanakan.
Program peningkatan guru pribumi telah gagal. Namun untuk
tetap mengupayakan peningkatan sekolah guru, pemerintah Nederlandsch Indie
merealisasikan sarnn dari Radja Willem III. Ini terlihat pada tahun 1877 di
Kweekschool Fort de Kock ditempatkan kepala sekolah berlisensi Eropa, Mr.
Harmsen.
Sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean
akhirnya dibuka tahun 1879. Namun ketika, sekolah guru yang baru dan lebih
besar di Padang Sidempuan dibuka, diketahui yang menjadi Direktur Kweekschool
Padang Sidempoean adalah Mr. Harmsen sebagai pengganti Willem Iskander.
Sementara Mr. Harmsen sebelumnya pada
tahun 1877 telah ditempatkan di Kweekschool Fort de Kock.
Pada tahun 1881 untuk menambah guru di Kweekschool Padang
Sidempoean ditambahkan seorang guru bernama Charles Adrian van Ophuijsen yang
sebelumnya magang di Kweekschool Probolinggo. Charles Adrian van Ophuijsen,
lahir di Solok, anak mantan Controleur di Afdeeling Natal dan mantan Asisten
Residen di Afdeeling Agam, CHW van Ophuijsen. Untuk sekadar mengingat kembali, Charles
Adrian van Ophuijsen adalah anak CHW van
Ophuijsen, pendiri Kweekschool Fort de Kock tahun 1856.
Pada tahun 1881 kembali Dokter Djawa School
ditingkatkan yakni dengan menambah satu tahun pada tingkat persiapan sehingga
lama studi di Docter Djawa School menjadi delapan tahun. Dengan lama studi
delapan tahun itu berarti Docter Djawa School kira-kira setingkat Diploma-2
pada masa sekarang. Dengan kata lain, sekolah Dokter Djawa School telah setara
dengan perguruan tinggi.
Beberapa dokter yang cukup terkenal dari program dokter
delapan tahun di Docter Djawa School ini adalah Dr. Madjilis (asal Mandailing
dan Angkola); Dr. Abdoel Rivai (asal Bengcoelen); Dr. Wahidin Soedirohoesodo
(dari Djogjakarta). Tiga dokter ini memiliki reputasi sendiri-sendiri. Dr.
Madjilis bahkan lebih terkenal daripada Dr. Wahidin (pengagas Boedi Oetomo).
Dr. Madjilis adalah dokter terbaik di angkatannya yang lulus tahun
1886 (Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1886). Dr. Madjilis adalah alumni Docter
Djawa School yang setelah habis masa dinas bekerja untuk pemerintah diberi
lisensi oleh pemerintah untuk membuka praktik dokter sendiri. Atas prestasi
itu, Dr. Madjilis kemudian direkrut sebuah perusahan perkebunan di Tandjong
Balai sebagai dokter yang dipekerjakan di perusahaan. Dr. Abdoel Rivai setelah
selesai berdinas di pemerintah berangkat studi ke Belanda dan mendapat gelar
dokter Belanda tahun 1908. Hal yang sama
juga dilakukan dokter Djawa Ph. Laoh berasal dari Minahasa yang meraih
gelar dokter Belanda tahun 1910. Dr. Wahidin Soedirohoesoedo terkenal karena
perjalanannya di seluruh Jawa yang memunculkan ide untuk penggalangan dana untuk
meningkatkan pendidikan (terutama) di Jawa yang menjadi pangkal perkara
didirikannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo.
Sekolah guru Kweekschool semakin berkembang
pesat. Hal ini boleh jadi karena keuletan dari Charles Adrian van Ophuijsen.
Sebab Charles Adrian van Ophuijsen telah diangkat menjadi Direktur Kweekschool
Padang Sidempoean untuk menggantikan Mr. Harmsen. Charles Adrian van Ophuijsen
tidak hanya seorang guru tetapi juga sangat gemar melakukan penelitian di sastra
dan bahasa di Tanah Batak. Charles Adrian van Ophuijsen tampaknya sangat
menikmati dengan perannya sebagai guru dan peneliti di Padang Sidempoean. Guru Charles
Adrian van Ophuijsen meski berada di daerah pedalaman Sumatra di Padang
Sidempoean juga adalah anggota klub studi ilmiah di Batavia. Charles Adrian van
Ophuijsen cukup lama di Padang Sidempoean, dari delapan tahun menjadi guru di
Padang Sidempuan, lima tahun terakhir Charles Adrian van Ophuijsen sebagai Direktur
sebelum dirinya diangkat sebagai Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra yang
berkedudukan di Padang.
Charles Adrian van Ophuijsen telah menjadi keajaiban yang
kedua di Afdeeling Mandiling en Angkola. Sebelumnya Willem Iskander dapat
diangggap sebagai suatua keajaiban yang pertama. Boleh dikatakan Charles Adrian
van Ophuijsen adalah penerus cita-cita Willem Iskander dalam upaya meningkatan
pendidikan di Afdeeling Mandiling dan Ankola. Itu telah dapat dicapai. Banyak
murid-murid Charles Adrian van Ophuijsen yang cemerlang dalam studi,
berdedikasi dalam mengajar dan sukses di bidang lain. Beberapa mantan siswanya
yang terkenal adalah Dja Endar Moeda (lulus tahun 1884); Soetan Casajangan
(lulus 1887); Soetan Martoea Radja (lulus 1890) dan Mangaradja Salamboewe
(lulus 1892). Kelak, Dja Endar Moeda dikenal sebagai pendidir organisasi
kebangsaan Medan Perdamain (1900); Soetan Casajangan pendiri organisasi
mahasiswa di Belanda Indisch Vereeniging (1908); Soetan Martoea Radja adalah
ayah dari Ir. MO Parlindoengan (insinyur teknik kedua dari Delf, adik kelas Ir.
Soerachman) dan Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr, Asta (alumni pertama
Docter Djawa School dari luar Jawa). Mangaradja
Salamboewe juga adalah editor surat kabar kedua pribumi, Pertja Timor di Medan
(1902-1908). Sedangkan editor pribumi pertama adalah Dja Endar Moeda sendiri
(editor Pertja Barat di Padang 1897-1907). Dja Endar Moeda juga adalah kakek
Dr. Ida Loemongga, Ph.D, (perempuan Indonesia pertama yang bergelat doktor).
Pada tahun 1890 kembali Docter Djawa School ditingkatkan.
Siswa-siswa yang diterima di Docter Djawa School adalah lulusan sekolah Eropa
tujuh tahun (Europeesche Lagere
School/ELS). Lama studi di Docter Djawa School tetap delapan tahun yang
mana untuk tingkat persiapan selama tiga tahun dan tingkat medik selama lima
tahun. Namun karena sekolah ELS adalah tujuh tahun maka dengan sendirinya lama
studi di Docter Djawa School dapat dikatakan menjadi lebih lama. Hal ini karena
sebelumnya siswa yang diterima di Docter Djawa School adalah siswa-siswa
lulusan sekolah pribumi (enam tahun). Disamping itu, karena sekolah ELS adalah
sekolah Eropa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, maka mahasiswa di Docter
Djawa School seakan memiliki standar bahasa Belanda. Ada untungnya ada ruginya.
Sementara itu, sebaliknya beberapa sekolah guru harus ditutup, termasuk
Kweekshool Padang Sidempoean.
Ketika Docter Djawa School terus ditingkatkan mutunya,
sekolah-sekolah guru sebaliknya banyak yang ditutup. Ini semua karena
terjadinya defisit anggaran pemerintah. Salah satu yang terkena dampak itu
adalah melikuidasi sekolah-sekolah guru. Sekolah guru Kweekschool Padang
Sidempoean ditutup tahun 1892. Siswa-ssiwa yang akan melanjutkan sekolah guru
diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock. Sekolah guru lainnya yang ditutup adalah
Kweekschool Bandjarmasin (1893) dan Kweekschool Makassar (1895). Praktis hanya
tinggal empat sekolah guru, yakni: di Fort de Kock (sejak 1856); Bandoeng
(sejak 1866); Ambon (sejak 1873); dan Probolinggo (sejak 1875).
Awalnya sempat kekhawatiran orang tua di
Afdeeling Mandailing dan Angkola atas penutupan sekolah guru Kweekschool Padang
Sidempiean. Ini seakan reputasi guru asal afdeeling Mandailing dan Angkola
seakan hilang sendirinya. Sekolah guru di Afdeeling Mandailing en Angkola sudah
ada sejak 1862 (era Willem Iskander) dan penggantnya Kweekschool Padang
Sidempoean (era Charles Adriaan van Ophuijsen). Namun tidak lama ketika
Kweekschool Padang Sidempoean ditutup ada kebijakan pemerintah bahwa pribumi
dapat diterima di sekolah Eropa ELS di Padang Sidempoean. Ini seakan tetap
membuka peluang bagi siswa-siswa asal Mandailing en Angkola untuk studi
kedokteran dengan aturan abru (syarat lulusan ELS). Sementara itu, minat untuk
menjadi guru di Afdeeling Mandailing en Angkola ternyata tidak surut meski
harus melanjutkan studi jauh ke Kweekschool Fort de Kock.
Beberapa guru asal Afdeeling Mandailing en Angkola
lulusan Kweekschool Fort de Kock ternyata banyak yang sukses kemudian. Mereka
itu guru Taif Nasution, ayah dari SM Amin Nasution (gebernur pertama Sumatra
Utara); Aden Lubis, ayah Kolonel Zulkifli Lubis (perintis intelijen Indonedia);
Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng lulus Kweekschool Fort de Kock tahun 1898
. Radja Goenoeng adalah penilik sekolah pertam di Oostkust Sumatra yang
berkedudukan di Medan dan anggota pribumi pertama dewan kota (gemeeteraad) Medan;
Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan lulus 1909 dan kemudian melanjutkan sekolah
pertanian (Lanbouw School) di Buitenzorg tahun 1911. Soetan Kenaikan adalah
alumni pertama sekolah menengah pertanian (Midlebare Landbow School)
Buitenozeog tahun 1914 yang kelak menjadi direktur sekolah pertanian yang
pertama di West Sumatra’ dan GB Joshua Batabara yang setelah lulus Kweekschool
Fort de Kock melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus
1923. Setelah menjadi guru HIS di beberapa tempat, GB Joshua mendapat beasiswa
melanjutkan studi ke Belanda dan lulus tahun 1931. GB Joshua adalah pendiri
perguruan Joshua Instituut di Medan pada tahun 1932 (masih eksis hingga hari
ini).
Lulusan Docter Djawa School generasi baru ini
yang terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid (lulus 1902), Dr. Mohamad Hamzah
(1902), Dr. Abdoel Hakim (1905), Dr. Abdoel Karim (1905) dan Dr. Tjipto
Mangoengkoesoemo (1905). Dokter lainnya antara lain dua bersudara Tehupeiory.
Dr. Haroen Al Rasjid adalah ayah dari Dr. Ida Loemongga, Ph.D (perempuan
Indonesia pertama bergelar Ph.D tahun 1931). Dr. Mohamad Hamzah, kepala dinas
kesehatan dan anggota dewan kota di Pematang Siantar, Dr. Mohamad Hamzah adalah
saudara sepupu Mr. Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging tahun 1908).
Dr. Abdoel Hakim, Dr. Abdoel Karim dan Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo sama-sama
satu kelas dan sama-sama lulus tahun 1905 di Docter Djawa School.
Beberapa alumni sekolah Docter Djawa School gererasi ELS
ini yang melanjutkan studi ke Belanda antara lain: Dr. Abdoel Rivai, Ph. Laoh.
Salah satu diantara mereka yang studi lebih lanjut ke Belanda yang melanjutkan
studi doktoral adalah Dr. DJ Apituley yang meraih gelar doktor (Ph.D) di
Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul: 'Onderzoekingen over de
histiogenese van émail en mambraan van Nasmyth' (lihat De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925).
Pada tahun 1902 lama studi menjadi sembilan
tahun yang mana nama Docter Djawa School diubah menjadi STOVIA (School tot
Opleiding van Inlandsche
Artsen). Lama studi tingkat persiapan tiga tahun tetapi tingkat medik
menjadi enam tahun. Dengan lama studi sembilan tahun itu sudah dapat dianggap
setara dengan sarjana. Lulusan pertama STOVIA antara lain Dr. Soetomo (1911)
dan Dr. Radjamin Nasution (1912).
Lulusan STOVIA untuk setara dengan dokter lisensi Eropa
(Belanda) harus melanjutkan studi ke Belanda. Sejumlah dokter lulusan STOVIA
yang melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran
setara Belanda adalah Dr. Sowarno, Dr. Soetomo, Dr. Sardjito, Dr. Mohamad
Sjaaf, Dr. Sjoeib Proehoeman, Dr, Achmad Mochtar, Dr. T Mansoer, Dr. Aminoedin
Pohan, Dr. Diapari Siregar, Dr. Gindo Siregar, Dr. Pamenan Harahap. Beberapa diantara
mereka ini yang melanjutkan ke tingkat doktoral dan meraih gelar Ph.D adalah
Dr, Soewarno, Ph.D, Dr. Sarjito, Ph.D, Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D, Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D,
Perkembangan Perguruan Tinggi di Hindia Belanda: Keguruan,
Kedokteran, Kedokteran Hewan, Pertanian, Hukum, Pemerintahan dan Teknik
Sekolah
keguruan (kweekschool) dan sekolah kedokteran (Docter Djawa School) sudah sejak
lama diselenggarakan. Sekolah guru yang pertama didirikan di Souracrta tahun
1850 dan sekolah kedokteran Docter Djawa School didirikan pada tahun 1851. Dua
sekolah tinggi ini telah meluluskan guru dan dokter dalam jumlah yang banyak
dan tersebar di seluruh Nederlandsch Indie.
Perkembangan perguruan
tinggi di Nederlandsch Indie merupakan tindak lanjut pemerintah setelah
perguruan tinggi di bidang kedokteran dan bidang keguruan karena kebutuhan di
sektor lain seperti bidang hukum, bidang kedokteran hewan, bidang pertanian dan
lain sebagainya. Perkembangan perguruan tinggi ini juga seiring dengan semakin
banyaknya sekolah-sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda yang dibangun dan
juga karena diberikannnya akses yang lebih baik bagi siswa-siswa pribumi ke
sekolah-sekolah yang selama ini hanya terbatas untuk orang Eropa/Belanda
seperti tingkat sekolah HBS, HIS, MULO, AMS. Sekolah-sekolah elit Eropa/Belanda
juga dimungkinkan untuk dimasuki oleh siswa-siswa pribumi seperti sekolah K
Willem III School dan Prins Hendrik School.
Sekolah
kedokteran Docter Djawa School yang setara Diploma telah ditingkatkan menjadi
sekolah kedokteran STOVIA yang setara dengan sarjana pada tahun 1902. Namun
sekolah guru tetap tidak pernah ditingkatkan. Untuk menjadi dokter dan guru
berlisensi Eropa harus melanjutkan studi ke Belanda.
Untuk guru yang
berlisensi Eropa pertama adalah Willem Iskander tahun 1860 namun tidak tercapai
ketika ingin melanjutkan tingkat sarjana tahun 1876 karena meninggal dunia
semasa studi di Belanda. Alumni-alumni sekolah guru yang melanjutkan studi ke
Belanda yang pertama adalah Soetan Casajangan pada tahun 1905, kemudian
menyusul beberapa guru lainnya termasuk Dahlan Abdoellah, Tan Malaka dan GB
Joshua Batubara. Demikian juga dokter-dokter yang melanjutkan studi ke Belanda
sudah cukup banyak.
Sementara itu sejumlah
kursus-kursus untuk memenuhi kebutuhan di bidang lain sudah sejak lama
diselenggarakan. Salah satu alumni kursus kedokteran hewan adalah Si Badorang
yang menjadi dokter hewan pada tahun 1887.
Dokter Si Badorang adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D.
Kursus-kursus yang telah diformalkan menjadi sekolah tinggi adalah Sekolah
Pamong Pradja OSVIA pada tahun 1900. Sementara Sekolah Pertanian (Lanbouw
School) didirikan tahun 1903, sedangkan Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsen
School) didirikan tahun 1907. Kedua sekolah tinggi ini diselenggarakan di
Buitenzorg (kini Bogor).
Salah satu lulusan
pertama yang merupakan angkatan pertama Veeartsen School adalah JA Kaligis
(1911). Lulusan angkatan kedua Veeartsen School salah satu diantaranya adalah
Sorip Tagor pada tahun 1812 yang lalu kemudian diangkat menjad asisten dosen.
Pada tahun 1913 Sorip Tagor melanjutkan studi kedokteran hewan ke Utrecht dan
lulus tahun 1920. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama berlisensi
Eropa/Belanda. Dr. Sorip Tagor Harahap
kelak dikenal sebagai kakek dari Inez dan Rysti Tagor. Pada tahun 1914 Alimoesa
lulus dari Veeartsen School dan ditempatkan di Pematang Siantar dan kemudian
menjadi kepala dinas peternakan Simaloengoen en Karolanden dan menjadi anggota
dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1924 Dr. Alimoesa
Harahap terpilih menjadi anggota Volksraad dari dapil Noord Sumatra (Tapanoeli
en Atjeh).
Pada
tahun 1909 didirikan Sekolah Hukum (Rechts School) di Batavia. Siswa yang
diterima di sekolah pendidikan hukum ini adalah sekolah dasar HIS. Lama studi
adalah enam tahun yang terbagi dalam tingkat persiapan selama tiga tahun dan
tingkat rechten selama tiga tahun. Ini berarti kira-kira setara dengan sekolah pendidikan
guru (SPG). Dalam perkembangannya lulusan sekolah MULO atau lulusan sekolah
pamong MOSVIA dapat diterima dan langsung ke tingkat rechten.
Beberapa nama
yang terkenal lulusan Rechts School di Batavia ini adalah Mr. Soepomo, Ph,D dan
Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D. Raden
Soepomo lulusan MULO diterima Rechts School pada tahun 1920. Pada tahun
1922 Raden Soepomo naik dari kelas dua ke kelas tiga Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 16-06-1922).
Pada bulan Juli 1923 Raden Soepom dinyatakan lulus dan kemudian ditempatkan di
pengadilan Landraad Sragen. Lalu pada tahun 1924 Rade Soepomo melanjutkan studi
ke Belanda dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1927. Alinoedin Siregar, lulusan HIS di
Padang Sidempoean dan diterima di Rechts School pada tahun 1912. Alinoedin
Siregar lulus Rechts School tahun 1918 dan langsung ditempatkan di pengadilan Landraad
Medan. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, lahir di Batang Toroe, Padang
Sidempoean melanjutkan studi ke Belanda memperoleh gelar doktor (Ph.D) di
bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het
grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja
Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak, orang Indonesia keempat
yang meraih gelar Ph.D di bidang hukum (Raden Soepomo yang keenam). . .
Pada
tahun 1912 Sekolah Pertanian (Lanbouw School) di Buitenzorg ditingkatkan yang
berubah namanya menjadi Middelbare Landbouwschool. Siswa yang diterima harus
lulusan MULO atau Kweekschool. Sebelumnya pada tahun 1910 telah didirikan
sekolah budidaya pertanian Cultuur School di Soekaboemi. Perbedaannya adalah Lanbouw
School menekankan pada pendidikan pertanian tanaman pangan dan kehutanan,
sedangkan Cultuur School pada budidaya perikanan dan peternakan.
Salah satu lulusan
pertama sekolah Middelbare Landbouwschool adalah Abdoel Azis Nasution yang
lulus tahun 1914.Abdoel Azis Nasution, lulusan Kweekschool Forr de Kock dan langsung
melanjutkan ke sekolah Lanbouw School di Buitenzorg tahun 1911. Saat terjadi
perubahan Lanbouw School menjadi Middelbare Landbouwschool, Abdoel Azis
Nasution berada di kelas dua ditransfer Middelbare Landbouwschool. Oleh karena
itu Abdoel Azis Nasution adalah lulusan pertama Middelbare Landbouwschool.
Setelah lulus ditempatkan di sebagai pegawai pemerintah dan berpindah-pindah
tempat. Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan adalah pendiri sekolah
pertanian swasta pertama (di Loeboek Sikaping tahun1935).
Pada
tahun 1913 STOVIA ditingkatkan dengan lama studi 10 tahun. Siswa yang diterima
tidak hanya pribumi tetapi juga siswa-siswa orang Eropa/Belanda dan siswa-siswa
timur asing seperti Tionghoa dan Arab. Pada tahun yang sama (1913) di Soerabaja
didirikan sekolah kedokteran baru yang disebut NIAS. Sekolah kedokteran di
Soerabaja hanya dikhusukan untuk orang-orang pribumi.
Salah satu
mahasiswa yang terkenal dari NIAS adalah Mohamad Nawir yang masuk tahun 1929.
Mohamad Nawir adalah lulusan Koning Willem III School Afdeeling HBS-B (IPA).
Mohammad Nawir yang pada masa ini lebih dikenal dengan nama Achmad Nawir adalah
pemain sepakbola HBS Soerabaja dan NIAS yang pada tahun 1938 menjadi kapten tim
ke Piala Dunia di Prancis. Dosen-dosen yang teridentifikasi di sekolah
kedokteran Soerabaja ini adalah Dr. Mohamad Sjaaf. Ph.D dan Dr. Soetomo
(pendiri Boedi Oetomo),
Pada
tahun 1914 didirikan sekolah tinggi keguruan Hoogere Kweekschool (HKS) di
Poerworedjo. Lulusan yang diterima di sekolah tinggi keguruan ini adalah
lulusan sekolah guru Kweekschool atau kemudian diterima lulusan MULO. Lama
studi adalah tiga tahun. Ini berarti lulusan HKS kira-kira setara dengan SPG.
Dalam perkembangannya HKS ini ditutup dan didirikan HKS di Bandoeng.
Salah satu
lulusan HKS Poerworedjo adalah GB Joshua Batubara kelahiran Sipirok, Afdeeling Padang Sidempoean. Sebelum melanjutkan studi ke
Poerworedjo 1923, GB Joshua menyelesaikan sekolah guru di Kweekschoool Fort de Kock.
Pada tahun 1929 GB Joshua melanjutkan studi ke Belanda dan lulus tahun 1931
mendapat akta LO.
Sejauh ini sekolah-sekolah tinggi yang
didirikan pada dasarnya masih setara dengan sekolah menengah atau paling tinggi
setara Diploma untuk lulusan STOVIA. Sekolah pertanian Landbouw School (MULO
atau Kweekschool + 3 tahun); Rechts School (HIS/MULO + 3 tahun); Veeartsen
School (HIS+5 tahun); HKS (Kweekschool +3 tahun); dan OSVIA (HIS + 3 tahun).
Sementara itu, meski STOVIA dan NIAS tampak jauh lebih tinggi (ELS/MULO + 10
tahun) namun tidak setara dengan dokter lulusan Belanda. Oleh karena itu,
lulusan STOVIA/NIAS harus melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akte
dokter penuh (setara Eropa/Belanda). Hal ini menjadi persoalan yang serius bagi
guru Soetan Casajangan, pendiria Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan setelah
lulus sarjana pendidikan kembali ke tanah air pada tahun 1913. Sebelum pulang
ke tanah air Soetan Casajangan melakukan pertemua dengan para sarjana dan ahli
yang memiliki minat (perhatian) tentang Nederlandsch Indie.
Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal di Batavia)
membuat rencana pada tahun 1916 untuk memenuhi kebutuhan di Hindia Belanda akan
mengirim pegawai muda pribumi untuk pelatihan (opleiding) ke Technische
Hoogeschool te Delft pada tahun anggaran 1916 sebanyak 77 orang dan 1917
sebanyak 95 orang (lihat De Preanger-bode, 26-07-1916). Rencana pemerintah ini
setahun setelah keberangkatan Soerachman melajutkan studi ke Delft. Soerachman
berangkat studi ke Belanda. pada tanggal 15 September 1915 dari Batavia menuju
Amsterdam (De Maasbode, 16-09-1915). Soerachman seakan menantang untuk ke Delft
karena tingkat kesulitas yang tinggi di Delf. Pribumi pertama yang sekolah di
Delf adalah Raden Kartono pada tahun 1896 namun baru setahun pindah ke bidang
sastra di universitas lain. Raden Kartono, lulusan HBS Semarang adalah kakak RA
Kartini.
Ada rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk
mengirim banyak siswa studi ke Belanda diduga kuat untuk merespon tekanan para
pakar dan pemerhati Hindia Belanda di Belanda. Sebagaimana diketahui, pidato
Soetan Casajanagan pada tahun 1911 di hadapan para pakar di Belanda sangat
santun tetapi memberi makna yang dalam yang menggetarkan hati peserta forum
yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan profesor-profesor di sekolah
tinggi di Belanda. Kutipan pidato Soetan Casjangan dilansir sejumlah surat
kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri
Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya sudah
saling mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan.
Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean,
alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan
pendidikan pribumi. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda, sepak terjang
Soetan Casajangan sudah diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch
Vereeniging, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland
en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di
Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang
diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri
dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs'
(peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi
pidatonya:
‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan
bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam
memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang
seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini).
Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga
untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya
ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih
tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi)’.
Rencana Pemerintah Hindia Belanda tersebut
tidak jadi diwujudkan. Hal ini karena di Belanda dan di Hindia Belanda dalam
perkembangannya pada tahun 1917 muncul ide dan berkembang pemikiran, bukan memberangkatkan
siswa-siswa ke Belanda tetapi mendatangkan dosen-dosen untuk mendirikan sekolah
tinggi teknik di Nederlandsch Indie. Sultan Djogja merespon dengan positif dan
bahkan bersedia menyediakan lahan meski dia tahu Bandoeng menjadi kandidat kuat
(lihat De Preanger-bode, 19-08-1917). Sebelumnya sudah beredar informasi bahwa
rencana sekolah tinggi itu sedang mempertimbangkan Bandoeng (lihat De
Preanger-bode, 25-07-1917).
Sementara di Delft sudah dibentuk komisi yang dipimpin
oleh Prof. Klopper. Di Delft Prof. Klopper mendapat masukan dari Ir. HA
Brouwer, seorang insinyur di Kementerian PU di Hindia Belanda yang baru tiba di
Delft karena diangkat sebagai dosen di Technische Hoogeschool te Delft (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1918. De Telegraaf,
12-05-1919 melaporkan Technische Hoogeschool te Bandoeng rencana akan dibuka
tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Namun dalam perkembangannya
rencana ini dimajukan menjadi akhir Juli 1920, perkuliahan selama empat tahun
dan Ijzzermann dan Klopper melakukan persiapan di Hindia Belanda. Sekolah
tinggi ini hanya satu fakultas, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
(Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-08-1919). Pada tanggal 18 September
Prof. Klopper akan berangkat ke Hindia Belanda untuk persiapan pembukaan
Technische Hoogeschool te Delft (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 05-09-1919). Persiapan fisik Technische Hoogeschool
didukung oleh Gemeente Bandoeng. Penawaran dilakukan sejak 1 Mei dan pemerintah
lokal telah mempresentasikan di hadapan komite dan Pemerintah Hindia Belanda
(lihat Bataviaasch nieuwsblad,
09-07-1919). Ini mengindikasikan sebelum kedatangan Prof. Klopper, Bandoeng
sudah ditetapkan sebagai lokasi Technische Hoogeschool. Ini dengan sendirinya
harapan Djogja sirna.
Dalam analisis Prof. Klopper pendirian
Technische Hoogeschool te Bandoeng sangat masuk akal (Bataviaasch nieuwsblad,
09-07-1919) karena juga memungkinkan orang Belanda di Hindia Belanda (baca: Indo)
tidak harus ke Delft. Prof. Klopper menyatakan sebagian besar mereka gagal di
Delft. Dalam analisis ini tidak menyinggung siswa-siswa pribumi sebagai
kandidat di sekolah tinggi teknik (boleh jadi karena siswa pribumi modusnya
masih seputar bidang pendidikan guru, kedokteran, hukum dan pertanian
(kedokteran hewan).
Akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mulai
terwujud. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1919 melaporkan
sambil menunggu penyelesaian banguan, Prof Klopper sudah berhasil menghimpun
(mengadministrasikan) sebanyak 23 dosen dan sebanyak 87 kandidat mahasiswa.
Dalam hal ini tentu saja tidak sulit
menemukan kandidat dosen maupun kandidat mahasiswa. Sebab di Hindia Belanda
sudah sejak lama terdapat banyak insiyur lulusan di Belanda dan beberapa tahun
terakhir ini jumlah HBS (afdeeling-B/Eksak) semakin banyak.
Prof. Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di
Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Perkuliahan di
Technische Hoogeschool te Bandoeng akan dimulai Juni 1920. Salah satu persiapan
adalah diadakannya pameran studi (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Juga disebutkan dalam berita ini bahwa Dewan Persatuan
Indo-Eropa (Indo-Europeesch Verbond)
dalam pertemuannya 26 Januari memutuskan untuk menggalang dana melalui
anggotanya untuk penyediaan beasiswa bagi kandidat mahasiswa yang kurang mampu.
