* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Sardjito, hanya itu namanya: singkat dan padat. Namun kapasitas Sardjito tidak hanya seorang dokter lulusan Stovia, tetapi Dr. Sardjito adalah dokter Indonesia generasi pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Tidak hanya itu, Dr. Sardjito, Ph.D juga adalah tokoh penting organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Nama dokter Sardjito juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Pasteur Instituut dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sardjito, hanya itu namanya: singkat dan padat. Namun kapasitas Sardjito tidak hanya seorang dokter lulusan Stovia, tetapi Dr. Sardjito adalah dokter Indonesia generasi pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Tidak hanya itu, Dr. Sardjito, Ph.D juga adalah tokoh penting organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Nama dokter Sardjito juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Pasteur Instituut dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dr. Sardjito, Ph.D |
Namun sangat
disayangkan, riwayat Dr. Sardjito ditulis sangat singkat, padahal Dr. Sardjito
catatan karirnya sangat fantastik: Dokter doktor kedua, Direktur Pasteur
pertama dan Rektor UGM pertama. Data riwayat Dr. Sardjito, Ph.D yang singkat
tersebut ternyata banyak informasinya yang ditulis keliru. Satu hal lain tidak pernah ditulis ternyata Dr. Sardjito juga 'master' dalam permainan catur. Untuk itu, sejarah
Dr. Sardjito, Ph.D perlu ditulis kembali (selengkap mungkin dan seakurat
mungkin). Mari kita telusuri surat kabar sejaman.
Artikel ini disusun berdasarkan data
publik secara kronoligis. Untuk memperkaya pemahaman riwayat Dr. Sardjito,
disajikan berbagai hal yang terkait (membuat relasi) dengan kejadian atau
peristiwa penting yang terjadi (bersifat kontekstual). Dengan demikian riwayat
Dr. Sardjito, Ph.D tidak tumpang tindih,
riwayat Dr. Sardjito juga akan menjadi terlihat jelas dalam konteks dinamika bangsa
(sebelum dan selama Sardjito kuliah di STOVIA, selama berdinas, program
doktoral di Belanda dan seterusnya) hingga kehidupan Dr Sardjito di usia
tinggi.
Sardjito diterima di sekolah kedokteran STOVIA tahun
1906. Pada tahun 1907 Sardjito naik kelas dari kelas satu ke kelas dua tingkat
persiapan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Satu
kelas dengan Sardjito antara lain Radjamin (Nasution), yang naik ke kelas tiga
antara lain Sjahaboedin (Lubis), yang naik ke kelas satu tingkat medik antara
lain Abdoel Rasjid (Siregar) dan Mohamad Sjaaf, yang naik ke kelas tiga antara
lain Raden Soetomo, yang naik ke kelas lima antara lain Kajadoe dan Mohamad (Daoelaj)
dan yang naik ke kelas enam antara lain M. Antariksa.
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
Sejak 1898 Docter Djawa
School berubah menjadi STOVIA. Antariksa lulus STOVIA tahun 1908 (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-09-1908). Dr. Antariksa adalah lulusan
pertama STOVIA. Lulusan terakhir Docter Djawa antara lain Abdoel Hakim
(Nasution) van Padang Sidempoean, Abdoel Karim van Padang Sidempeoan dan Tjipto
Mangoenkoesoemo van Poerwodadi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 27-11-1905). Nama-nama siswa Docter Djawa School yang naik dari kelas tiga ke kelas empat tingkat medik tahun 1902 lihat Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902.
Sardjito lulus di sekolah kedokteran STOVIA tanggal 26 Juni
1915 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-06-1915). Ini
berarti Sardjito menyelesaikan pendidikan dokter di STOVIA tepat waktu
(sembilan tahun).
Sardjito lahir di Madioen tahun 1889. Ayah Sardjito adalah Mohamad Sajid,
diangkat sebagau guru tahun 1883 di Pemalang (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 16-04-1883). Jabatan terakhir Mohamad Sajid
adalah guru HIS di Bondowoso yang diangkat menjadi pengawas sekolah (De
Indische courant, 17-12-1925).
Nama-nama yang belum disebut sebelumnya: yang lulus
bersamaan dengan Sardjito antara lain Achmad Saleh. Sementara nama-nama lainnya
yang lulus kelas lima antara lain Achmad Mochtar, yang lulus kelas dua antara
lain Sjoeib Prohoeman, dan yang lulus kelas satu tingkat medik antara lain
Mamoer Al Rasjid. Sedangkan yang lulus kelas tiga tingkat persiapan antara lain
T. Mansoer, yang lulus kelas dua antara lain Abdoel Moenir
Siswa-siswa yang berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean)
terbilang cukup banyak diterima di Docter Djawa School dan STOVIA. Dua siswa
pertama yang diterima adalah Si Asta dan Si Angan tahun 1854 (lihat Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855).
Dua siswa asal Mandailing dan Angkola ini adalah siswa-siswa yang pertama di
Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Sekolah kedokteran Docter
Djawa School dibuka tahun 1851. Dua siswa ini kemudian lulus tahun 1856 dan
mendapat gelar Dokter Djawa (Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad :
algemeen advertentie-blad, 02-04-1857).
Dua tahun berikutnya diterima dua siswa asal Mandailing dan Angkola
yakni Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang gelar Dja Bodie (lihat Bataviaasch
handelsblad, 17-12-1859). Lama studi sekolah dokter ini
awalnya dua tahun dan kemudian tahun 1865 menjadi tiga tahun. Sejak tahun 1875
lama studi menjadi tujuh tahun. Dua dokter terkenal saat itu adalah Dr.
Madjilis (asal Mandailing dan Angkola) dan Dr. Abdoel Rivai (asal Bengcoelen).
Pada tahun 1890 siswa yang diterima harus lulusan ELS. Beberapa lulusan yang
terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid (lulus 1902) ayah dari perempuan Indonesia
pertama bergelar doktor (Ph.D), Ida Loemongga; Dr. Mohamad Hamzah Harahap (lulus 1902)
adalah sepupu Soetan Casajangan pendiri Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908; Dr.
Abdoel Hakim Nasution (lulus 1905) wali kota pertama Kota Padang; dan tentu
saja Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo (lulus 1905). Pada tahun 1902 lama studi
menjadi sembilan tahun yang mana namanya berubah menjadi STOVIA. Lulusan awal STOVIA
antara lain Dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo, lulus 1911) dan Dr. Radjamin Nasution (lulus 1912, Wali
Kota pertama Kota Soerabaja) dan tentu saja Dr. Sardjito (lulus 1915).
STOVIA dan Boedi Oetomo
Boedi Oetomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Sardjito
besar dugaan hadir dalam pembentukan tersebut, namun bukan sebagai pemimpin.
Sardjito masih mahasiswa kelas dua tingkat persiapan (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 19-09-1908). Yang menjadi pendiri Boedi Oetomo adalah mahasiswa
yang lebih senior, seperti Soetomo,
Angka, Goenawan, Soeleman, Soeradjim Soewarno dan lainnya. Ketua terpilih
adalah Raden Soetomo.
Raden Soetomo duduk di kelas tiga tingkat medik. Yang juga duduk di kelas
tiga adalah Goenawan, Soeleman dan Saleh. Sementara Soewarno duduk di kelas
empat. Sedangkan yang duduk di kelas dua adalah Angka dan Soeradji. Sardjito
sudah barang tentu menjadi Boedi Oetomo. Jumlah siswa asal Jawa di STOVIA
sekitar 80 persen. Sisanya berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling
Padang Sidempeoan, Residentie Tapanoeli), West Java, Province Sumatra’s
Westkust, Manado dan Minahasa serta Amboina.
Kongres pertama Boedi Oetomo diadakan di Djokdjakarta. Pada
pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober
1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo, red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari
Bupati Temanggoeng bahwa di luar Djawa sudah ada asosiasi sejenis, (seperti
cabang) Medan Perdamaian di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907.
Organisasi Medan Perdamaian (sebagaimanai) diketahui bertujuan untuk mewakili
kepentingan anggota dan populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai
tujuan, organisasi Medan Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah
(maandelijksch) yang akan dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja
Endar Moeda di Padang yang akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang
diperlukan di bidang pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan di
kampung, keadilan, dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki
anggota 700 orang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).
Ini menunjukkan bahwa peserta kongres pertama Boedi Oetomo sudah mengetahui
adanya Medan Perdamaian. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian didirikan tahun
1900 di Padang. Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi
dirinya sendiri. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua)
Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi
21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di
Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen
yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust
(Pantai Barat Sumatra). Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Medan
Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia membuktikan sifatnya
yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi (pribumi) di seluruh
Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Platform organisasi (baru) Boedi Oetomo
sesungguhnya persis sama (copy paste) dengan organisasi (lama) Medan
Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap cenderung bersifat multi
etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung bersifat kedaerahan. Ini
terkait dengan munculnya organisasi sejenis sebagai reaksi dari
mahasiswa-mahasiswa asal Pasoendan di STOVIA.
Yang membedakan Medan Perdamaian dengan Boedi Oetomo,
selain misinya (nasional vs daerah) adalah Medan Perdamaian dibentuk oleh para
senior sedangkan Boedi Oetomo dibentuk oleh para junior (mahasiswa). Lalu
kemudian muncul reaksi. Soetan Casajangan menggagas didirikannya perhimpoenan
mahasiswa Indonesia (nasional) di Belanda yang diberi nama Indisch Vereeniging.
Namun dalam perkembangannya organisasi yang didirikan para pemuda di STOVIA
tersebut kemudian terkooptasi oleh para senior. Ini dapat diambil satu contoh
tentang pembentukan cabang di Bangkalan. Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1909: ‘Semakin
banyak partisipasi. Kami menerima laporan dari Bangkalan, Madura. Bupati
mengumpulkan banyak pejabat, dengan tujuan untuk mendirikan vereeniging Boedi
Oetomo. Ada sekitar seratus orang pejabat pribumi hadir. Oleh mantri
keboepaten, Notokoesomo, seorang dokter hewan, Raden Abdulrahman, memberi
ceramah tentang tujuan dan metode kerja dari asosiasi, yang memiliki hasil yang
baik. Pemimpin rapat memutuskan untuk membentuk skema bantuan. Mereka yang
hadir berjanji untuk mendukung Boedi Oetomo dengan hati dan jiwa, sedangkan
setelah kuliah terdapat 60 orang yang bergabung segera. Sekitar pukul 11 malam
rapat ditutup oleh Bupati’,
Diproklamirkannya
Indisch Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Belanda mungkin Soetomo dan
kawan-kawan di STOVIA tidak menyadarinya. Boedi Oetomo terus bergulir, Soetomo
dan kawan-kawan mulai kehilangan kendali.
Pendirian organisasi Boedi Oetomo tahun
1908 oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA pada dasarnya tidak terlepas dari Dr.
Wahidin. Pada tahun 1906 Dr. Wahidin melakukan keliling Jawa untuk pembentukan
dan penggalangan dana untuk studi. Untuk membingkai gagasan pembentukan dana
studi ini direspon mahasiswa-mahasiswa STOVIA seperti Soetomo, Goenawan dan
Soeradji untuk mendirikan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo pada tanggal 20
Mei 1908 di Batavia. Dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta
pada bulan Oktober terbentuk dewan baru yang diketauai oleh Dr. Wahidin.
Gagasan Dr. Wahidin untuk membentuk dana studi boleh jadi melihat ‘keberhasilan’
Medan Perdamaian yang digagas oleh Dja Endar Moeda tahun 1900 yang mana pada tahun
1902 Dja Endar Moeda telah memberikan bantuan dana sebesar f14.000 untuk
peningkatan pendidikan di Semarang. Sementara itu, jelang kongres Boedi Oetomo
yang pertama di Djogjakarta, nun jauh disana di Belanda Soetan Casajangan menggagas
pembentukan organisasi mahasiswa Indisch Vereeniging yang di satu sisi merespon
pendirian Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan dan di sisi lain untuk tetap
menjaga persatuan diantara mahasiswa di Belanda, sebagaimana wujud persatuan yang
ada selama ini di Medan Perdamaian (yang bersifat nasional). Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda
di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Dalam hal ini head to head guru
Dja Endar Moeda vs dokter Wahidin dan Soetan Casajangan dkk vs Soetomo dkk.
Boedi Oetomo tumbuh dan
berkembang menjadi besar tetapi menjadi organisasi yang eksklusif bagi dirinya
sendiri. Setelah ditempatkan di daerah, Soetomo mungkin tidak terlalu intens di
Boedi Oetomo. Raden Soetomo cukup lama di Loeboek Pakam.
Raden Soetomo lulus
STOVIA tahun 1911 dengan menyandang gelar baru sebagai dokter (Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1911).