Menurut perkiraan setiap mahasiswa selama empat tahun termasuk pemondokan akan
menghabiskan dana sebesar f6,000. Suatu angka yang besar. Selain itu juga
diberitakan diadakan Kongres Insinyur di Batavia yang juga turut dihadiri
pengurus pusat di Belanda. Salah satu keputusan kongres ini Persatuan Insinyur
Belanda chapter Nederlandsch Indie berpndah kantor ke Bandoeng (De Sumatra
post, 18-02-1920).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
03-07-1920: ‘Ketua Dewan Direksi Technische Hoogeschool, KAR Bosscha memberikan
kata sambutan untuk menyambut hadirin dan kemudian Wakil Dewan Direktur Lembaga
Pendidikan Tinggi Pendidikan Teknik Tinggi Hindia Belanda Ir. RA van Sandick
memberikan kata sambutan di hadapan Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg
Stirum. Sandick menjelaskan sejarah yayasan itu sangat singkat, dimulai tahun
1917 berkumpul dari berbagai pihak dan mulai mengumpulkan dana dari berbagai
kalangan seperti perusahaan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran yang
hingga tahun 1919 terkumpul dana sebesar 3V3 juta gulden dan kemudian terbentuk
Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang
mana bernegosiasi dengan pemerintah (perwakilan Menteri Koloni) sehingga muncul
fungsi baru yang mana saya ditunjuk. Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch
Onderwijs in Nederlandsch-Indie menawarkan untuk pendirian sekolah tinggi
teknik di Hindia Belanda dan lalu para pendiri membentuk Dewan Direksi lalu
menugaskan tiga orang untuk mulai mengerjakannnya yakni (1) Prof. Ir. CW Weys,
mantan Hoofdkfgenieur der BOW, mantan Hoogleeraar in de tropische
waterbouwkunde aan de Technische Hoogeschool te Delft, yang sekarang menjabat
sebagai Directeur der NV Rystlanden Michiels-Aroold, (2) Prof. Dr. S. Hoogewei,
mantan Rector magnificus der Technische Hoogeschool te Delft, pengajar di bidang
kimia, dan (3) saya sendiri merangkap sebagai sekretaris. Tim ini merancang
untuk dua program studi yakni insinyur sipil dan insinyur kimia. Oleh karena
pembiayaan yang besar untuk kimia dan teknologinya sehingga (untuk sementara)
hanya untuk teknik sipil saja. Pada tanggal 1 Mei 1919 ditunjuk Prof. Klopper
dan melakukan kunjungan kesini untuk bernegosiasi dan pembicaaan dengan
pemerintah dan kemudian menetapkan lokasi di Bandoeng... bulan Juli 1919
dilakukan sebuah upacara yang termasuk peletakan batu pertama dan penanaman
empat pohon yang melambangkan harapan...arsitek bangunan Ir H. Madame Pont dan
proyek dipimpin oleh mantan Kolonel genie VL Slors dan Kapten genis MT van
Staveren dari angkatan darat....Tujuan kami adalah bahwa insinyur Technische Hoogeschool
te Bandoeng di masa depan akan setara dengan insinyur dari perguruan tinggi
teknik ternaik di Westersche terbaik, yang mana kurikulum kami akan mengacu
(copy paste) dari kurikulum Technische Hoogeschool te Delft...’
Jika diperhatikan secara cermat dari hasil
analis Prof, Klopper yang tidak sedikitpun menyinggung tentang kandidat
mahasiswa pribumi. Namun dalam perkembangan berikutnya ketika menjelang
Technische Hoogeschool te Bandoeng kandidat pribumi diakomodir (De
Preanger-bode, 03-07-1920). Mengapa muncul tarik ulur? Tidak jelas. Namun yang
jelas, pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan diundang oleh
Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda
di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para
anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan
Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan
makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche
koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut
beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
‘....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua
organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di
hadapan forum ini....pada tanggal 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun
lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor
pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan
bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri
Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan
memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur
Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk
merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa
perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya
lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan
bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah
(politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya
menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan
sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut
dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu
diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa
Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru
pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’
Isi pidato ini tampaknya
ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische Hoogeschool te
Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal ketidaksetaraan
sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar mahasiswa baru di
tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya terdapat dua jatah
pribumi. Saat itu Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester
Cornelis (kini Jatinegara). Yang tidak terduga, dalam forum ini turut dihadiri
oleh Soeltan Djogja [yang pernah secara sekarela menawarkan lahan untuk
pendirian Technische Hoogeschool]. Dalam forum hanya Soetan Casajangan yang
diminta berpiadato, dalam forum ini ini juga terindikasi panitia mengundang
orang pribumi lainnya yakni Soeltan Djogjakarta.
Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran Soeltan sangat
strategis dan menjadi bentuk protes. Pada saat itu boleh dikatakan kedua tokoh
ini sangat memerhatikan pendidikan penduduk pribumi. Oleh karenanya kedua tokoh
ini tidak hanya tokoh perubahan tetapi juga berani berkorban: Soetan Casajangan
dengan memikirkn kata-kata yang cukup tajam dengan cara penyampaian yang
diplomatis dan Soeltan Djogja dengan tulus ikhlas menyedikan lahan. Lantas
apakah ini yang menyebabkan perubahan kebijakan Technische Hoogeschool te
Bandoeng? Sudah barang tentu, karena tidak ada pemicu lain kecuali melalui
Vereeniging Moederland en Kolonien yang memiliki hubungan langsung dengan
istitusi lain seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in
Nederlandsch-Indie yang memayungi Technische Hoogeschool te Bandoeng. Soetan
Casajangan tidak hanya pemikir yang brilian, juga Soetan Casajangan mendapat
apresiasi yang luas dari kalangan orang-orang Belanda.
Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition]; dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914. Singkat kata: Tidak seorang pun yang berbicara tentang pendidikan tinggi hingga munculnya Technische Hoogeschool te Bandoeng kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk berbicara/pidato dihadapan para anggotanya (tahun 1911 dan tahun 1920).
Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition]; dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914. Singkat kata: Tidak seorang pun yang berbicara tentang pendidikan tinggi hingga munculnya Technische Hoogeschool te Bandoeng kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk berbicara/pidato dihadapan para anggotanya (tahun 1911 dan tahun 1920).
Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya
Technische Hoogeschool te Bandoeng mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi
lebih banyak. Saya tidak ingin mengatakan hal itu terjadi karena pengaruh atau
faktor Soetan Casajangan, tetapi saya meminta pembaca untuk menyimpulkan
sendiri. Salah satu diantaranya adalah Soekarno
lulusan HBS di Soerabaja pada bulan Juli 1921. Nama-nama mahasiswa pribumi yang
seangkatan dengan (Raden) Soekarno (angkatan kedua) adalah M. Soetoto, M.
Anwari, M. Koesoemaningrat, M. Soetedjo dan JAH Ondang. Catatan: dua mahasiswa
pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa
diduga gagal di tahun kedua (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).
Sejarah pendidikan tinggi di Hindia Belanda dimulai tahun
1850 dengan mendirikan sekolah guru di Soerakarta dan mendirikan sekolah
kedokteran (docter djawa school) di Batavia tahun 1851. Pada tahun 1854 dua
siswa asal afdeeling Mandailing dan Angkola (kemudian menjadi afdeeling Padang
Sidempoean) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua
siswa ini adalah yang pertama dari luar Jawa (lihat Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Pada tahun
1856 Kweekschool Fort de Kock (untuk Sumatra). Pada tahun 1857 adik kelas Si
Asta dan Si Angan bernama Si Sati melanjutkan studi di sekolah guru di Haarlem,
Belanda. Setelah selesai studi dan mendapat akte guru Eropa (1861), Si Sati yang
mengubah namanya menjadi Willem Iskander (sesuai nama raja dan pemikir Eropa)
pulang ke tanah air dan membangun sekolah guru di kampung halamannya di
Tanobato tahun 1862 (sekolah guru ketiga setelah Soerakarta dan For de Kock).
Pada tahun 1879 Kweeksvhool Tanobato ditingkatkan dengan membangun sekolah guru
yang lebih besar di Padang Sidempoean. Salah satu guru terkenal di Kweekschool
Padang Sidempoean adalah Charles Adriaan van Ophuijsen yang mendedikasikan
dirinya selama delapan tahun dan lima tahun terakhir menjadi direktur
Kweekschool Padang Sidempoean tersebut. Di sekolah guru inilah Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajanagn memulai pendidikan guru dan lulus 1887 (yang pada
nantinya 1905 melanjutkan studi ke Belanda di Haarlem (sekolah Willem Iskander
dulu). Pada tahun 1902 Docter Djawa School (lima tahun) berubah menjadi STOVIA
dan kemudian 10 tahun. Pada tahun 1907 Veeartsen School didirikan di Buitenzorg
dan kemudian Recht School di Batavia. Kweekschool ditingkatkan menjadi HKS.
Lalu tibalah gilirannya muncul perguruan tinggi (hoogeschool) yang sebenarnya:
Technische Hoogeschool (Teknik di Bandoeng, 1920).
Siapa sesungguhnya Soetan Casajangan yang
berdiri di depan Belanda dalam membela pendidikan pribumi? Soetan Casajangan
lahir di Padang Sidempuan, 30 Oktober 1874. Lulus sekolah guru (kweekschool)
Padang Sidempoean tahun 1887. Guru yang berdedikasi ini pada tahun 1905
(setelah mengajar 18 tahun) berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta
kepala sekolah (lisensi Eropa) di Haarlem.. Soetan Casajangan adalah sosok yang
berbeda (paling elegan dan percaya diri) diantara mahasiswa-mahasiswa lainnya.
Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir
Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini).
‘(Jurnalis)…mengapa anda mengambil risiko jauh studi
kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya
sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang
setia menunggumu (Soetan Casajangan)…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih
banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh
guru Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean)….tapi kini
masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan..
saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli
di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia)..saya mengajak anak-anak muda untuk
datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan
pemuda statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di
sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)….anda tahu dalam Filosofi Batak
kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus
tekun agar tetap intelek…’.
Ketika jumlah mahasiswa
sekitar 20 orang, pada tahun 1908 Soetan Casajangan mempelopori pendirian
persatuan pelajar Indonesia (baca: Nederlandsch Indie) dengan nama Indisch
Vereeniging (kelak menjadi Perhimpoenan Indonesia/PI Belanda). Sejak itu nama
Soetan Casajangan tidak hanya terkenal di Tanah Air tetapi juga di Negeri
Belanda. Seperti disebutkan di atas Soetan Casajangan telah dua kali berpidato
di hadapan para ahli/pakar Belanda (tahun 1911 dan tahun 1920). Ini
mengindikasikan bahwa hingga tahun 1920 (hingga saat permulaan didirikannya THS
di Bandoeng) hanya Soetan Casajangan yang dapat dikatakan orang Indonesia yang
aktif di bidang akademik, memiliki visi nasional dan satu-satunya yang memiliki
keberanian mengemukaan pendapat di forum resmi. Soetan Casajangan haruslah
diakui dan ditempatkan pada posisi teratas dalam perjuangan program pendidikan umum
dan progam perguruan tinggi. Sebab jika dilihat alasan mengapa guru Soetan
Casajangan saat sudah berumur 30 tahun masih melanjutkan studi ke Belanda
karena sadar pendidikan tinggi adalah instrumen penting dalam perubahan dan
kemajuan bangsa. Mengapa penulis-penulis sejarah (pendidikan) Indonesia tidak
melihat fakta ini? Singkat kata: Soetan Casajangan adalah penerus Willem
Iskander.
Universiteit van Indonesie: Transformasi dari
Era Kolonial Belanda ke Era Republik Indonesia
Technische Hoogeschool te Bandoeng yang
dibuka tahun 1920 adalah perguruan tinggi pertama di Nederlandsch Indie. Lulusannya
akan disebut insinyur dan setara dengan insinyur lulusan Eropa/Belanda. Ini
sebuah tonggak besar dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan khususnya
pendidikan/ sekolah tinggi. Pada tahun 1924, Technische Hoogeschool te Bandoeng
diakuisisi oleh pemerintah. Ini mirip yang pernah dialami oleh Kweekschool
Tanobato yang didirikan tahun 1862. Jelang sekolah guru itu menghasilkan
lulusan pertama pada tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah
sebagai kweekschool negeri yang ketiga.
Pada tahun 1924 bersamaan dengan akuisisi Technische Hoogeschool
te Bandoeng oleh pemerintah, juga pemerintah meningkatkan sekolah hukum Rechts
School menjadi perguruan tinggi hukum Rechtshoogeschool te Batavia. Dengan demikian,
pada tahun 1924 di Nederlandsch Indie sudah terdapat dua buah perguruan tinggi
(negeri).
Perhuruan tinggi Technische Hoogeschool te
Bandoeng baru meluluskan pertama kali tahun 1925 Mereka berhak gelar insinyur (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1925). Daftar lulusan perdana ini adalah Arnold
Bik, Binkhorst, Bokslag, Hardenberg, Hoetjer, Joon, Kist dan Nobbe. Sementara
Soekarno memasuki tahun terakhir. Dalam daftar ini termasuk M. Anwari, RM
Koesoemaningrat, JAH Ondang dan M. Soetoto. Pada tahun berikutnya De Indische
courant, 07-05-1926 melaporkan mahasiswa yang lulus dan meraih gelar insinyur
diantaranya Soekarno, M. Anwari, JAH Ondang dan M. Soetedjo. Diantara mereka
yang lulus tahun ini yang pertama adalah Ir. Soekarno. Dengan demikian alumni
pribumi pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng adalah Ir. Soekarno (kelak
menjadi Presiden RI pertama).
Pada bulan-bulan ini juga dilaporkan mahasiswa yang lulus
di sekolah tinggi lainnya. Di STOVIA diantaranya Diapari Siregar (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1926). Di Utrecht seorang wanita
muda bernama Ida Loemongga berhasil meraih gelar dokter (1926), yang kemudian
langsung mengambil spesialis dan berhak memperoleh dokter spesialis jantung
tahun 1929 (lihat De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929). Pada
tahun 1931 Ida Loemongga (Nasution) meraih gealr doktor (Ph.D) dalam bidang
kedokteran, Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia bergelar Ph.D.
Pada tahun 1927 giliran sekolah kedokteran STOVIA
yang diringkatkan menjadi perguruan tinggi kedokteran Geneeskundige Hoogeschool
te Batavia. Sementara sekolah kedokteran NIAS te Soerabaja tetap sebagai
sekolah kedokteran yang tetap hanya menerima siswa-ssiwa pribumi. Dengan
ditingkatkannya STOVIA menjadi Geneeskundige Hoogeschool maka di Nederlandsch
Indie sudah terdapat tiga buah perguruan tinggi.
Masih pada tahun 1927 sekolah pamong pradja atau pada
masa ini disebut sekolah pemerintahan dilakukan reorganisasi. Semua sekolah
pamong pradja yang terdapat di Bandoeng, Magelanng dan Probolinggo, Serang,
Madioen, Blitar dan OSVIA yang didirikan tahun 1918 di Fort de Kock dilikuidasi
sehubungan dengan pembentukan sekolah pamong pradja yang lebih tinggi MOSVIA (Middelbare
Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). MOSVIA ditempatkan di Magelang. Hal ini mirip dengan yang pernah terjadi
ketika Lanbouw School di Buitenzorg tahun 1912 ditingkatkan menjadi Middelbare Lanbouw
School.
Selama perkembangan sekolah tinggi yang ada
(teknik, hukum dan kedokteran) juga muncul kursus-kursus (pendidikan singkat
selama satu atau dua tahun) pada bidang lain sehubungan dengan kebutuhan
tenaga-tenaga ahli muda seperti di bidang bea dan cukai, ekonomi/perdagangan, apoteker
dan statistik. Kursus-kursus ini mensyaratkan lulusan HBS.
Beberapa lulusan kursus-kursus ini diantaranya: Abdoel
Hakim Harahap setelah lulus HBS di Prins Hendrik School tahun1927 mengikuti
kursus pendidikan ekonomi/perdagangan yang pertama. Abdoel Hakim Harahap kelak
dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri Republik (yang terakhir) di Djogjakarta
dan kemudian menjadi Gubernur Sumatera Utara; Kalisati Siregar mengikuti kursus
pendidikan Statistik yang pertama dan ditempatkan di kantor pusat Statistik di
Batavia. Pada saat pendudukan Jepang pulang kampung di Padang Sidempoean. Pada
saat era perang kemerdekaan Kalisati Siregar menjabat Kepala Dinas Perdagangan
Kabupaten Tapanoeli Selatan. Kalisati Siregar lebih dikena; sebagai ayah dari
Dr. Hariman Siregar (ketua Dewan Mahasiswa UI yang menjadi pemimpin Malari
1974); Maskut Siregar kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh Kalisati
Siregar. Pada saat pendudukan Jepang juga pulang kampung di Sipirok yang jua
turut angkat senjata melawan Belanda pada perang kemerdekaan. Maskut Siregar
lebih dikenal sebagai ayah dari Drs. Arifin Siregar, Ph.D (mantan Gubernur Bank
Indonesia dan mantan Menteri Perdagangan); dan Ismail Harahap mengikuti kursus pendidikan
apoteker yang pertama tahun 1938. Setelah lulus ditempatkan sebagai apoteker di
Soerabaja. Ismail Harahap kelak lebih dikenal sebagai ayah Datoe Oloan Harahap
alias Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun
1940 pemerintah membentuk universitas yang disebut Universiteit van Indonesie.
Pendukung pembentukan universitas ini yang sudah ada adalah THS (berdiri 1920);
RHS (1924) dan GHS (1927) yang akan dijadikan fakultas. Seiring dengan
pembentukan universitas ini dilakukan penggabungan Middelbare Landbouwschool
dan Veeartsen School yang berada di Buitenzorg sebagai Landbouw Hogeschool
(Sekolah Tinggi Pertanian). Perguruan tinggi pertanian di Buitenzorg ini
menjadi fakultas pendukung pembentukan universitas. Dengan demikian sudah
terdapat empat fakultas. Satu lagi fakultas yang dibentuk sehubungan dengan
pembentukan Universiteit van Indonesie ini adalah Faculteit der Letteren en
Wijsbegeerte yang membuka pendaftaran pada tanggal 1 Oktober 1940. Lalu perkuliahan
awal di Universiteit van Indonesiea dimulai pada tanggal 4 Desember 1940. Sejak
31 Oktober 1941 sekolah-sekolah tinggi yang ada sudah disebut fakultas seperi Landbowkundige Faculteit.
Salah satu mahasiswa yang diterima Faculteit der Letteren
en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat) di Universiteit van Indonesie
adalah Ida Nasoetion. Soerabaijasch
handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas
satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Ida Nasoetion sangat tertarik
dan menikmati kuliah di sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra
sejak masuk di Koning Willem III School. Ida Nasoetion lahir tahun 1922 dan
mengikuti pendidikan dasar Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke
Batavia sehubungan dengan ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada
tahun 1934 Ida Nasoetion didaftarkan di Koningin Wilhelmina School. Di sekolah
elit Belanda ini Ida Nasoetion menempuh pendidikan enam tahun (SMP dan SMA).
Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di K. W. III
School yang mana diantaranya Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke
kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III
School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada
pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di KW III School dan
direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda
namun pilihannya jatuh pada Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit
van Indonesie .
Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun,
tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941
pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Riau yang membuat
Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra
diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus
Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah
merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942.
Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan Belanda di Indonesia
dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.
Pada saat pendudukan Jepang Universiteit van Indonesia
disesuaikan dengan keinginan pemerintahan militer Jepang dan situasi dan
kondisi yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Setelah suasana menjadi tenang,
pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka
kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan
aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda,
kini mereka pulang ke Negeri Belanda, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan
semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan
jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih
banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus. Pada masa
ini Ida Nasoetion banyak berinteraksi dengan sastrawan-sastrawan angkatan
Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai Poestaka), seperti Soetan
Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan angkatan Balai Poestaka antara
lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua
nama-nama yang disebut tersebut berasal dari kampungnya di Afdeeling Mandheling
en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak
kekurangan mentor.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Republik Indonesia mulai merencanakan pendidikan tinggi dengan membentuk
institusi pengelola Badan Perguruan Tinggi Republik Indonesia yang dipimpin
oleh Dr. Sarwono. Ph.D. Namun belum lama Indonesia merdeka, Belanda datang kembali.
Pada tahun 1946 universitas yang pernah dibentuk sebelum perang (Universiteit
van Indonesie) direalisasikan kembali dengan nama universitas darurat Noord-Universiteit
van Nederlandsch Indie yang memulai kegiatannya pada tanggal 21 Januari 1946. Lalu
dalam perkembangannya pada tanggal 12 Maret 1947 semasa Prof. Dr. Cornelis
Douwe de Langen universitas darurat diubah menjadi Universiteit van Indonesie.
Iklan penerimaan Universiteit Indonesie, 24-10-1947 |
Mahasiswa Indonesia yang mulai aktif kuliah
lalu ikut berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Ketika situasi perkuliahan di
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai
kondusif, Ida Nasoetion langsung jiwa merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora.
Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan
jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan
mahasiswa.
Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan
organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang
disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa
ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum
ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya
memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama
perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion dibalik memersatukan
mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda. Sebelumnya pada tanggal 5
Februari 1947 di Djogjakarta telah dibentuk organisasi Himpoenan Mahasiswa
Islam yang dipimpin oleh Lafran Pane.
.
Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat
Presiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion
hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia
berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap
sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal
23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka
menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’. Sementara itu, koran Het dagblad
: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan
sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution
menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa
waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan
kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana.
Tiga pionir pendiri organisasi mahasiswa |
Ida Nasution dalam hal ini di Djakarta jelas sosok
perempuan Indonesia yang tampil ke depan sebagaimana Ida Loemnggaakan pada
tahun 1922 berangkat studi ke Belanda dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun
1931. Ida Nasution juga telah melengkapi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa
Indonesoa asal Afdeeling Padang Sidempoean seperti yang telah dilakukan oleh Lafran
Pane (pendiri HMI, 1947) dan Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging,
1908).
Mereka ini juga telah memperkaya dunia pendidikan yang
telah dirintis oleh Sati Nasution alias Willem Iskander di Tano Bato,
Mandailing (1857) dan diperkuat oleh Charles Adriaan van Ophuijsen di Padang
Sidempoean (1881) serta dipertegas oleh Radjioen Harahao gelar Soetan
Casajangan di Leiden (1911). Paralel dengan perjuangan di bidang pendidikan
juga seiring dengan pergerakan politik kebangasan yang dimulai oleh Saleh Harahap
gelar Dja Endar Moeda dengan mendirikan Medan Perdamaian di Padang (1900) dan
Parada Harahap mempelopori pendiria
PPPKI di Batavia (1927) serta Amir Sjarifoeddin Harahap yang konsisten
memperjuangkan kemerdekaan dengan teguh dan tetap non-cooperative baik dengan
Belanda maupun Jepang. Mereka itu semua adalah tokoh-tokoh penting lintas
generasi yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempeoan, Residentie Tapanoeli.
Sehubungan dengan perkembangan Universiteit
van Indonesie muncul gagasan pembentukan fakultas di Negara Indonesia Timur. Sebagaimana
diketahui Negara Indonesia Timur telah terbentuk pada akhir tahun 1946 yang
beribukota di Makassar. Negara Indonesia Timur terdiri dari Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Maluku. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk membentuk fakultas di
Makassar yang menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie. Fakultas yang
akan didirikan tersebut di Makassar adalah fakultas ekonomi.
Dalam proses pembentukan fakultas ekonomi di
Makassar didatangkan dan kemudian dikirim ke Makassar Prof. Dr. EON Broek,
profesor di 'Utrecht yang pernah sebelumnya mengajar di Universitas California
untuk melakukan penjajagan dan memberikan saran bagi fakultas ekonomi dari
universitas federal Indonesia, yang akan didirikan di Makassar (Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-08-1947). Disebutkan di
Makassar juga Prof. dr. Bonne, Presiden Universitas van Indonesie datang untuk
diskusi tentang struktur fakultas ekonomi, yang juga akan dikaitkan dengan
pendidikan untuk layanan diplomatik. Dalam perkembangannya juga muncul gagasan
pembukaan fakultas kedokteran (De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 15-09-1947) melaporkan berkenaan dengan pendirian Faultas
Ekonomi di Makassar yang akan dilakukan, pada bulan November akan diadakan
pelatihan bagi guru-guru bidang economie, statistiek, boekhouden en
handélsrekenen karena kebutuhan untuk sekolah menengah. Persyaratan penerimaan
adalah HBS 5 tahun atau setara. Lama studi akan berlangsung tiga tahun. Iklan
penerimaan mahasiswa diumumkan di surat kabat (lihat antara lain De locomotief
: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-11-1947). Selanjutnya, dilaporkan
bahwa profesor pertama telah bekerja sejak Februari, Prof. Joh. J. Hanrath untuk
persiapan fakultas ini (Nieuwe courant, 13-04-1948), Disebutkan bahwa Prof.
Hanrath sekarang memberikan kuliah dalam ekonomi deskriptif, statistik dan
geografi ekonomi. Prof Hanrath sekarang memberikan kuliah dalam ekonomi
deskriptif, statistik dan geografi ekonomi. Mereka yang lulus penndidikan tiga
tahun ini (setingkat akademi) diwajibakn selama lima tahun untuk guru di
sekolah. Mereka yang mengikuti pendidikan ekonomi ini. Mereka yang mengikuti
pendidikan ini adalah Tionghoa, Indo-Eropa, Menado, warga Minahasa, Batavia,
Semarang dan Soerabaja. Akhirnya fakultas ekonomi di Makassar yang menjadi
bagian dari Universiteit van Indonesia bertempat di gedung dewan di Makassar resmi
dibuka bulan Oktober 1948 (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 09-10-1948). Sejak inilah di Indonesia muncul perguruan
tinggi ekonomi, suatu perguruan tinggi yang belum pernah ada di seluruh Hindia
Belanda. Pendaftaran untuk tahun akademik 1948-1949 mulai 1 Agustus telah
dibuka (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 16-07-1948),
Disebutkan kuliah akan dimulai pada tanggal yang ditentukan.
Pada dies natalis yang pertama Fakultas Ekonomi, Universiteit van Indonesie di Makassar sudah terdeskripsikan kemajuannya (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1949). Disebutkan dalam dies natalis pertama dari Fakultas Ekonomi yang dirayakan di Fort Rotterdam di Makasser dihadiri banyak undangan. Diantara yang hadir Kepala Departemen Pendidikan Tinggi Afdeeling OK en W dan Menteri Keuangan, Dekan fakultas, Prof. J. Hanrath, memberikan ikhtisar tentang kinerja selama tahun pertama keberadaannya dan mengingatkan bahwa pada awal tahun pendirian fakultas hanya terdaftar 36 mahasiswa, sementara jumlah ini sekarang telah meningkat yang secara keseluruhan sudah mencapai 77 mahasiswa . Distribusi mahasiswa sebanyak 48 orang Indonesia, 19 Tionghoa dan sembilan orang Eropa. Dari Indonesia Indonesia terdiri dari 20 mahasiswa asal Indonesia Timur, 15 mahasiswa, 11 mahasiswa dari Sumatra dan satu mahasiswa dari Soenda. Lebih lanjut Prof. J. Hanrath mangatakan bahwa ttelah terbentuk korps mahasiswa Makassar yang sekarang telah memiliki 60 anggota, sementara Persatuan Mahasiswa Indonesia dengan 41 anggota. Disebutkannya bahwa saat ini fakultas telah memiliki empat profesor (kecuali Prof. Hanrath) yakni Prof. Heer, Prof. Versluys dan Prof. Winkelman plus sejumlah dosen. Kemudian dekan Hanrath memberikan gambaran tentang fasilitas fakultas yang mana mahasiswa yang dapat ditampung di asrama masih terlalu sedikit dan akan diperbanuak secara bertahap. Perpustakaan sangat cepat tumbuh berkat kontribusi Prof Hanrath namun itu tidak cukup dan diharapkan, bagaimanapun, kontribusi dari berbagai pihak diharapkan terutama dari negeri Belanda dan pihak berwenang di daerah ini untuk bersedia menyerahkan buku untuk fakultas muda ini.
Dalam perkuliahan 1948-1949 pendaftaran
dibuka dari tanggal 1 Agustus 1948 (De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 13-08-1948). Dalam pengumuman yang ditandatangani oleh
Presiden Universiteit van Indonesie Prof. Dr. AA Cense jumlah fakultas sudah
bertambah dan pendaftaran dilakukan sebagai berikut: Fakultas Kedokteran di
Kantor Perguruan Tinggi Kedokteran, Salemba 6, Batavia; Fakultas Hukum dan Ilmu
Sosial dan Fakultas Sastra dan Filsafat di Kantor Fakultas terakhir, Oranje
Boulevard 72, Batavia; Fakultas Ilmu Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan di
Kantor Fakultas Kedokteran Hewan, Van Imhoffplein 1, Buitenzorg; Fakultas Teknik
dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Program Universitas untuk Latihan Fisik dan untuk
pelatihan sebagai Guru Seni di Kantor kantor Technische Hoogeschool, Hogeschoolweg
10, Bandoeng; Fakultas Kedokteran di Soerabaja dan Institut Universitas untuk Kedokteran
Gigi di kantor Direktur Institut Universita yang dimaksud terakhir,
Viaductstraat 47 (Gedung NIAS Lama), Soerabaja; Fakultas Ilmu Ekonomi di
Makasser di kantor Dekan, Huize Baraja di Makassar. Juga disebutkan setiap
pendaftar harus menyerahkan sertifikat Diploma (asli) dan dua foto paspor.
Biaya f300 sepanjang tahun harus dibayar.
Sebelumnya, pada bulan Desember 1947 ada wacana untuk
memindahkan Universiteit van Indonesie dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor).
Alasannya lebih banyak kesempatan perumahan daripada di ibukota yang penuh
sesak. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah dimana universitas itu
ditempatkan. Lalu dibentuk suatu komite untuk melakukan studi kelayakan.
Hasilnya tidak ada keberatan dari pemerintah (Belanda) untuk menggunakan Istana
Buitenzorg sebagai kandidat universitas. Sejumlah professor dari Belanda sudah
dikontak untuk bergabung. Pemindahan pertama akan dilakukan bagi Fakultas
Pertanian dan Kedokteran Hewan (landbouwkundige en de veterinaire faculteit)
yang kebetulan ada di Buitenzorg (Bogor).
Namun tidak bisa direalisasi segera karena militer masih
menjadikannya sebagai garnisum (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 16-12-1947). Situasi dan kondisi masih perang antara
militer Belanda dengan militer/laskar Indonesia). Dalam perkembangannya, komite
untuk persiapan Universiteit van Indoensie di Butenzorg (yang salah satu
anggotanya Prof. Husein Djajanegara) membatalkan niat untuk pemusatan semua fakultas
di Istana Buitenzorg karena terlalu sempit (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 08-04-1948). Fakultas Pertanian dan Kedokteran
Hewan memulai aktivitas namun secara seremonial baru diresmikan pada tahun
tanggal 20 November 1948. Peresmian Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan
(faculteiten van landbouwwetenschap en van diergeneeskunde) ini berlangsung di
gedung Umum Balai Penelitian Pertanian yang dihadiri senat Universiteit van
Indonesie di Buitenzorg (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 13-11-1948). Namun perkuliahan belum efektif karena
masih terjadi perang di sekitar Buitenzorg (De nieuwsgier, 22-11-1948).
Selanjutnya Universiteit van Indonesie terus
mengalami perkembangan. Sejauh ini Universiteit van Indonesie merupakan
universitas yang fakultasnya terdapat di beberapa tempat. Dalam perkembangannya
juga terjadi perluasan Universiteit van Indonesie baik dengan cara mendirikan
departemen maupun institut-institut pendukungnya. Paralel dengan perkembangan
Universiteit van Indonesie yang berpusat di Djakarta juga tumbuh dan berkembang
universitas Republik Indonesia yang berpusat di Djogjakarta. Dalam penataan
ini, Universiteit van Indonesie telah selesai membuat panduan yang komprehensif
(Nieuwe courant, 17-09-1948).
Panduan Universitas van Indonesie ini adalah panduan yang
pertama diterbitkan yang bertepatan dengan tahun akademik 1948-1949. Disebutkan
Universiteit van Indonesie telah dibentuk lebih dari dua tahun setelah
berdirinya, telah tumbuh menjadi organisme besar, yang banyak cabang ilmu
pengetahuan dan ilmu pendidikan dan dengan perkuliahan yang makin teratur.
Panduan universitas ini diharapkan dapat memperlancar proses pendidirikan di
Universiteit van Indonesie. Dalam panduan ini, universitas ini secara resmi
dibuka pada Januari 1946 sebagai ‘Universitas Darurat’ yang terdiri dari lima fakultas (kedokteran, hukum,
sastra dan filsafat, ilmu pertanian dan ilmu teknik) yang secara keseluruhan
terdapat sebanyak 221 mahasiswa. Sekarang panduan ini memberikan gambaran
tentang sembilan fakultas yang
terdiri dari tiga fakultas di Batavia (hukum dan ilmu sosial, kedokteran,
sastra dan filsafat); dua fakultas di Bandoeng (teknik dan dan ilmu pasti), dua
fakultas di Buitenzorg (ilmu pertanian dan kedokteran hewan); dan masing-masing
satu fakultas di Makassar (ilmu ekonomi) dan Soerabaja (kedokteran). Juga disebutkan
ada sejumlah kursus yang dilakukan tahun 1947 yang sekarang sedang dilanjutkan.
Kursus-kursus ini sebagian telah diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan yang
segera dalam masyarakat Indonesia masa kini yang berubah dengan cepat. Catatan:
sejak awal pendirian telah bertambah empat fakultas, yakni fakultas kedokteran
di Soerabaja (pembentukan baru), fakultas ilmu pasti di Bandoeng (pemekaran),
fakultas pertanian di Buitenzorg (pemekaran) dan fakultas ekonomi di Makassar (pembentukan
baru).
Itu semua karena hasil KMB belum sepenuhnya diterima oleh
rakyat Indonesia. Para Republiken melihat hasil KMB dengan terbentuknya
struktur pemerintah yang bersifat federal (RIS) tidak mencerminkan Indonesia
sebagai 100 Persen RI. Ketika pemimpin RIS (via Menteri Pendidikan)
menginginkan Universitas Gadjah Mada yang didirikan para Republiken pada
tanggal 19 Desember 1949 di Djogjakarta digabungkan dengan universitas nasional
sehubungan dengan penunjukan Ir, Soerachman sebagai Presiden Universiteit
Indonesa (di Dajakarta) terjadi resistensi. Hal ini dikhawatirkan para
Republiken bahwa Universitas Gadjah Mada sebagai situs penting perjuangan RI merebut
kemerdekaan Indonesia secara penuuh akan hilang dengan peleburan tersebut.
Seiring dengan proses tarik-menarik ini juga masih terjadi proses politik
dengan gerakan NKRI dari Medan yang menginginkan hanya satu pemerintahan.
Akhirnya Presiden Ir. Soekarno merespon gerakan NKRI dari Medan dengan membubarkan
RIS dan kembali ke (NK)RI yang secara defacto dimulai pada tanggal 17 Agustus
1950. Dengan berakhirnya RIS, pada tahun 1951 Jajasan Universita Indonesia
dibentuk dengan Presiden Mr. Soepomo. Ph.D maka dimulailah tonggak awal
Universitas Indonesia.
Setelah RIS dibubarkan dan kembali ke NKRI,
dengan debentuknya Jajasan Universitas Indonesia yang diketuai oleh Prof.
Soepomo, maka Universitas Indonesia mulai menjalankan aktivitas pergruan tinggi
dengan jiwa negara berdaulat dan 100 persen RI. Lu kemudian Jajasan Universitas
Indonesia diakuisi pemerintah dengan menjadikannya universitas negeri yang
kedua (untuk menyusul universitas negeri pertama, Universitas Gadjah Mada di
Djogjakarta). Dalam fase proses penegerian Universitas Indonesia tahun 1951 ini
pimpinannya tetap dijabat oleh Prof. Soepomo sebagai presiden.
Universitas Indoneesia of Republik Indonesia
tahun 1951 berbasis pada Geneeskundige Hogeschool yang menjadi Fakultas
Kedokteran. Geneeskundige Hogeschool pada dasarnya adalah kelanjutan dari
STOVIA. Jika mundur ke masa lampau, Docter Djawa School yang mengawali
kegiatannya pada tahun 1851 adalah cikal bakal STOVIA. Secara tidak langsung,
Universitas Indonesia of Republik Indonesia tahun 1951 pada dasarnya sudah
berlangsung satu abad, suatu rentang waktu yang sangat-sangat panjang. Setelah
satu abad pula dapat dikatakan Universitas Indonesia berdaulat secara penuh.
Pada tahun 1951 Universitas Indonesia secara formal ditata ala Indonesia yang
dimulai dengan penyesuaian kurikulum dengan pendidikan nasional Indonesia dan
meng-Indnesia-kan para dosen.
Pada tahun 1951 secara de facto dan secara
dejure terdapat dua universitas nasional (negeri), yakni: Universitas Gadjah
Mada dan Universitas Indonesia. Setelah Indonesia kembali ke (NK)RI,
Universitas Gadjah Mada, universitas para Republiken (100% RI) dengan cepat
tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito, Ph.D sebagai presiden pertama (sejak
1949) dalam hal ini cukup menonjol. Para senat Universitas Gadjah Mada
tampaknya lega setelah Ir. Soekarno mendukung penuh NKRI.
Enam fakultas Universitas Gadjah Mada diantaranya
fakultas ilmu politik, fakultas hukum, fakultas kedokteran dan fakultas teknik.
Sebelum digabungkan sebagai bagian dari Universitas Gadjah Mada, fakultas teknik
adalah sekolah tinggi teknik yang didirikan oleh Prof. Rooseno (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-08-1953). Sementara itu, Universitas
Indonesia yang fakultas-fakultasnya terdapat di beberapa kota terus dilakukan
konsolidasi.
Ir. Soekarno yang sempat ‘mengingkari’ RI dan
membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat Universitas Gadjah
Mada. Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno terus berjuang demi NKRI. Senat
Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan memberikan gelar doktor honaris
causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe courant, 20-09-1951). Promosi gelar
tersebut dilakukan di auditorium Universitas Gadjah Mada. Presiden Universitas,
Profesor Sardjito membuka sidang dan kemudian membacakan isi penganugerahan itu
lalu diserahkan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno kemudian
menyampaikan pidato. Dalam sidang pemberian gelar doktor kepada presiden (NK)RI
Ir. Soekarno turut hadir Presiden Universitas Indonesia, Prof. Soepomo.
Universitas Indonesia melakukan dies natalis yang ketiga
(1953) Universitas Indonesia akan diselenggarakan di Bandoeng yang diadakan di
aula van de technische faculteit (Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1953). Dies natalis Universitas
Gadjah Mada yang keempat baru akan dilakukan bulan Desember (De nieuwsgier,
21-12-1953).
Dalam perkembangannya, Universitas Indonesia
dan Universitas Gadjah Mada dimekarkan dengan adanya keinginan pemerintah untuk
membentuk universitas negeri Universitas Airlangga di Soerabaja.
Menteri Pendidikan Mohamad Jamin mengumumkan akan
melakukan reorganisasi universitas di Indonesia (De nieuwsgier, 19-05-1954).
Menteri Pendidikan menyebutkan rencananya sekarang adalah untuk memperluas
jumlah universitas negeri menjadi lima buah. Pertama, Universitas Indonesia
akan diubah namanya menjadi Universitas Poernawarman. Universitas Indonesia
saat ini memiliki fakultas di Jakarta, Bogor dan Bandung. Kedua, pemerintah
akan membangun Universitas Adityawarman di Sumatra. Ketiga, tetap
mempertahankan Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Keempat, Universitas Airlangga akan didirikan di Soerabaja yang merupakan gabungan dari cabang Universitas
Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Untuk universitas kelima disebutkan Universitas
Hasanoeddin di Sulawesi yang berlokasi di Makassar.
Sebelumnya sudah ada universitas negeri yang
pertama di Djogjakarta, yakni Universitas Gadjah Mada yang secara dejure
diformalkanpada akhir tahun 1949. Lalu kemudian Jajasan Universitas Indonesia di
Djakarta diakuisisi oleh pemerintah dan dijadikan sebagai universitas negeri pada
tahun 1951. Masih pada tahun 1951, di Djakarta berdiri Akademi Wartawan
Algemeen...de Preangerbode, 19-02-1951 |
Di Padang didirikan sekolah tinggi hukum, perguruan tinggi pertama
di Sumatra. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Disebutkan dalam
pembukaannya dihadiri oleh Prof. Mr. Hazairin Harahap, Ph.D. Pendiri sekolah
hukum ini adalah Mr. Egon Hakim Nasution, sarjana hukum alumni Universiteit
Leiden, anak wali kota Padang, Dr. Abdoel Hakim (sekelas dengan Dr, Tjipto
Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School di Batavia).
Di Medan
telah dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952). Jajasan ini adalah badan
penyelenggara Universitas Sumatra Utara yang memulai aktivitasnya dengan mendirikan fakultas kedokteran di Medan. Presiden Jajasan adalah Abdoel Hakim
Harahap (gubernur Sumatra Utara) yang mana dalam susunan dewan terdapat Dr.
Mohamad Ildrem Siregar, alumni fakultas kedokteran Universiteit Amsterdam,
bendahara Perhimpoenan Indonesia (1936-1940). Akta pendirian Univeristas
Sumatra Utara dibuat oleh notaris Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoeman
(notaris Indonesia kelima).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951: ‘Di Medan dan
sekitarnya, Universitas Untuk Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara, Abdul
Hakim Harahap mengirim surat yang ditujukan kepada coordinator dewan dari Aceh
dan Tapanuli dan semua bupati di wilayah
itu, yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dana di kalangan penduduk dalam rangka
untuk meningkatkan modal bagi pendirian Universitas Sumatera Utara di Medan.
Dana yang terkumpul akan dikelola oleh badan khusus, dan hal ini dimaksudkan
bahwa pada awal tahun depan dapat memulai studi di universitas ini untuk
Sumatera Utara. Gubernur Abdul Hakim menempatkan dalam suratnya menyatakan
bahwa dia sudah berulang kali didesak untuk mengambil inisiatif untuk pendirian
universitas yang mana mereka umumnya meminta untuk memulai fakultas kedokteran.
Gubernur berharap bahwa pemerintah akan mengatur sebuah universitas di Medan
yang mana sekarang ingin masyarakat Sumatera Utara memungkinkan dirinya untuk
menaikkan dana yang diperlukan. Hal ini dipertimbangkan sebesar Rp 1 per kapita
untuk memberikan kontribusi, selain kontribusi dari sector perdagangan,
industri dan lainnya. Gubernur berharap pengumpulan daba selesai pada akhir
Februari’.
Pembentukan Universitas Airlangga kemudian
direalisasikan pada tahun 1954 yang merupakan gabungan lembaga-lembaga
pendidikan yakni berbagai perguruan tinggi dan institut yang ada di Soerabaja. Peresmian
Universitas Airlangga yang langsung dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal
10 November 1954 tepat pada hari Pahlawan (De nieuwsgier, 12-11-1954). Untuk Pelantikan
Presiden Universitas Airlangga Prof. G. Priggodigdo sendiri akan dilakukan
kemudian.
Pada awal tahun 1954 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada membuka cabang di Semarang (De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 05-01-1954).
Disebutkan perguruan tinggi farmasi ini adalah perguruan tinggi yang pertama di
Semarang. Pembukaan dilakukan oleh Presiden Universitas Gadjah Mada yang turut
dihadiri Prof. Sardjono dan Prof Mr Notonegoro dan undangan lainnya seperti
Overste Saragih, Komandan Teritorial.
Presiden Universitas Gadjah Mada Prof.
Sardjito mulai menghadapi kesulitan dalam soal dosen. Ini terkait dengan
pendirian Universitas Airlangga di Soerabaja. Sejumlah dosen dan profoesor yang
mengajar di Universitas Airlangga juga adalah dosen dan profesor di Universitas
Gadjah Mada, Untuk mencari solusi telah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini
antara Presiden Universitas Airlangga di Surabaya, Prof. AG Pringgodigdo dan
Prof. Sardjito (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 01-12-1954). Prof. Sardjito
menyatakan bahwa para profesor yang mengajar di Universitas Airlangga akan
tetap sebagai profesor Universitas Gadjah Mada karena mereka memegang keputusan
pengangkatan sebagai profesor di Universitas Gadjah Mada. Namun, Universitas
Gadjah Mada akan terus mendukung Universitas Airlangga yang belum memiliki
profesor dan dosen yang berkualitas. Sebelum pertemuan dua presiden univeritas
ini sebelumnya. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sempat ditutup setelah
pembukaan resmi Universitas Airlangga oleh Presiden Soekarno. Hal ini karena sebelumnya
tidak ada kontak yang dilakukan antara Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah
Mada.
Persoalan ini muncul karena pada dasarnya fakultas hukum
yang dibentuk sebagai bagian dari Universitas Airlangga pada dasarnya adalah
cabang fakultas hukum Universita Gadjah Mada di Soerabaja. Sedangkan fakultas
kedokteran yang menjadi bagian dari Universitas Airlangga adalah fakultas
kedokteran dan lembaga kedokteran gigi yang berada di bawah Universitas
Indonesia. Dalam hal pembentukan Universitas Airlangga sebenarnya adalah
pemekaran Universitas Indonesia tetapi dalam hal ini Universitas Gadjah Mada harus
melepaskan cabangnya yang berada di Soerabaja. Sebelum Universitas Airlangga didirikan sudah
berdiri beberapa perguruan tinggi di Soerabaja. Salah satu perguruan tinggi
tersebut adalah fakultas kedokteran Soerabaja yang merupakan kelanjutan sekolah
kedokteran di era kolonial Belanda (NIAS) dan menjadi bagian dari Universiteit
Indonesia. Salah satu profesor fakultas kedokteran Soerabaja tersebut adalah
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, alumni STOVIA yang meraih gelar Ph.D di Belanda
tahun 1930. Pada tahun 1935 Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat sebagai kepala
laboratorium Soerabaja. Saat ini Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga adalah Kepala
Dinas Kesehatan di Jawa Timur. Di era kolonial Belanda Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D juga pernah menjabat kepala dinas kesehatan Residentie Soerabaja dan juga
Residentie Kediri. Pengangkatan Dr. Proehoeman, Ph.D dapat dibaca pada surat
kabar De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951: ‘Fakultas kedokteran. Dengan
keputusan Menteri Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter di klinik
dokter praktik di Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter kelas satu (baca:
Profesor), di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran di Soerabaja’. Fakultas
kedokteran di Soerabaja inilah yang menjadi salah satu pendukung didirikannya
Universitas Airlangga bersama-sama dengan cabang fakultas hukum Universitas
Gadjah Mada.
Pada tahun 1954 Dr. Sardjito. Ph.D sudah
memimpin universitas selama lima tahun. Dr. Sardjito akan berakhir masa jabatannya
sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada. Dr. Sardjito mulai menjabat pada
tanggal 19 Desember 1949. Ini berarti pada tanggal 19 Desember 1954 Dr.
Sardjito telah menjadi Presiden Universitas Gadjah Mada selama lima tahun. Kini,
Dr. Sardjito sudah lima tahun lebih menjabat.
Pada rapat tahunan yang dipimpin Dr. Sardjito terungkap
bahwa jumlah mahasiswa sebanyak 7444 orang, dosen sebanyak 122 serta asisten dosen sebanyak 115 orang,
tigas asisten WHO, sebanyak 28 orang profesor asing termasuk 21 profesor
Belanda (De vrije pers : ochtendbulletin, 20-09-1954). Disebutkan dari hasil
rapat tahunan ini fakultas voor juridische, economische, sociale en politieke
wetenchappèn akan dipecah menjadi tiga fakultas: Faculteit voor juridische;
Faculteit voor Sociale en Economische; dan Faculteit voor politieke
wetenchappèn. De nieuwsgier, 21-09-1954 melaporkan Universitas Gadjah Mada yang
saat ini memiliki 7.444 mahasiswa. Terdiri dari 1.944 mahasiswa kedokteran dan
farmasi, sebanyak 3.101 mahasiswa ilmu hukum, ekonomi, sosial dan politik.
Sementara sebanyak 1.113 mahasiswa teknik dan sebanyak 419 mahasiswa pertanian’.
Dalam rapat kabinet diputuskan pengangkatan
kembali Profesor M. Sardjito sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-04-1955). Sejauh ini memang, Dr. Sardjito terbilang
sukses menata dan mengembangkan Universitas Gadjah Mada. Alasan itulah yang
besar kemungkinan mengapa Dr. Sardjito masih dipecaya pemerintah untuk menjabat
sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada untuk periode kedua (1955-1960). Beberapa
hari kemudian Dr. Sardjito menghadiri acara pemisahan fakultas di Universitas
Airlangga di Soerabaja.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-04-1955: ‘Di
hadapan Presiden Universitas Gadjah Mada dan Presiden Universitas Indonesia,
banyak dosen dan profesor dari Universitas Airlangga dan banyak tamu undangan,
Sabtu Menteri Pendidikan, Mohamad Jamin, Ketua dan anggota Dewan Pengawas dan
Presiden Universitas Airlangga di auditorium fakultas kedokteran di Surabaja.
Setelah membaca teks pemisahan Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, dan teks pemisahan Fakultas Ilmu Hukum dan Fakultas
Ekonomi, Sosial dan Politik dari Universitas Gadjah Mada, masing-masing oleh
Presiden Univeristeit Indonesia, Prof. Bahder Djohan dan Presiden Universitas
Gadjah Mada, Prof. Sardjito, menandatangani akta pemisahan empat fakultas.
Menteri Pendidikan mengatakan dalam sambutannya bahwa, berkat keunggulan
universitas-universitas di Universita Gadjah Mada dan Universitas Indonesia,
maka Universitas Airlangga dapat didirikan. Berbicara tentang masa depan
Universitas Airlangga, Mohamad Jamin mengatakan bahwa jumlah profesor dan dosen
akan ditambah sesegera mungkin. Jumlah fakultas di Universitas Airlangga juga
akan diperluas, sementara pembangunan blok bangunan yang dibutuhkan akan
dipercepat. Mohamad Jamin mengatakan bahwa dana yang diperlukan tersedia
meskipun fakta bahwa kondisi keuangan, seperti yang dia katakan, saat ini masih
‘gelap’. Dalam pidatonya setelah penandatanganan akta pemisahan empat fakultas,
Prof. Sardjito, Presiden Universitas Gadjah Mada memnberi gambaran singkat
tentang perkembangan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada di Soerabaja sejak
didirikan. Jumlah keseluruhan mahasiswa adalah 169 mahasiswa, yang mengikuti
ujian pendahuluan, diantaranya sebanyak 12 mahasiswa telah lulus (66.4%) dan
dari 21 mahasiswa yang mengikuti ujian akhir, diantaranya 14 berhasil (66,7%).
Setelah acara resmi, Menteri, para presiden universitas, dewan para kurator,
para profesor, dosen dan tamu yang hadir menuju ruang resepsi, dimana dilakukan
acara pemberian ucapan selamat kepada Presiden Universitas Airlangga dan Dewan
Pengawas’.
Pemerintah Republik Indonesia terus menambah
universitas negeri. Universitas Indonesia yang fakultas dan cabang-cabangnya
masih terpencar-pencar (sebagaimana sebelumnya Universitas Gadjah Mada yang
juga memiliki cabang di Soerabaja dan Semarang) menjadi target pembentukan
universitas negeri yang baru. Namun itu masih belum prioritas. Sukses
pembentukan universitas negeri di Soerabaja tetap menjadi dasar untuk pembentukan
universitas negeri yang baru. Universitas negeri yang baru akan dipersiapkan di
Sumatra dan Sulawesi.
Gagasan pembentukan universitas negeri di Sumatra sudah
muncul pada bulan Mei 1954 (De nieuwsgier, 19-05-1954). Usulan ini datang dari
Djakarta. Saat itu yang menjadi Menteri Pendidikan adalah Mohamad Jamin. Nama
universitas yang diusulkan adlah Universitas Adityawarman. Dalam hubungan
tersebut Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan F. Hoetasoit
telah mengunjungi Middcn-Sumatra dan telah menetapkan ada dua fakultas dari
Universitas Adityawarman yang berlokasi di Midden Sumatra yakni Fakultas Pertanian
di Pajakoemboeh dan Fakultas Padagogik di Batoesangkar. Sementara fakultas lain
akan ditetapkan lokasinya di daerah lain di Sumatera, misalnya di Palembang dan
Medan (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 18-06-1954). Proses
pembentukan universitas negeri di Sumatra ini berarti sebelum Universitas
Airlangga diresmikan pada tanggal 10 November 1954. Penetapan nama Adityawarman
dan penentuan dua fakultas lebih awal di Midden Sumatra tidak begitu jelas. Sebab
saat itu, perguruan tinggi yang sudah ada dan terbilang baik yakni fakultas
kedokteran di Medan di bawah Jajasan Universitas Sumatra Utara. Namun yang
jelas bahwa fakultas pertanian dan fakultas pedagogik yang ditetapkan di Pajakoemboeh
dan Batoesangkar sesungguhnya belum berwujud dan baru tahap perencanaan. Oleh
karena dana pemeritah yang terbatas dan keinginan masyarakat di Midden Sumatra
termasuk di perantauan berinisiatif untuk membantu dengan penggalangan dana
masyarakat seperti di Bandoeng (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 04-09-1954).
Hal serupa ini sudah pernah dilakukan pengagalangan dana masyarakat di Sumatra
Utara tahun 1952 yang ikut mendukung kesuksesan pendirian Jajasan Universitas
Sumatra Utara yang dipimpin oleh Gubernur Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap. Lantas
apakah Jajasan Universitas Sumatra Utara yang membawahi fakultas kedokteran di
Medan tidak berminat untuk penegerian atau ikut bergabung dengan maksud
pemerintah mendirikan universitas di Sumatra dengan nama Adityawarman? Namun
yang jelas sudah ada delegasi yang datang dari Padang ke Jakarta yang ingin
Universitas Adityawarman segera direalisasikan (Het nieuwsblad voor Sumatra,
22-09-1954). Tidak diketahui mengapa tujuan pendirian universitas di Sumatra kemudian
menjadi hanya terbatas di Midden Sumatra saja. Untuk merespon delegasi,
pemerintah di Djakarta setuju jika usulan Perguruan Tinggi Hukum Pantjasila
diakuisisi untuk melengkapi Universitas Adityawarman sehingga menjadi tiga
fakultas. Ketika Boerhanoeddin Harahap muncul sebagai Perdana Menteri RI usulan
pendirian Universitas Adityawarman yang hanya terbatas di Midden Sumatra ini sudah
pada tahap proses akhir.
Desakan masyarakat di Midden Sumatra agar
pendirian universitas negeri di Sumatra terus meningkat. Boleh jadi desakan ini
semakin menguat lebih-lebih Universitas Airlangga di Soerabaja akan segera
dibuka, Dan, boleh juga minat para pegiat pendidikan tinggi di Sumatra Utara
tidak terlalu tertarik dengan usulan pemerintah pusat untuk mendirikan
universitas Sumatra lebih-lebih karena dipusatkan di Midden Sumatra, sementara
universitas di Sumatra Utara yang berlokasi di Medan sudah beroperasi. Tampaknya
di era Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap proses pendirian universitas Sumatra
yang menggebu sedikit tertahan atau kurang terinformasikan.
Saat inilah muncul pendirian fakultas
kedokteran di Bukittinggi, di satu sisi untuk melengkapi fakultas pertanian di Pajakoemboeh,
fakultas pedagogik di Batoesangkar dan (kemungkinan) pengakusisian perguruan
tinggi hukum Pantjasila yang dipimpin oleh Mr. Egon Hakim Nasution di Padang dan di sisi lain untuk mengimbangi eksistensi fakultas kedokteran di Medan yang sudah berjalan.
Untuk memimpin proses pendirian fakultas kedokteran di Bukittingi ditunjuk
Prof. Dr. Mohamad Sjaaf. Ph.D, dosen di fakultas kedokteran di Soerabaja. Meski
Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D kelahiran Boekittinggi sudah pindah ke
Bukittingi, Prof. Dr. Sjoeib Prohoeman, Ph.D kelahiran Pajakoemboh masih tetap bertahan
sebagai dosen di fakultas kedokteran Soerabaja (yang telah bergabung dengan
Universitas Airlangga). Setahun setelah dalam fase awal pendirian fakultas
kedokteran di Bukittinggi, Prof. Saaf menginformasikan sangat sulit mendapatkan
tenaga dosen. Sejumlah dosen potensial sudah sejak lama bergabung di fakultas
kedokteran di Jajasan Universitas Sumatra Utara di Medan, seperti Prof. Dr. T.
Mansoer, Ph.D. Prof. Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D dan Prof. Dr. Mohamad Ildrem Siregar. Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D kelahiran Bondjol yang cukup potensial untuk di Sumatra,
namun sudah meninggal tahun 1945 dibunuh oleh militer Jepang.
Baru pada era Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (yang kedua) usulan pendirian universitas Sumatra di Midden
Sumatra mengemuka kembali. Hal ini juga seiring dengan telah tercukupinya
minimal lima fakultas pendukung untuk pendirian sebuah universitas. Dalam
proses awal pendirian fakultas kedokteran di Midden Sumatra mulai muncul
masalah kecukupan dosen.