Selain Soetomo yang lulus adalah Goenawan, JE Latumeten, Slamet, Matamad Saleh,
AB Andu, Goembrek dan Ramelan. Selanjutnya Raden Soetomo ditempatkan di
Semarang (Bataviaasch nieuwsblad, 15-04-1911). Kemudian dari Semarang
dipindahkan ke Rembang Residentie Toeban (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 01-03-1912). Raden Soetomo dipindahkan dari Semarang ke
Loeboek Pakam, Oostkust Sumatra (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 07-03-1912). Selanjutnya Raden Soetomo dipindahkan dari
Loeboek Pakam ke Malang, Resiedentie Pasoeroean (Bataviaasch nieuwsblad, 11-05-1914).
Dalam satu kesempatan sepulang dari Loeboek Pakam, Dr.
Soetomo memberikan ceramah di sarikat Boedi Oetomo cabang Batavia (Bataviaasch
nieuwsblad, 28-07-1914). Ceramah ini
diadakan di gedung Boedi Oetomo di Gang Kwinie 3. Tema yang dibicarakan Dr.
Soetomo tentang kontrak kuli di Deli. Tentu saja dalam ceramah Dr. Soetomo ini
hadir Sardjito yang masih kuliah pada tahun terakhir di STOVIA.
Setelah lama Dr. Soetomo tidak terlibat secara langsung dengan Boedi
Oetomo, boleh jadi setelah pulang dari Deli, Dr. Soetomo kembali aktif di Boedi
Oetomo. Dr. Soetomo merasa perlu aktif di organisasi untuk memperjuangkan
banyak permasalahan yang dirasakannya termasuk permasalahan koeli asal Jawa di
Deli. Seperti tampak dalam kepengurusan baru Boedi Oetomo, Dr. Soetomo menjadi
salah satu anggota dewan pusat Boedi Oetomo (De Preanger-bode, 08-08-1915). Disebutkan dalam rapat Boedi
Oetomo tersebut yang menjadi ketua dewan pusat Boedi Oetomo adalah RM Ario
Soeriosoeparto, seorang pangeran Solo yang telah menggantikan Dr, Wahidin yang telah
menjabat sebanyak tiga kali sejak periode pertama. Dalam rapat tersebut juga
hadir pemimpin Sarikat Islam yang mengungkapkan keterkejutannya, bahwa orang muda Jawa sangat sedikit dalam
kepengurusan Boedi Oetomo. Dalam dewan Boedi Oetomo yang baru terkesan hanya
Raden Soetomo yang terbilang muda. Abdoel Moeis dari Sarikat Islam yang hadir dan
berbicara dalam pertemuan Boedi Oetomo ini mengkritik bahwa selama tujuh tahun
Boedi Oetomo berdiri di tangan para intelektual Jawa, tampaknya terus
mengecualikan penduduk lain di Nederlandsch lndie. Abdoel Moeis menggarisbawahi
begitu banyak dana yang diberikan kepada Boedi Oetomo namun aliran dana itu tidak
sampai kepada para emigran yang terdapat di Lampoeng, Midden Sumatra, Oostkust
van Sumatra en Atjeh) yang sekan bukan perhatian orang Jawa, dan hanya untuk
mengingini kemajuan pulau Jawa dengan Jawa-nya. Lebih lanjut mengharapkan bahwa
manajemen pusat sekarang sudah diisi oleh orang muda Jawa yang sejati dengan ide-ide
muda, pembicara (Abdoel Moeis) berpikir bahwa mereka harus memperhatikan fakta
bahwa waktunya telah tiba untuk Boedi Oetomo untuk memutus arah konservatif.
Setiap Jawa muda harus diyakinkan tentang fakta bahwa tidak mungkin membuat
kemajuan Jawa hanya dengan orang Jawa, tetapi kemajuan Hindia melalui pergaulan
boemipoetra yang juga diharapkan Boedi Oetomo juga akan lebih mengarah pada
keadilan. Soeara dari luar Boedi Oetomo ini tampaknya mampu diresapi oleh Dr.
Soetomo, lebih-lebih Dt. Soetomo cukup lama berada di Deli.
Pasteur Instituut te Weltevreden dan
Iniversiteit te Leiden
Setelah lulus STOVIA,
Sardjito diangkat sebagai dokter di dinas kesehatan kota (Burgerlijke
Geneeskundige Dienst) di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 29-06-1915). Selama
di Batavia, Dr. Sardjito ikut berpartisipasi sebagai anggota Maleische
kiesvereniging (semacam asosiasi para pemilih untuk dewan kota). Dalam
keanggotaan asosiasi ini juga terdapat Dr. Husein Djajadiningrat (Bataviaasch nieuwsblad,
03-03-1916). Dr. Sardjito kemudian dipindahkan ke Pasteur Instituut di
Weltevreden (kini Gambir). Di lembaga inilah Dr. Sardjito membuka peluang untuk
melanjutkan studi ke Belanda.
Sudah sejak lama lulusan sekolah di
Indonesia (baca: Hindia Belanda) melanjutkan studi ke Belanda, antara lain: Raden
Mas Kartono lulusan HBS Semarang berangkat tahun 1896 (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896).Soetan
Casajangan alumnsi Kweekschool Padang Sidempoean berangkat tahun 1905 untuk
studi keguruan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1905).
Dr. Abdoel Rivai, alumni Docter Djawa School meraih gelar dokter di Universiteit
Amsterdam tahun 1908; Dr. PH Laoh juga alumni Docter Djawa School meraih gelar
dokter di Universiteit Amsterdam 1909. Jumlah mahasiswa di Belanda tahun 1908
banyak 20 orang. Jumlah mahasiswa yang datang dari tahun ketahun semakin
meningkat. Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon tiba di Belanda
1910 dan kemudian disusul Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun
1911. Lalu pada tahun 1913 Sorip Tagor Harahap lulusan Veeartsen School di
Buitenzorg melanjutkan studi kedokteran hewan di Utrecht. Juga Ibrahim gelar
Tan Malaka lulusan Kweekschool Firt de Kock tiba di Belanda tahun 1913. Sementara
itu Husein Djajadiningrat meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1913 di Universiteit
Leiden. Gondokoesoeno lulusan Rechts School Batavia untuk melanjutkan studi
hukum tahun 1918. Soewarno meraih gelar dokter di Utrecht tahun 1914 (Het
nieuws van den dag : kleine courant, 19-12-1914) lalu kemudian Sowarno meraih
gelar doktor (Ph.D) tahun 1919 (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-02-1919).
Dr. Soewarno lulus STOVIA tahun 1911 (bersama Dr. Soetomo). Dr. Sowarno
terbilang yang pertama alumni STOVIA yang melanjutkan studi ke Belanda (1913).
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo dan Dr. Sjaaf tiba di Belanda untuk melanjutkan
studi kedokteran. Kedua dokter alumni STOVIA ini meraih gelar dokter pada bulan
November 1920 (De Telegraaf, 20-11-1920).
Dr. Sardjito diketahui
akan melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Dalam fase persiapan tersebut Dr.
Sardjito juga diketahui mengadakan ceramah umum untuk anggota Boedi-Oetomo yang
diadakan di Inlandsche societeit Mardi-Hardjo (De Preanger-bode, 25-03-1920).
Dengan kapal Goentoer, Dr. Sardjito berangkat dari Tandjoeng Priok tanggal 8
Desember 1920 menuju Rotterdam (Bataviaasch nieuwsblad, 07-12-1920).
Pada tahun 1921 Mohamad Hatta setelah
lulus HBS di Batavia tiba di Belanda untuk studi ekonomi. Masih pada tahun 1921
Amir Sjarifoeddin Harahap setelah lulus ELS di Medan langsung ke Belanda untuk melanjutkan
sekolah menengah pertama (setingkat SMP). Pada tahun 1923 Ida Loemongga Nasution
setelah lulus HBS di Batavia tiba di Belanda untuk studi kedokteran. Pada tahun
1924 Egon Hakim Nasution (anak Dr. Abdoel Hakim) tiba di Belanda untuk
melanjuitkan sekolah menengah atas (setingkat SMA).
Dr. Sardjito yang sudah
banyak pengalaman riset di Pasteur Instituut di Weltevreden, tidak mengalami
kesulitan untuk meraih gelar dokter. Dalam tempo yang singkat (satu semester
saja!) Dr. Sardjito berhasil meraih gelar dokter di Universiteit Amsterdam pada
bulan Juni 1921 (Algemeen Handelsblad, 22-06-1921).
Dr. Sardjito juga aktif di
perhimpoenan mahasiswa Indonesia ‘Indische Vereeniging’. Dr. Sardjito
mengikuti teman-temannya yang sudah lebih dulu di Belanda yakni Moh.
Sjaaf, Raden Soetomo, Raden Soeratino, Mas Sardjono, RM Noto Soeroto Mas Hermon
Kartowisastro (Rotterdamsch nieuwsblad, 13-09-1921).
Dr. Sardjito yang telah
berhasil meraih gelar dokter, mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Dr.
Sardjito lulus ujian pertama pada bulan Januari 1922 (Nieuwe Rotterdamsche
Courant, 25-01-1922).
De Preanger-bode, 22-01-1923
merangkum hasil-hasil yang diraih oleh mahasiswa Indonesia di Belanda selama
tahun 1922. Dipromosikan ke doktor hukum R Soegondo dan RM Koesoema Atmadja dengan
desertasi masing-masing ‘Vernietiging van Dorpsbesluiten’ dan ‘De vrome Mohammedaansche
stichtingen in Indie’. Lulus ujian sarjana hukum R Oerip Kartodirdjo, R
Moekiman, M. Besar, M Soemardi, R Sastromoeljono, dan R Panji Singgih. Lulus
gelar dokter M Sardjito. Lulus candidat sarjana hukum Pamoentjak. Lulus kandidat sarjana akuntan R Pandji Nindito, juga lulus kandidat
sarjana perdagangan umum (tidak disebut nama), M Herman lulus kandidat lndologi,
dan lulus ujian ilmu perdagangan M. Aboetari.
Dr. Sardjito akhirnya
lulus ujian tingkat doktotal dan meraih gelar doktor (Het Vaderland : staat- en
letterkundig nieuwsblad, 11-07-1923). Disebutkan Dr. Sardjito lahir di Madioen
berhasil mempertahankan desertasi di Universiteit Leiden berjudul ‘Immunisatie
tegen bacillaire dysenterie door middel van de baéteriophaag antidysénteria
Shiga-Kruse’.
Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 11-07-1923 |
Setelah beberapa waktu
tidak terdengar kabar Dr. Sardjito, Ph.D, muncul kabar pernikahannya. ‘Dr.
Sardjito menikah di Belanda dengan JEM Wulffraat pada tanggal 19 Juli 1924’. Demikian
bunyi iklan singkat (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 19-07-1924).
JEM Wulffraat adalah seorang gadis Belanda.
Dr. Sardjito, Ph.D kembali ke tanah
air tanggal 13 September 1924 dengan kapal Grotius dari pelabuhan Amsterdam
menuju Batavia ((Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 12-09-1924).
Di dalam manifest kapal namanya dicatat Dr. Sardjito dan istri. Bataviaasch
nieuwsblad, 14-10-1924 melaporkan kapal akan tiba di Tandjong Priok tanggal 16
Oktober 1924.
Tidak lama setelah tiba
di Batavia, Dr. Sardjito, Ph.D diangkat sebagai dokter pemerintah (gouvernment
arts) (Algemeen Handelsblad, 04-12-1924). Dokter pemerintah dalam hal ini
adalah dokter yang telah disetarakan dengan dokter orang-orang Eropa/Belanda.
Dokter pemerintah yang bergelar Ph.D merupakan kriteria yang diutamakan untuk
menduduki jabatan kepala dinas kesehatan regional (residentie), kepala rumah
sakit kota dan kepala laboratorium. Dr. Sardjito, Ph.D. dokter bergelar doktor
pertama Indonesia telah memicu munculnya doktor-doktor baru di bidang
kedokteran.
Dokter-dokter bergelar
doktor (Ph.D) pertama di Indonesia adalah sebagai berikut: Dr. Soewarrno, Ph.D
(1919); Dr. Sardjito, Ph.D (1923); Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (1923); Dr. JA
Latumeten, Ph.D (1924); Dr. R Soesilo, Ph.D (1925), saudara Dr. Soetomo; Dr.
HJD Apituley, Ph.D (1925); Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D (1927) dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent
eenige leptosptrenstammen’; Dr. AB Andu, Ph.D (1928); Dr. T Mansoer, Ph.D
(1928); Dr. RM Saleh, Ph.D (1928); Dr. MH Soeleiman, Ph.D (1929); Dr. M
Antariksa, Ph.D (1930); Dr. Sjoeib
Paroehoeman, Ph.D (1930) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de
epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan
verwante organismen’; Dr. Seno Sasroamidjojo, Ph.D (1930); Dr. Ida Loemongga, Ph.D (1931) dengan desertasi berjudul ‘Diagnose
en prognose van aangeboren hartgebreken’; dan Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D (1932) dengan desertasi berjudul
‘Abortus: voorkomen en behandeling’.
Sejak 1932 sudah muncul
doktor lulusan Batavia. Di bidang kedokteran adalah Dr Djaenal Asikin Widjajakusumah lulus dari Geneeskundige Hoogeschool
Batavia tahun 1932 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1932).