Kelangkaan dosen untuk fakultas kedokteran untuk
dialihkan ke Sumatra telah diiformasikan oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta setelah
memberi kuliah umum di Bukittinggi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1956). Lebih lanjut Mohamad
Hatta mengatakan bahwa di Universitas Indonesia sendiri masih kekurangan dosen
kedokteran. Oleh karenanya, menurut Mohamad Hatta tidak tepat fakultas
kedokteran Bukittinggi meminta tambahan dosen kedokteran dari Jawa. Masalah
lain yang menyebabkan kesulitan di Bukittinggi menurut Mohamad Hatta adalah ketersediaan
perumahan. Disamping itu, Wakil Presiden (Mohamad Hatta) mengatakan bahwa penduduk
tidak bersedia menyerahkan tanahnya untuk bangunan-bangunan fakulteit. Juga Wakil
Presiden menyatakan bahwa niat pemerintah untuk mendirikan setidaknya satu
universitas di setiap provinsi. Tetapi pemerintah saat ini menghadapi banyak
kesulitan.
Sementara itu di Medan, Jajasan Universitas
Sumatra terus memperkuat fakultas-fakultas yang dimilikinya secara mandiri. Apalagi,
rencana awal pemerintah pusat untuk mendirikan universitas Sumatra telah
berbelok arah ke Midden Sumatra yang berpusat di Bukittinggi. Universitas
Sumatra telah dipersepsikan sebagai Universitas Midden Sumatra. Itu seiring
dengan adanya niat pemerintah pusat untuk mendirikan minimal satu universitas
di setiap provinsi. Yang jelas baru di satu provinsi (Midden Sumatra) di
Sumatra universitas yang didukung habis oleh pemerintah pusat. Di daerah
lainnya entah kapan.
Jajasan Universitas Sumatra Utara terdiri dari dewan dan pelaksana.
Struktur Dewan Universitas Sumatra yang terakhir adalah sebagai berikut (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1954): Ketua adalah Gubernur Sumatra Utara (saat
ini Mr. SM Aminn Nasution); Wakil Ketua, Hasan Harahap gelar Soetan Pane
Paroehoem (notaris pertama Sumatra); Sekretaris/Bendahara, Dr. Soemarsono. Para
anggota: de burgemeester van Medan; Oh Tjie Lien; Dr. Barlan; Dr. Maas; Dr.
Aminoediin Pohan, Ph.D; Ir. Tahir, Anwar en Madong Lubis. Pelaksana eksekutidf
adalah para dekan dan jajarannya. Nama-nama dekan diantaranya: Dr. A. Sofyan (Fakultas
Kedokteran) dan Mr. T. Dzulakarnain (Fakultas Hukum).
Dalam perkembangannya, Gubernur Midden
Sumatra telah menerima surat dari Departemen Pendidikan yang mengizinkan
pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier, 24-07-1956). Dalam
hubungan ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal. Gubernur telah
mengundang semua Bupati dan Wali Kota di Midden Sumatra untuk menghadiri
upacara pembukaan universitas pada bulan September tahun ini (13 September 1956,
red),
Sehubungan dengan pendirian universitas ini, surat
diterima dari Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta, yang mana ia memberikan saran,
untuk memberikan nama universitas yakni nama yang memiliki nilai khusus untuk
daerah yang bersangkutan (West Sumatra) dengan nama Tuanku Imam Bondjol. Sebelumnya
ketika Menteri Pendidikan dijabat Mohamad Jamin mengusulkan untuk menggunakan
nama Adiyawarman. Sementara itu, Prof. Mohamad Sjaaf, dekan fakultas kedokteran
di Bukitlinggi merekomendasikan nama Andalas untuk universitas.
Dalam perkembangannya universitas negeri pertama
di Sumatra ini kemudian ternyata bukan namanya Universitas Adityawarman, akan
tetapi nama yang muncul adalah Universitas Andalas. Usul nama Andalas ini merupakan
usul dari Prof. Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D. Ini dengan sendirinya nama Adityawarman
yang ditetapkan oleh Mohamad Jamin (semasa menjabat Menteri Pendidikan) tidak
disetujui. Demikian juga usul Wakil Presiden Mohamad Hatta yang memberi nama Tuanku
Imam Bondjol tidak diterima. Universitas Andalas lalu diresmikan pada tanggal
13 September 1956. Universitas Andalas dengan sendirinya menjadi universitas
negeri yang keempat. Sebelumnya, untuk jabatan Presiden Universitas Andalas
telah ditunjuk Prof. Dr. Mohamad Sjaaf (Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1956). Disebutkan, pada sidang
Kabinet, Prof. Dr. Mohd Sjaaf diputuskan sebagai Presiden Universitas Andalas
di Bukittinggi.
Pembentukan Universitas
Andalas ini sejatinya adalah bertumpu pada Fakultas Hukum (eks perguruan tinggi
Pantjasila). Perguruan tinggi Pantjasila telah didirikan oleh Mr. Egon Hakim
Nasution dkk pada tahun 1950. Perguruan Tinggi Hukum Pantjasila sudah eksis
sejak sejak 1950 dan telah menghasilkan lulusan. Sementara perguruan tinggi
lainnya yang menjadi fakultas pendukung pendirian Universitas Andalas benar-benar
baru dimulai dari nol ketika ada keinginan pemerintah pusat pada tahun 1954
untuk mendirikan universitas di Sumatra. Lulusan pertama Universitas Andalas
adalah berasal dari fakultas hukum
Pada tahap berikutnya usulan pendirian universitas negeri di
Sulawesi dapat direalisasikan. Universitas negeri ini merupakan bagian dari
program penyebaran perguruan tinggi di Indonesia. Nama universitas negeri yang
akan diabngun di Sulawesi sudah disebut sebelumnya dengan nama Universita
Hasanoedin yang berlokasi di Makassar. Universitas Hasanoeddin kemudian menjadi
universitas negeri yang kelima.
Nun disana di Kabupaten Tapanuli Selatan (eks Afdeeling Padang
Sidempoean) para orangtua mulai khawatir putra-putrinya sulit memasuki
perguruan tinggi karena situasi ekonomi nasional juga dirasakan di Tapanuli
Selatan yang terus memburuk. Perguruan tinggi yang dulu sangat terasa dekat
yang berada di Batavia dan Buitenzorg bahkan yang di Belanda sekan terasa jauh
yang ada di Padang dan Medan. Itu semua karena zaman telah berubah situasi dan
kondisi yang dihadapi juga telah drastis berubah (setelah era pendudukan
Jepang).
Binanga Siregar, mantan Residen Tapanoeli ketika
melihat sudah berdiri beberapa universitas negeri, muncul situasi yang tidak
menguntungkan bagi putra-putri Tapanuli Selatan (eks Afdeeling Padang
Sidempoean). Hal ini karena kondisi ekonomi orang tua yang semakin memburuk dan akan sulit
membiayai anak-anak jika kuliah jauh dari kampung halaman, Untuk itu Binanga
Siergar meminta perhatian pemerintah pusat untuk mendirikan universitas di
Tapanuli.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 23-09-1957. Universitas Tapanuli. Warga Tapanuli, yang juga
anggota dari majelis konstituante, Binanga Siregar, menyatakan dalam sebuah
wawancara dengan kantor berita PIA bahwa pengusulan Universitas Tapanuli adalah
untuk kepentingan pendidikan semata, pencerdasan masa depan masyarakat di
Tapanuli. Karena itu Binanga Siregar bersikeras untuk mendirikan sebuah
universitas di Tapanuli. Pada saat ini di Tapanuli terdapat lima belas sekolah
menengah, yang memberikan 200 lulusan setiap tahunnya. Lulusan ini harus pergi
untuk kelanjutan studi mereka ke daerah-daerah di luar Tapanuli, prihatin
karena memerlukan biaya besar, terutama jika mereka melanjutkan studi di Jawa’.
Usulan Binanga Siregar ini memang secara
intens dibahas. Namun Gubernur Sumatra Utara Mr. SM Amin Nasution menganggap
pendirian universitas negeri di Residentie Tapanoeli belum waktunya (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 23-10-1957). Alasan gubernur ini dapat dipahami,
karena di ibukota Provinsi Sumatra Utara yang beribukota di Medan belum ada
universitas negeri. Ide penegerian Jajasan Universita Sumatra dulu yang sempat
dibahas di era kabinet Boerhanoedin Harahap, kini kembali diperbincankan di
Medan. Gubernur SM Amin ingin lebih membesarkan lebih dahulu Jajasan
Universitas Sumatra Utara.
Pada fase dimana pembahasan Universitas Tapanuli,
sebenarnya juga terjadi pengusulan pembentukan universitas negeri di Bandoeng
karena THS Bandoeng selama ini dianggap sebagai Universitas Indonesia cabang
Bandoeng. Akhirnya dibentuk Universitas Padjadjaran di Bandoeng tetapi
Universitas Tapanuli masih terkendala.
Pemekaran Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah
Mada yang sempat tertunda karena adanya pembangkangan politik di Sumatra yang
berbasis di Sumatra Barat dan Sulawesi yang berbasis di Sulawesi Utara (PRRI/Permesta)
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Institut Teknologi Bandung (ITB)
sebagai bagian dari pemisahan (pemekaran) Universitas Indonesia. Pembentukan
ITB ini terlaksana pada tahun 1959. Lalu
kemudian dilakukan pembentukan Universitas Diponegoro di Semarang yang
sebelumnya juga terdapat cabang dari Universitas Gadjah Mada. Universitas
Diponegoro secara resmi berdiri tahun 1961. Last but not least: Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia di Bogor kemudian dibentuk menjadi Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963.
Silsilah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia |
Perkembangan universitas negeri sesungguhnya masih terus
berlangsung di berbagai daerah. Namun untuk Universitas Gadjah Mada dan
Universita Indonesia sebagai induk universitas negeri sudah memasuki tahap
stasionary dan perubahan yang terjadi dua universitas lebih pada penguatan
institusinya sendiri dalam hal pengembangan fakultas dan departemen.
Setelah Universitas Indonesia dirampingkan
karena adanya proses pemisahan (pemekaran) yang terbentuknya ITB dan IPB, maka
Universitas Indonesia mulai lebih fokus penataan internal. Era baru Universitas
dimulai lagi.
Universitas Indonesia: Mr. Mochtar Koesoemaatmadja; Mr.
Aida Dalkit Harahap dan Mr. Sheherazade Radjamin Nasution
Unversitas Indonesia pada fase peralihan dari
era kolonial (Belanda) ke era kedaulatan (Indonesia) dilakukan pada tanggal 2
Februari 1950 yang mana pimpinan universitas berganti dari Prof. Dr. Wietse
Radsma kepada Ir. RM Pandji Soerachman Tjokroadisoerio. Tanggal peralihan
tersebut yakni tanggal 2 Februari 1950 menjadi titik tolak Universitas
Indonesia secara resmi beradaulat. Fakultas yang ada adalah: Fakultas
Kedokteran, Fakultas Hukum dan Sosial dan Fakultas Sastra dan Filsafat. Tiga
fakultas ini berada di Djakarta.
Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam di
Bandoeng; Fakultas Pertanian dan Fakulteit Kedokteran Hewan di Bogor; Fakultas
Hukum di Makassar; Fakulteit Kedokteran di Soerbaja. Disamping itu masih
terdapat lembaga-lembaga.
Mahasiswa-mahasiswa yang lulus pada masa
transisi ini antara lain: Lulus tahun 1950 di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
(faculteit voor rechtsgeleerdheid en sociale wetenschappen van de Universiteit
van Indonesie) adalah Mej. Lo Gwat Wan, Mej. Rr. Sri Widojati Notopradjo, BML
Janz, Soeparman Sastrosoehardjo, Ko Eng Han dan Ong Tjing Boen (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1950). Mahasiswa yang lulus pada tahun 1950 masih
ditemukan orang Belanda seperti BML Janz.
Di Fakultas Hukum dan Sosial diangkat dekan (baru) yakni
Prof. Djoko Soetono (De vrije pers : ochtendbulletin, 13-12-1950). Disebutkan
Prof. Djoko Soetono akan mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu
Politik. Selain itu juga disebutkan diangkat Prof. Mr. Dr. Hazairin Harahap
(Hukum Adat dan Hukum Islam); Prof, Mr, S. Kolopaking Sanyatavijaya (Sosiologi
dan Ekonomi); Prof. Mr. Drs. Notonegoro (Hukum Agraria dan Politik Agraria);
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (Ekonomi Indonesia); Prof. Mr. AP
Funke (Hukum Perdagangan); Prof, Mr. WLG Lemaire (Hukum Perdata Antar
Golongan); Prof, Dr, H Muller (Kriminalistik); Prof. Dr. DH Burger (Kapita
Selekta Ekonomi Indonesia); Prof. Mr. WME Noach (Krimonologi): Prof. Dr. RF
Beerling (Filsafat Hukum); dosen Mr. H Th. Chabot (Kapita Selekta Hukum Adat); dosen
Mr. R Satoechid Kartanegara (Hukum Pidana dan Prosedur Pidana); dosen Mr. Koesmadi
(Hukum Perdata); dosen Mr. R. Soewandi (Hukum Notariat). Catatan: Soewandi
adalah notariat pribumi pertama. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D
adalah Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Pada tahun 1951 yang lulus di Fakultas Hukum
dan Ilmu Sosial antara lain A. Moerad Astrawinata dan Auwjong Peng Koen (Nieuwe
courant, 17-04-1951). Nama Auwjong Peng Koen lebih dikenal sebagai PK Ojong,
pendiri surat kabar harian Kompas. Pada
tahun-tahun selanjutnya, mahasiswa-mahasiswa Tionghoa di Fakultas Hukum yang
sebelumnya tampak dominan secara perlahan berkurang. Jumlah mahasiswa Belanda
akhirnya menghilang dan lalu kemudian didominasi pribumi seperti tampak lulusan
tahun 1952. Yang lulus tahun 1952 di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial antara lain Soleiman
Soeriadinata en Tagor Daulay.
Jika memperhatikan ke belakang, Tagor Daulay diterima
pada tahun 1940. Pada tahun 1941 naik ke kelas dua (Bataviaasch nieuwsblad,
02-09-1941). Sebagaimana telah disebutkan, pada tahun 1940 juga Ida Nasution
diterima di Fakultas Sastra saat mana Universiteit van Indonesie dimulai. Namun
pada awal tahun 1942 perkuliahan ditutup karena pendudukan Jepang. Pada tahun
1948 muncul lagi nama Tagor Daulay yang lulus kelas dua (lihat De nieuwsgier,
29-09-1948). Ida Nasution tidak bisa melanjutkan kuliah karena bulan Maret
1948, Ida Nasution ketua dewan mahasiswa (ketua PMUI) dilaporkan menghilang
yang diduga dibunuh intel/militer Belanda. Tagor Daulay akhirnya menyelesaikan
kuliahnya hingga mendapat gelar sarjana hukum (Mr).
Indonesiasi Universitas Indonesia sudah
dimulai pada tahun 1951. Ini ditandai dengan pembentukan Jajasan Universita
Indonesia yang mana Ir. Soerachman digantikan oleh Prof. Mr. Soepomo, Ph.D. Meski
demikian proses perkuliahan tetap berlangsung berkesinambungan.
Mahasiswa-mahasiswa yang register sejak era kolonial Belanda (sebelum perang)
dapat melanjutkan pendidikannya di era perang kemerdekaan dan era pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (setelah 27 Desember 1949). Jumlah
mahasiswa yang lulus di Fakultas Hukum kemudian dari tahun ke tahun semakin
banyak. Ini mengindikasikan semakin banyak mahasiswa lama (era Belanda) dan
mahasiswa baru (era perang dan era RI) yang register.
Sementara itu, Universitas Indonesia mengangkat Profesor
yang baru (De nieuwsgier, 15-12-1953). Disebutkan Presiden Universitas
Indonesia Prof. Mr. Dr. Soepomo mengangkat Bahder Djohan, mantan Menteri
Pendidikan sebagai profesor luar biasa dalam bidang penyakit tropis di Fakultas
Kedokteran. Sebelumnya, Prof. Mr. Dr. Soepomo telah menghadiri dies natalis
ketiga faculteit der letteren van de universiteit van Indonesie (De nieuwsgier,
05-12-1953). Dalam dies natalis ini juga dilakukan pergantian kepala departemen
dari Noegroho Notosoesanto kepada Kamaloedin. Dalam dies natalis ini Prof.
Soepomo didampingi oleh dekan Fakultas Sastra, Prof. Prijana.
Pada awal tahun 1954 Prof. Soepomo, Presiden
Universitas Indonesia diusulkan untuk menjadi duta besar untuk Inggris (De
nieuwsgier, 17-03-1954). Profesor Soepomo akan menggatikan Dr. Soebandrio yang
akan dipindahkan ke Moskow (De Telegraaf, 24-03-1954).
Lalu kemudian Prof. Soepomo diangkat menjadi duta besar untuk Inggris. Namun
pengganti Presiden Universitas Indonesia tidak segera ditunjuk. Organisasi-organisasi
mahasiswa di Universitas Indonesia melakukan unjuk rasa meminta Menteri Pendidikan
untuk menunjuk seseorang untuk menggantikan Prof Dr Soepomo (De nieuwsgier, 08-05-1954).
Organisasi yang menandatangani permintaan adalah: GMD, PMKRI, GMKI, HMI, Ta
Hsueh Hsueh Shiang Hui, PMPI, IPPI dan PSSDI. Menteri Pendidikan sat ini adalah
Mohamad Jamin. Lalu kemudian giliran dewan mahasiswa Universitas Indonesia (studentenraad
van de Universiteit van Indonesie) yang mendesak
pemerintah untuk menunjuk seorang presiden baru untuk Universitas sesegera
mungkin (De nieuwsgier, 16-06-1954)/ Disebutkan bahwa dewan mahasiswa meminta presiden
baru akan mendedikasikan perhatian dan kemampuannya untuk pengembangan
Universitas Indonesia dan bahwa pengangkatannya tidak akan memiliki
pertimbangan politik. Sementara itu dari sisi pemerintah melalui Menteri
Pendidikan Mohamad Jamin berdalih bahwa penunjukan Presiden Universitas yang
baru menunggu status baru Universitas Indonesia dengan nama baru Universitas
Poernawarman (De nieuwsgier, 19-05-1954).
Fakultas Matematika dan Fisika Universitas Indonesia (Faculteit
van Wis- en Natuurkunde van de Universiteit van Indonesie) di Bandoeng untuk
kali pertama melakukan promosi doktor (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 12-04-1954). Nama yang dipromsikan adalah Theodorus Reinders Rix
lahir di Veendam dengan desertasi berjudul ‘Enige additiereacties aan
oethoxyacetyleen’ yang mana sebagai promotor adalah Prof. Dr. M. Grube. Upacara
berlangsung hari Sabtu bertempat di auditorium Fakultas Ilmu Teknik. Dalam
promosi ini turut dihadiri oleh Presiden Universitas Indonesia Prof. dr. Mr.
Soepomo dan dekan Prof. dr. H. Th. M. Leeman. Promosi ini juga dihadiri oleh banyak
profesor dari dua fakultas yang berada di Bandoeng.
Terkait dengan ‘pemberhentian’ Prof. Soepomo
sebagai Presiden Universitas Indonesia tidak diketahui secara jelas apakah
Prof. Soepomo berprestasi atau tidak memimpin Universitas Indonesia. Namun yang
jelas Prof. Soepomo sudah ditempatkan sebagai duta besar di Inggris. Padahal
menurut normanya Prof. Soepomo belum waktunya untuk diganti. Sebab Presiden
Universitas Gadjah Mada sendiri masih dijabat oleh Prof. Sardjito (sejak 1949).
Sementara Prof. Soepomo baru menjabat sebagai Presiden Universitas Indonesia
baru sekitar tiga tahun. Para mahasiswa mewanti-wanti agar presiden universitas
yang baru figur yang memiliki dedikasi dan tidak bermuatan politik.
Prof. Soepomo adalah anggota Partai PIR (lihat De
Volkskrant, 08-09-1954). Partai PIR dalam kabinet adalah juga partai berkuasa.
Anggota PIR terdapat pada posisi Wakil Perdana Menteri (Wongsenegoro), Menteri
Dalam Negeri (Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap) dan Menteri Perhubungan/Menteri
PU (Prof. Ir. Rooseno). De Volkskrant, 08-09-1954 menyebutkan partai PIR yang
merekomendasi Prof. Soepomo untuk duta besar Inggris meski Prof. Soepomo
sendiri lebih menginginkan untuk ditempatkan untuk duta besar di PBB.
Presiden Universitas Indonesia yang terus
lowong membuat anggota parlemen dari fraksi Parkindo, Nawawi mengajukan
pertanyaan ke pemerintah (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-10-1954). Nawawi telah mengajukan pertanyaan tertulis
kepada pemerintah, dimana dia bertanya apakah pemerintah memiliki pendapat yang
sama seperti dia. bahwa ini adalah masalah yang mendesak dan bahwa seorang
wakil harus ditunjuk sesegera mungkin. Selanjutnya, Nawawi menanyakan
persyaratan dan kondisi apa yang ditetapkan pemerintah saat menunjuk presiden
universitas dan bagaimana prosedur penunjukan ini. Selanjutnya, Nawawi
menanyakan apakah Universitas Indonesia memiliki tekad bulat dalam hal ini, dan
jika demikian, apa fungsinya (Universitas Indonesia) dalam prosedur penunjukan
ini. Setelah sekian bulan Universitas Indonedia tidak memiliki Presiden,
akhirnya pemerintah melalui Dewan Menteri memutuskan pada tanggal 17 November
1954 untuk mengangkat Prof. dr. Bahder Djohan (De nieuwsgier, 18-11-1954).
Sebelum pengangkatan ini telah terjadi perubahan struktur
kabinet yang mana Wakil Pernana Menteri Wongsonegoro dari partai PIR telah
digantikan oleh Zainul Arifin Pohan dari Partai NU. Menteri Dalam Negeri Prof,
Hazairin Harahap juga telah diganti. Posisi Prof. Ir. Rooseno dari PIR digeser
posisinya menjadi dari Menteri Perhubungan dan Menteri PU menjadi Menteri
Perekonomian.
Pengangkatkan Prof. dr. Bahder Djohan memuculkan
pertanyaan dan terkesan lebih bernuansa politis daripada akademis. Sebelumnya Bahder
Djohan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan (September 1950-April 1951).
Dr. Bahder Djohan sendiri baru diangkat sebagai profesor luar biasa (De
nieuwsgier, 15-12-1953). Jabatan profesor yang diberikan hanya berstatus luar
biasa. Pendidikan Bahder Djohan hanya lulus dokter dari STOVIA (tahun 1928),
bukan dokter sarjana penuh dari universitas di Belanda. Posisi akademik Dr.
Bahder Djohan berbeda dengan Presiden Universitas Gadjah Mada Dr. Sardjito,
Ph.D lulusan dokter Belanda peraih gelar doktor (Ph.D) dan Presiden Universitas
Indonesia sebelumnya Mr. Soepomo, Ph.D lulusan sekolah hukum Belanda dan peraih
gelar doktor (Ph.D).
Interval antara pengangkatan Dr. Bahder
Djohan sebagai dosen (profesor luar biasa) di Universitas Indonesia (Desember
1953) dengan keputusan penunjukan Dr. Bahder Djohan menjadi Presiden
Universitas Indonesia (November 1954) bahkan belum genap setahun. Dalam
pengangkatan dosen luar biasa Dr. Bahder Djohan turut dihadiri (diantarkan) oleh
Wakil Presiden Mohamad Hatta. Lalu
beberapa bulan kemudian muncul berita Presiden Universitas Indonesia akan
dicopot dan ditugaskan untuk duta besar di Inggris (De nieuwsgier, 17-03-1954).
Padahal Prof. Mr. Soepomo, Ph.D baru tahun 1951 diangkat sebagai Presiden
Universitas Indonesia. Dan sudah barang tentu Prof Soepomo lebih menginginkan
tetap di kampus dari pada sebagai diplomatik. Prof. Soepomo sejak meraih gelar
doktor sudah intens di bidang penelitian hukum dan menjadi dosen (Profesor) di
Rechts Hoogeschool di era Belanda. Boleh jadi hal yang bersifat politis sangat
dikhawatirkan mahasiswa ketika melakukan demonstrasi sebelumnya. Sebagaimana
dalam waktu dekat, untuk presiden Universitas Airlangga yang baru dibentuk akan
dijabat oleh seorang akademisi Prof. G. Pringgodigdo. Bukankah di Universitas
Indonesia yang memiliki fakultas di Djakarta, Bandoeng dan Bogor terdapat cukup
banyak profesor yang kapabel? Penunjukan Dr. Bahder Djohan dari luar lingkungan
kampus menjadi presiden universitas terkesan lebih bersifat politis daripada
akademik. Dr. Bahder Djohan terkesan merupakan skenario Menteri Pendidikan
Mohanmad Jamin dan Wakil Presiden Mohamad Hatta (yang pro kerjasama dengan
asing). Ini terlihat saat Prof. Mr. Soepomo, Ph.D sudah tidak menjabat sebagai
presiden (sekitar April 1954) dengan pengangkatan presiden universitas yang
baru (November 1954) cukup lama dikosongkan alias digantung. Apakah harus cukup waktu bagi Dr. Bahder
Djohan untuk memahami konstelasi di dalam internal Universitas Indonesia lalu baru kemudian ditunjuk
sebagai presiden universitas. Tampaknya cukup lama Universitas Indonesia
dikorbankan untuk mendapatkan presiden universitas yang baru.Penunjukan presiden Universitas Indonesia yang sekarang (1954) harus dibedakan dengan penunjukan Ir. Soerachman sebagai presiden Universiteit Indonesia (di era RIS). Ir. Soerachman adalah alumni pertama teknik kimia di Delf.
Presiden Universitas Indonesia yang baru
Prof. Bahder Djohan dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember
1954 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-12-1954).
Dalam pelantikan Universitas Indonesia bersamaan dengan pelantikan Presiden
Universitas Airlangga Prof. G. Pringgodigdo. Upacara pelantikan ini berlangsung
di Djakarta yang juga dihadiri oleh hampir semua menteri, kepala staf angkatan
laut dan udara, kepala polisi negara bagian dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.
Mengapa tidak ada kepala staf angkatan darat?
Itu karena Presiden Soekarno telah memecat Kolonel Abdul Haris Nasution akibat
peristiwa 17 Oktober 1952. Militer kala itu meminta Presiden untuk membubarkan Parlemen
karena terlalu merecokin pemerintah eksekutif (kabinet). Permintaan itu
dilakukan dengan cara demonstrasi di depan istana yang dikenal dengan Peristiwa
17 Oktober. Saat itu partai yang berkuasa adalah PNI. Kekosongan fungsi
pimpinan angkatan darat lalu dibebankan kepada komisi pertahanan di parlemen
yang dipimpin oleh Zainoel Arifin Pohan (Masyumi). Selain Kolonel Abdul Haris
Nasution yang dirumahkan juga Major General TB Simatoepang. Lalu kemudian juga Menteri
Pertahanan Hamengkoeboewono dicopot. Selama dirumahkan, Kolonel Abdul Haris
Nasution tidak melakukan perlawanan dan hanya berdiam di rumah dan menulis buku
yang kemudian dikenal buku Pokok-Pokok Gerilya. Dalam perkebangannya orang-orang
NU memisahkan diri dari Partai Masyumi dan membentuk Partai NU yang mana sebagi
ketua NU adalah Zainoel Arifin Pohan. Partai PNI pecah kongsi di parlemen
dengan Masyumi dan kemudian PNI membentuk koalisi baru dengan kabinet baru: Ali
Sastroamidjojo sebagai Pernana Menteri (PNI) dan Wongsonegoro sebagai Wakil PM
I (PIR) serta Zainoel Arifin Pohan sebagai Wikil PM II. Namun entah mengapa
Prof. Soepomo dicopot sebagai Presiden Universitas Indonesia dan didubeskan ke
Inggris ((De nieuwsgier, 17-03-1954). Setelah kehilangan Prof. Soepomo sebagai
anggota PIR, kemudian PIR mulai tidak nyaman. Kasak kusuk tentang pemerintahan
Ali Sastroamidjojo mulai merebak. Kasak kusuk itu semakin kencang sejak
ditemukan ada indikasi penyelundupan yang dilakukan tentara di Jawa Barat dan
Sulawesi (Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-10-1954). Komandan Teritorial Sulawesi
telah dipanggil Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan ke Jakarta. Moral
tentara yang tidak memiliki pemimpin (Kolonel Abdoel Haris Nasution masih
dirumahkan) ikut teracuni menambah daftar kegagalan kabinet Ali Sastroamidjojo.
Isu kegagalan pemerintah dijadikan Partai PIR untuk mulai menyerang pemerintah.