Dr. Asikin lulus Stovia tahun 1914 dan melanjutkan studi kedokteran ke Belanda
dan meraih gelar dokter di Universiteit Leiden tahun 1925 (Haagsch courant,
31-10-1925). Di bidang hukum juga muncul doktor baru di Batavia. Dr. Hazairin
meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1936 di Rechts Hoogeschool Batavia dengan
judul desertasi ‘De Redjang’ (Bataviaasch nieuwsblad, 30-05-1936). Setelah
beberapa waktu menjadi dosen di kampusnya pada tahun 1938 Mr. Hazairin Harahap
diangkat sebagai ketua pengadilan Landraad di Padang Sidempoean (De Sumatra
post, 21-07-1938).
Orang Indonesia pertama meraih gelar
doktor (Ph.D) di bidang hukum adalah Mr. Gondokoesoema (1922); yang kedua
adalah RM Koesoemah Atmadja (1922); yang ketiga adalah Raden Soegondo (1923), yang
keempat adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (1925) dengan desertasi
berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het
Karoland’. Mereka ini semua meraih doktor di Universiteit Leiden. Sementara
orang Indonesia pertama meraih gelar doktor di bidang sastra adalah Husein
Djajadiningrat (1913), yang kedua adalah Poerbatjaraka (1926) dan yang ketiga
adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1933 dengan desertasi
berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Ketiganya meraih doktor
di Universiteit Leiden.
Boedi Oetomo dan Kelompok Reformis
Dr. Sardjito, Ph.D
kembali bekerja di tempatnya semula di Pasteur Instituut di Wetevreden. Seperti
sebelum berangkat studi ke Belanda, Dr. Sardjito sambil bekerja juga aktif di
organisasi, terutama di Boedi Oetomo. Di Belanda Dr. Sardjito juga aktif di
Indisch Vereeniging. Sekembalinya ke
tanah air, Dr. Sardjito kembali aktif di organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Pada
kongres ke-16 Boedi Oetomo di Solo, Dr. Sardjito memimpin delegasi dari
Batavia. Dalam kongres ini kemudian terbentuk kepengurusan baru untuk
menggantikan kepengurusan yang lama. Sebelum terbentuk kepengurusan baru
didahului suatu persaingan yang ketat untuk memilih siapa yang menjadi ketua
umum Boedi Oetomo (De Indische courant, 15-04-1925).
Sesuai harapan Abdoel
Moeis pada tahun 1915 (De Preanger-bode, 08-08-1915), Boedi Oetomo sudah mulai
banyak diisi oleh kaum munda pada jajaran dewan pusat (termasuk ketua cabang).
Dr. Sardjito dan Dr. Soetomo telah
menjadi nasionalis sepulang dari Belanda. Meski Dr. Soetomo bukan muda lagi tetapi sangat
menyayangkan orang-orang Boedi Oetomo tidak terlalu memperhatikan orang
mudanya. Tampaknya Dr. Soetomo sudah lama berada di luar Boedi Oetomo. Dr.
Soetomo di dalam studieclub di Soerabaja telah mengidentifikasi bahwa partai
politik adalah tempat bersatu (bukan Boedi Oetomo). Dr. Soetomo setelah pulang ke tanah air tahun 1924
dan mendirikan Studieclub di Soerabaja secara defacto maupun secara dejure
telah keluar dari Boedi Oetomo. Sementara pada kongres ke-16 Boedi Oetomo di Solo bulan April
1925 masih kental dengan suara-suara yang bersifat kedaerah dibandingkan dengan
suara-suara yang lebih bersifat nasionalis (lihat De Indische courant,
17-04-1925). Dalam satu sesi di kongres hari kedua bahwa ada pembicara yang
mangatakan bahwa Boedi Oetomo menentang penjajahan di Jawa, tetapi akan
menyetujui kolonisasi di Sumatra. Namun statement itu menimbulkan reaksi dari
yang lain bahwa (seharusnya) tidak hanya berkaitan dengan Jawa tetapi (juga)
berkaitan dengan seluruh Indonesia. Satu pembicara lain menggarisbawahi bahwa
banyak orang-orang menonjol Sumatera. Kuncinya adalah gerakan Boedi Oetomo (haruslah)
menentang penjajahan dimana saja di Indie (baca: Indonesia). Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito masuk dalam barisan ini
di Boedi Oetomo. Satu hal lain dalam kongres Boedi Oetomo ke-16 ini sudah ada
perwakilan dari Oostkust Sumatra. Ini juga sesuai harapan Abdoel Moeis pada
kongres Boedi Oetomo tahun 1915. Kini (1925) di Medan sudah ada HIS yang
dibangun oleh Boedi Oetomo. Ini mengingatkan kembali bahwa pada tahun 1900
organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang yang dipimpin oleh Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda telah memberi bantuan sebesar f14,000 untuk
peningkatan pendidikan di Semarang. Meski demikian, dalam kongres ini kedekatan
pemerintah dengan Boedi Oetomo masih sangat kental dan karena itulah dana terus
mengalir ke pundi-pundi Boedi Oetomo. Dalam kongres ini, seperti kongres-kongres
sebelumnya turut hadir petinggi Belanda seperti Penasehat untuk Urusan
PribumiDr. Kern, Inspektur Pendidikan Pribumi Mr. Croes, Anggota Volksraad E.
Stokvis dan Mr. S. Koperberg dari Java Instituut (De Indische courant, 15-04-1925).
Dalam debat publik
muncul pro kontra ada yang menginginkan ketua lama tetap menjabat
(Woerjaningrat, pangeran Solo), tetapi tidak sedikit yang menentangnya. Mr. Singgih menyuarakan
bahwa studieclub Soerabaja tidak ada yang menginginkan pengurus lama berkuasa
kembali. Sebagaimana diketahui studieclub di Soerabaja telah didirikan tahun
1924 yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Ketua lama akhirnya (menyadari dan) menyatakan
secara terbuka tidak akan ikut mencalonkan diri.
Lalu muncul tiga kandidat (De
Indische courant, 17-04-1925), yakni:
(dokter) Slamat dari Semarang, (notaris) Soewandi dan Dr. Sardjito dari
Batavia. Daftar pemilih sebanyak 90 peserta. Sebanyak 30 untuk Slamat, 16 untuk
Soewandi dan 22 untuk Dr. Sardjito dan 31 abstain. Pada putaran kedua Slamat
mendapat 38 suara dan Dr. Sardjito 29 suara, sementara 29 suara kosong. Lalu
diputuskan dewan pusat Boedi Oetomo di Semarang yang mana Ramelan dan Poesposoedarsono
dipilih sebagai sekretaris dan bendahara serta Oto Soebrata en Soetopo Wonobojo
sebagai anggota dewan pusat. Anggota lainnya yang dipilih adalah sebagai
berikut: Mr. Sastromoeljono
(Semarang), Mr. Soejoedi (Madioen), Hardjosoesastro (Semarang) en Dr. Sardjito
(Batavia).
Meski menang, Dr.
Satiman dalam ancaman karena tidak lama kemudian Dr. Soetomo dkk dari
Studieclub Soerabaja keluar dari Boedi Oetomo. Permasalahannya bukan karena
kemenangan Dr. Satiman tetapi menjurus ke Boedi Oetomo sendiri yang belum
keluar dari sifatnya yang kedaerahan (Jawa sentris). Sementara, dengan
keluarnya Dr. Soetomo dari Boedi Oetomo akan sendirinya orang-orang Boedi
Oetomo yang sepaham dengan Dr. Soetomo (persatuan Indonesia) juga akan keluar
dari Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo dengan caranya sendiri, Dr. Soetomo
juga dengan jalannya sendiri.
Pada tahun 1923 Soetomo pulang ke
tanah air, Lalu kemudian Dr. Soetomo ditempatkan di rumah sakit kota CBZ
Soerabaja (De Preanger-bode, 30-06-1923). Pada tahun ini (1923) Dr. Soetomo mendirikan
studieclub ‘Neu-Orientierung’ namun gagal karena kurang keberanian. Pada
tanggal 12 Juli 1924 akhirnya RMH Soejono klub studi intelektual tersebut
diganti nama Studieclub yang memiliki karakter Indonesia. Dalam pertemuan
tersebut juga dilakukan pengabadian nama-nama dengan memajang potret sejumlah
orang di dinding, yakni potret orang-orang terkenal Diponegoro, Mangkoenegoro
IV, Mangkoenegoro VI, Raden Adjeng Kartini, Dr. Wahidin, juga potret Doewes
Dekker, Dr. Tjipto, Dr. Soewardi dan Tjokroaminoto. Pada tahun 1925 Dr. Soetomo
tampak hadir dalam sebuah pertemuan yang diadakan studi klub di Soerabaja (De
Indische courant, 23-02-1925). Pertemuan publik pertama turut hadir Mr. La
Fontaine, asisten Residen dan Mr. JE Stokvis, anggota Volksraad dan banyak
wanita. Dr. Soetomo membuka pertemuan dengan singkat dalam bahasa Melayu.
Singgih mengambil podium yang pertama mengatakan bahwa studieclub adalah
kebangkitan dari klub intelektual. yang didirikan oleh RMH Soekono dan M.
Soendjoto.
Pada tahun 1917 seorang krani di
sebuah perkebunan di Deli, Parada Harahap membongkar kasus poenalie sanctie,
yang mana para kuli dari Jawa banyak yang disiksa oleh para majikan. Parada
Harahap yang masih berumur 18 tahun melakukan investigasi sendiri, menulis
laporannya dan kemudian mengirimkan tulisan-tulisan tersebut ke surat kabar
Benih Mardeka di Medan. Para editor cukup lama mendiamkan laporan yang masuk
tersebut tetapi akhirnya para editor berkekuatan hati untuk mengolah bahan dari
Parada Harahap tersebut menjadi sejumlah artikel yang dimuat pada beberapa
edisi pada tahun 1918. Berita itu dianggap biasa-biasa saja. Boleh jadi selama
ini penyiksaan para kuli asal Jawa di perkebunan sudah lama menjadi kabar
burung. Namun ceritanya menjadi lain ketika surat kabar Soeara Djawa yang
terbit di Jawa melansir artikel-artikel yang dimuat di Benih Mardeka. Heboh di
Jawa. Investigasi Parada Harahap itu berselang 3-4 tahun setelah Dr. Soetomo
kembali ke Jawa dari dinas dua tahun di Deli (1912-1914). Segera Dr. Soetomo
pulang dari Deli melakukan ceramah umum tentang contrak kuli asal Jawa di Deli
yang tidak adil di Boedi Oetomo cabang Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1914).
Namun di kalangan dalam orang-orang Boedi Oetomo tema itu tidak menggema alias
sedikit dianggap angin lalu atau berita burung. Lalu kemudian baru pada tahun
1918 isu kuli Jawa di Deli hasil investigasi Parada Harahap mencuat kembali.
Atas laporan itu, Parada Harahap terpaksa dipecat sebagai krani. Saat heboh kasus
kuli asal Jawa hasil investigasi Parada Harahap tersebut, tahun 1918 Dr.
Soetomo tengah berdinas di Residentie Palembang di Batoeradja (Dr. Soetomo
dipindahkan dari Magetan, Residentie Madioen ke Residentie Palembang tahun 1917).
Sebagaimana diketahui tahun 1919 Dr. Soetomo, Dr Sjaaf dan Dr. Sardjito
mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda. Lalu di Belanda ketiga
dokter alumni STOVIA ini bergabung dengan Indisch Vereeniging dimana di
dalamnya tergabung mahasiswa dari semua daerah. Dari Tapanoeli antara lain Dr.
Sorip Tagor Harahap dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia; dari
Minangkabaoe antara lain Ibrahim gelar Tan Malaka dan Dahlan Abdoellah; dari
Minahasa antara lain Dr. JA Kaligis. Setelah kepengurusan Dahlan Abdoellah, giliran
Dr. Soetomo yang menjalankan roda organisasi Indisch Vereeniging. Saat
kepengurusan Dr. Soetomo inilah nama Indisch Vereeniging dipermak lebih radikal
dengan nama Indonesiasch Vereeniging. Singkat kata: di Indisch Vereeniging
pemberontakan Dr. Soetomo terhadap Boedi Oetomo muncul. Boedi Oetomo dan
(pulau) Jawa yang sudah dalam zona nyaman dan sifat egois sebagian para anggota
Boedi Oetomo membuat Dr. Soetomo ‘geram’ dan mendorong semangat Indonesia. Pada
tahun 1917 Dahlan Abdoellah dalam forum Hindia Belanda, yang juga hadir HJ van
Mook (mewakili orang-orang Indo), melontarkan kali pertama kata-kata ‘kami Indonesia.