Wakil Perdana Menteri I, Wongsonegoro mundur, Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin
Harahap ditarik partainya, PIR. Demikian juga Prof. Ir. Rooseno (PIR) menyusul penarikan
Prof. Hazairin. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin (NU) harus diserahi
tugas-tugas Wongsonegoro dan Hazairin ketika pemilu semakin dekat. Tidak hanya
disitu: Menteri Pertahanan lalu dicopot. Kabinet Ali-Arifin makin lama makin
lemah karena karena kehilangan mayoritas di parlemen. Masyumi yang dipimpin
Boerhanoeddin Harahap terus menekan PNI yang dianggap gagal memerintah,
Demikian juga surat kabar Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis terus
mengkritisi pemerintah yang telah gagal. Perdana Menteri Ali Satroamidjojo
akhirnya mundur. Zainul Arifin Pohan juga turut mundur. Kabinet Ali tamat
jelang pemilu. Partai PIR yang mengincar Perdana Menteri, tetapi Partai PIR kalah
bertarung di parlemen melawan Masyumi. Lalu Masyumi membentuk kabinet baru
dengan Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap. NU dibawah pemimpin politiknya,
Zainul Arifin Pohan mati langkah (NU beberapa tahun sebelumnya telah keluar
dari Masyumi). NU lantas konsentrasi untuk memenangkan pemilu. Kabinet baru
menghadapi tantangan berat yakni jelang pemilu pertama. Perdana Menteri
Boerhanoedin Harahap lalu memasukkan dua tokoh penting dalam kabinetnya yakni
Prof, Dr. Soemitro Djojohadikoesomo (PSI) sebagai Menteri Keuangan dan Abdoel
Hakim Harahap yang diposisikan sebagai Menteri Negara (bidang Pertahanan) untuk
membantu Boerhanoeddin Harahap yang selain sebagai perdana menteri juga rangkap
sebagai Menteri Pertahanan. Kebetulan
dua menteri ini sama-sama satu alumni Prins Hendrik School Batavia: Abdoel Hakim
Harahap (lulus) 1927) dan Soemitro Djojohadikoesomo (lulus 1935). Kakak kelas
mereka Mohamad Hatta (lulus 1921). Kabinet Boerhanoeddin Harahap diresmikan
pada 12 Agustus 1955. Hal yang pertama dilakukan PM Boerhanoeddin Harahap adalah
meminta menterinya Abdoel Hakim Harahap (mantan Residen Tapanoeli di era perang
dan mantan Gubernur Sumatra Utara di era pasca pengakuan kedaulutan RI oleh
Belanda) untuk mendamaikan para tentara dan memilih pemimpinya. Dalam pertemuan
semua kolonel di Djogjakarta muncul dua kandidat utama: Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akhirnya yang terpilih adalah Abdoel
Haris Nasoetion. Zulkifli Lubis tampaknya tidak puas, karena selama ini sangat
dekat dengan Soekarno. Di lain pihak, Soekarno mau tak mau harus menerima
(kembali) Abdoel Haris Nasoetion yang pernah ‘dirumahkannya’. Selama dirumahkan
Abdoel Haris Nasoetion tekun ‘belajar’ dan berhasil menulis buku Pokok-Pokok
Gerilya. Dalam perkembangannya di parlemen terjadi koalisasi PNI dan Partai NU
‘menghantam’ Masjumi yang mengusulkan UU Anti Korupsi. Boerhanuddin Harahap
tidak puas, UU Anti Korupsi tidak berhasil digolkan. Boerhanoeddin Harahap lalu
mengundurkan diri dan kabinetnya dibubarkan pada tanggal 24 Maret 1956. Prof.
Soemitro memfokuskan diri di Universitas Indonesia. Meski Abdoel Hakim Harahap pensiun
tetapi mengembalikan fungsi Kepala Staf Angkatan Darat bukan pekerjaan mudah.
Hanya Abdoel Hakim Harahap yang mampu mendamaikan para kolonel seluruh
Indonesia. Ali Sastroamidjojo kembali menjadi Perdana Menteri dan Zainul Arifin
Pohan menjadi Wakil Pernana Menteri II (Kabinet Ali-2). Namun dalam perkembangannya,
Mochtar Lubis, pimpinan surat kabar Indonesia Raya mulai mengangkat isu korupsi di tubuh kabinet
yang mana Ali Sastroamidjojo habis-habisan membela menterinya yang diduga
memperkaya diri dengan jalan korupsi. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari
Kolonel Zulkifli Lubis. Mochtar Lubis membuka front opini kepada Ali
Sastroamidjojo.
Pada tahun 1955. dalam usianya yang kelima
tahun, Universitas Indonesia masih terus berjuang untuk meningkatkan mutu. Jumlah
universitas yang ada saat ini adalah Universitas Indonesia di
Djakarta,Unversitas Gadjah Mada di Djokjakarta dan Universitas Airlangga di
Soerabaja. Sejauh ini Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas,
yakni: (1) Fakultas Hukum (rechten); (2) Fakultas Ekonomi (economie); (3)
Fakultas Teknik (techniek) di Bandoeng; (4) Fakultas MIPA (wisen natuurkunde)
di Bandoeng; (5) Fakultas Kedokteran (medicijnen); (6) Fakultas Pertanian
(landbouw) di Bogor; (7) Fakultas Sastra (literatuur); dan (8) Fakultas
Kedokteran Hewan (veerartsenijkunde).
Distrubusi (jumlah) mahasiswa Universita Indonesia pada
tahun 1953 adalah sebagai berikut (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 17-02-1953):
Fakultas Kedokteran Djakarta (864 mahasiswa); Fakultas Hukum dan Sosial (857);
Fakultas Sastra (242); Fakultas Ekonomi (1.015); Fakultas Pertanian di Bogor
(340); Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor (67); Fakultas Teknik di Bandoeng (1.845);
Fakultas Matematika dan Ilmu Alam di Bandoeng (395); Fakultas Pendidikan
Jasmani di Bandoeng (68); Fakultas Kedokteran di Soerbaja (874); Fakultas
Kedokteran Gigi di Soerabaja (224) dan Fakultas Hukum di Makassar (63).
De nieuwsgier, 21-09-1955: ‘Simposium ekonomi. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia sedang merayakan lustrum pertama bulan ini. Puncak dari
perayaan lustrum ini dua simposium yang didedikasikan untuk masalah-masalah
sosial yang penting. Sebuah simposium tentang interpretasi Pasal- 33 (UUD 45)
akan diadakan di auditorium di Dajalan Salemba No. 4 pada hari Jumat 23
September pukul 7.30 malam. Simposium pertama ini adalah Wilopo. Sedangkan sebagai
pembicara debut pertama Widjojo Nitisastro yang akan diadakan pada hari Senin
26 September pukul 8 malam di auditorium, suatu simposium yang ditujukan untuk
rencana industrialisasi untuk Indonesia. Untuk pembahasa dua simposium itu
adalah Dipokusumo dan Sarbimi, MA. Kedua simposium diketuai oleh Prof. Dr
Sumitro Djojohadikoesoemo. Undangan tersedia dari panitia lustrum d/a Fakultas Ekonomi,
Salemba’.
Pada tahun 1955 kembali Fakultas Hukum dan
Sosial kembali beberapa kali menghasilkan lulusan. Diantara lulusan tersebut terdapat
nama-nama Sheherazade Radjamin Nasution dan Mochtar Koesoemaatmadja. Untuk
sekadar mengingatkan kembali bahwa Sheherazade Radjamin Nasution adalah putri
dari Dr. Radjamin Nasution (pendiri Partai Bangsa Indonesia bersama Dr. Soetomo).
Dr. Radjamin Nasution adalah wali kota pertama Soerabaja. Sedangkan Mochtar
Koesoemaatmadja adalah anak dari Mr. RM Koesoemah Atmadja, Ph.D (orang Indonesia
kedua yang meraih gelar Ph.D di bidang hukum). Mochtar Koesoemaatmadja kelak
dikenal sebagai Menteri Luar Negeri.
Untuk menjadi sarjana tidaklah mudah. Meski jumlah
mahasiswa yang register bertambah dari waktu ke waktu tetapi kenyataannya
tingkat kelulusan per fakultas sangatlah rendah (Het nieuwsblad voor Sumatra,
05-10-1955). Disebutkan bahwa mayoritas mahasiswa tidak mendapatkan dukungan
yang cukup dari orang tua mereka dan karena itu terpaksa mahasiswa menjadi
bekerja. Di semua fakultas Universitas Indonesia saat ini terdapat
1.514 mahasisa perempuan, kira-kira enam persen dari total jumlah mahasiswa.
Dalam persentase, para mahasiswa perempuan memiliki tingkat kelulusan yang
lebih baik jika dibandingkan mahasiswa laki-laki. Menurut kesan beberapa
profesor, gadis-gadis itu mengabdikan diri mereka lebih serius daripada rekan
pria mereka untuk belajar.
Faktor lain, yang juga disebut hambatan bagi
kemajuan pendidikan universitas di Indonesia adalah kurangnya memadai dosen.
Setiap profesor disini kelebihan beban, sehingga dia tidak punya waktu untuk
penelitian dan kerja ilmiah dan dia hampir tidak bisa mengikuti perkembangan
profesinya.
Pada tahun 1956 kembali Fakultas Hukum dan
Ilmu Sosial, Universitas Indonesia menghasilkan sarjana hukum (Meester in de
Rechten), Dalam daftar yang lulus pada bulan Februari terdapat nama Aida Dalkit
Harahap (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 21-02-1956). Aida Dalkit
Harahap tergolong generasi baru, generasi Republik Indonesia. Aida Dalkit
Harahap diterima tahun 1952, dan pada tahun 1953 diberitakan lulus ujian kelas
satu (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
27-01-1953).
Aida Dalkit Harahap telah menyusul Sheherazade Radjamin
Nasution sebagai sarjana hukum. Aida Dalkit Harahap adalah putri dari Parada
Harahap (penggagas PPPKI tahun 1927). Dua sarjana hukum ini adalah dua pertama
perempuan Batak yang meraih gelar sarjana hukum. Setahun kemudian, Mr. Aida
Dalkit Harahap menikah dengan Datu Porkas Daulay tanggal 14 Agustus 1957 di
Pintu Padang, Tapanuli Selatan sebagaimana tampak dalam iklan keluarga di surat
kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
14-08-1957. Datu Porkas Daulay adalah teman sekelas Aida Dalkit di Fakultas
Hukum dan Sosial Universutas Indonesia. Datu Porkas Daulay setelah lulus
ditempatkan di pengadilan negeri medan sebagai jaksa senior (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 12-02-1957). Catatan
tambahan: surat kabar legendaris Java-bode sejak tahun 1952 sudah diakuisisi
oleh Parada Harahap.
Universitas Indonesia pada tahun 1956 untuk
kali pertama memberikan gelar doktor honoris causa. Gelar pertama ini diberikan
kepada Dr. R. Kodjat (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 27-06-1956). Doktor kehormatan ini diberikan dalam sebuah
upacara di auditorium Universitas Indonesia. Dr. R Kodjat adalah kepala Lembaga
Penelitian dan Pengendalian Penyakit dari Departemen Kesehatan. Pemberian gelar
diberikan sebagai penghormatan untuk pahalanya di bidang memerangi raspberrya.
Ini adalah gelar doktor kehormatan pertama yang dianugerahkan oleh Universitas
Indonesia. Upacara ini dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, Presiden
Parlemen Mr. Sartono, Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Mr. Hoetasoit
dan sejumlah besar pihak yang tertarik. Dekan fakultas kedokteran. Prof.
Soedjono Djoened Poesponegoro. bertindak sebagai promotor.
Gelar doktor luar biasa (doktor honoris causa) yang
pertama adalah Presidenm Ir. Soekarno. Gelar doktor luar biasa kepada Presiden
Ir. Soekarno diberikan oleh Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta pada tahun
1952. Gelar ini lebih pada suatu bentuk penghormatan sebagai pejuang Indonesia,
yang terakhir sebagai tokoh penting dalam kembalinya Indonesia ke negara
kesatuan (NKRI) yang sempat sebelumnya berwujud RIS (dominasi negara-negara
federal yang di sani- sini pengaruh Belanda masih ada). Perdana Menteri RIS
adalah Mohamad Hatta. Pemberian gelar doktor honoris causa kepada Ir. Soekarno
hanya semata-mata sebagai gelar kehormatan yang tidak terkait dengan eksistensi
Universitas Gadjah Mada sebagai lingkungan kampus yang menganut otonomi
perguruan tinggi. Sementara gelar profesor luar biasa yang diberikan kepada Dr.
Bahder Djohan kenyataannya tidak hanya sebagai profesor luar biasa untuk fungsi
akademik (pengajar) tetapi juga telah diangkat menjadi Presiden Universitas
Indonesia.
Untuk mengejar ketertinggalan Fakultas
Ekonomi Universita Indonesia dalam menghasilan lulusan, berbagai kegiatan telah
dilangsungkan di Fakultas Ekonomi. Sebelumnya telah dilangsungkan simposium
pada lustrum kelima (De nieuwsgier, 21-09-1955). Keberadanm Fakultas Ekonomi di sisi eksternal
juga semakin dirasakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat pada sidang kabinet
yang membentuk Dewan Ekonomi dan Perencanaan (lihat Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1956). Dewan ini diketuai
oleh Perdana Menteri yang terdiri dari dua Wakil Perdana Menteri dan beberapa
Menteri yang bertugas untuk menasihati Kabinet tentang masalah-masalah
sosio-ekonomi dan perencanaan di bidang ini. Dalam sidang kabinet ini juga telah
menyetujui pengangkatan Prof. J. Rietveldt sebagai profesor di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Saat pemerintahan kabinet yang baru (Kabinet Ali Sastroamidjojo) membentuk Dewan
Ekonomi dan Perencanaan, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (Mantan Menteri
Keuangan pada Kabinet Boerhanoeddin Harahap yang dibubarakan 3 Maret 1956) yang
masih Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia berangkat ke Amerika Serikat pada hari Senin
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956).
Disebutkan, Prof. Dr. Soemitro akan menghadiri seminar yang diadakan Merril
Center for Economics, selama sekitar enam minggu, dimana pemikiran akan
dipertukarkan antara para ekonom dari seluruh dunia. Prof. Dr. Soemitro akan
ditunjuk sebagai anggota dari lima anggota Komite Pengarah. Setelah menghadiri
seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah tamu di University of California
at Berkeley. Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat, Prof. Soemitro juga akan
melakukan kunjungan ke Universitas Manchester di Inggris.
Sementara Dekan Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika
Serikat, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ekonomi juga telah diberangkat ke
Bukittinggi untuk melakukan studi lapangan (De nieuwsgier, 09-07-1956).
Disebutkan sebanyak 20 mahasiswa dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
telah tiba di Bukittinggi yang mana mereka akan mempelajari desa-ekonomi.
Nieuwsblad van het Noorden, 22-08-1956 memberitakan EF
Jahn adalah salah satu dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Mr.
Jahn juga disebut memiliki kantor akuntan terkenal di Jakarta. Surat kabar
Indonesia Raja mengganggap Mr. Jhan selama ini adalah warga negara Indonesia. Sementara
itu, Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
29-08-1956 memberitakan penunjukan GJ Wolhoff sebagai Profesor di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia telah disetujui pemerintah.
Dalam perkembangannya muncul usulan
pemerintah untuk memekarkan Universitas Indonesia dengan memisahkan dua
fakultas yang berada di Bandoeng untuk membentuk satu universitas. Presiden
Universitas Indonesia, Prof. dr. Bahder Djohan tampaknya kurang sepakat dengan
usul itu (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957). Presiden
Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa semua profesor Indonesia
akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan Fakultas Teknik dan
Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk universitas baru di Bandung.
Penyataan ini disampaikan Bahder Djohan dalam sambutannya untuk menandai Dies
Natalis. Presiden Universitas Indonesia mengumumkan dalam kesempatan tersebut
bahwa mantan Presiden Universitas Indonesia, Prof. Mr Soepomo, Ph.D sekarang telah
kembali di kampus Universitas Indonesia.
Mengapa usul pemisahan Universitas
Indonesia dan pembentukan universitas di Bandoeng ada yang pro dan ada yang
kontra. Boleh jadi ini ada kaitannya dengan suasana batin pada saat itu dimana di
Bukittinggi telah diresmikan Universitas Andalas pada bulan September 1956 (ide
awalnya tahun 1954 adalah universitas untuk seluruh Sumatra bergeser menjadi
universitas di Sumatra Tengah) oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta yang kemudian
Wakil Presiden Mohamad Hatta meleatakkan jabatan tanggal 1 Desember 1956 dan
kemudian disusul kudeta pemerintah pusat di Bukittinggi oleh Letkol Achmad
Husein. Selanjutnya Sidang Majelis Konstituante (setelah masa reses) dipindahkan
ke Bandoeng pada bulan Januari 1957. Selain itu para pemimpin tentara sudah
intens di Bandoeng seperti halnya dengan interogasi-interogasi yang dilakukan
terhadap eks pemimpin seperti interogasi Prof. Soemitro. Dalam perkembangannya pemisahan
Universitas Indonesia itu memang tidak terjadi tetapi pebentukan universitas di
Bandoeng dipercepat dengan direalisasikannya pendirian Universitas Padjadjaran
pada bulan September 1957 sebagai universitas negeri keenam. Mungkin bagi
Bandoeng, tidak ada rotan akar pun jadilah. Dengan semakin memanasnya suhu politik
di Sumatra Tengah, juga terjadi ekskalasi politik di pusat yang mana Kabinet
Ali-II dibubarkan dengan membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Ir. Djoeanda
yang tengah naik daun. Kabinet Djoeanda diresmikan pada bulan April 1957 yang
mana sebagai Perdana Menteri Ir. Djoeanda dan Menteri Dalam Negeri Sanoesi
Hardjadinata (mantan Gubernur Jawa Barat). Lengkap sudah tokoh-tokoh Bandoeng dalam
struktur baru kepemimpinan Indonesia: Ir. Soekarno (Presiden), Mayor Jenderal
Abdoel Haris Nasution (Kepala Staf), Ir. Djoeanda (Perdana Menteri) dan Sanoesi
Hardjadinata (Menteri Dalam Negeri). Sudah barang tentu sedikit banyak dalam
hubungan ini dapat dikaitkan dengan Ir. Djoeanda adalah adik kelas Ir. Soekarno
di THS Bandoeng di era Belanda; dan juga sudah terbentuknya sejak lama dua
sekawan Gubernur Jawa Barat Sanoesi Hardjadinata dan Panglima Siliwangi Kolonel
Abdoel Haris Nasution di era awal pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Yang
tak terduga adalah penyegeraan Jajasan Universitas Sumatra Utara yang dibentuk
sejak tahun 1952 diresmikan sebagai universitas negeri ketujuh pada bulan
November 1957. Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang diproklamirkan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Lalu muncul pertanyaan: mengapa
Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan harus digantikan sebelum
waktunya pada bulan Meret Maret 1958? Apakah penggantian ini terkait dengan
pernyataan Bahder Djohan yang menolak pemisahan Universitas Indonesia dengan
membentuk universitas di Bandoeng? Entahlah. Catatan: Presiden Universitas
Indonesia yang baru Prof. Soedjono Djoened Poesponegoro (dekan Fakultas
Kedokteran). Sedangkan dekan Fakultas Ekonomi, Prof. Soemitro
Djojohadikoesooemo sudah menjadi bagian dari PRRI.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957: ‘Prof. Dr. Dra.
GC Schuil dalam pidato pengukuhan dirinya pada peresmian sebagai guru besar dalam
ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Dalam upacara
peresmian profesor ini dihadiri antara lain oleh Presiden Universitas Prof.
Bahder Djohan. Pejabat Dekan Fakultas Ekonomi, Djoko Soetono, Sekretaris
Jenderal Departemen Keuangan Mr. Saubari. Bendahara Umum Mr. Sugiarto, dewan
pengawas, profesor dan dosen Fakultas Ekonomi. Disebutkan Prof. Dr. dra. Schuil
tidak hanya seorang profesor tetapi juga Kepala Departemen Akuntansi di Kementerian
Keuangan, yang mana dia telah bekerja selama lima tahun.
Satu hal yang menimbulkan pertanyaan adalah
tidak hadirnya Soemitro Djojohadikoesoemo Dekan Fakultas Ekonomi yang dalam hal ini
dinyatakan Djoko Soetono sebagai pejabat dekan. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo menjabat dekan Fakultas Ekonomi Universitas sejak tahun
pendirian fakultas yang juga sejak pendirian Universitas Indonesia pada tahun
1950. Disebutkan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo akan tinggal di
Singapoera.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1957:
‘Anggota parlemen mempertanyaan tentang Soemitro. Anggota parlemen Sutoko
Djojosubroto dari PNI mengajukan pertanyaan kepada pemerintah tentang Dr. Soemitro
Djojohadikusumo yang meninggalkan jabatannya sebagai profesor di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Menurut laporan yang belum dikonfirmasi, Dr. Soemitro
akan tinggal di Singapura selama beberapa minggu setelah ia menghabiskan beberapa
waktu di Padang. Sutoko Djojosubroto bertanya kepada pemerintah tentang ini,
yang mana status saat ini dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, sekarang
dia telah meninggalkan jabatannya sebagai pegawai negeri sipil untuk beberapa
waktu; apakah seorang deputi telah ditunjuk dan apakah pemerintah siap untuk
menempatkan ketentuan yang dapat memberikan jaminan bahwa peristiwa semacam
itu, yang secara khusus merugikan negara pada umumnya dan dunia siswa pada
khususnya, Juga disebutkan, surat kabar Merdeka melaporkan pagi ini, Departemen
Pendidikan telah mengirim surat ke Dewan Universitas Indonesia dengan
permintaan untuk mengganti Dr. Soemitro, dan mengusulkan bahwa Prof.
Djojodiguno, seorang dekan di Universitas Gadjah Mada, sebagai kemungkinan
pengganti Prof. Soemitro’.
Ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo di kampus Universitas Indonesia seakan mengingatkan beberapa
waktu yang lalu yang mana Prof. Mr. Soepomo, Ph.D tiba-tiba dicopot sebagai
Presiden Universitas Indonesia dan ditugaskan untuk fungsi duta besar.
Sebagaimana Prof. Soepomo, juga Prof. Soemitro adalah seorang ilmuwan yang
seharusnya berada di dalam kampus untuk kepentingan dunia ilmu pengetahuan dan
dunia mahasiswa.
Dr. Soemitro (20-04-1951) |
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo lahir
tahun 1917. Pada tahun 1934 Soemitro Djojohadikoesoemo naik dari kelas empat ke
kelas lima HBS Afdeeling-B (sosial dan budaya) di sekolah elit Prins Hendrik
School di Batavia. Di jurusan yang sama, Mohamad Hatta lulus tahun 1921 dan
Abdoel Hakim Harahap lulus pada tahun 1927. Sedangkan di Afdeeling-B, Ida
Loemongga lulus pada tahun 1922. Ida Loemongga Nasution adalah perempuan
Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1931; Abdoel Hakim Harahap kelak
dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta dan Gubernur Sumatra
Utara; Mohamad Hatta adalah tokoh penting sejak era kolonial Belanda yang
dikabarkan sejak 1 Desember 1956 telah mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. RM Soemitro Djojohadikoesoemo lulus ujian akhir di PHS (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1935). Dalam daftar yang lulus
terdapat nama RR Moediarti Djoened Poesponegoro. RM Soemitro Djojohadikoesoemo dengan kapal Op
ten Noort dari Tandjong Priok tanggal 7 September yang dilanjutkan dengan kapal
Postdam dari Singapoera pada tanggal 10 September 1935 berangkat ke Belanda.
Raden Mas Soemitro Djojohadikoesoemo berhasil ujian candidat ekonomi di
Handelshoogeschool di Rotterdam (Nieuwsblad van het Noorden, 22-10-1937).
Sekolah tinggi ekonomi ini juga sebelumnya Mohammad Hatta lulus tahun 1932. Di
Belanda Soemitro Djojohadikoesoemo aktif organisasi mahasiswa. Dalam
kepengurusan Roekoen Peladjar Indonesia (ROEPI) terdiri dari ketua Hertog dan
Wakil Ketua Daliloedin Lubis. Organ ROEPI adalah majalah Soeara Roepi dengan
ketua Redaksi Maroeto dan para anggota Soemitro dan T. Tobing (Zaans volksblad
: sociaal-democratisch dagblad, 07-02-1939). Pengurus Perhimpoenan Indonesia
saat itu (periode 1936-1940) adalah Parlindoengan Lubis (ketua); Sidhartawan
(sekretaris); dan Mohamad Ildrem Siregar (bendahara). Parlindoengan Lubis
adalah abang dari Daliloedin Lubis. Soemitro Djojohadikoesoemo lulus ujian
doktoral (Drs) di bidang ekonomi (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad,
11-07-1940). Saat ini di Belanda dalam
situasi sedikit gamang karena Jerman menduduki Belanda sejak Mei 1940. Tidak
berapa lama, Parlindoengan Lubis lulus ujian dan meraih gelar dokter (lihat De
standard, 26-10-1940). Namun dalam perkembangannya, Dr. Parlindoengan Lubis
yang anti fasis (termasuk anti Jepang) ditangkap militer Jerman lalu
dijebloskan ke kamp NAZI Jerman (satu-satunya orang Indonesia di kamp NAZI).
Sidhartawan dikabarkan meninggal tetapi Parlindoengan Lubis masih bisa
bertahan. Selama tokoh-tokoh PI ditahan, mahasiswa-mahasiswa masih bisa
berkuliah. Daliloedin Lubis lulus dan meraih gelar dokter dari Universiet
Amsterdam tahun 1941. Soemitro Djojohadikoesoemo yang melanjutkan studi ke
tingkat doktoral akhirnya dapat meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1943 di bidang
ekonomi dengan desertasi berjudul ‘Het volkscredietwezcn in de depressie’
(Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du
Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 31-10-1943). Setelah
selesai studi, sebagaimana orang-orang Indonesia di Belanda tidak bisa kembali
ke tanah air karena sudah terputus hubungan antara Belanda dan Indonesia.
Orang-orang Indonesia, termasuk Dr. Soemitro tetap bertahan di Belanda dan Dr
Parlindoengan Lubis tetap di dalam tahanan di kamp konsentrasi NAZI.
Kepemimpinan Perhimpoenan Indonesia tetap eksis, meski tanpa ketua tetapi FKN
Harahap dan kawan-kawan tetap meneruskan perjuangan dengan menerbitkan majalah
yang pro kemerdekaan Indonesia. FKN Harahap (pecatur tangguh yang pernah
mengalahkan juara catur Belanda) menggaungkan kembali semangat Indonesia dengan
Indonesia Raya. Ini dapat dibaca pada edisi De bevrijding: weekblad uitgegeven
door de Indonesische Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 15-05-1945: ‘Pada musim
semi tahun 1944..kami tetap berjuang...kegamangan dalam menyelesaikan
studi...kami terus melawan Jepang... muncul utusan dari Kedutaan Besar Jepang
di Berlin untuk memberikan umpan, mahasiswa Indonesia membuang umpan tersebut.
Itu adalah siasat untuk menangkap Mahasiswa Indonesia dengan jaring mereka...
tiga tahun bagi orang Indonesia dari semua kehilangan hubungan dengan keluarga
mereka!..Untuk itu jangan lupa dan harus sadar Seberapa jauh studi Anda sudah
berkembang. Apakah Anda semua terburu-buru untuk ujian, atau mungkin ujian
terakhir Anda pergi?...FKN Harahap’. Kegiatan mahasiswa Indonesia juga dapat
dibaca pada edisi De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische
Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 26-05-1945): ‘De vrijheidsbetogingen te
Amsterdam (9 Mei 1945). Demonstrasi besar di Amsterdam dengan mengatasnamakan
Perhimpunan Indonesia untuk menuntut kemerdekaan Indonesia yang berkumpul di
lapangan Istana Kerajaan. Bendera Merah Putih menjulang diantara demonstrasi.
Banyak orang Amsterdam yang mendukung demo ini dengan simpati. Beberapa orang
Amsterdam juga ikut naik panggung untuk berbicara untuk mendukung kemerdekaan
Indonesia termasuk Wali Kota Amsterdam...FKN Harahap telah berpidato, yang
mewakili atas nama Perhimpoenan Indonesia untuk mengatakan beberapa kata.
mengucapkan terima kasih kepada orang-orang Belanda untuk semua dukungan dan
simpati ini, yang mana orang Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus
memperjuangkan kemerdekaan...’. Dalam Rapat Umum yang dilakukan oleh
kepanitiaan yang dibentuk orang-orang Indonesia (Perhimpoenan Indonesia) yang disebut Verbond van Indonesische Burger (VIB) yang diadakan di
Foyer van de Stadsgehoorzaal te Leiden pada hari Jumat 13 Juli menghadirkan dua
pembicara (lihat De kroniek, 11-07-1945). Dua pembicara tersebut adalah R.