Setelah era Dr. Soetomo berakhir muncul kepengurusan Mohamamd Hatta dkk yang
mengubah nama organisasi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Catatan: kelak nama
Tan Malaka lebih dikenal sebagai pemimpin radikal Indonesia, Dr. Sorip Tagor. Orang
Indonesia pertama meraih gelar dokter hewan di Belanda (1920) adalah kakek Inez/Risty
Tagor; Soetan Goenoeng Moelia sebagai Menteri Pendidikan RI kedua (setelah Ki
Hadjar Dewantara); dan HJ van Mook sebagai pemimpin NICA (1945-1948) yang
mengultimatum Djogja yang disebut agresi militer Belanda kedua. . .
Dr. Soetomo sejatinya menginginkan Dr. Sardjito yang menang dalam pemilihan ketua Boedi Oetomo. Namun faksi di Boedi Oetomo masih lebih banyak yang ‘anti gerakan Dr, Soetomo’ dan sebagian lebih senang menyalurkan suaranya ke Dr. Satiman. Dalam kepengurusan Boedi Oetomo yang baru Dr. Sardjito masih disuarakan teman-temannya untuk menjadi pemimpin Boedi Oetomo di Batavia. Namun demikian, Dr. Sardjito hatinya tidak lagi 100 persen untuk Boedi Oetomo tetapi sudah mulai mendua: satu kaki di Boedi Oetomo dan satu kaki yang lain di nasionalis. Nama Dr. Sardjito yang cenderung nasionalis mulai mendapat tempat di Batavia. Dr. Sardjito lalu diusulkan untuk menjadi kandidat anggota dewan kota (Gemeenteraad) Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1926). Dalam daftar kandidat juga terdapat nasionalis MH Thamrin. Dalam pemilihan yang dilakukan MH Thmarin dan Dr. Sadjito terpilih menjadi anggota pribumi dewan kota Batavia.Pada sidang pertama dewan kota Dr. Sardjito masuk pada komisi pasar dan rumah potong hewan dan juga komisi layanan kesehatan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-08-1926). Dr. Sardjito, Ph.D mulai berjuang di dewan kota untuk meningkatkan tarap hidup pribumi dari semua bangsa Indonesia (tidak lagi hanya bangsa Jawa).
Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926 |
Dr. Sardjito adalah
orang Jawa yang langka. Dr. Sardjito, Ph.D adalah dokter pribumi yang terbilang
awal yang mampu meraih gelar doktor (Ph.D). Dr. Sardjito juga sangat aktif
berorganisasi. Dr. Sardjito, Ph.D selain bertugas di Laboratorium Batavia juga adalah seorang nasionalis anggota dewan kota
(gemeenteraad) Batavia. Dr, Sardjito, Ph.D seorang ilmuwan ternyata tidak hanya
‘kutu buku’ tetapi juga master dalam permainan catur. Dr. Sardjito di Batavia
adalah anggota klub catur Schaakmat di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926).
Dr. Sarjito sebagai pemain catur memungkinkannya mudah berinteraksi dengan
orang Batak. Dua klub catur terkuat di Batavia adalah klub Jong Batak dan klub
Schaakmat. Dalam satu pertandingan beregu antara Jong Batak melawan Schaakmat
yang berakhir imbang (71/2-71/2), Dr. Sardjito mampu
mengalahkan S. Siregar. Dalam tim Jong Batak terdapat nama Emil Harahap yang
dikalahkan oleh Popkens Brouwer dan Armijn Pane (sastrawan yang tahun 1922 menerjemahkan buku ‘Habis
Gelap Terbitlah Terang’ yang berisi surat-surat RA Kartini) mampu mengalahkan
Langedijk Sr. Emil Harahap adalah ayah dari FKN Harahap, seorang mahasiswa di
Belanda yang juga pengurus Perhimpoenan Indonesia pernah mengalahkan Max Euwe,
juara catur Belanda (yang kemudian juara catur Dunia). FKN Harahap kelahiran
Depok, kelak menjadi penulis buku catur.
Boedi Oetomo dan PPPKI
Dr. Sardjito, Ph.D meski tidak terlalu peduli lagi dengan Boedi Oetomo, tetapi orang-orang di Boedi Oetomo masih menganggap Dr. Sardjito, Ph.D adalah tokoh penting Boedi Oetomo. Oleh karena itu dalam kongres Boedi Oetomo yang akan diadakan di Djokja pada tanggal 25 Desember nama Dr. Sardjito masih ada yang mengusulkan untuk menjadi ketua Boedi Oetomo. Dalam daftar kandidat terdapat sebanyak 31 orang termasuk Dr Sardjito (De Indische courant, 25-11-1926). Dalam daftar terakhir sebelum pemilihan nama Dr. Sardjito tidak tercantum lagi. Boleh jadi Dr. Sardjito, Ph.D ingin fokus dalam pekerjaannya dan tetap memupuk rasa kebangsaan Indonesia diantara suku bangsa lainnya di Batavia. Pada tahun-tahun ini di Batavia Parada Harahap melalui surat kabarnya Bintang Timoer di satu sisi melancarkan polemik dengan pers Belanda dan di sisi lain, Parada Harahap mulai menjalin komunikasi intens dengan berbagai pihak.
Parada Harahap dipecat dari
jabatannya sebagai krani di perkebunan di Deli. Ini berawal dari laporan
investigasinya tentang penyiksaan kuli Jawa di perkebunan yang telah dimuat
Benih Mardeka. Parada Harahap kemudian merantau ke Medan. Ketika melamar menjadi
wartawan di Benih Mardeka, Parada Harahap justru ditawarkan sebagai editor.
Sejak itu Parada Harahap menjadi wartawan. Namun belum setahun menjadi editor,
Benih Mrdeka dibreidel. Parada Harahap lalu pulang kampung di Padang Sidempoean
tahun 1919. Awalnya menjadi editor surat labat Poestaha (yang didirikan Soetan
Casajangan tahun 1915), lalu kemudian Parada Harahap mendirikan surat kabar
baru yang lebih radikal yang diberi nama Sinar Merdeka. Pada tahun ini juga
(1919) di Padang diadakan kongres pertama Sumatranen Bond (organisasi ini
didirikan tahun 1917). Parada Harahap memimpin delegasi Tapanoeli ke Padang.
Saat inilah Parada Harahap bertemu dengan Mohamad Hatta yang masih MULO sebagai
pengurus Sumatranen Bond cabang Padang. Pembina kongres Sumatranen Bond di
Padang adalah Dr. Abdoel Hakim (Nasution), teman sekelas Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School yang menjadi anggota dewan kota
(gemeenteraad) Padang. Pada tahun 1921 kembali diadakan kongres Sumatranen Bond
di Padang. Kembali pula Parada Harahap bertemu dengan Abdoel Hakim dan Mohammad
Hatta (yang sudah bersekolah HBS di Prins Hendrik School Batavia). Sehabis
kongres, Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda (dimana Dr. Soetomo dan Dr.
Sardjito sudah berada di Belanda sejak 1919). Pada tahun 1922 Parada Harahap
hijrah ke Batavia karena surat kabarnya Sinar Merdeka di Padang Sidempoean
dibreidel. Awalnya Parada Harahap menjadi wartawan di surat kabar lain, lalu
pada tahun 1923 di Batavia Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia.
Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi yang diberi
nama Alpena. Parada Harahap merekrut WR Supratman dari Bandoeng untuk
diposisikan sebagai editor Alpena. Pada tahun 1926 tahun yang mana Dr.
Sardjito, Ph.D menjadi anggota dewan kota Batavia, Parada Harahap mendirikan
satu lagi surat kabar yang lebih radikal yang diberi nama Bintang Timoer. Surat
kabar yang dipimpin oleh Parada Harahap ini langsung melejit dengan tiras
paling tinggi di Batavia. Ir. Soekarno yang baru lulus THS di Bandoeng kemudian
mendirikan studieclub seperti studieclub yang dibentuk Dr. Soetomo di Soerabaja
pada tahun 1924. Pada waktu inilah Ir. Soekarno kerap mengirim tulisan ke surat
kabar Bintang Timoer. Sementara itu, pada tahun 1926 ini Mohammad Hatta menjadi
ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Tiga revolusioner yang tidak punya ‘hutang’
kepada Belanda (Parada Harahap, Soekarno
dan Mohamad Hatta) mulai memainkan peran sentral diantara para revolusioner
Indonesia. Sementara Dr. Sardjito berjuang di parlemen kota di Batavia, De
tribune : soc. dem. Weekblad, 02-06-1926 melaporkan sejumlah individu dalam
kongres Boedi Oetomo yang terakhir (25 Desember 1926, red) terindikasi telah
bersuara keras dan menggunakan tutur kata yang tidak baik. Juga disebutkan dalam
berita ini sejumlah individu akan diadili oleh pemerintah, Dalam blacklist
tersebut adalah Slamet, ketua pandu pribumi, anggota dewan kota yang mengkritik
pemerintah; Mr. Sajoeti, pengurus organisasi pengacara, pengacara di
Djogjakarta yang mengatakan bahwa pemuda di dalam negeri agar menghindari
layanan pemerintah; Mr. Iskak, pengacara di Baudoeng, ketua studieclub Bandoeng
juga meminta pemuda menghindari layanan pemerintah; Dr. Satiman (mantan ketua
Boedi Oetomo yang mengalahkan Dr. Sardjito pada tahun 1925), dokter di Bangil,
karena kritiknya yang sangat tajam terhadap pemerintah dan politiknya; dan Dr,
Soetomo, dokter di CBZ di Socrabaja, karena pemikirannya tentang kerjasama atau
tidak kerjasama (dengan Belanda). Catatan: yang dimaksud ‘kerjasama atau tidak
kerjasama’ adalah bahwa dalam hal tertentu cooperative tetapi dalam hal lain
non-cooperative dengan Belanda.
Langkah pertama yang
dilakukan Parada Harahap adalah mulai menghubungi para senior seperti Dr. Abdul
Rivai dan Soetan Casajangan. Lalu menghubungi para anggota Volksraad. Lalu diadakan pertemuan orang Sumatra di
Welteverden (De Indische courant, 10-02-1927). Pertemuaan ini diadakan karena
Sumatranen Bond sudah lama vakum. Komite sementara (formatur) terdiri dari
Sutan Mohamad Zain, Parada Harahap dan Dr Abdoel Rivai. Pertemuan memutuskan
susunan dewan Sumatranen Bond yang baru antara lain Soetan Mohamad Zain (ketua)
dan Parada Harahap (sekretaris). Lalu kemudian pertemuan publik pertama
diadakan di rumah Dr. Abdul Rivai (Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Dalam
pertemuan ini, Parada Harahap naik ke mimbar mewakili Residentie Tapanoeli.
Anggota Volksraad di Pedjambon yang
berasal dari Sumatra juga turut hadir dalam pertemuan ini. Tiga diantaranya
(kebetulan asal Padang Sidempoean) adalah Todoeng (Harahap) gelar Soetan
Goenoeng Moelia, wakil dari golongan pendidikan di Batavia, Abdul Firman
(Siregar) gelar Mangaradja Soeangkoepon, wakil Oostkust Sumatra dan Alimoesa
Harahap wakil dari Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli en Residentie Atjeh).
Langkah berikutnya yang
dilakukan Parada Harahap adalah untuk menginisiasi persatuan diantara
organisasi-organisasi kebangsaan yang ada di Batavia. Pada bulan September 1927 dibentuk organisasi kebangsaan
yang bersifat nasional. Organisasi supra kebangsaan ini disebut Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia, disingkat PPPKI. Dalam
pembentukannya, Mohammad Hoesni Thamrin didaulat menjadi ketua dan tentu saja
Parada Harahap sebagai penggagas diposisikan sebagai sekretaris. MH Thamrin
adalah anggota Volksraad dari perwakilan dewan kota (gemeenteraad).
Mohammad Hoesni Thamrin dan Parada Harahap adalah
sama-sama pengusaha. Usaha MH Thamrin bergerak di bidang perdagangan dan
industri pengolahan di Batavia.
Sedangkan Parada Harahap pengusaha di bidang media dan percetakan. Parada
Harahap adalah ketua pengusaha di Batavia (semacam Kadin pada masa ini).
Pertemuan
pembentukan PPPKI diadakan di rumah Mr. Husein Djajadiningrat (yang turut
dihadiri Soetan Casajangan, Direktur sekolah Normaal School di Meester
Cornelis). Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D saat itu adalah salah satu dosen di
Rechthoogeschool di Batavia. Rumah
Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat di Kramat tidak terlalu jauh.
Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu
di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari Serikat pribumi bertemu di
Batavia di rumah Mr Husein Djajadiningrat. Diputuskan untuk mendirikan
organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi,
dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat
yang hadir adalah Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem Betawi, Sumatranenbond,
Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional
Indonesia).
Silsilah Para Pionir Persatuan Menuju Kemerdekaan Indonesia |
Sebelum pertemuan tersebut muncul kesulitan
mengajak Boedi Oetomo. Hal ini karena Boedi Oetomo adalah organisasi kebangsaan
yang sangat besar (relatif terhadap organisasi kebangsaan lainnya). Sebagaimana
kita lihat nanti, Parada Harahap meminta bantuan Dr. Radjamin Nasution membujuk
Dr. Soetomo. Dr. Radjamin dan Dr. Soetomo sewakru di STOVIA sudah kenal satu sama lain. Sebaliknya, sebagaimana kita lihat nanti,
Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dalam pembentukan ini tanpa masalah
tetapi dalam perkembangannya keduanya kurang respon. Sebagaimana kita lihat
nanti, kurang tertariknya Persatoean Minahasa dan Sarekat Amboncher sangat
disayangkan oleh Parada Harahap.
Kantor PPPKI
ditetapkan di Gang Kenari. Lahan dan gedung tersebut merupakan sumbangan dari
Mohammad Hoesni Thamrin. Gedung PPPKI ini kemudian lebih dikenal sebagai
Indonesiesch Clubhuis (gedung ini masih eksis hingga ini hari di Jalan Kenari
Salemba). Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI yang merangkap kepala kantor
di Gang Kenari hanya memajang di dinding tiga foto yang diduga menjadi
idolanya, yakni Diponegoro, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Mengapa harus Diponegoro,
Soekarno dan Mohammad Hatta? Mudah ditebak. Diponegoro adalah
pejuang masa lalu, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah pejuang masa dekat.
Parada Harahap sebagai seorang aktivis (berbagai organisasi) yang suka membaca
dan seorang jurnalis tentu dapat memetakan masa lalu dan memproyeksikan masa
datang. Khusus, untuk Diponegoro adalah terbilang salah satu angkatan awal
sebagai pejuang (pribumi) melawan (kehadiran Belanda). Bagaimana
dengan Soekarno dan Mohammad Hatta? Dua orang muda revolusioner ini sudah sangat dkenal oleh
Parada Harahap.
Sementara
Parada Harahap sangat aktif di PPPKI, pers Belanda terus menyorot sepak terjang
Parada Harahap di media. Soal tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal tanah air
di media, Parada Harahap jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora dan
berani memainkan penanya yang tajam ke depan hidung pers Belanda. Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu
fascism) yang dimuat di Java Bode dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925,
pers Belanda terus mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers
(Pribumi vs Eropa/Belanda) terus memanas.
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi
tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang,
sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan
nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami
komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.
Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda
Pada saat pembentukan
PPPKI tanggal 25-09-1927 di rumah Mr Husein Djajadiningrat, Ph.D disebutkan turut hadir perwakilan Boedi Oetomo.
Namun tidak jelas siapa yang mewakili Boedi Oetomo, apakah Dr. Soetomo dari
Studieclub Soerabaja atau Dr. Sardjito, Ph.D yang besar dugaan masih menjabat
sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Batavia. Ada dugaan kuat yang hadir mewakili
Boedi Oetomo adalah Dr. Sardjito, Ph.D. Sementara Dr. Soetomo diduga kuat turut
hadir bersama Ir. Soekarno dan sebagai wakil dari Perhimpoenan Nasional
Indonesia (PNI).
Pada tahun 1926 di Bandoeng dibentuk
Studieclub yang mana sebagai sekretaris adalah Ir. Soekarno (yang baru lulus
THS). Pada bulan Februari 1927 diadakan rapat tahunan. Ketua yang baru adalah
Ir. Anwari yang menggantikan Putuhena. Posisi Soekarno tetap sekretaris. Di
Bandoeng dibentuk panitia Rapat Besar yang akan mempersiapkan kongres
nasionalis di Bandoeng. Promotor kongres yang akan diadakan adalah Ir. Soekarno
dan Mr. Iskaq (Algemeen Handelsblad, 24-06-1927). Dalam fase inilah, didirikan
Perserikatan Nasional Indonesia disingkat PNI, suatu organisasi kebangsaan yang
diketuai oleh Ir. Soekarno yang juga masih anggota Alegemene Studieclub yang
telah berubah nama menjadi Indonesiasche Studieclub. Perubahan nama studieclub
baik yang di Bandoeng dan Soerabaja (dan sudah barang tentu di Batavia) menjadi
Indonesiasche Studieclub. Para anggota Indonesiasche Studieclub inilah yang
kemudian membentuk organisasi kebangsaan dengan nama Indonesia yang diberi nama
Perserikatan Nasional Indonesia. Rapat Besar yang rencananya diadakan pada
Minggu pagi 15 Agustus 1927 di bioskop Oriental terpaksa batal karena bersamaan
adanya festival (Bataviaasch nieuwsblad, 10-08-1927). Rapat Besar sedianya akan
dipimpin oleh Ir. Soekarno yang telah disepakati oleh sebuah komite yang
berasal dari PNI, PSI, Boedi Oetomo dan Pasoendan. Rapat Besar ini disebut
inisiatif PNI. Para pembicara sudah dilist seperti Dr. Tjipto, Ir. Soekarno,
Ir. Anwari dan banyak anggota dewan lainnya dari Indonesiasche Studieclub dan
organisasi kebangsaan lain yang turut hadir. Gagasan Rapat Besar ini muncul
sehubungan dengan investigasi rumah-rumah mahasiswa di Belanda (lihat
Nieuwsblad van het Noorden, 15-08-1927).
Pembentukan PPPKI,
sebagai wadah bagi semua organisasi kebangsaan Indonesia diawali dengan
pendekatan yang dilakukan oleh Parada Harahap kepada semua elemen bangsa mulai
dari tokoh-tokoh senior, anggota Volksraad, pemimpin-pemimpin organisasi
kebangsaan. Lalu kemudian Parada Harahap mengundang mereka untuk bertemu di
rumah Husein Djajadiningrat. Dua keputusan penting dalam pertemuan tersebut
adalah disepakati wadah organisasi disebut Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI dan
ditunjuk sebagai ketua MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap.
Dalam pembentukan PPPKI tersebut
Parada Harahap mewakili Sumatanen Bond (Parada Harahap adalah sekretaris
Sumatranen Bond). Tokoh senior yang hadir dalam pertemuan tersebut selain
Husein Djajadingrat (dosen rechts school) sebagai tuan rumah adalah Soetan
Casajangana (direktur Normaal School di Meester Cornelis). Anggota Volksraad
yang hadir selain MH Thamrin (yang kemudian ditunjuk sebagai ketua) adalah
Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon. Yang hadir mewakili Boedi Oetomo
adalah Dr. Sardjito dan yang mewakili Kaoem Betawi adalah MH Thamrin. Sedangkan
Dr. Soetomo dan Ir. Soekarno mewakili Perserikatan Nasional Indonesia. Catatan:
Soetan Casajangan adalah presiden pertama Indisch Vereeniging dan sekretarisnya
adalah Husein Djajadiningrat. Mangaradaja Soeangkoepon menjadi anggota Indisch
Vereeniging di era kepengurusan Soetan Casajangan. Dr, Sardjito dan Dr. Soetomo
sama-sama melanjutkan studi ke Belanda tahun 1919 yang kemudian menjadi
pengurus Indisch Vereeniging. Sebelum MH Thamrin menjadi anggota Volksraad
adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia bersama-sama Dr. Sardjito.
Dalam fase ini Dr. Sardjito masih anggota Boedi Oetomo, sedangkan Dr. Soetomo
dan Ir. Soekarno bukan lagi anggota Boedi Oetomo tetapi sudah menjadi anggota
Perserikatan Nasional Indonesia.
Dalam fase inilah spirit
non-cooperative semakin menguat diantara para revolusioner Indonesia. PNI
secara terang-terang menyebut non-cooperative. Sejarah kolonial telah
berevolusi. Pada awal VOC perdagagan bebas (diawali di Banten), lalu kerjasama
perdagangan (di Maluku), kemudian menginisiasi penduduk (di Jawa) lalu penduduk
dijadikan subjek (di Sumatra’s Westkust). Pada era pemerintah Hindia Belanda
(1800), sejak Daendels dan van de Bosch, eksploitasi Belanda sampai ke tulang
sumsum. Pada awal 1900 muncul politik etik (politik etik yang hanya terbatas di
Boedi Oetomo?), Lalu muncul protes coklat-putih oleh Soetan Casajangan di dalam
kerjasama West en Oost (Indisch Vereeniging). Setelah itu muncul spirit
non-cooperative (gerakan kemerdekaan): Parada Harahap, Mohamamd Hatta dan
Soekarno adalah tiga nama yang menonjol dari kelompok non-cooperative. Sedangkan
MH Thamrin, Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito mewakili kolompok kompromistik: dalam
hal tertentu cooperative dan hal yang lain non-cooperative. Kompromi ini dilaksanakan
melalui mekanisme demokratis di parlemen (Volksraad dan gemeenteraad).
Sejauh ini sudah ada sejumlah organisasi
kebangsaam yang bersifat non-cooperative. Organisasi kebangsaan ini ditandai
dengan penggunaan nama Indonesia. Organisasi kebangsaan tersebut antara lain suksesi
Indisch Vereeniging yakni Perhimpoenan Indonesia (PI) yang diketuai oleh
Mohamad Hatta dengan organ majalah Indonesia Merdeka; hasil metamorfosis Indonesiasche
Studieclub (Bandoeng dan Soerabaja) yakni Perserikatan Nasional Indonesia (PNI)
yang diketuai oleh Ir. Soekarno dengan organ Soeloeh Indonesia; dan PPPKI
sendiri yang diketuai oleh MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap dengan
organ surat kabar Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap). Organ lainnya Perserikatan
Nasional Indonesia adalah golongan pemuda yang disebut Pemoeda Indonesia,
sementara organ lainnya PPPKI adalah PPI (Perhimpoenan Peladjar-Peladjar
Indonesia) yang diketuai oleh Soegondo.
Parada
Harahap sebagai sekretaris PPPKI kemudian melakukan konsolidasi di dalam
internal dalam kepengurusan PPPKI (supra
organisasi yang baru). Konsolidasi tersebut termasuk mempformalkan administrasi
organisasi (ke pemerintah), penyiapan gedung/kantor PPPKI dan kampanye PPPKI di media. Kampanye ini dilakukan melalui surat kabar Bintang
Timoer.
Dalam pembangunan gedung dan kantor
PPPKI ini lahannya disediakan oleh MH Thamrin yang berlokasi di Gang Kenari. Untuk biaya pembangunan diduga kuat bersumber dari para
pengusaha pribumi. Ketua sarikat pengusaha pribumi di Batavia (semacam KADIN
pada masa ini) adalah Parada Harahap. MH Thamrin sebagai pengusaha juga menjadi
anggota sarikat pengusaha pribumi Batavia. Salah satu pengusaha yang menjadi
anggota yang perlu dicatat adalah kerabat Mohamad Hatta di Pasar Senen. Setelah
gedung PPPKI selesai dibangun, Parada Harahap sebagai kepala kantor PPPKI
memajang tiga foto di ruang pertemuan PPPKI. Tiga foto tersebut adalah foto
Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta. Boleh jadi Parada Harahap mengasumsikan
pemimpin masa lalu adalah (pangeran) Diponegoro dan memproyeksikan pemimpin
masa depan Indonesia adalah dua orang yang sangat dikenal Parada Harahap yakni Soekarno
dan Mohamad Hatta (kelak doa Parada Harahap ini terbukti!).
Agenda lainnya PPPKI dan
yang terbilang strategis adalah mempersiapkan
agenda besar pada tahun 1928. Agenda tersebut adalah
PPPKI akan menyelenggarakan Kongres PPPKI pada bulan September tahun 1928 di
Batavia. Sebelum Kongres PPPKI akan diadakan pertemuan di Bandoeng. Kongres
PPPKI yang akan dilaksanakan ini akan diintegrasikan dengan Kongres Pemuda yang
akan diadakan pada bulan Oktober 1928. Untuk menggelorakan Kongres PPPKI
(senuior) dan Kongres Pemuda (junior) Parada Harahap menerbitkan surat kabar
Bintang Timoer untuk edisi (khusus) Semarang untuk mencakup Midden Java dan edisi
(khusus) Soerabaja untuk mencakup Oost Java.
Sementara itu, Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI) terus berupaya untuk melebarkan sayap ke berbagai tempat,
seperti Batavia, Djogjakarta, Pekalongan, Soerabaja dan lainnya. Bataviaasch
nieuwsblad, 02-12-1927: ‘Minggu pagi pukul sembilan, Afdeeling Jacatra
Perserikatan Nasional Indonesia mengadakan rapat propaganda publik di Cinema
Palace di Krekot. Pembicara adalah Ir. Soekarno, Mr. Boediarto dan Mr.
Sartono’. De Indische courant, 06-02-1928 melaporkan
pendirian cabang PNI di Soerabaja. Siapa yang menjadi pengurus Perserikatan Nasional
Indonesia cabang Soerabaja sejauh ini belum diketahui. Walau bukan Dr. Soetomo,
tetapi peran Dr. Soetomo sangat besar di PNI cabang Soerabaja.