Poeradiredja dengan judul ‘Indonesie! Beheer of Bevrijding?’ dan RM Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo dengan judul ‘Sociaal-economische problemen rondom
Indonesie’. Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, sekutu
menghancurkan Jerman/NAZI, Parlindoengan Lubis dibebaskan. Lalu kemudian
Parlindoengan Lubis, Soemitro Djojohadikoesoemo dan lainnya secara bertahap pulang
ke tanah air. Sementara FKN Harahap yang belum selesai studi tetap meneruskan
studi. Lalu kemudian sebuah manifesto di Belanda diumumkan yang mana agar
Belanda untuk menahan diri untuk perang dan memberi kesempatan bagi Indonesia
untuk mandiri. Penandatangan manifesto ini termasuk didalamnya FKN Harahap (De
waarheid, 03-01-1946). Akhirnya FKN Harahap berhasil menyelesaikan studi dan
menjadi sarjana (Friesch dagblad, 10-07-1946). FKN Harahap akhirnya kembali ke
tanah air. Perjuangan FKN Harahap dan kawan-kawan di Belanda (1945) seakan
mengakhiri Perhimpoenan Indonesia yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar
Soetan Casajangan yang saat pendiriannya pada tahun 1908 yang disebut Indisch
Vereeniging. Jika dulu (1908) Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan
bahu-membahu mengawali, maka tahun 1945 FKN Harahap dan Soemitro
Djojohadikoesomo mengakhiri.
Di tanah air, dalam posisi Kabinet Sjahrir yang
tengah menghadapi tekanan militer Belanda (NICA), Drs. Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D dari Belanda menghadiri sidang PBB di London sebagai
penasehat ekonomi Belanda (Nieuwe courant, 20-03-1946). Disebutkan dengan
mengutip dari Straits Times bahwa Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D dan Dr.
Djairin Zain telah tiba di Singapoera tanggal 12 Maret. Mereka berdua ke London
menjadi bagian delegasi Belanda ke PBB. Ketika diwancara mereka menyatakan
bahwa Indonesia harus memiliki kursi di PBB, karena dalam banyak hal negara
Indonesia dianggap setara dengan sejumlah negara yang diwakili di PBB. Mereka
berdua menyatakan tidak menjadi masalah dalam struktur Indonesia merdeka dalam
kerangka Persemakmuran Belanda. Dr Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mr. Djairin
Zain, dua anggota Indonesia dari delegasi yang mewakili Belanda pada sesi
pertama PBB di London telah tiba dengan kapal perang Inggris dan kembali ke
Batavia. Menteri Pendidikan Todoeng Harahap Soetan Goenoeng Moelia dari Departemen
Pendidikan Republik memberitahukan bahwa keduanya akan menemui (Perdana
Menteri) Sjahrir dan menjelaskan secara ekstensif tentang kunjungan mereka di
London’. Beberapa bulan kemudian ketika
diketahui Perdana Menteri Soetan Sjahrir akan mau bekerjasama dengan Belanda,
Soetan Sjahrir diculik oleh kelompok oposisi (Nieuwe courant, 01-07-1946).
Disebutkan pada malam 27-28 Juni di Solo, selain Soetan Sjahriri, juga diculik Menteri
Kesejahteraan Rakyat Darmawan, General Majoor Soedibjo, Mr. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo dan tentara lainnya. Ini merupakan peristiwa yang serius,
yang tidak bisa ditoleransi oleh pemerintah republik. Di sisi lain, Menteri
Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap marah besar atas tindakan
penculikan tersebut. Sejak penculikan kendali pemerintah diambilalih oleh
Presiden Soekarno. Disebutkan pihak yang menculik adalah pengikut Tan Malaka
dan Soebardjo. Setelah ultimatum Soekarno kepada penculik akhirnya Soetan
Sjahrir dibebaskan di Solo. Mr. Amir Sjarifoeddin dari Djogjakarta datang ke
Solo untuk membebaskan yang lain dari penjara termasuk Soemitro
Djojohadikoesoemo (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 11-07-1946).
Dalam kunjungan sekelompok pengusaha orang
Belanda yang dipimpin oleh Dr P. Koets ke Djogjakarta juga berdiskusi dengan
para pimpinan Bank Negara Indonesia (Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan
delegasi itu berdiskusi dengan pimpinan bank tersebut yakni Margono
Djojohadikoesoemo (Presiden); Sabaroedin (Direktur Pertama), dan beberapa pimpinan
lainnya, termasuk penasihat keuangan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Margono Djojohadikoesoemo adalah ayah dari Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo. Dalam perkembangannya, Republik Indonesia mendirikan
korporasi Perbankan dan Perdagangan di Batavia dengan modal NLG 20 Juta yang
mana NLG 4 Juta telah disetor. Sebanyak 60% dari saham tetap di tangan
pemerintah Republik dan 40% adalah untuk publik. Manajemen terdiri dari Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo dan Dr. Ong Eng, keduanya meninggalkan Belanda ke
Indonesia tahun lalu, Dr Soemitro adalah penasehat ekonomi delegasi Belanda di
Perserikatan Bangsa-Bangsa di London pada tahun 1945 (Algemeen Handelsblad, 14-01-1947).
Setelah perjanjian Linggarjati dan munculnya permasalahan baru, Indonesia
kembali mengirim delegasi ke sidang dewan keamaan PBB (De Gooi- en Eemlander:
nieuws- en advertentieblad, 13-08-1947). Disebutkan Sesi Dewan Keamanan untuk masalah Indonesia
ditunda sampai Kamis malam. Perwakilan dari republik Indonesia akan mengambil
bagian dalam perdebatan. Delegasi Republik antara lain Soetan Sjahrir dan Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kemudian Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai
Kepala korporasi Perbankan dan Perdagangan di Batavia dikirim ke Amerika
Serikat (De tijd : dagblad voor Nederland, 23-09-1947). Disebutkan Soemitro
Djojohadikoesoemoe dan asistennya Soedjatmoko, mantan editor Independen,
sekarang di New York, dikirim ke Amerika Serikat oleh pemerintah Republik Inonesia
untuk bertemu American Banknote Companv untuk membeli kembali pencetakan kertas
bank republikae, dan dilaporkan bahwa Dr. Soemitro juga akan menangani masalah
yang berkaitan dengan Martin Behrman dan masalah pertukaran luar negeri dari
republik di Amerika Serikat. Margono Djojohadikoesoemo. Sementara itu. Direktur
Bank Negara, diberitakan ‘Antara’ bahwa situasi sistem keuangan republik tidak
perlu dikhawatirkan, meskipun agresi Belanda, tidak ada inflasi yang signifikan
di wilayah Republik. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah perwakilan Republik
Indonesia di Washington (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers
te Batavia, 06-08-1948). Dalam satu kesempatan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menegaskan
bahwa ECA tidak akan menyediakan dana dukungan untuk Belanda, yang akan digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk keperluan militer. Dia mengatakan
bahwa upaya oleh Amerika Serikat untuk membangun kembali ekonomi Eropa akan
ditakdirkan gagal selama negara-negara Eropa Barat tidak mengubah sikap mereka
terhadap kolonial Asia. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Amerika Serikat sudah
cukup lama dan menjadi perwakilan resmi Republik Indonesia. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo mengkrtik sebagian pers Amerika Serikat sebagai ‘de goede
doctor Jojo’ dan dalam satu kesempatan wawancara Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
mengklaim bahwa penduduk Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan manfaat
dari Marshall dollars voor Indonesie atau Marshall Plan (Twentsch dagblad
Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 15-03-1949). Hal
ini boleh jadi karena pemerintah Indonesia telah vakum setelah Soekarno dan
Mohamad Hatta ditangkap dan diasingkan pasca pendudukan Djogjakarta Desember
1948. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selama di Amerika juga berinteraksi dengan
Mr. Matthew Fox (Fox Corp.) yang memainkan peran awal bisnis Amerika Serikat di
Indonesia (dalam perdagangan dan juga potensi pertambangan). Bagi orang
Belanda, Fox adalah lawan mereka di Indonesia. Disebutkan ada satu perjanjian
yang disebut Perjanjian Fox dengan komposisi 51 persen dan 49 persen untuk
Indonesia. Disebutkan bahwa pada tanggal
10 Februari 1949, seorang juru bicara dari Departemen Luar Negeri (Amerika
Serikat?) menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan Fox Corp, karena
monopolistik dan (karena itu) sekarang ada ‘blokade’ dari Belanda (De
vrije pers: ochtendbulletin, 16-05-1949). Apakah sejak ini telah dimulai
Amerikanisasi menggantikan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda? Dan, apakah
sejak ini munculnya ide penguasaan Freefort? Yang jelas keberadaan Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo di Amerika Serikat menjadi perwakilan Indonesia yang
strategis bagi Amerika Serikat meski Pemerintahan RI dalam kondisi vakum. Akhirnya,
setelah gencatan senjata antara RI dan militer Belanda dalam persiapan
konferensi (KMB di Den Haag) pemerintah Indonesia semakin aktif kembali di
Djogjakarta. Dalam fase sejumlah (perwakilan) pemerintah Indonesia di luar
negeri diminta kembali (pulang) ke Djogjakarta (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 14-07-1949). Disebutkan pemerintah Republik telah
memanggil perwakilan ekonomi di United Staden (Washington?), Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo, dan perwakilan republik di Dewan Keamanan PBB (London?), N.
Palar, ke Djokja, serta Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan darurat, Mr. AA
Maramis (New Delhi?)’. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo termasuk salah satu
bagian dari delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-09-1949). Disebutkan, ‘Setelah
pendirian kedaulatan di Indonesia, perhatian pertama kami adalah mengembalikan
orang ke tempat kerja: membangun tempat untuk mengembangkan ekonomi’ kata
Soemitro Djojohadikoesoemo, ahli keuangan republikan dan anggota delegasi
republik di RTC’. Pimpinan delegasi RI adalah Mohamad Hatta (Wakil Presiden), ketua
penasehat ekonomi adalah Abdoel Hakim Harahap (Residen Tapanoeli) dan dalam
barisan penasehat ekonomi termasuk ahli keuangan Soemitro Djojohadikoesoemo.
Mereka bertiga ini, dulunya adalah alumni sekolah elit Prins Hendrik School di
Batavia yang mana Mohamad Hatta lulus 1921, Abdoel Hakuim Harahap lulus 1927
dan Soemitro Djojohadikoesoemo lulus tahun 1935. Abdoel Hakuim Harahap adalah
kepala kantor ekonomi di Groot Indie (bacaL Indonesia Timur) yang berkedudukan
di Makassar sebelum terjadinya pendudukan Jepang.
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
dan terbentuknya pemerintahan RIS (sejak 20 Desember 1949), Untuk mengisi formasi
departmen Ecomische Zaken (Departemen Kemakmuran) telah disusun dan diangkat
sejumlah pejabat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 31-12-1949). Di dalam daftar ini untuk Dir. Gen. van het
Planbureau (Dirjen Perencanaan) diangkat Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Namun
pemerintahan RIS tidak bertahan lama dan kembali ke NKRI. Ini bernula karena hasil
KMB yang mana pemerintahan dengan bentuk RIS (yang beribukota di Djakarta) yang
mana Mohamad Hatta sebagai Perdana Menteri. Lalu di Djogjakarta muncul
pemerintahan sendiri RI yang mana sebagai Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim
Harahap.Setelah terjadinya gerakan NKRI di Medan, Soekarno membubarkan RIS dan
membentuk NKRI (Kabinet Natsir). Pemerintahan RI juga membubarkan diri. Dalam
struktur kabinet baru ini terkesan sebagai orang-orang Republiken di
Djogjakarta, yakni: Perdana Menteri Mohamad Natsir; Wakil Perdana Menteri Soeltan
Hamengkoeboewono; Menteri Dalam Negeri Assat (eks Presiden RI di Djogjakarta).
Dengan kata lain inilah kemenangan kaum RepubIiken (NKRI) terhadap kaum
federalis (RIS). Soemitro Djojohadikoesoemo dalam Kabinet Natsir ini diangkat menjadi
Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Kabinet Natsir berlangsung 6 September 1950 tetapi telah
menandai awal pemerintahan NKRI (hingga sekarang), Sementara Mohamad Hatta
kembali menjadi Wakil Presiden (mendampingi Ir. Soekarno). Sedangkan Abdoel
Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 25 Januari
1951.
Lantas kemana Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo pergi meninggalkan tugasnya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Menurut laporan yang belum dikonfirmasi sebagaimana
diberitakan surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-06-1957, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo akan
tinggal di Singapura selama beberapa minggu setelah ia menghabiskan beberapa
waktu di Padang. Ada apa gerangan yang terjadi?
Di Midden Sumatra, tanggal 20 Desember 1956 telah terjadi
peristiwa kudeta pemerintah pusat, yang mana Letkol Ahmad Hoesein, kepala
resimen di Midden Sumatra merebut kekuasaan Roeslan Moeljohardjo, Gubernur
Midden Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi sebagai representasi pemerintah
pusat. Jika Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diduga sudah ke Padang, itu
berarti dilakukan setelah tanggal 20 Desember 1956. Ketidakhadiran Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo di kampus sudah terindikasi pada bulan April 1957 yang
mana Djoko Soetono sudah menjadi pejabat dekat Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Apakah ada kaitan
pernyataan Presiden Universitas Indonesia, Prof. dr. Bahder Djohan (Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-02-1957) dengan menghilangnya Prof,
Soemitro. Presiden Universitas Indonesia, Bahder Djohan mengatakan bahwa semua
profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan
Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk
universitas baru di Bandung. Dan apa pula makna pengumuman Prof Bahder Djohan
yang mengatakan bahwa mantan Presiden Universitas Indonesia, Prof. Mr Soepomo,
Ph.D telah kembali ke kampus Universitas Indonesia.
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo hingga
bulan Oktober 1957 paling tidak telah menghilang dari kampus selama enam bulan.
Itu waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pemerintah melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan
membuat panggilan terakhir (ultimatum) melalui radio untuk Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusunio, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk
melanjutkan posisinya sebagai Dekan. Batas waktu panggilan terakhir ini 10 hari
sejak hari Kamis malam (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-10-1957). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan
mengambil langkah yang tepat terhadap Prof, Soemitro jika, setelah berakhirnya
sepuluh hari ini, sejak 10 Oktober 1957. Panggilan radio ini disiarkan oleh
Radio Djakarta dan ditujukan ke Midden Sumatra atau Menado, dimana menurut
anggapan Kementerian Pendidikan, Prof. Sumitro saat ini tinggal. Dalam
panggilan ini dan panggilan sebelumnya tidak menyebutkan jaminan apapun untuk
Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Dalam beberapa bulan terakhir ini telah terjadi dinamika
politik yang sangat cepat. Wakil Presiden Mohamad Hatta telah ‘pecah kongsi’
dengan Presiden Soekarno. Wakil Presiden Mohamad Hatta telah meletakkan
jabatannya terhitung tanggal 1 Desember 1956. Satu surat kabar di Djakarta
menulis dalam catatan pojok dengan bunyi berikut: ‘Dwi Tunggal: Tanggal
Tunggal, Tinggal Tunggal’. Beberapa hari kemudian setelah dwi tunggal retak
terjadi kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 yang dilakukan oleh
Letkol Ahmad Husein terhadap Gubernur Midden Sumatra, Roeslan Moeljohardjo.
Hanya satu orang yang paling bersedih dengan retaknya dwitunggal tersebut,
yakni Parada Harahap. Jika kembali ke masa lampau pada tahun pendirian PPPKI,
Parada Harahap, sekretaris PPPKI yang juga menjadi kepala kantor gedung PPPKI,
hanya tiga foto yang dipajang Parada Harahap di dinding ruang pertamuan, yakni:
Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta. Saat ini, Parada Harahap sudah pensiun.
Parada Harahap pensiun setelah dua putrinya menjadi sarjana dan salah satu lulusan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1956. Kedua putri Parada Harahap
tersebut telah menikah tahun 1957.
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo meninggalkan
jabatannya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, setelah
Mohamad Hatta menanggalkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik
Indonesia. Apakah ada kaitan antara Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohamad
Hatta? Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tepatnya meninggalkan jabatan
sebagai Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia setelah Kabinet
Boerhanoedin Harahap dibubarkan pada tangga 3 Maret 1956. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo tidak berada di kampus lagi saat Prof. Dr. Dra. GC Schuil
diresmikan sebagai guru besar dalam ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-04-1957). Apakah
ada kaitan antara Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mr. Boerhanoedin
Harahap?
: ‘
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo pernah menjabat
sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kabinet Natsir (6 September
1950 - 27 April 1951). Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo juga pernah
menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April
1952). Namun pada Kabinet Soekiman ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
mengundurkan diri (Nieuwsblad van het Noorden, 02-08-1951). Disebutkan Prof.
Soemitro, tidak setuju dengan sikap lalai dari pemerintah versus kesulitan
ekonomi saat ini. Prof Soemitro menyatakan: Hanya sebuah kabinet nasional yang
kuat, yang membawa kepentingan negara dan orang-orang ke hati, akan mampu
mengatasi situasi saat ini. Tanah ini menderita karena hal-hal yang belum
dilakukan di bawah pemerintahan Dr Sukiman saat ini. Hanya aksi yang kuat dan
berani yang dapat menghentikan agitasi dan infiltrasi komunis di
serikat-serikat buruh muda Indonesia. Kurangnya tekad dan kegagalan untuk
mengambil langkah oleh pemerintah memberikan banyak kesempatan untuk agitasi
oleh minoritas komunis. Prof. Soemitri sekarang bermaksud untuk mendedikasikan
dirinya untuk membangun koperasi ekonomi dan Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo kembali menjadi Menteri
Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953); dan kembali menjadi
Menteri Keuangan pada Kabinet Boerhanoedin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret
1956).
Ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo di kampus menjadi berlarut-larut. Lalu kemudian Kementerian
Pendidikan mengultimatum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selama 10 hari
sejak sejak 10 Oktober 1957. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sendiri sejatinya
adalah orang Indonesia tiada duanya dalam urusan ekonomi. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo tidak hanya diultimatum oleh Kementerian Pendidikan yang
membawahi Universita Indonesia; Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebelumnya
telah menjadi buronan militer.
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah salah satu
ekonom Indonesia saat itu yang paling berkompenten. Tentu saja jumlahnya sangat
langka. Ekonom lainnya adalah Mohamad Hatta, yang kini telah mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden. Ekonom Indonesia pertama adalah Dr. Samsi meraih gelar
doktor pada tahun 1923 di Handelshoogeschool Rotterdam (doktor ekonomi
Indonesia pertama). Di kampus ini Mohamad Hatta pada tahun 1921 register dan
pada tahun 1935 register Soemitro Djojohadikoesoemo (meraih doktor tahun 1943).
Ahli ekonomi sejauh ini termasuk ahli yang cukup langka sebagaimana ahli teknik
kimia. Insinyur teknik kimia Indonesia yang pertama adalah Ir. Soeracham (Presiden
Universitas Indonesia yang pertama, 1950-1951). Sedangkan insinyur teknik kimia
yang kedua yang juga lulusan Delf adalah AFP Siregar MO Parlindoengan. Ir.
Soerachman telah tiada, meninggal dunia pada tahun 1952. Hanya tinggal MO
Parlindoengan alumnik teknik kimia Delf. MO Parlindoengan saat ini adalah
Direktur Perusahaan Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (kini dikenal PT. PINDAD).
Ketidakhadiran di kampus
adalah satu hal, dan ketidakhadiran Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di
dalam hal ekonomi Indonesia adalah hal yang lain lagi. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo menjadi suatu dilema. Kehilangan Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo sangat merugikan Universitas Indonesia umumnya dan Fakultas
Ekonomi khususnya. Yang tidak boleh dilupakan juga menghilangkan kesempatan
mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universita Indonesia untuk menyerap ilmu
yang dimiliki oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, sebagai ekonomi
kaliber internasional.
Setelah tidak menjabat sebagai menteri dalam
Kabinet Natsir, nama Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo masih tetap jaminan
mutu. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tetap dirangkul sebagai penasehat
Kementerian Urusan Ekonomi, orang Indonesia di Javaasch Bank, anggota
perencanaan negara dan anggota dewan ekonomi keuangan. Namun entah mengapa di
era Kabinet Soekiman semua itu dilepaskan oleh
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (lihat De Volkskrant, 03-08-1951). Pada kabinet berikutnya Kabinet
Wilopo, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo kembali diangkat sebagai menteri
yakni Menteri Keuangan. Saat menjabat
Menteri Keuangan ini Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo situasi dan
kondisi keuangan Indonesia tengah memburuk. Kehadiran Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo tidak bisa ditinggalkan. Ini terlihat ketika ada sidang
tahunan IMF di Meksiko City yang merupakan tahun dimana Indonesia akan
mengajukan diri sebagai anggota, hanya mengirm delegasi kecil yang dipimpin
oleh setingkat Bendahara Umum Kementerian Keuangan (Trouw, 30-08-1952). Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo tidak bisa meninggalkan Indonesia. Awalnya adalah keinginan
Menteri Soemitro untuk secara pribadi pergi ke pertemuan ini. Namun, sulitnya
posisi keuangan dan ekonomi Indonesia, tidak membenarkan perjalanan ke luar
negeri, menurut menteri, Situasi keuangan domestik tidak memungkinkan absennya
beberapa minggu, yang tentu saja tidak juga dapat terlibat dalam pertemuan IMF.
Perwakilan Indonesia meninggalkan Jakarta via Amerika Serikat pada 26 Agustus.
Satu hal yang menjadi persoalan genting negara adalah bahwa pemerintah telah
defisit sebesar $4 Juta. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo melihat masalah ini
muncul karena tidak adanya koordinasi antar kementerian. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo mengujukan untuk dilakukan koordinasi (De Volkskrant, 10-12-1952).
Disebutkan ada beberapa kementerian yang melakukan pengelolaan anggaran
sendiri. Oleh karena tidak adanya kordinasi antar departemen yang menyebabkan
penggunaan anggaran menjadi membengkak. Dengan koordinasi diharapkan akan
tercipta efisiensi. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menerapkan kebijakan
pemotongan anggaran.
Dalam kabinet berikutnya Kabinet Ali
Sastroamidjojo (sejak Juli 1953), Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo digantikan
oleh Dr. Ong Eng Die (mantan Menteri Muda Keuangan di era Kabinet Sjarifoeddin
Harahap, 1947-1948). Dalam kabinet ini kebijakan pemotongan anggaran tidak
diterapkan, Defisit anggaran kemudian membengkak lagi (De Volkskrant,
27-11-1953). Kebijakan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selalu dijadikan
kambing hitam dalam kabinet ini (De Volkskrant, 02-02-1954). Ekonomi keuangan
Indonesia terus menurun. Para analisis menyimpulkan tidak ada yang berani
melakukan gebrakan, kecuali Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, dekan
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya yang
menjalankan kebijakan rehabilitasi ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan dengan
program penghematan (De Volkskrant, 12-03-1955). Catatan: Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D dan Dr. Ong Eng Die, Ph.D sejatinya sudah lama saling
kenal. Mereka berdua ekonom Indonesia yang pulang ke tanah air pada tahun 1946
(era Kabinet Sjahrir). Keduanya sama-sama meraih gelar doktor (Ph.D) di tahun 1943.
Ong Eng Die lulus di Universiteit Amsterdam dan Soemitro Djojohadikoesoemo di
Universiteit Rotterdam. Ong Eng Die lulus ujian doktoral tahun 1940 di Vrij
Universiteit Amsterdam (Nieuwsblad van het Noorden, 01-06-1940). Lalu kemudian
melanjutkan ke tingkat doktor dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Disertasi
Ong Eng Die tentang Chineezen in Nederlandsch-lndie: Een sociographische over
het economische, sociale en cultureele leven der Chineezen in Nederlandsche Indie
(lihat Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue
mensuelle du Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 30-06-1943).
Ong Eng Die salah satu anggota delegasi ke perundingan Renville yang dipimpin
oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Sebelumnya Soemitro
Djojohadikoesoemo telah diutus oleh PM Amir Sjarifoeddin Harahap ke dewan
keamanan PBB (De Gooi- en Eemlander : nieuws- en advertentieblad, 13-08-1947).
Jadi Ong Eng Die (PNI) dan Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI) pada masa ini semacam
pertarungan dua pendekar ekonomi Indonesia di kancah politik.
Java-bode, 12-07-1955 |
Dalam Kabinet Boerhanoeddin Harahap ini Prof.
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diproyeksikan sebagai Menteri Keuangan
(kembali). Jelang pengumuman Kabinet
Boehanoeddin Harahap ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ketua Dewan PSI
di Soerabaja di dalam rapat umum memberikan pidato tentang sebab kemiskinan di
Indonesia (De nieuwsgier, 03-08-1955). Lebih lanjut Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo mengatakan bagian miskin dunia, termasuk milik Indonesia. Ini
adalah tujuan populer untuk dua blok besar di dunia (Komunis dan Kapitalis), Menyadari
hal yang penting itu posisi negara kita, kita harus memastikan bahwa negara
kita bukan bola politik dari blok-blok ini, menurut Prof. Soemitro. Itulah
mengapa kita tidak boleh lagi menidurkan diri dengan gagasan bahwa Indonesia
itu kaya dan subur, Kekayaan yang didiskon dengan tenaga kerja yang besar tidak
berarti apa-apa jika tidak ada juga kekuatan produktif. yang bisa meningkatkan
taraf hidup rakyat. Kemiskinan bukanlah kehendak Tuhan, tetapi memiliki
penyebab dibuat. Sebagai penyebab kemiskinan di Indonesia, Dr Soemitro
menyebutkan kurangnya kapital dan sarana serta kurangnya pengetahuan dan
wawasan. Karena ekonomi di semua bidang area ini dapat dikompensasikan. Berbicara
tentang situasi saat ini, Prof. Soemitro mengatakan bahwa pemerintah sebelumnya
berurusan dengan uang dengan tidak bertanggung jawab (dan seterusnya).
Akhirnya Wakil Presiden Mohamad Hatta
menyatakan krisis kabinet berakhir hari ini dan Boerhanoeddin Harahap akan
menjadi pimpinan kabinet baru (Trouw, 11-08-1955). Disebutkan bahwa Harahap, 38
tahun dari Masyumi mengatakan dari 23 posisi akan dibagi oleh 11 atau 12
partai. Disebutkan lebih lanjut Boerhanoeddin Harahap akan bertindak sebagai
perdana menteri dan menteri pertahanan. Untuk posisi menteri luar negeri diisi
oleh mantan duta besar Indonesia di Prancis dan untuk Menteri Keuangan akan
dipimpin oleh Prof. Soemitro (mantan Ketua LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia). Dalam kabinet ini ada tiga menteri negara, salah satu diantaranya
Abdoel Hakim Harahap (di bidang pertahanan). Catatan: Abdoel Hakim Harahap
adalah adik kelas Mohamad Hatta dan kakak kelas Soemitro dulu di era kolonial
Belanda di sekolah elit Prins Hendrik School Batavia. Dalam pelantikan kabinet
baru ini tidak hadir Presiden Soekarno dan pemimpin perwira Kolonel [Zulkifli]
Loebis dan hanya dihadiri Wakil Presiden Mohamad Hatta (De Volkskrant, 13-08-1955).
Sejak tahun 1952 tidak ada Kepala Staf,
karena Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dipecat karena melakukan demostrasi 17
Oktober 1952 di depan istana. Sejak kekosongan pimpinan militer tertinggi
tersebut lalu diangkat Kolonel Zulkifli Lubis dengan status Kepala Perwira. Presiden Soekarno
memposisikan Lubis sebagai kepala perwira untuk jaga-jaga jika Nasution dan
kawan-kawan melakukan kudeta. Untuk sekadar diketahui Zulkifli Lubis dan Abdoel
Haris Nasution berasal dari kampung yang sama di Kotanopan. Pintar Soekarno. Memang
ampuh. Kolonel Abdoel Haris Nasution terbukti berdiam diri di rumah sejak tahun
1952 tetapi meski demikian Abdoel Haris Nasution berhasil menulis buku
Pokok-Pokok Gerilya (buku siasat perang gerilya yang legendaris). Pada tahun
1955 ini, Menteri Negara Abdoel Hakim Harahap dapat mendamaikan dua pimpinan
perwira yang berseberangan ini. Abdoel Hakim Harahap sendiri di Tapanoeli
dijuluki sebagai Residen Perang (Residen Tapanoeli yang ikut angkat senjata
berperang melawan Agresi Militer Belanda kedua, 1948). Boleh jadi ini alasan
Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap yang merangkap Menteri Pertahanan
membutuhkan Menteri Negara yang menangani pertahanan untuk membantunya, membantu
mendamaikan para perwira. Selain itu, boleh jadi Abdoel Hakim Harahap yang
meminta kepada Boerhanoeddin Harahap agar dikembalikan Prof. Soemitro sebagai
Menteri Keuangan. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tidak mewakili partai
PSI (karena PSI tidak ikut) dalam kabinet tetapi diminta sebagai seorang
profesional (lihat De Telegraaf, 13-06-1957). Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah
adik kelas Abdoel Hakim Harahap dulu di Prins Hendrik School Batavia. Abdoel
Hakim Harahap di tahun-tahun akhir era kolonial Belanda adalah kepala kantor
ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar. Boleh jadi Abdoel
Hakim Harahap mengetahui betul kapabiltas Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Sementara itu pers asing menyebut
Boerhanoeddin Harahap memilih kembali Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
(lihat misalnya Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 23-08-1955).