Ketua Kongres PPPKI
ditunjuk Dr. Soetomo. Kongres akan dilaksanakan di Batavia yang bertempat di
Clubhuis Gang Kenari (gedung PPPKI). Dalam Kongres PPPKI ini Boedi Oetomo
diwakili oleh Dr. Sardjito, Ph.D dan kawan-kawan di Batavia. Untuk Kongres
Pemuda, Parada Harahap menempatkan tiga tokoh pemuda yang sangat dikenalnya di
jajaran inti komite kongres pemuda. Sebagai ketua ditempatkan Soegondo;
sekretaris adalah Mohamad Jamin dan bendahara adalah Amir Sjarifoeddin Harahap.
Ketiganya adalah mahasiswa Rechts Hoogeschool Batavia dimana Mr. Husein
Djajadiningrat sebagai dekan. Soegondo adalah ketua PPI (organ pemuda/pelajar
PPPKI). Kantor PPI berada di Gang Kenari. Mohamad Jamin adalah ketua Jong
Sumatranen Bond dan Amir Sjarifoeddin adalah ketua Jong Bataksch Bond. Parada
Harahap sendiri adalah anggota Sumatranen Bond dan juga anggota Bataksch Bond.
Penempatan tiga orang muda ini sangat ideal. Soegondo sebagai ketua PPPI
membawa nama Indonesia (Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia); Mohamad
Jamin seorang yang cocok sebagai konseptor (pengadministrasian kegiatan
kongres); Amir Sjarifoendin sebagai penghubung sumber pendanaan kongres.
Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda disponsori oleh pengusaha-pengusaha pribumi.
Menjelang Kongres PPPKI diadakan kongres pertama PNI yang akan diadakan di
gedung Indonesiasch studieclub di Soerabaja yang dimulai hari Minggu tanggal
27 Mei sejumlah agenda telah dirilis yang mana agenda pertama adalah pengesahan
beberapa afdeeling baru di Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi (De Indische courant, 25-05-1928). Dalam agenda juga ada pertemuan
tertutup di rumah Dr. Soetomo di Simpang Doekoeh 12. Agenda juga termasuk
penting adalah penentuan posisi PNI dalam hubungannya dengan PPPKI. Sebagaimana
diketahui PPPKI adalah organisasi kebangsaan, bukan organisasi politik. Lantas
apakah PNI akan berubah menjadi partai politik? Hasil kongres PNI di Soerabaja ini telah memutuskan bahwa Perserikatan Nasional Indonesia
(organisasi kebangsaan) menjadi Partai Nasional Indonesia (partai politik) (De
Indische courant, 20-06-1928). Meski demikian, singkatan namanya tetap PNI. Ini
adalah suatu kemajuan, setelah sebelumnya Partai Komunis Indonesia dilarang,
maka PNI sejauh ini menjadi satu-satu partai di Indonesia. Partai Komunis
Indonesia pada awalnya bernama ISDV yang dibentuk 1914 dan pada tahun 1920
diubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Hindia (pengurusnya kombinasi Belanda dan pribumi). Pada tahun 1921 berkurang
anggotanya karena SI melarang anggotanya menjadi anggota PKI. Pemerintah lalu
membatasi kegiatan politik yang lalu mengakibatkan SI hanya fokus di bidang
keagamaan. Pada tahun 1922 organisasi merah ini memimpin
pemogokan nasional untuk semua sarikat buruh. Atas kejadian ini Tan Malaka
ditangkap dan diasingkan ke luar negeri. Lalu partai komunis ini dilanjutkan
oleh Semaun yang baru pulang dari luar negeri. Pada tahun 1924 nama
Perserikatan Komunis Hindia diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada
tahun 1925 melancarkan tujuan PKI untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Pada
November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatera Barat. Pemberontakan ini terjadi ketika pimpinan Ailimin dan
Muso tengah berada di luar negeri untuk membicarakan dengan Tan Malaka.
Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan pemerintah dan menangkap para kadernya dan
mengasingkannya ke Boven Digoel. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh
pemerintahan Belanda. Nama PKI sempat muncul mengubah namanya menjadi Partai
Rakjat Indonesia namun gagal karena kurang pengikut, sementara para pemimpinnya
banyak yang dipenjara/diasingkan (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 06-10-1927). Pada
jelang ujung kisah PKI ini muncul gagasan Parada Harahap membentuk PPPKI yang
mana kemudian anggota PPPKI yakni Perserikatan Nasional Indonesia berubah
menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada saat keberangkatan interniran PKI ke
Digoel di Bandoeng tahun 1926 para anggota Algemeene Studieclub masih sempat
menyaksikannya. Anggota klub studi yang menyaksikannya termasuk diantaranya Ir.
Soekarno, Ir. Anwari dan Dr. Tjipto Mangoenkoesomo. Sejak itulah, para anggota
klub studi membentuk organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia yang
kemudian menjadi Partai Nasional
Indonesia. Catatan: Tan Malaka adalah salah satu
pendiri Sumatranen Bond di Belanda tahun 1917 yang mana sebagai ketua Sorip
Tagor, wakil ketua Dahlan Abdullah serta Soetan Goenoeng Moelia sebagai
sekretaris. Saat Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond tahun 1927, Parada Harahap mulai menggagas pembentukan PPPKI.
Hasil terpenting dari
Kongres PPPKI yang telah dilaksanakan pada tanggal 25-28 September 1928
(dimulai pada tanggal 25 September, tanggal pembentukan PPPKI di rumah Husein
Djajadiningrat) adalah terus memperkuat persatuan (sangat disayangkan Parada
Harahap dalam kongres tidak datang perwakilan Minahasa dan Ambon). Keputusan
lain yang sangat penting adalah perubahan semangat kebangsaan PPPKI yang mana
nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
diubah menjadi Perhimpoenan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (singkatannya
tetap sama: PPPKI). Namun adakalanya supra organisasi ini disebut Perhimpoenan
Partai-Partai Politik Indonesia (PPPI). Dalam kongres ini juga Dr. Soetomo
(ketua Kongres PPPKI) terpilih sebagai Ketua PPPKI. Keputusan lainnya adalah
kongres PPPKI berikutnya akan diadakan pada bulan Desember 1929 di Solo.
Sementara itu hasil terpenting dari
Kongres Pemuda adalah dihasilkannnya Putusan Kongres yang berisikan semangat
persatuan: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia. Hal lain yang
cukup penting dalam kongres ini lagu Indonesia Raja diperdengarkan (yang kelak
menjadi lagu kebangsaan Indonesia). Lagu kebangsaan Indonesia Raja ini digubah
dan diperdengarkan oleh WR Supratman. Sebagaimana diketahui WR Supratman adalah
‘anak buah’ Parada Harahap yang diposisikan sebagai editor kantor berita Alpena
(pimpinan Parada Harahap). Parada Harahap telah menganggap WR Supratman sebagai
keluarga, karena WR Supratman tinggal di (pavilium) rumah Parada Harahap.
Kelak, isi putusan kongres ini (1954) spiritnya ditingkatkan menjadi isi Sumpah
Pemuda dalam peringatan Kongres Pemuda yang diselenggarakan para pemuda yang
dipimpin oleh Ali Mochtar Hoetasoehoet di gedung Akademi Wartawan di Deca Park.
Saat itu ketua Kopertis adalah Parada Harahap dan Menteri Pendidikan adalah
Mohamad Jamin. Parada Harahap adalah pendiri dan pimpinan (dekan) Akademi
Wartawan, sedangkan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah ketua dewan mahasiswa
Akademi Wartawan, mantan tentara pelajar di Padang Sidempoean yang membantu
Parada Harahap memimpin majalah Detik di Boekitting tahun 1948 (saat ibukota RI
berada di pengungsian di Boekittinggi). Ali Mochtar Hoeta Soehoet sambil kuliah
bekerja sebagai kepala kantor surat kabar Indonesia Raja (pimpinan Mochtar
Lubis). Kelak, Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendirikan sekolah tinggi publisistik/jurnalistik
yang kini dikenal sebagai IISIP Lenteng Agung, Jakarta. .
Dalam fase ini Dr.
Sardjito, Ph.D terus berjuang di parlemen kota Batavia. Dr. Sardjito, Ph.D
terpilih sebagai anggota dewan kota Batavia tahun 1926. Kontribusi Dr.
Sardjito, Ph.D sebagai seorang nasionalis di dalam pembangunan kota Batavia
cukup signifikan. Dr. Sardjito, Ph.D sebagai dokter kelas satu yang bekerja di
Laboratorium Batavia, juga di dewan masuk komisi yang membidangi
kesehatan. Dr. Sardjito, Ph.D juga menjadi anggota komisi pasar. Sebagai
anggota dewan tanpa jeda sejak 1926, pada tahun 1929 Dr. Sardjito. Ph.D diposisikan
sebagai anggota dewan senior (Wethouder) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-07-1929
wethouder).
Pada pemilihan anggota
dewan kota (gemeenteraad) Batavia tahun 1929 Dr. Sardjito, Ph.D dinominasikan
kembali sebagai kandidat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1929). Dr.
Sardjito, Ph.D kembali terpilih (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1930). Ini untuk
periode yang kedua bagi Dr. Sardjito, Ph.D di dewan kota Batavia. Bataviaasch
nieuwsblad, 31-01-1930 memberitakan bahwa Dr. Sardjito, Ph.D, dokter pemerintah
kelas-1 di Weltevreden (baca: Pasteur Instituut)) ditunjuk untuk jabatan
rangkap sebagai kepala dinas kesehatan Batavia efektif mulai 31 Januari (1930).
Disebutkan Dr. Sardjito adalah asisten senior di Pasteur Instituut.
Dr. Sardjito, Ph.D dan Laboratorium
Semarang
Belum lama Dr. Sardjito, Ph.D memulai kerja sebagai anggota dewan kota Batavia periode kedua, Dr. Sardjito, Ph.D dimutasi. Dr. Sardjito, Ph.D dipindahkan ke Makassar.
Berita mutasi bagi
pegawai dan pejabat pemerintah adalah hal yang lumrah. Dr. Sardjito berdinas di
Batavia tepatnya di Pasteur Instituut sudah sejak tahun 1924 (sepulang studi
dari Belanda). Ini berarti Dr. Sardjito sudah berdinas di Batavia selama enam
tahun dalam tahun-tahun terakhir ini. Kepastian Dr. Sardjito, Ph.D pindah ke
Makassar terindikasi dari berita Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
12-03-1930 dimana di dewan kota Batavia telah diterima surat dari Dr. Sardjito tertanggal
Makassar 16 Februari 1930 yang menyatakan bahwa Dr. Sardjito mengundurkan diri dari
anggota dewan kota Batavia.
Namun tidak lama
kemudian diberitakan oleh Algemeen Handelsblad, 29-05-1930 bahwa terhitung
tanggal 5 Desember 1930 Dr. Sardjito, Ph.D dokter pemerintah kelas-1 akan cuti selama
tiga bulan. Lalu muncul pertanyaan mengapa begitu cepat muncul berita
(pengajuan) cuti ini padahal Dr. Sardjito belum lama berada di Makassar.
Pertanyaan ini baru bisa dijawab pada akhir tahun 1931 ketika Dr. Sardjito,
Ph.D ditempatkan di Semarang sebagai Kepala Laboratorium Semarang (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-12-1931).
Dr. Sardjito, Ph.D tampaknya telah
lama diproyeksikan sebagai pimpinan laboratorium. Sejak 1924 hingga 1930 Dr.
Sardjito, Ph.D adalah peneliti di Pasterur Instituut di Weltevreden. Dengan
pengalaman riset tersebut, Dr. Sardjito dikirim ke Belanda yang boleh jadi
untuk meningkatkan pengetahuaannya di bidang laboratorium. Setelah beberapa
hari dari tanggal cuti yang ditetapkan, Dr. Sardjito, Ph.D berangkat ke Be;anda
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-12-1930). Dr. Sardjito
berangkat pada tanggal 17 Desember 1930 dengan kapal Baloeran ke Rotterdam .
Dalam manifest kapal Dr. Sardjito berangkat sendiri (tanpa keluarga). Ini boleh
jadi benar-benar dinas, bukan cuti berlibur. Dr. Sardjito tiba di Rotterdam
pada tanggal 7 Januari 1931 (Algemeen Handelsblad, 09-01-1931). Selama di
Belanda tidak pernah terberitakan. Nama Dr. Sardjito baru muncul pada bulan Oktober
1931 (Algemeen Handelsblad, 28-10-1931). Disebutkan dalam manifes kapal bahwa nama
Dr. Sardjito pada tanggal 28 Oktober 1931 berangkat dari Amsterdam ke Batavia.
Dr. Sardjito akan tiba tanggal 28 November 1931 di Tandjong Priok (De Indische
courant, 14-11-1931). Ini berarti Dr. Sardjito berada di Belanda selama sembilan bulan efektif. Namun tidak diketahui
jelas apa yang dilakukan Dr. Sardjito selama waktu itu dan apakah Dr. Sardjito
hanya berada di Belanda? Pertanyaan serupa ini pernah terjadi tahun 1923. Dr.
Sardjito setelah lulus dan meraih gelar doktor (Ph.D) pada bulan Juli 1923, tidak
langsung pulang ke tanah air, Dr, Sardjito, Ph.D baru pulang pada bulan Oktober
1924. Dengan kata lain, Dr. Sardjito baru pulang setelah setahun kemudian dari
kelulusan. Besar dugaan Dr. Sardjito, Ph.D diantara waktu yang lama itu, Dr.
Sardjito telah melakukan tugas (semacam post doktoral) di Amerika Serikat. Ini
terindikasi bahwa tulisan Dr. Sardjito, Ph.D pernah dimuat dalam buku bunga
rampai kedokteran (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1926). Disebutkan bahwa
Dr. Sarjito, Ph.D menulis chapter yang berisi tentang mempelajari kesan dari Amsterdam dan Baltimore.
Dr. Sardjito, Ph.D
terbilang cukup lama sebagai kepala laboratorium Semarang. Laboratorium
Semarang adalah salah satu diantara beberapa laboratorium yang sudah ada.
Selain laboratorim yang terdapat di Pasteur Instituut, juga di Batavia sudah
sejak lama terdapat laboratorium kota Batavia (kemudian menjadi Eijkman
Instituut), Laboratorium lainnya terdapat di Soerabaja. Satu laboratorium
swasta terdapat di Medan, laboratorium dari rumah sakit Senembah Mij di
Tandjong Morawa yang bangun oleh Dr, Shuffner.
Dalam kapasitasnya sebagai Kepala
Laboratorium Semarang, Dr. Sardjito, Ph.D kerap berinteraksi dengan
dokter-dokter lainnya. De Indische courant, 14-08-1933
melaporkan bahwa komisi lepra untuk anak telah dibentuk yang mana sebagai ketua
komisi adalah Dr. Soetomo, dosen di NIAS dan anggota antara lain Dr, Sardjito,
kepala laboratorium di Semarang. Masih pada tahun 1933, Dr. Sardjito, Ph.D
kepala laboratorium Semarang difungsikan untuk menjabat (rangkap) sebagai
kepala dinas kesehatan (DVG) kota Semarang terhitung sejak 31 Desember 1933 (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-12-1933).
Sementara itu kepala
rumah sakit CBZ di Semarang adalah Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Pada tahun 1932 Dr.
Achmad Mochtar dipindahkan ke rumah sakit CBZ di Semarang.
Dr. Achmad Mochtar berangkat studi
ke Belanda tanggal 1 September 1923. Dr. Achmad Mochtar lulus ujian pertama
untuk akte dokter 1924. Dr. Achmad Mochtar akhirnya berhasil mencapai gelar
doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1927 (De Telegraaf, 11-02-1927). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ditempatkan di rumah sakit CBZ
di Weltevreden, Batavia (kini RSPAD). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D
mendapat kenaikan pangkat menjadi dokter pemerintah kelas satu (Soerabaijasch
handelsblad, 01-08-1929). Ini adalah pangkat tertinggi bagi pribumi. Pangkat
ini sudah lebih dulu dicapai oleh Dr. Sardjito, Ph.D pada tahun 1926
(Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1926).
Dr. Sadjito, Ph.D selama
menjabat kepala laboratorium Semarang juga kerapa melakukan komunikasi ilmiah
dengan dokter-dokter senior. Algemeen Handelsblad, 13-11-1934 melaporkan bahwa Prof.
Dr. W Schuffner dari Amsterdam melakukan penelitian dengan Dr. Sardjito tentang
darah seorang pasien yang menderita perikarditis dengan eksudat homophagic yang
dilakukan pada kelinci percobaan. Dr. Schuffner adalah pengembang laboratorium
Senembah Mij sejak tahun 1896 dan kini telah menjadi guru besar bidang
kedokteran di Universiteit Amsterdam. Salah satu hal yang penting dari tugas
Schuffner adalah pemberantasan malaria di Tapanoeli yang berkantor di Padang
Sidempoean (1919-1922) yang mana sebagai asistennya adalah Dr. Achmad Mochtar. Pada
tahun 1927 Dr. Schuffner merekomendasikan Dr. Achmad Mochtar untuk melanjutkan
studi ke Belanda hingga meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1927.
Sebagai kepala laboratorium di
Semarang juga difungsikan menjabat (rangkap) untuk memimpin rumah sakit kusta
jika Dr, Sitanala sedang ada tugas di tempat lain (Bataviaasch nieuwsblad,
11-06-1935). Hal ini juga untuk Dr. Achmad Mochtar. Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1935
memberitakan bahwa Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ditunjuk sebagai pejabat (rangkap) sebagai
kepala laboratorium di Semarang jika Dr, Sardjito tidak berada di tempat ketika
melakukan dinas pemberantas penyakit lepra.
Dr. Sardjito, Ph.D pada
bulan Desember 1935 melakukan kunjungan ke rumah sakit kusta di Kabanjahe (De
Sumatra post, 11-12-1935). Dr. Sardjito selama seminggi di Kabanjahe
mempelajari pengobatan kusta di dataran tinggi Laoe Simomo. Setelah pulang dari
Kabanjahe, Dr. Sardjito akan bertemu di Batavia dengan Dr. J B Sitanala seorang
spesialis lepra yang terkenal yang baru pulang dari Belanda. Selama di Belanda,
Dr. Sitanala sempat mengunjungi Inggris dan bertemu dengan spesialis lepra di
Kalkuta, India. Dalam waktu dekat Dr. Sardjito kepala laboratorium Semarang
akan bahu membahu dengan Dr. Sitanala dalamupaya untuk pengendalian kusta dan
pengobatan lepra (di Jawa). Dalam kunjungannya ke Kabanjahe, Dr. Sardjito juga
mengunjungi pusat rehabilitasi penderita kusta di pulaoe Sitjanan (De Sumatra
post, 18-12-1935). Pusat rehabilitasi kusta Sitjanang (dekat kota Medan) ini
dirintis oleh Dr. Mohamad Daoelaj tahun 1918 dengan sponsor Tjong A Fie
(pengusaha terkenal di Medan).
Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ketika di
Semarang berposisi sebagai kepala Laboratorium Semarang, Ketika dipindahkan ke
Laboratorium Batavia posisinya sebagai wakil kepala untuk membantu direktur,
Dr. WK Mertens, Ph.D. Dengan
bergabungnya Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, Laboratorium Batavia (Laboratorium
Eijkman) menjadi sebuah laboratorium berprestasi di bidang penelitian
kedokteran.
Dr. Sardjito, Ph.D dan Partai
Indonesia Raya
Pada tahun 1930 ketika
Dr. Sardjito, Ph.D berangkat ke Belanda untuk mempelajari manajemen
laboratorium, Dr. Soetomo mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Ini seakan kelompok
yang dipimpin oleh Dr. Soetomo ingin mempertegas diri di dalam eskalasi politik
yang ada saat itu. Ini di satu sisi seakan PBI ingin mempertegas bahwa mereka
bukan PNI. Saat itu PNI dalam tekanan, PNI tengah disorot pemrintah dan Ir.
Soekarno sudah ditangkap dan proses peradilannya masih berjalan. Sementara di
sisi lain, PNI ingin terus menghidupkan pentingnya partai politik bagi bangsa
Indonesia. Suatu partai politik yang di satu sisi cooperative dan di sisi lain
non-cooperative.
Partai Bangsa Indonesia (PBI)
didirikan di Soerabaja oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Dr. Soetomo
dan Dr. Radjamin Nasution sudah sejak kuliah di STOVIA saling kenal. Dr.
Radjamin Nasution dipindahkan ke Batavia tahun 1926. Saat pembentukan PPPKI,
Dr. Radjamin Nasution yang diminta oleh Parada Harahap agar Dr. Soetomo dapat
meneguhkan hati agar ikut mendukung dan bergabung dengan PPPKI. Pada tahun 1929
Dr. Radjamin Nasution sebagai pejabat kelas-1 di Bea dan Cukai batavia
dipindahkan (kembali) ke Bea dan Cukai Soerabaja. Di Soerabaja, Dr. Radjamin
Nasution mendirikan sarikat buruh pelabuhan. Sarikat para pegawai pelabuhan
yang notabene di bawah Bea dan Cukai menjadi elemen penting dalam pembentukan
Partai Bangsa Indonesia tahun 1930. Pada awal 1931 Dr. Radjamin Nasution
dicalonkan dan behrasil menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Soerabaja. Di
belakang Dr. Radjamin Nasution sebagai anggota dewan adalah Partai Bangsa
Indonesia yang diketuai oleh Dr. Soetomo.
Dr. Sardjito sebagai individu
dari Boedi Oetomo dan sudah sejak lama bagian dari kolompok Dr. Soetomo, dengan
dibentuknya PBI dengan sendirinya Dr. Sardjito, Ph.D adalah anggota PBI.
Sebagaimana Dr, Sardjito, Ph.D telah lama sebagai Kepala Laboratorium Semarang,
Dr. Soetomo juga sudah sejak lama tetap menjadi kepala rumah sakit CBZ
Soerabaja. Dalam tahun-tahun inilah Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito, Ph.D ingin
merangkul Boedi Oetomo untuk bergabung dengan partai politik.
Boedi Oetomo sebagai organisasi
kebangsaan yang besar (anggotanya sangat banyak) tampaknya tetap menjadi hutang
bagi Dr, Soetomo, karena anggota Boedi Oetomo belum menjadi anggota partai
politik. Keinginan Dr. Soetomo ini tampaknya ingin melanjutkan upaya Ir. Soekarno
dulu pernah meminta Boedi Oetomo untuk turut berjuang demi seluruh bangsa (Indonesia).
Sebagaimana diktehaui saat ini Ir. Soekarno tengah berada di pengasingan di
Flores.
Positioning partai PBI
terbilang kecil dalam peta politik Indonesia. Partai politik yang terbilan kuat
saat ini adalah Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan partai
Pendidikan Nasional Indonesia dimana pemimpinnya Mohamad Hatta telah diasingkan
ke Digoel. Untuk itulah Dr. Soetomo ingin merangkul Boedi Oetomo untuk dua
tujuan: pertama, untuk mengubah pandangan politik (anggota) Boedi Oetomo
berjuang demi bangsa Indonesia. Kedua, untuk memperkuat positioning PBI dan
memperbesar jumlah anggota PBI.
Keinginan Dr. Soetomo dan kemauan
anggota Boedi Oetomo untuk ikut berpolitik menjadi cair pada akhir tahun 1935. Het
Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 31-01-1936 melaporkan telah
terjadi fusi antara Boedi Oetomo dan PBI. Disebutkan fusi ini melahirkan partai
politik yang baru yang disebut Partai Indonesia Raja (yang disingkat Parindra).
Dengan bergabungnya
orang-orang Boedi Oetomo dalam partai Parindra, maka Boedi Oetomo telah memulai
langkah baru dalam upaya-upaya menuju Indonesia Raja, memulai babak baru dalam
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Lantas bagaimana dengan reaksi
Dr.Sardjito, Ph.D? Tidak bisa ditebak. Platform PBI (partai lama) dan Parindtra
(partai baru) kurang lebih sama. Namun ketika Boedi Oetomo telah turut
berpolitik, momentum memperjuangkan Indonesia Raya dan Indonesia merdeka
semakin di dalam Parindra semakin tajam. Dalam kaitan inilah pertanyaan kepada
Dr. Sardjito, Ph.D sulit ditebak. Sebagaimana diketahui Dr. Sardjito, Ph.D
beristri seorang perempuan Belanda. Namun yang jelas, Dr. Sardjito, Ph.D tetap
konsisten dalam bidang pekerjaannya di bidang pelayanan kesehatan masyarakat
dan bidang penyelidikan penyakit yang diderita oleh penduduk.
Dr. Sardjito, Ph.D telah diangkat
menjadi ketua pengendali kusta. Dr. Sardjito, Ph.D yang menjabat sebagai kepala
laboratorium Semarang masih terkait dengan berbagai pengendalian penyakit. Pada
tahun 1936 diadakan kongres YBC di Malang. Pada tahun 1937 kongres TBC diadakan
di Semarang (Nieuwe Apeldoornsche courant, 20-07-1937). Masih pada tahun 1937,
kongres kusta diadakan di Ngandjoek (De Indische courant, 02-11-1937). Disebutkan
dalam kongres kusta ini hadir ketua pengendali lepra Indonesia, Dr. Sardjito
dari laboratorium Semarang dan Dr. Abdoel Rasjid, anggota Volksraad. Dalam hal
ini Dr. Sardjito, Ph.D menggantikan Dr. Sitanala. Dr. Abdoel Rasjid Siregar
adalah alumni STOVIA lulus tahun 1914 adalah anggota Volksraad dari dapil Nord
Sumatra (Residentie Tapanoeli en Residentie Atjeh).
Dr. Sardjito, Ph.D yang
telah menjadi ahli penyakit kusta dalam banyak hal telah meringankan tugas yang
salama ini dilakukan oleh Dr. Sitanala. Seperti pernah dilakukan sebelumnya,
Dr. Sardjito, Ph.D sebagai kepala laboratorium Semarang kembali memangku ketua
pengendali kusta di Indonesia (baca: Hindia Belanda) untuk menggantikan Dr.
Sitanala (Bataviaasch nieuwsblad, 24-02-1938).
Dr. Sardjito, Ph.D tidak hanya
sebagai kepala Laboratorium Semarang tetapi juga telah diangkat menjadi kepala
dinas kesehatan (DVG) Kota Semarang menggantikan Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Seperti
diberitakan sebelumnya, setelah cukup lama di Semarang, Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D dipindahkan ke Geneeskundig Laboratorium te Batavia pada bulan Mei 1937
yang juga diperbantukan di dinas kesehatan kota DVG Batavia dalam penanganan
penyakit kusta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1937).
Dokter Soetomo
diberitakan meninggal dunia (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1938). Disebutkan Dr. Soetomo adalah satu dari tiga dokter yang
dikirim studi ke Belanda tahun 1818 (bersama Dr. Saaf dan Dr. Sardjito).
Setelah Dr. Soetomo lulus ujian dokter di Belanda pertama kali bekerja di bawah
Prof. Dr. Mendes da Costa di Amsterdam dan kemudian di bawah Prof. Dr. Plaut di
Hamburg untuk menjadi spesialis penyakit kulit dan kelamin. Dia kembali dari
Eropa pada tahun 1923 sebagai dokter kulit di rumah sakit CBZ di Surabaya. Dr.
Soetomo sebelum meninggal juga bertugas sebagai dosen di NIAS Soerabaja (juga
Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D).
Setelah sukses di Residentie Riaou,
Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke wilayah baru di Oost Java (Bataviaasch
nieuwsblad, 26-10-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dari Tandjong Pinang
dipindahkan ke Kota Soerabaja. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat sebagai kepala laboratorium besar di
Soerabaja. Ini mengindikasikan bahwa saat ini terdapat tiga dokter yang begelar
doktor (Ph.D) yang berdinas di tiga laboratorium besar. Dr. Sardjito, Ph.D di
laboratorium Semarang, sementara di laboratorium Soerabaja adalah Dr, Sjoeib
Proehoeman. Sedangkan Dr. Achmad Mochtar sebagai wakil kepala di laboratorium
Batavia. Setelah lama tidak terdengar kiprah laboratorium Senembah Mij di Deli,
praktis hanya tiga laboratorium penting (Batavia, Semarang dan Batavia) plus
laboratorium Pasteur Instituut di Werltevreden. Dr. Sardjito asal Madioen; Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sama-sama berasal dari
afdeeling Mandailing dan Angkola (afdeeling Padang Sidempoean).
Dr. Sardjito, Ph.D
kembali mengikuti kongres. Kali ini adalah Kongres Kedokteran di Semarang (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-12-1938). Disebutkan Ketua Komite
Kongres di Semarang ini adalah Dr. Sardjito, Ph.D. yang telah memberikan pidato
sambutan pada pembukaan kongress. Pada tahun 1940, kepala laboratorium
Semarang, Dr. Sardjito adalah ketua Asosiasi Dokter Indonesia atau Vereeniging
van Indonesische Geneeskundigen (Soerabaijasch handelsblad, 21-09-1940). Dr.
Sardjito, Ph.D hingga tahun 1940 masih menjabat sebagai kepala laboratorium
Semarang (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1941). Ini berarti posisi Dr. Sardjito,
Ph.D sebagai kepala laboratorium Semarang tidak tergantikan sejak 1931 hingga berakhirnya
era kolonial Belanda.
Pasteur Instituut dan Bandung Lautan
Api
Dr. Sardjito setelah
lulus STOVIA pertama kali ditempatkan di Pasteur Instituut. Pada awalnya
Pasteur Instituut adalah upaya pemerintah untuk pengoperasian laboratorium yang
menjadi bagian tidak terpisahkan Pasteur Institute di Prancis. Pasteur Instituut
awalnya berada di Weltevreden kemudian pada tahun 1923 dipindahkan ke Bandoeng.
Pasteur Instituut didirikan di tahun
1890 di Weltevreden. Pasteur Instituut ini menjadi bagian dari rumah sakit
militer (kini rumah sakit RSPAD). Di rumas sakit militer ini juga
diselenggarakan sekolah kedokteran Docter Djawa School sejak 1851. Pada tahun 1896
di Deli didirikan laboratorium yang menjadi bagian dari rumah sakit Senembah
Mij di bawah pimpinan Dr. Schuffner. Sejak 1923 Pasteur Instituut dipindahkan
ke Bandoeng. Eks Pasteur Instituut ini menjadi laboratorium kota Batavia.
Setelah berakhirnya era
kolonial Belanda pada masa pendudukan Jepang, Pasteur Instituut diambil alih
oleh militer dan dioperasikan oleh para dokter militer Jepang. Sementara itu, Eijkman
Instituut di Batavia dioperasikan oleh orang Indonesia. Dr. Achmad Mochtar,
Ph.D adalah orang Indonesia yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Direktur
Laboratorium Eijkman. Keutamaan Pasteur Instituut di Bandoeng karena
peralatannya yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan Eijkman Instituut.
Alasan inilah yang menyebabkan para ahli Jepang memilih bekerja di Pasteur Instituut
di Bandoeng.
Ketika militer Jepang melakukan
suntikan vaksin hasil Pasteur Instituut Bandoeng kepada para romusha di
Djakarta, hasilnya gagal yang mengakibatkan ratusan orang romusha mengalami
kematian. Vaksin-vaksin ini sebelumnya
disimpan di laboratorium Eijkman Instituut. Untuk menjalankan suntikan vaksin
yang telah disimpan di Eijkman Instituut dilakukan oleh dokter-dokter dari
dinas kesehatan kota. Untuk menutupi kegagalan militer Jepang ini lalu kemudian
dicari kambing hitam dan militer Jepang menghukum para dokter-dokter dari
laboratorium Eijkman dan dinas kesehatan kota Djakarta. Beberapa dokter sudah
dieksekusi mati. Namun untuk menghindari korban yang lebih banyak, Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D, kepala Eijkman Instituut rela berkorban untuk dihukum mati untuk
melindungi para dokter-dokter Indonesia. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D lalu dieksekusi
mati. Sejak eksekusi tersebut Eijkman Instituut berhenti beroperasi dan ditutup.
Setelah Indonesia
merdeka Pasteur Instituut yang sebelumnya di bawah kesehatan militer Jepang
diambil alih orang Indonesia. Yang ditunjuk sebagai pimpinan adalah Dr.
Sardjito, Ph.D. Pasteur Instituut adalah satu-satunya laboratorium yang masih
beroperasi setelah di era pendudukan Jepang Eijkman Isntituut ditutup (yang
mana pimpinan Eijkman Instituut, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D telah dieksekusi
mati).
Pertahanan RI dimulai dengan
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah komando Presiden Soekarno
pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando
Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima).
Sejak ibukota RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946,
TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari
1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya
organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat,
laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan
banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan
perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan
dibagi ke dalam beberapa divisi dengan mengangkat panglimanya.
Setelah sekutu/Inggris
tiba di Bandoeng mulai melakukan pengendalian. Reaksi penduduk negatif terhadap
kehadiran sekutu. Akibatnya muncul penyerangan dari pihak Indonesia. Dalam
situasi ini Pasteur Instituut yang sudah dioperasikan oleh orang Indonesia
harus ditinggalkan.
Pada saat pasukan Inggris/sekutu
berhasil mengendalikan situasi kota pihak Belanda sudah ikut merangsek dari
belakang. Pasteur Instituut dihidupkan kembali oleh Belanda setelah pada akhir
Desember 1945 Pasteur Instituut termasuk salah satu situs yang diamankan oleh
tentara sekutu/Inggris. Ahli-ahli Indonesia yang bekerja di Pasteur Instituut
mulai tidak nyaman dan meninggalkan laboratorium. Para ahli Indonesia tentunya
tidak lupa untuk mengamankan vaksin-vaksin yang disimpan di dalam laboratorium
ke tempat lain.
Setelah Pasteur
Instituut ditinggalkan oleh ahli-ahli Indonesia, bebera waktu kemudian Pasteur
Instituut dioperasikan kembali oleh Belanda. Algemeen Handelsblad, 05-02-1946
melaporkan Pasteur Instituut dioperasikan kembali. Untuk mengoperasikan Pasteur
Instituut seorang dokter Belanda yang selama ini berada diinterniran selama
pendudukan Jepang dipanggil. Dokter Belanda yang memimpin Pasteur Instituut tersebut
adalah Prof. Dr. Louis Otten.
Prof. Dr. Louis Otten sudah pernah
bekerja di Pasteur Bandoeng. Salah satu keahliannya adalah pengombatan sampar.
Louis Otten semasa muda adalah pemain sepak bola handar dan menjadi bagian dari
tim olimpiade Belanda. Setelah lulus sekolah kedokteran, Otten banyak mendalami
pengobatan penyakit. Dengan keahlian yang dimilikinya, Otten berangkat ke
Hindia Belanda.
Niat sekutu/Inggris yang
memang ingin memberi jalan bagi Belanda dan keteguhan hati penduduk yang tidak
ingin kehadiran orang asing, tidak terhindarkan pepeperangan. Inggris/sekutu
memberi ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama
tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta
Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu
saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan
terjadinya sejumlah insiden.
Pasukan sekutu/Inggris sendiri
mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945. Pasukan sekutu/Inggris ini lebih
dahulu membebaskan tahanan interniran Belanda oleh militer Jepang di
Buitenzorg. Dalam perjalanan dari Batavia ke Buitenzorg satu detasemen
sekutu/Inggris juga telah membebaskan sandera di Depok. Para sandera ini berada
di tangan pejuang kemerdekaan setelah sebelumnya tanggal 11 Oktober terjadi
kerusuhan di Depok.
Sekutu sudah nekad dan
kembali memberi ultimatum. Yang mana dalam hal ini ultimatum agar TRI (Tentara
Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat
pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri
Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifuddin
Harahap lantas bergegas dari Djogjakarta ke Bandung dan mendiskusikannya dengan
Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.
Kolonel Abdul Haris Nasution,
Panglima Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,
lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota.
Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran.
Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.
Politik bumi hangus di
Bandung akhirnya terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini bersamaan
dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara tempat
dimana pasukan Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan sekutu yang
dalam hal ini Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara TRI
dan penduduk di Bandung.
Limburgsch dagblad, 26-03-1946:
‘Dilaporkan dari Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi
kebakaran hebat berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini
mengingatkan tempat kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran
pertama yang disebabkan oleh serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa
menit sebelum tengah malam terjadi kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat
dilakukan tembakan mortir yang ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi
Inggris. Meskipun tidak mungkin untuk melakukan estimasi kerusakan di malam
hari, adalah, tanpa diragukan lagi, lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung
dibakar. Ini adalah politik bumi hangus yang digunakan oleh pejuang dengan
maksud untuk menunda ultimatum Inggris. Kebakaran Minggu itu yang disebabkan sebagian
besar oleh lingkaran Republik berakibat permohonan TRI penundaan operasi
Inggris ditolak’.
Aksi bumi hangus yang
dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak penundaan ultimatum.
TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan itu penduduk gerah
dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa menenangkan penduduk (Nieuwe
Apeldoornsche courant, 26-03-1946). Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik
dituduh dibantu tentara Jepang sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi
api mudah berkobar.
Leeuwarder koerier, 03-04-1946: ‘Het
instituut Pasteur te Bandoeng. Pasteur Instituut di Bandoeng menderita
kesulitan besar, yang menghambat perang melawan tifus, disentri dan wabah dan
bahkan cacar, terutama sekarang saat ini kondisi higienis membutuhkan
kewaspadaan tertentu. Instituut, yang memperoleh ketenaran besar di seluruh
Asia Timur sebelum perang, tidak dapat segera diambil alih oleh pihak berwenang
setelah pendudukan Jepang dan pertama kali berada dibawah zona perlindungan
pada akhir Desember tahun lalu. Sementara itu telah dicuri, sejauh persediaan
belum dimusnahkan’.
Bandoeng akhirnya
dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Militer Belanda telah menggantikan fungsi pasukan
sekutu/Inggris.
Nieuwe courant, 26-06-1946:
‘melaporkan dengan judul Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic
di Bandung selatan melancarkan protes. Dalam fase ini TRI bekerjasama dengan
kelompok-kelompo misterius (dalam hal ini laskar) mulai melakukan tindakan
praktek pengrusakan terutama di selatan sungai Tjitaroem. Yang dihancurkan
antara lain, jembatan, berkembang ke Soekamiskin, lokasi brigade Belanda di
sisi utara jalan pos. Dalam operasi, banyak ditemukan mortar di jalan yang
ditinggalkan ketika pejuang republic melarikan diri. Di sisi utara dan selatan
Tjimahi para penembak jitu Belanda terkena tembakan dan dinyatakan empat orang
Belanda luka. Kerigian di pihak republic tidak diketahui. Pengambilalihan resmi
komando Inggris oleh pasukan Belanda di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18
tempat. Markas Nederlandsche terletak di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal
De Waal. Markas Green Brigade dibawah Kapten Van