Disebutkan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
salah satu portofolio yang paling tanpa pamrih di Indonesia pada tahun 1955,
yang dipimpin Prof. Dr Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI), seorang ekonom kaliber
internasional yang dalam bulan-bulan belakangan melancarkan kritik tajam kepada
mantan Menteri Keuangan, Dr. Ong Eng Die’. Isu pokok kabinet Boerhanoeddin
Harahap ini adalah kesuksesan dalam menyelenggarakan pemilihan umum yang
bersih. Juga pengiriman delegasi ke perundingan Indonesia-Belanda untuk
membicara dua permasalahan yang tersisa antara Indonesia dan Belanda yakni
masalah perjanjian ekonomi dan keuangan; masalah irian Barat (De Telegraaf,
03-01-1956). Salah satu anggota delegasi ke perundingan di Jenewa adalah Prof.
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Selama di Swiss, delegasi Indonesia mengundang
makan malam duta besar Amerika Serikat, duta besar Inggris dan duta besar India
(De Volkskrant, 05-01-1956). Disebutkan anggota delegasi Belanda cemburu dan
sedikit curiga. Het Parool, 07-02-1956 menulis hasil wawancara dengan Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo. Disebutkan bahwa Prof. Zijlstra, Menteri Urusan
Ekonomi Belanda yang menjadi anggota delegasi Belanda adalah adik kelas Prof.
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Handelsecomiche Hoogeschool di Rotterdam.
Juga disebutkan keduanya menjadi profesor di tahun yang sama. Dedikasinya dalam
jabatan profesor, yang bahkan belum bisa ia tinggalkan meski sebagai menteri.
Dia adalah dekan Fakultas Ekonomi di Djakarta. Sudah terhitung 2.000
mahasiswanya, sebanyak 300 diantaranya sudah mengikuti ujian. Soemitro mencoba
untuk mengajarkan mahasiswa-mahasiwanya khususnya ekonomi Indonesia di
pedesaan. Tidak ada yang diizinkan untuk melakukan ujian bersamanya jika ia
tidak tinggal selama paling tidak tiga bulan dalam desa dengan biaya sepuluh
rupiah per hari dan telah melakukan studi tentang kehidupan ekonomi masyarakat
semacam itu (dan seterusnya: akan ditampilkan kemudian, red).
PNI telah melakukan konsolidasi di parlemen. Sebagaimana
sebelumnnyaMasyumi dan PSI menekan PNI setelah keluar PIR dari koalisi yang
kemudian terbentuk Kabinet Boerhanoedin Harahap. Kini, PNI yang menekan Masyumi
sehingga muncul kompromi (PNI, Masyumi dan NU) yang mana Kabinet Boerhanoedin
Harahap harus digantikan Kabinet Ali (kedua) dan diresmikan pada 3 Maret 1956.
Dalam peresmian ini Ir. Soekarno dan Kolonel Abdoel Haris Nasution hadir
sementara Mohamad Hatta tidak bersedia hadir. Oleh karena Soemitro tidak
diakomodir di Kabinet Ali-II, maka dengan sendirinya Prof. Soemitro tidak bisa lagi
melanjutkan program-program ekonomi dan keuangannya. Tiga setengah bulan
setelah pergantian kabinet, Soemitro diberitakan berangkat ke Amerika Serikat (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956).
Disebutkan, mantan Menteri Keuangan di Kabinet Boerhanoeddin Harahap, Prof
Soemitro Djojohadikoesoemo, yang saat ini dekan Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, berangkat ke Amerika Serikat pada hari Senin. Prof. dr. Soemitro
akan menghadiri seminar Merril Center for Economics selama sekitar enam minggu,
dimana pemikiran akan dipertukarkan antara para ekonom dari seluruh dunia.
Prof. dr. Soemitro akan ditunjuk sebagai anggota dari lima anggota ‘komite
pengarah’. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah
tamu di University of California di Berkeley. Setelah kunjungannya ke United States,
Prof. Soemitro juga akan melakukan kunjungan ke Universitas Manchester di
Inggris.
Satu hal yang dihasilkan Kabinet Borhanoeddin
Harahap adalah sukses penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR (September
1955) dan pemilihan umum anggota Konstituante (MPR) pada bulan Desember 1955. Prof
Soemitro Djojohadikoesoemo masih menjadi Menteri Keuangan saat dua golongan
legislatif ini memulai kerjanya. Setelah pergantian kabinet pada bulan Maret
1956 lalu pada bulan Juni Prof Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika Serikat. Sepulang
dari luar negeri, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo kembali ke kampus sebagai
dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pada bulan Januari 1957, setelah
reses 48 hari, Majelis Konstituante pada tanggal 14 Januari di Bandung melakukan
rapat pleno yang diikuti oleh 337 anggota dari 484 anggota konstituante. Sesuai
Pasal 137, ayat (1) kuorum adalah 323. Rapat konstituante ini juga dihadiri
oleh Perdana Menteri Ali Sastroadjojo, Wakil Perdana Menteri-1 Idham Chalid dan
berbagai undangan lainnya (Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-01-1957). Rapat hari
Senin yang dimulai pukul 10 pagi yang dibuka dengan pidato Ketua Konstituante
Mr. Wilopo. Dalam pembukaan ini Mr. Wilopo menjelaskan komposisi terakhir
anggota Konstituante seperti jumlah yang hadir pada sesi terakhir sebeleum
reses, anggota yang mengundurkan diri, anggota yang meninggal dunia. Mr. Wilopo
juga mengumumkan anggota baru yang diangkat termasuk diantaranya Mr.
Wongsonegoro (PIR); Prof. Mr. Hazairin Harahap (PIR); Prof. Mr. Soediman
Kartohadiprodjo (PSI); dan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (PSI). Juga
diinformasikan para anggota Masyumi dari Sumatera Barat tidak hadir di sesi
pertama pada 14 Januari. Menurut sebuah telegram yang dikirim ke sekretariat
oleh para anggota ini, situasi di Sumatera Barat tidak memungkinkan mereka
untuk meninggalkan daerah itu. Catatan: Tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad
Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah di Bukittinggi dari Gubernur Roeslan
Muljohardjo (sebagai awal krisis). Sebelumnya tanggal 1 Desember 1956 Wakil
Presiden Mohamad Hatta meletakkan jabatan.
Sebagaimana sebelumnya, saat menjabat sebagai
Menteri Keuangan, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo tetap peduli dengan
kampus sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Hal ini juga
dilakukan tetap dilakukan oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo saat
diangkat anggota majelis konstituante. Dalam fase ini di Djakarta ditangkap
seorang direktur dari perdagangan China karena terlibat kasus ‘Hongkong Barter’
yang mencakup ratusan juta rupiah (Leeuwarder courant : hoofdblad van
Friesland, 27-03-1957). Dari interogasi ini kemudian dipanggil sejumlah orang untuk dimintai
keterangan di Bandoeng oleh polisi militer. Diantara orang-orang yang dipanggil
adalah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. Disebutkan, hari ini, Kepala Staf Tentara
Indonesia, Mayor Jenderal [Abdoel Haris] Naspetion bahwa tentara dimaklumkan dengan
kekuatan dibawah keadaan perang dan pengepungan akan memberantas korupsi di
kalangan pemerintah. Menurut juru bicara komando militer setempat di Jakarta, para
pihak dipanggil oleh penguasa militer di Bandoeng sehubungan dengan apa yang
disebut skandal ‘Hong Kong-barter’. Dari interogasi di Bandoeng ini tidak
diketahui kelanjutannya hingga muncul berita bahwa sudah dikeluarkan perintah
penangkapan terhadap mantan Menteri Keuangan Prof. Soemitro (Leeuwarder courant
: hoofdblad van Friesland, 21-05-1957).
Disebutkan otoritas militer Indonesia mengeluarkan surat perintah penangkapan
terhadap mantan Menteri Keuangan Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo,
atas tuduhan korupsi. Soemitro telah dipanggil beberapa kali oleh polisi
militer di Bandoeng untuk didengar mengenai masalah ini, tetapi dia tidak
pernah menanggapi panggilan-panggilan ini. Keberadaannya saat ini tidak
diketahui.
Telegraaf, 13-06-1957 |
Inilah alasannya mengapa Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo diketahui pada bulan April 1957 tidak lagi menghadiri sebuah kegiatan
penting di kampus Fakultas Ekonomi, Universita Indonesia tetapi telah diwakili
oleh seorang pejabat dekan, Djoko Soetono (Het nieuwsblad voor Sumatra,
10-04-1957). Menurut berita Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo diduga telah
pergi ke Padang. Sejak itu Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo yang mulai
menjabat dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia 1951, tidak pernah
kembali ke kampus dan bahkan pada bulan Oktober 1957 Kementerian Pendidikan mengultimatum
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo layaknya seorang buronan.
Saat Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sudah
diketahui berada di Sumatra (PRRI), Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-10-1957 melaporkan Ford Foundation
yang berbasis di New York telah mengalokasikan anggaran untuk Indonesia.
Besarnya dana dari Ford Foundation tersebut sebesar $162.790 diberikan kepada
Institut untuk pelatihan dosen Fakultas Teknik di Bandoeng dan untuk bantuan pelatihan
teknis lainnya; bantuan juga diberikan sebesar $77.000 untuk beasiswa studi ke
University of California dan untuk staf peneliti dari Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia dan untuk staf peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi
dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Universitas Gadjah Mada di
Djogjakarta juga mendapat bantuan sebesar $5.000 untuk memperluas penelitian
dan untuk Fakultas Ekonomi.
Siapa yang mendapat beasiswa untuk studi ke University of
California at Berkeley dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia adalah
calon-calon ekonom Indonesia kelak. Mereka itu adalah sarjana-sarjana baru di
Fakultas Ekonomi yang notabene sebagai penerus Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo. Apakah dana hibah dari Ford Foundation merupakan upaya dari Prof.
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo? Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956 pernah memberitakan Dekan Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo berangkat ke
Amerika Serikat untuk menghadiri seminar yang diadakan Merril Center for
Economics. Prof. Dr. Soemitro sebagai anggota dari lima anggota Komite
Pengarah. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan memberikan kuliah
tamu di University of California at Berkeley.
Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo telah
menjadi bagian dari PRRI. Itu berarti Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo telah
menjadi musuh pemerintah pusat. Dalam hal ini, pemerintah pusat (Kementerian
Pendidikan) sebagai pemilik Universita Indonesia akan dengan sendirinya memecat
Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai guru besar di Universitas Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang
diproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam
daftar yang beredar di berbagai surat kabar Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo
menjadi anggota kabinet PRRI yang dipimpin oleh Sjafroedin Prawiranegara.
Untuk pengganti Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo diangkat Prof. Djoko Soetono pada tahun 1958. Selama posisi
Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo belum begitu jelas (karena PRRI), Djoko
Soetono paling tidak sejak April 1954 sudah menjadi pejabat dekan Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia. Prof. Djoko Soetono sendiri bukanlah seorang
ekonomi melainkan ahli hukum. Sebelumnya, Prof. Mr. Djoko Soetono adalah dekan Fakultas
Hukum dan Sosial. Prof. Mr. Djoko Soetono
diangkat sebagai dekan Fakultas Hukum dan Sosial pada tahun 1950 (lihat De
vrije pers : ochtendbulletin, 13-12-1950).
Djoko Soetono diterima di Rechts Hoogeschool
Batavia tahun 1926. Pada tahun 1927 Raden Djoko Soetono lulus ujian kelas satu
(Bataviaasch nieuwsblad, 18-07-1927). Lulus ujian kelas dua pada tahun 1928 (De
Indische courant, 20-12-1928). Djoko Soetono lulus ujian pertama tingkat
doktoral (De Indische courant, 20-08-1934).
Djoko Soetono berhasil ujian doktoral tingkat dua pada tahun 1936 (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1936). Djoko Soetono lulus
ujian doktoral tingkat tiga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
16-12-1938). Doktoral tingkat tiga setara dengan gelar doktor (Ph.D). Pada
tahun 1938 yang meraih gelar Ph,D di Rechts Hoogeschool Batavia adalah Dr.
Hazairin Harahap, Ph.D. Djoko Soetono adalah dosen di Universitas Gadjah Mada
tahun 1946 (De waarheid, 26-11-1946). Pada saat perjanjian Linggarjati, Djoko
Soetono memberikan analisis hukum terhadap isi perjanjian yang telah dibuat
oleh delegasi Indonesia dan Belanda. Pada tahun 1950 Djoko Soetono diangkat
sebagai dekan Fakultas Hukum dan Sosial di Universitas Indonesia. Dalam
pelantikan Prof. Dr. H. Th. Chabot sebagai guru besar Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyrakat di Makassar turut dihadiri oleh Presiden Universitas
Indonesia Prif. Mr. Soepomo, Ph.D, Wakil Presiden Universitas Indonesia Prof.
Mr. Wisaksono dan dekan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Prof. Mr.
Djoko Soetnono (De vrije pers: ochtendbulletin, 14-10-1952). Prof. mr. R.
Djokosoetono sebagai dekan Akademi Hukum Militer. Akademi ini dipersiapkan
sejak tahun 1952 (De nieuwsgier,
30-10-1953). Disebutkan direktur akademi adalah Mr. Basaroedin Nasution. Salah
satu pengawas Akademi Hukum Militer ini adalah General Majoor TB Simatoepang,
Kepala Staf Angkatan Perang RI. Pada tahun 1956, Djoko Soetono masih sebagai
dekan Akademi Hukum Militer (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 24-10-1956). Disebutkan Akademi Hukum Militer
melakukan wisuda pertama. Pemerintah pusat mengirim delegasi ke Sumatra Tengah
setelah kudeta yang terjadi di Bukittinggi untuk menghubungi militer yang
mengabilalih pemerintahan. Soekarno telah meminta pendapat hukum kepada Prof,
Djoko Soetono terhadap kasus pengambilalihan ini.(Het vrije volk :
democratisch-socialistisch dagblad, 22-12-1956).
Tidak lama setelah diproklamirkannya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), di kampus Universitas Indonesia terjadi
pergantian pimpinan. Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan
digantikan oleh Presiden Universitas Indonesia yang baru Prof. Soedjono Djoened
Poesponegoro (dekan Fakultas Kedokteran). Pergantian ini dilakukan pada bulan
Maret 1958.
Soedjono Djoened Poesponegoro adalah angkatan
pertama perguruan tinggi kedokteran Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun
1927 (sebelum ditingkatkan statusnya sekolah kedokteran Batavia disebut
STOVIA). Soedjono Djoened Poesponegoro lulus dan mendapat gelar dokter pada
tahun 1934. Pada tahun 1934 Soedjono Djoened Poesponegoro melanjutkan
pendidikan kedokteran ke Belanda dan tahun 1935 mendapat gelar dokter di
Utrecht. Soedjono Djoened Poesponegoro langsung melanjutkan pada tingkat
doktoral dan meraih gelar doktor (Ph.D) dari Universiteit Leiden pada bulan Mei
1938 dengan disertasi berjudul ‘Het glucose-, melkzuur- en chloridengehalte van
den liquor cerebrospinalis bij meningitides’ (Algemeen Handelsblad, 13-05-1938).
Dr. Soedjono Djoened Poesponegoro, Ph.D telah menambah daftar orang Indonesia
yang meraih gelar doktor (Ph.D). Orang Indonesia pertama peraih gelar doktor di
bidang kedokteran adalah Dr. Sarwono, Ph.D pada tahun 1919 dan perempuan
Indonesia pertama peraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Ida Loemongga Nasution.
Ph.D pada tahun 1931 di Utrecht. Untuk gelar sarjana kedokteran (dokter) diraih
Ida Loemongga di Universiteit Amsterdam tahun 1927.
Lalu muncul pertanyaan: mengapa Presiden
Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan harus digantikan sebelum waktunya
pada bulan Maret 1958? Apakah penggantian ini terkait dengan pernyataan Bahder
Djohan yang menolak pemisahan Universitas Indonesia dengan membentuk
universitas di Bandoeng? Entahlah.
Yang jelas itu wewenang Pemerintah Pusat yang dalam hal
ini Kementerian Pendidikan. Pada tanggal 9 April 1957 telah terjadi pergantian kabinet
dari Kabinet Ali-II yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ke
kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djoeanda Djuanda
Kartawidjaja dengan mengangat Prijono sebagai Menteri Pendidikan.
Prof. Bahder Djohan diganti diganti pada
Kabinet Djoeanda pada bulan Maret 1958. Prof.
Bahder Djohan diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia pada bulan Maret
1954. Ini berarti Prof. Bahder Djohan baru menjabat selama tiga tahun (yang
normalnya pengangkatan/kembali dalam lima tahun). Saat pengangkatan Prof.
Bahder Djohan sebagai Presiden Universitas Indonesia, posisi Menteri Pendidikan
dijabat oleh Mohamad Jamin masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Untuk sebagai
pembanding: Presiden Universitas Gadjah Mada masih dijabat oleh Prof. Dr.
Sardjito, Ph.D (sejak 1949). Tampaknya, siapapun Menteri Pendidikan, Prof. Dr.
Sardjito, Ph.D sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada akan tetap aman, sebab
Prof. Dr. Sardjito, Ph.D memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno, bahkan
sejak era kolonial Belanda.
Universitas di Bandoeng sudah diresmikan sejak September
1957 yang disebut Universitas Padjadjaran. Universitas di Bandoeng berdiri
sendiri, bukan bagian dari dua fakultas yang menjadi bagian dari Universitas
Indonesia. Proses pendirian universitas di Bandoeng ini bermula Januari 1947 (Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1957).
Disebutkan pada pertemuan antara Menteri Pendidikan dan stafnya, Gubernur Jawa
Barat Sanoesi Hardjadinata, perwakilan dari Universitas Indonesia dan komite
untuk pembentukan sebuah universitas negeri di Bandung telah sepakat untuk
mendirikan universitas negeri yang baru pada pertengahan tahun 1957. Pada tanggal
6 Januari 1957, panitia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan kemajuan
yang dicapai untuk mewujudkan pembentukan universitas negeri yang keenam. Namun
sejauh ini yang dimaksud pembentukan universitas negeri yang keenam tersebut
adalah dengan cara memisahkan dua fakultas yang ada di Bandoeng yang merupakan
bagian dari Universitas Indonesia. Hal ini sudah barang tentu terkait dengan
pernyataan dari Presiden Universitas Indonesia Prof. Bahder Djohan: ‘bahwa
semua profesor Indonesia akan keluar jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan
Fakultas Teknik dan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam dengan membentuk
universitas baru di Bandoeng’ (lihat kembali Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 04-02-1957). Penolakan dari Prof. Bahder Djohan ini boleh jadi
telah membuat pertimbangan baru untuk membentuk universitas negeri yang keenam
tanpa mengikutsertakan dua fakultas Universita Indonesia yang berada di
Bandoeng.
Presiden Universitas Indonesia yang baru
Prof. Djoko Soetono jelas menghadapi tantangan yang lebih berat. Pada satu sisi
suhu politik nasional sangat panas (PRRI vs Pemerintah Pusat) dan pada sisi
lain wacana pemisahan dua fakultas yang menjadi bagian Universitas Indonesia
terus bergulir. Pertimbangannya hanya semata-mata efisiensi: di satu pihak
mengefektifkan ruang kerja Universitas Indonesia dan di pihak lain untuk
meratakan jalan agar fakultas teknik dan fakultas ilmu alam lebih mandiri dan
bersinergi satu sama lain dengan kemungkinan membuka fakultas-fakultas baru.
Fakultas Teknik di Bandoeng dibuka tahun
1920. Desain pendirian Technisch Hoogeschool di Bandoeng pada tahun 1920
sesungguhnya adalah copy paste Universiteit te Delf. Dekan (baca: Rektor) pertama
Technisch Hoogeschool di Bandoeng adalah guru besar Universiteit te Delf.
Prof.
Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia
Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Technische Hoogeschool te Bandoeng didirikan dengan
satu fakultas Faculteit der Weg- en Waterbouwkande (opleidingtot
civie-inganieur). Walau bukan mahasiswa pribumi pertama, Ir. Soekarno adalah
lulusan pertama (bersama Ir. Anwari) Technisch Hoogeschool di Bandoeng pada
tahun 1926. Technisch Hoogeschool di Bandoeng sebagai bagian dari Univesiteit
van Indonesie di akhir era kolonial Belanda terbilang perguruan tinggi pertama
karena dibuka tahun 1920. Pada pasca pengakuan kedaulatan RI, Technisch
Hoogeschool di Bandoeng tetap termasuk bagian dari Universitas Indonesia. Sejak
keberadaan fakultas teknik di Bandoeng tahun 1920, sejumlah mahasiswa Indonesia
ada yang studi langsung ke Belanda. AFP
Siregar gelar MO Parlindoengan berangkat tahun 1937 dan setelah meraih gelar
insiyur teknik kimia di Delf tahun 1942 pulang ke tanah air (saat pendudukan
Jepang). Setelah pengakuan kedaulatan RI, MO Perlinddoengan diangkat menjadi
Direktur Perusahan Sendjata dan Mesioe/PSM di Bandoeng. Mahasiswa asal Indonesia
pertama di Universiteit Delf adalah R, Kartono (kakak RA Kartini) namun gagal
tahun 1899 (dan beralih ke sastra). Baru kemudian Ir. Soerachman berhasil lulus
di Delf tahun 1920 (berangkat studi tahun 1915). Setelah Ir. Soerachman
menyusul Raden Mas Sarwedo. Namun pada tahun 1923 di Technische Universiteit
Delft, Raden Mas Sarwedo dikabarkan meninggal dunia (lihat De Preanger-bode,
11-01-1923). Andaikan Mas Sarwedo hidup maka Mas Sarwedo akan lulus bersamaan
waktunya dengan Soekarno di Technische Hoogeschool di Bandoeng. Ir. Soekarno
lulus tahun 1926 di Bandoeng. Nama-nama alumni Technische
Hoogeschool/Universiteit te Delft yang perlu dicatat adalah Masdoeki Oemar yang
lulus pada tahun 1953, setahun sebelum MO Parlindoengan pension direktur PSM di
Bandoeng. Masdoeki pada tahun 1957 ditunjuk sebagai Pemimpin Proyek Bendoengan
Djatiluhur yang diselesaikannya pada tahun 1967. Pada tahun 1957 Raden Soewardi
dinyatakan lulus di Technische Universiteit Delft pada bidang fisika
(natuurkundig ingenieur) (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 10-11-1956). Setahun kemudian tahun 1957 dua lulusan
baru Technische Universiteit Delft yakni insinyur galangan kapal F. Raden Mas
Soejadi dan insinyur arsitektur pesawat Soegito (lihat Algemeen Indisch dagblad
: de Preangerbode, 20-07-1957).
Akhirnya dua fakultas di Bandoeng yang
menjadi bagian dari Universitas Indonesia dipisahkan dan dibentuk universitas
sendiri yang disebut Institut Teknologi Bandoeng (ITB). Peresmian lembaga pendidikan
tinggi ITB ini dilakukan pada tanggal 2 Maret 1959. ITB sendiri merupakan garis
continuum dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng yang dibuka tahun 1920. Sedangkan
Fakultas Ilmu Alam baru dibentuk tahun 1947 (pada era perang kemerdekaan).
De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 04-10-1947: ‘Faculteit exacte
wetenschappen. Bandoeng, 2 Oktober (Aneta). Senin depan, di Bandoeng, fakultas
ilmu eksakta dari Universitas Indonesia di Huygensweg No.2 akan dibuka secara
resmi. Pada hari Selasa, kuliah dimulai dengan sekitar empat puluh mahasiswa.
Fakulta baru ini sudah diberitakan pada bulan Maret (Nieuwe courant, 13-03-1947).
Disebutkan dari Batavia, Pemerintah telah menyetujui pendirian nutuur-filosofische
faculteit di Bandoeng. yang akan segera dibuka. Nama awalnya nutuur-filosofische
faculteit telah bergeser menjadi faculteit exacte wetenschappen. Namun dalam
perkembangannya berubah lagi menjadi de wis- en natuurkundige faculteit atau
Fakultas Matematika dan Ilmu (Pengetahuan) Alam (lihat Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 01-09-1951). Sementara itu Fakultas Teknik juga terus
berkembang. Setelah dibuka Departemen Teknik Sipil (Civiel Ir), Departemen
Teknik Elektro, Teknik Pertambangan, Teknik Mesin (werktuigbouwkundig),
Departmen Penera (Ijkers), Departemen Teknik Kimia (scheikunde) tahun 1950; kemudian
dibuka Teknik Geodesi (De vrije pers: ochtendbulletin, 30-06-1950). Disebutkan
jumlah mahasiswa yang memulai perkuliahan sebanyak 15 mahasiswa yang diikat
dengan program beasiswa, jika telah lulus akan berkerja untuk pemerintah.
Dengan dipisahkannya dua fakultas yang ada di
Bandoeng, Universitas Indonesia hanya menyisakan fakultas-fakultas yang ada di
Djakarta dan Bogor: Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum; Fakultas Ekonomi;
Fakultas Sastra di Djakarta dan Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan
di Bogor. Sebelumnya Fakultas Kedokteran di Soerabaja telah dipisahkan dalam
pembentukan Universitas Airlangga (1954) dan Fakultas Hukum di Makassar dalam
pembentukan Universitas Hasanoedin di Makassar (1956).
Pada tahun 1940 Middelbare Landbouwschool dan Veeartsen
School dilebur dan kemudian menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi
Pertanian). Sementara itu.
Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai
perkuliahan pertama pada tanggal 4 Desember 1940. Soerabaijasch handelsblad
28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte. Sejak 31 Oktober 1941 Sekolah Tinggi
Pertanian di Bogor dikenal sebagai Landbowkundige Faculteit. Namun tidak lama
kemudian terjadi pendudukan Jepang (1942), Pada tahun 1946 kembali datang Belanda
(NICA). Pada Januari 1946 dibentuk universitas Nood-Universiteit van
Nederlandsch Indie. Untuk menarik minat mahasiswa lama (sebelum pendudukan
Jepang) dibuat kebijakan baru, karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi
angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Lalu kemudian
pada tanggal 12 Maret 1947 Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie diubah
menjadi Universiteit van Indonesie (lihat Het nieuws: algemeen dagblad,
24-10-1947). Disebutkan Universiteit van Indonesie terdiri dari Fakultas
Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan dan
Pertanian (faculteiten der dierengeneeskundie en van landbouw wetenschap) di Salemba
4 Djakarta. Selain itu terdapat Fakultas Hukum dan Sosial (faculteiten der
rechts en sociale wetenschap) dan Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der
letteren en wijsbegeerte) di Wilhelminalaan 55 Djakarta. Fakultas lainnya
adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik
(faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Iklan penerimaan
Universiteit Indonesie, 24-10-1947
Pada bulan Desember 1947 ada wacana untuk memindahkan
Universiteit van Indonesie dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor).
Alasannya lebih banyak kesempatan perumahan daripada di ibukota yang penuh
sesak. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah dimana universitas itu
ditempatkan. Lalu dibentuk suatu komite untuk melakukan studi kelayakan.
Hasilnya tidak ada keberatan dari pemerintah (Belanda) untuk menggunakan Istana
Buitenzorg sebagai kandidat universitas. Sejumlah professor dari Belanda sudah dikontak
untuk bergabung. Pemindahan pertama akan dilakukan bagi Fakultas Pertanian dan
Kedokteran Hewan (landbouwkundige en de veterinaire faculteit) yang kebetulan dulunya
berlokasi di Buitenzorg (Bogor). Namun tidak bisa direalisasi segera karena
militer masih menjadikannya sebagai garnisum (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 16-12-1947). Situasi dan kondisi masih
perang antara militer Belanda dengan militer/laskar Indonesia). Dalam
perkembangannya, komite untuk persiapan Universiteit van Indoensie di Butenzorg
(yang salah satu anggotanya Prof. Husein Djajanegara) membatalkan niat untuk
pemusatan semua fakultas di Istana Buitenzorg karena terlalu sempit (lihat De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-04-1948). Fakultas
Pertanian dan Kedokteran Hewan sudah memulai aktivitas namun secara seremonial
baru diresmikan pada tahun tanggal 20 November 1948. Peresmian Fakultas
Pertanian dan Kedokteran Hewan (faculteiten van landbouwwetenschap en van
diergeneeskunde) ini berlangsung di gedung Umum Balai Penelitian Pertanian yang
dihadiri senat Universiteit van Indonesie di Buitenzorg (lihat Het dagblad:
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-11-1948). Namun
perkuliahan belum efektif karena masih terjadi perang di sekitar Buitenzorg (De
nieuwsgier, 22-11-1948). Untuk menyukseskan Fakultas Pertanian dan Kedokteran
Hewan di Buitenzorg pemerintah mengganggap perlu melakukan rekonstruksi gedung.
Departemen PU (departement van Waterstaat en Wederopbouw) telah membuat kompetisi
desain. Juri telah menentukan pemenang. Pemenang pertama dengan judul ‘A 365’
dari Ingenieursbureau Ingeneger en
Vrijburg di Bandoeng dan pemenang ketiga adalah dengan judul ‘Studie’ oleh
Friedrich Silaban, directeur Gemeentewerken te Buitenzorg. Desain akan
dipamerkan pada minggu pertama bulan Februari di Landbouw Hogeschool di
Buitenzorg (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
26-01-1949).
Dalam perkembangannya, setelah ada peralihan dari Belanda
ke Indonesia (1949) dibentuk Universiteit Indonesia tahun 1950. Presiden
Universiteit Indonesia diangkat Ir. Soerachman yang diresmikan pada tanggal 2
Februari 1950. Lalu kemudian Universiteit Indonesia terdiri dari Fakultas Kedokteran,
Fakultas Hukum dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra di Djakarta; Fakultas
Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian di Bogor; Fakultas Teknik dan Fakultas
Ilmu Alam di Bandoeng; Fakultas Kedokteran di Soerabaja dan Fakultas Hukum di
Makassar.
Pada tahun 1963 Fakultas Kedokteran Hewan dan
Fakultas Pertanian dipisahkan dari Universitas Indonesia dengan membentuk
Institut Pertanian Bogor. Secara resmi Institut Pertanian didirikan pada
tanggal 1 September 1963 dengan Presiden Prof. Dr. Sjarif Thajeb. Saat itu
Prof. Dr. Sjarif Thajeb masih merangkap sebagai Ketua Presidium/Rektor
Universitas Indonesia dan kemudian jabatan rektor Institut Pertanian Bogor didelegasikan
kepada Prof. Dr. AJ Darman. Pada tahun 1964 Rektor Institut Pertanian Bogor
dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Tb. Bachtiar Rifai. Catatan: Terminologi Rektor
dimulai tahun 1962.
Tb. Bachtiar Rifai diterima di Faculteit van
Landbouwwetenschap van de Universiteit van Indonesië te Bogor tahun 1948. Pada
tahun 1951 Tb. Bachtiar Rifai lulus ujian kelas tiga (De nieuwsgier,
09-02-1951). Lulus ujian kelas dua diantaranya Goenawan Satari. Pada tahun 1953
Bachtiar Rifai lulus ujian akhir dan mendapat gelar Insinyur (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-03-1953).
Disebutkan Landbouwkundige Faculteit in Bogor telah meluluskan insinyur
pertanian Indonesia pertama, Ir. Bachtiar Rifai. Dia telah ditunjuk sebagai
asisten di fakultas ini. De nieuwsgier 01-06-1953 memberitakan Ir. TB
Bachtiar Rifai diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan berlaku sejak
1 April 1953 sebagai asisten voor de afdeling landbouw-gemeenschappen van de
Faculteit voor de landbouw van de Universiteit van Indonesie te Djakarta. Sebelas tahun sejak pengangkatan Bachtiar
Rifai menjadi Rektor Institut Pertanian Bogor. Prof. Dr. Sjarif Thajeb sendiri adalah seorang
dokter. Dr. Sjarif Thajeb lulusan sekolah kedokteran Djakarta di era pendudukan
Jepang (suksesi STOVIA/Geneeskundige Hoogeschool).
Prof. Dr. AJ Darman
adalah alumni sekolah kedokteran hewan. AJ Darman lulus dari sekolah kedokteran
hewan di Bogor tahun 1932 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-05-1932).
Disebutkan AJ Darman dan Hari Rajo Pane lulus ujian akhir di Nederlandsch
Indische Veeartsen School te Buitenzorg. Setahun sebelumnya 1931, di Nederlandsch
Indische Veeartsen School lulus ujian akhir F. Sihombing, Asoen dan Soedibio (De
Indische courant, 11-06-1931). Setahun sebelumnya lagi, 1930 di Nederlandsch
Indische Veeartsen School lulus ujian akhir antara lain Aboebakar Siregar,
Soebardji dan Anwar Nasution (De Indische courant, 04-06-1930). Dr. Anwar
Nasution adalah ayah dari Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution (Rektor IPB
1978-1987). Andi Hakim Nasution lahir di Batavia 30 Maret 1932, lulus HIS di
Buitenzorg 1945, lulus sekolah menengah pertama tahun 1948, lulus sekolah
menengah atas 1952 dan meraih Insinyur dari Fakultas Pertanian IPB, 1958.
AJ Darman, Hari Rajo Pane, F. Sihombing, Asoen, Soedibio Aboebakar
Siregar, Soebardji dan Anwar Nasution pada dasarnya terbilang sebagai lulusan Nederlandsch
Indische Veeartsen School. Sebab pada tahun 1930 status Veeartsen School
(syarat masuk setingkat SMP) telah ditingkatkan menjadi Nederlandsch Indische
Veeartsen School (syarat masuk setingkat SMA). Veeartsen School sendiri
didirikan tahun 1907. Siswa yang pertama dinyatakan lulus adalah JA Kaligis
tahun 1910 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1910). Siswa-siswa
yang memulai studi dari tingkat pertama saat dibukanya Veeartsen School tahun
1907 baru lulus tahun 1912. Lantas mengapa JA Kaligis lulus tahun 1910. Ini
karena pada tahun 1907 dua siswa di Lambouwschool pada tahun 1907 yang naik ke
kelas dua ditransfer ke Veeartsen School untuk kelas dua (Lambouwschool
didirikan 1903). Salah satu diantara dua
yang ditransfer tersebut adalah JA Kaligis. Pada bulan Agustus 1912 hanya satu
siswa yang dinyatakan lulus yaitu Sorip Tagor (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
19-08-1912). Lalu kemudian Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada
tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi sebagai asisten dosen di Veeartsen School
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Catatan: Pada tahun 1918 status Veeartsen
School ditingkatkan dari persyaratan HIS menjadi MULO atau sederajat (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1918). Sebelum Veeartsen School dibuka pada tahun
1907, pendidikan kedokteran hewan bagi pribumi dilakukan dengan program khusus
(kursus dua tahun). Salah satu alumni kursus tersebut adalah Radja Prohoeman
yang lulus tahun 1886. Pada tahun 1907 (saat Veeartsen School dibuka) dokter Radja
Proehoeman diberitakan sebagai dokter hewan pemerintah di Padang Sidempoean
(Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907). Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr.
Sjoeib Proehoeman, Ph.D (meraih gelar doktor di bidang kedokteran di
Universiteit Amsterdam 1930).
Pada bulan Oktober 1913 Sorip
Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar
dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor
lulus dan diterima sebagai kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool,
Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Ini menandakan babak baru
bagi pribumi untuk memulai studi kedokteran di negeri Belanda. Sorip Tagor
menjadi pionir. Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan
mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Sorip Tagor kembali ke tanah air
dan diangkat sebagai dokter hewan di lingkungan istana Gubernur General.. Setelah lama nama JA Kaligis terdeteksi dengan kapal
Grotius berangkat tanggal 31 Januari dari Batavia menuju Amsterdam (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Surat kabar Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-10-1920 memberitakan bahwa JA
Kaligis salah satu dari mahasiswa yang lulus ujian bagian pertama di Utrecht.
Ini berarti Dr. Sorip Tagor adalah pribumi pertama bergelar dokter hewan (saat
itu dokter hewan ditulis dengan titel Dr). Sebagaimana halnya dengan Ir.
Soerachman yang lulus di fakultas teknik kimia di Universiteit te Delf tahun
1920, para mahasiswa Indonesia telah mulai merambah ke fakultas-fakultas baru
yang mana selama ini mahasiswa Indonesia di Belanda hanya di fakultas-fakultas
kedokteran, hukum, sastra dan keguruan. Fakultas teknik (Ir. Soerachman) dan
fakultas kedokteran hewan (Dr. Sorip Tagor) di Belanda merupakan dua tujuan
baru mahasiswa Indonesia untuk
melanjutkan studi.
Dr. Sorip Tagor Harahap kelahiran
Padang Sidempoean kelak lebih dikenal kakek (Ompung) dari Inez/Risty Tagor dan
Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto, Ketua DPR). Kelahiran Padang
Sidempoean lainnya lulusan Veeartsen School te Buitenzorg yang berangkat studi
ke Belanda adalah Dr. Tarip Siregar. Keberangkatan Dr. Tarip Siregar karena hadiah
beasiswa yang diberikan pemerintah atas publikasi hasil penelitiannya dalam
pemberantasan cacing pita pada ternak. Dr. Tarip Siregar berangkat ke Belanda
tahun 1927. Dr. Tarip dinyatakan lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter
(Dr) tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (De Sumatra
post, 07-10-1930). Cukup singkat karena hasil penelitiannya mendapat akselerasi
di Utrecht. Hal ini yang membedakakan perbedaan masa studi Sorip Tagor (enam
tahun) dengan masa studi Tarip Siregar yang hanya tiga tahun meski keduanya
angkatan lama di Veeartsen School te Buitenzorg (Sorip Tagor lulus 1912 dan
Tarip Siregar lulus 1914). Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda tahun 1913
segera setelah lulus Veeartsen School te Buitenzorg, sementara Tarip Siregar
baru berangkat tahun 1927 (setelah cukup lama berdinas dan banyak melakukan
riset, seperti riset cacing pita pada sapi). Tarip Siregar berangkat studi ke
Utrecht atas dasar hadiah (beasiswa) yang diberikan pemerintah karena sukses
dalam penelitian lapangan. Setelah sempat bekerja di Belanda, baru pada tahun
1932, Dr. Tarip kembali ke tanah air dan atas permintaannya sendiri (karena
sudah tidak muda lagi?) untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang
Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr. Tarip sangat terkenal di Taroetoeng,
demikian juga di (pulau) Nias. Dr. Tarip telah melakukan penelitian dan telah
menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak babi asal Nias tersebut
telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dapat dipasarkan ke Medan dan sebagian ke
Singapoera.
Sejak 1963 Universitas Indonesia hanya
terdiri dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum; Fakultas Ekonomi; dan
Fakultas Sastra. Namun secara bertahap terjadi penambahan fakultas baru.
Fakultas-fakultas baru tersebut adalah Fakultas Kedokteran Gigi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Fakultas Psikologi pada tahun 1960.
Pada tahun 1964 dibentuk Fakultas Teknik dan tahun 1965 dibentuk Fakultas
Kesehatan Masyarakat; lalu dibentuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun
1968. Selanjutnya terbentuk Fakultas Ilmu Komputer tahun 1993; Fakultas Ilmu
Keperawatan tahun 1995; Fakultas Farmasi tahun 2011; dan Fakultas Ilmu
Administrasi tahun 2015.
Fakultas Kedokteran. Fakultas tertua yang secara historis dimulai dari
sekeloh kedokteran tahun 1861 yang kemudian disebut Docter Djawa School, Pada
tahun 1902 ditingkatkan dengan STOVIA. Lalu pada tahun 1927 ditingkatkan lagi
menjadi Geneeskundige Hoogeschool, Sekolah Tinggi Kedokteran ini ketika
dibentuk Universiteit van Indonesie tahun 1947 menjadi Faculteiten der Geneeskunde.
Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh
pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2
Februari 1950. Faculteiten der Geneeskunde disebut Fakultas Kedokteran,
Universita Indonesia (hingga sekarang).
Fakultas Hukum. Fakultas tertua kedua yang secara historis dimulai dari
sekolah hukum pada tahun 1913 yang disebut Rechts School. Pada tahun 1924
sekolah hukum ini ditingkatkan menjadi Rechts Hoogeschool. Sekolah Tinggi Hukum
ini ketika dibentuk Universiteit van Indonesie tahun 1947 menjadi Faculteiten
der rechts en der sociale weten. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit
van Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit
Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Faculteiten der rechts en der sociale
weten disebut Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universita Indonesia. Lalu
ilmu-ilmu sosial dipisahkan sehingga disebut Fakultas Hukum (hingga sekarang).
Fakultas Sastra. Fakultas tertua ketiga yang secara historis dimulai
dari pembentukan Faculteit der letteren en wijsbegeerte tahun 1940. Sekolah
Tinggi Sastra dan Filsafat ini menjadi bagian dari pembentukan Universiteit van
Indonesie tahun 1947. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van
Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit
Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Faculteit der letteren en wijsbegeerte disebut
Fakultas Sastra dan Filsafat, Universita Indonesia. Lalu ilmu-ilmu filsafat dipisahkan
sehingga disebut Fakultas Sastra (hingga sekarang dengan nama Fakultas Ilmu
Budaya).
Fakultas Ekonomi.
Fakultas tertua keempat yang secara historis dimulai dari pembentukan Faculteiten
der rechts en der sociale weten menjadi bagian dari pembentukan Universiteit
van Indonesie tahun 1947. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van
Indonesie diakuisisi oleh pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit
Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950. Ilmu sosial ekonomi lalu dipisahkan dari
Faculteiten der rechts en der sociale weten dengan membentuk Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia (hingga sekarang dengan nama Fakultas Ekonomi dan
Bisnis).
Fakultas Kedokteran
Gigi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1960
dengan nama Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas yang
dibentuk baru tahun 1960 dengan nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
Fakultas Psikologi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1960 dengan memisahkan
pendidikan psikologi dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dengan
nama Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia..
Fakultas Teknik. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1964 dengan nama
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1965
dengan memisahkan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia dengan nama Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Fakultas yang
secara historis dimulai dari pembentukan Faculteiten der rechts en der sociale
weten menjadi bagian dari pembentukan Universiteit van Indonesie tahun 1947.
Setelah pengakuan kedaulatan RI, Universiteit van Indonesie diakuisisi oleh
pemerintah yang secara resmi disebut Universiteit Indonesia pada tanggal 2
Februari 1950. Ilmu-ilmu sosial dipisahkan tahun 1968 dengan membentuk Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (hingga sekarang).
Fakultas Ilmu
Komputer. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1993
dengan nama Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia.
Fakultas Ilmu
Keperawatan. Fakultas yang dibentuk baru tahun 1995
dengan memisahkan pendidikan keperawatan dari Fakultas Kedokteran dengan nama
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.
Fakultas Farmasi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 2011 dengan
memisahkan ilmu farmasi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan
nama Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia.
Fakultas Ilmu Administrasi. Fakultas yang dibentuk baru tahun 2015 dengan
memisahkan ilmu administrasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan
nama Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Last but not least: Pada tahun 1953 Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo membentuk Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan
Masjarakat. Lalu pada tahun 1955 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
digantikan oleh Drs. Widjojo Nitisastro (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1955). Widjojo Nitisastro
sendiri baru lulus tahun 1955 di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jika
Fakultas Ekonomi diresmikan pada tanggal 18 September 1950, itu berarti Widjojo
Nitisastro termasuk angkatan pertama Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Dengan kata lain, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo telah ‘melahirkan’ Widjojo
Nitisastro yang langsung menggantikannya di Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan
Masjarakat sebagai direktur.
Departemen Sosial Ekonomi dipisahkan dari Faculteiten der
Rechts en der Sociale Wetenchap (Fakultas Hukum dan Sosial) Universiteit Indonesia
dan kemudian dibentuk Fakultas Eknomi, Universitas Indonesia yang diresmikan
pada tanggal 18 September 1950. Tidak diketahui berapa jumlah mahasiswa
terdaftar pada tahun pendirian Fakultas Ekonomi. Jumlah mahasiswa Fakultas
Ekonomi pada tahun 1953 sebanyak 1.015 mahasiwa (lihat Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 17-02-1953). Jumlah mahasiswa terbanyak kedua di Universita
Indonesia. Jumlah terbanyak terbanyak pertama adalah Fakultas Teknik di
Bandoeng dengan 1.845 mahasiswa. Di bawah Fakultas Ekonomi adalah Fakultas
Kedokteran di Soerbaja sebanyak 874 mahasiswa dan Fakultas Hukum dan Sosial di
Djakarta sebanyak 857 mahasiswa. Pada Dies Natalis tahun 1955, Presiden Universitas
Indonesia melaporakn jumlah mahasiswa yang register (lihat
Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Disebutkan jumlah mahasiswa yang
register di Fakultas Ekonomi sebanyak 581 mahasiswa. Jumlah
mahasiswa yang register terbanyak di Fakultas Hukum sebanyak 669 mahasiswa
(termasuk di Fakultas Hukum di Makassar). Di bawah Fakultas Ekonomi adalah
Fakultas Teknik di Bandoeng sebanyak 565 mahasiswa. Presiden Universita
Indonesia menyebutkan bahwa tingkat kelulusan tahun ini (1955) hanya Fakultas
Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor yang terbilang memuaskan.
Fakultas-fakultas lainnya tingkat kelulusan kurang dari 10 persen. Hasil yang
paling buruk adalah Fakultas Ekonomi, yang tahun ini hanya meluluskan hanya
tujuh mahasiswa (kira-kira dua persen). Salah satu mahasiswa yang lulus tahun
1955 tersebut adalah Drs. Widjojo Nitisastro dengan predikat Cum Laude.
Pada bulan Juni 1956 Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
berangkat ke Amerika Serikat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 26-06-1956). Disebutkan Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo berangkat ke Amerika Serikat untuk menghadiri seminar yang
diadakan Merril Center for Economics. Prof. Dr. Soemitro sebagai anggota dari
lima anggota Komite Pengarah. Setelah menghadiri seminar, Prof. Soemitro akan
memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley. Setahun
kemudian Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-10-1957 melaporkan Ford Foundation yang berbasis di New
York telah mengalokasikan anggaran untuk Indonesia. Disebutkan bahwa ‘besarnya
dana dari Ford Foundation tersebut sebesar $162.790 diberikan kepada Institut
untuk pelatihan dosen Fakultas Teknik di Bandoeng dan untuk bantuan pelatihan
teknis lainnya; bantuan juga diberikan sebesar $77.000 untuk beasiswa studi ke
University of California dan untuk staf peneliti dari Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia dan untuk staf peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi
dan Sosial, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Universitas Gadjah Mada di
Djogjakarta juga mendapat bantuan sebesar $5.000 untuk memperluas penelitian
dan untuk Fakultas Ekonomi’.
Tidak diketahui secara jelas apakah ada kaitan antara
kunjungan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo ke Amerika Serikat dan
memberikan kuliah tamu di University of California at Berkeley tahun 1956 dengan
alokasi dana dari Ford Foundation tahun 1957 ini. Yang jelas, Drs. Widjojo
Nitisastro pada bulan September telah melanjutkan studi ekonomi dan demografi ke
University of California di Berkeley. Drs. Widjojo Nitisastro lulus ujian dengan
meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1961 dengan desertasi berjudul ‘Migration,
population growth and economic development: A case of the economic consequences
of alterantive patters of inter-island migration’. Setelah lulus, Drs. Widjojo
Nitisastro, Ph.D kembali ke tanah air dan kembali mengajar di Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D telah menyamai seniornya, Drs.
Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D yang meraih gelar doktor (Ph.D) di Universiteit
Rotterdam pada tahun 1943. Boleh jadi Widjojo Nitisastro adalah ekonom keempat
Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph,D). Sebelumnya, selain Drs. Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D juga Drs. Ong Eng Die, Ph.D pada tahun 1943 di
Universiteit Amsterdam. Doktor pertama di bidang ekonomi diraih oleh Dr. Samsi
Sastrawidagda di Universiteit Leiden pada tahun 1923. Orang Indonesia pertama
yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Husein Djajadiningrat di
Universiteit Leiden di bidang sastra pada tahun 1913. Sedangkan perempuan
Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Dr. Ida Loemongga
Nasution, Ph.D di Universiteit Utrecht di bidang kedokteran pada tahun 1931.
Pada bulan Oktober 1962, Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagau
profesor di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pada tahun 1964 Prof. Drs.
Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D menggantikan Prof. RS Soeria Atmadja.
Raden Soelaiman (RS) Soeria Atmadja di
Economiche Zaken, dipindahkan dari Bandoeng ke Batavia sebagai Adviseur voor
Volkscredietwezen en Coöperatie (Bataviaasch nieuwsblad, 22-03-1939). Pada
tahun 1940 diangkat sebagai pegawai di Economisch Zaken (Bataviaasch nieuwsblad,
16-11-1940). Setelah pangakuan kedaulatan RI, pada era RIS tahun 1950 diangkat sebagai
Kepala Bidang Organisasi (Hoofd Afd. Organitatie) di Economische Zaken (locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-01-1950). Disebutkan posisi Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo di Econemiche Zaken adalah Directeur-Generaal van
het Planbureau (Direktur Jenderal Perencanaan). Pada tahun 1954 RS Soeria Atmadja
oleh Menteri Economische Zaken (Menteri Perekonomian) sebagai Presiden Direktur
BRI yang baru (De vrije pers : ochtendbulletin, 15-06-1954). Sejauh ini sulit
mencari informasi riwayat pendidikan RS Soeria Atmadja sebelum menjadi pegawai
di Economische Zaken pada tahun 1939. Demikian, juga sulit mencari informasi tentang
bagaimana proses perpindahan RS Soeria Atmadja dari Economische Zaken ke
Universitas Indonesia; kapan diangkat sebagai profesor; dan bagaimana prosesnya
menjadi dekan Fakultas Eknomi pada tahun 1962 untuk menggantikan Prof. Mr.
Djoko Soetono. Namun yang jelas saat itu, sejak peristiwa PRRI, posisi Ir.
Djoeanda sangat kuat di pemerintahan (sebagai Menteri Pertama). Sebagaimana
diketahui Prof. Soemitro telah menjadi musuh pemerintah (berpihak ke PRRI).
Apakah penempatan RS Soeria Atmadja di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
sebagai suatu strategi dari Ir. Djoeanda untuk memutus link antara Prof. Soemitro
dengan Fakultas Ekonomi? Hal ini memang sulit dibuktikan karena minimnya data
pendukung. Yang jelas kejadian yang mirip pernah terjadi ketika Wakil Presiden Mohamad
Hatta dan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin terkesan menempatkan Bahder Djohan
di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dan tidak lama kemudian Bahder
Djohan diangkat sebagai Presiden Universitas Indonesia yang sudah lama lowong
karena Prof. Soepomo telah ‘didubeskan’ ke Inggris.
Pada saat menjadi dekan Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia tahun1964, Prof. Widjojo Nitisastro mendirikan Lembaga
Demografi. Dalam mendirikan lembaga demografi yang sesuai dengan bidang
keahliannya ekonomi dan demografi, Prof. Widjojo Nitisastro dibantu oleh Nathanael
Iskandar, Kartomo Wirosoehardjo dan Kartono Gunawan. Direktur Lembaga Demografi
yang pertama adalah Nathanael Iskandar.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
(LPEM) dan Lembaga Demografi (LD) Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
adalah dua lembaga penelitian/kajian tertua di Universitas Indonesia dan bahkan
di Indonesia. Direktur LPEM yang pertama adalah Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo (1953-1955) lalu yang kedua adalah Drs. Widjojo Nitisastro
(1955-1957). Direktur LD yang pertama adalah Prof. Dr. Nathanael Iskandar
(1964-1977), kemudian dilanjutkan secara berturut-turut Drs. Kartono Gunawan,
MSc dan Prof. Dr. Kartomo Wirosuhardjo, MA.
Nathanael Iskandar (juga dikenal dengan nama
Tan Goan Tiang). Pada tahun 1949 Tan Goan Tiang diterima di Faculteiten der Rechtsgeleerdheid
en Sociale Wetenschappen, Universiteit van Indonesie. Tan Goan Tiang lulus
ujian kelas satu tahun 1950 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie,24-01-1950). Disebutkan Tan Goan Tiang dan Ridwan Jazid
lulus ujian propaedeutisch di Department Sociale Wetenschappen. Tan Goan Tiang dan
kawan-kawan adalah mahasiswa Departmen Sosial yang pertama.
Pada tahun 1949 studi sosial ditambahkan ke fakultas
hukum (Nieuwe courant, 12-05-1949). Disebutkan bahwa mahasiswa sebelumnya di
fakultas hukum setelah tahun keempat dapat memilih konsentrasi: hukum privat,
hukum pidana, konstitusional atau sosial-ekonomi. Oleh karena waktunya dianggap
sempit lalu dibuka departemen sosial sehingga fakultas hukum diperluas yang
kemudian diubah menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial. Di dalam departemen ini
terdapat tiga arah: sosial ekonomi, geografi sosial dan etnografi sosial (tetapi
yang dua terakhir belum bisa diwujudkan). Tan Goan Tiang dkk dalam hal ini
adalah mahasiswa Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Departemen Ilmu Sosial, spesialis
(parogram studi) sosial ekonomi. Ketika Tan Goan Tiang lulus ujian kelas dua
tahun 1950, Departemen Ilmu Sosial (program, studi Sosial Ekonomi) dipisahkan
dari Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dengan membentuk Fakultas Ekonomi.
Pada tanggal 18 September 1950 Departemen
Ilmu Sosial (program, studi Sosial Ekonomi) dipisahkan dari Fakultas Hukum dan
Ilmu Sosial dengan membentuk Fakultas Ekonomi. Sebagai dekan diangkat Mr, S.
Kolopaking Sanyatavijaya.
Pada akhir tahun 1950 dilakukan pengangkatan sejumlah dosen
dan profesor (De vrije pers: ochtendbulletin, 13-12-1950). Mereka yang diangkat
tersebut dengan meta kuliah yang diajarkan, diantaranya Prof, Mr, S. Kolopaking
Sanyatavijaya (mengajar Sosiologi dan Ekonomi); Prof. Dr. DH Burger (Kapita
Selekta Ekonomi Indonesia); Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (Ekonomi
Indonesia). Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo sendiri adalah Menteri Perdagangan
dan Perindustrian (Kabinet Natsir: sejak 6 September 1950).
Kabinet Natsir dibubarkan dan berakhir pada
tanggal 27 April 1951. Sejak itu, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D ingin
sepenuhnya di kampus dan ingin mengembangkan fakultas ekonomi. Masih pada tahun
1951 ini, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D diangkat sebagai dekan
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia untuk menggantikan Prof, Mr, S.
Kolopaking Sanyatavijaya. Pada saat Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D
diangkat menjadi dekan, Tan Goan Tiang masih kuliah. Oleh karena Tan Goan Tiang
berawal dari Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, maka dengan pembentukan Fakultas
Ekonomi, Tan Goan Tiang juga ditransfer.
Pada tahun 1955 Fakultas Ekonomi baru meluluskan tujuh
mahasiswa. Ketujuh mahasiswa itu sudah barang tentu lulus pada tahun 1955. Tujuh
mahasiswa pertama yang lulus ini diantaranya adalah Drs. Widjojo Nitisastro dan
Drs. Tan Goan Tiang. Pada tahun ini juga Drs. Widjojo Nitisastro menggantikan
posisi Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D sebagai Kepala Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat yang telah didirikan Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D pada tahun 1953.
Pada tahun 1957 karena Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D berhalangan hadir lalu digantikan oleh Prof. Djoko
Soetono (mantan dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial). Pada tahun ini juga Drs.
Widjojo Nitisastro berangkat studi ke Amerika Serikat. Setelah meraih gelar
doktor (Ph.D) tahun 1961 Widjojo Nitisastro kembali ke Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Setelah Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai
profesor pada tahun 1962, dua tahun kemudian pada tahun 1964 Prof. Drs. Widjojo
Nitisastro, Ph.D diangkat sebagai dekan Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Prof. Drs. Widjojo Nitisastro, Ph.D menggantikan Prof. RS Soeria
Atmadja. Pada tahun ini juga Prof. Drs. Widjojo Nitisastro dengan dosen-dosen
yang lain seperti Tan Goan Tiang mendirikan Lembaga Demografi yang mana sebagai
direktur adalah Tan Goan Tiang dengan nama lain Nathanael Iskander.
Saya sendiri awalnya diterima sebagai asisten peneliti di
Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia tahun 1991, yang
mana sebelumnya pernah bekerja selama satu tahun sebagai asisten peneliti di
Departemen Ilmu Sosial dan Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Saya sendiri
lulus dari Departmen Ilmu Sosial dan Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor tahun 1989. Departemen sosial ekonomi ini sejatinya adalah suatu
departemen yang dulu eksis di Fakultas Hukum dan Sosial, Universitas Indonesia
yang menjadi cikal bakal pembentukan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
(1950). Tan Goan Tiang alias Nathanael Iskandar adalah direktur pertama Lembaga
Demografi (1964-1977). Drs. Nathanael Iskandar adalah sarjana pertama dalam
bidang ilmu sosial ekonomi di Indonesia. Saya tidak pernah bertemu dengan Prof.
Nathanael Iskandar karena beliau sudah lama pensiun ketika saya masuk Lembaga
Demografi. Namun demikian, saya kenal baik dengan anaknya yang menjadi rekan
saya sebagai sesama peneliti di Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Nama Nathanael Iskandar diabadikan sebagai nama gedung utama, Gedung-A
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia di Depok.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar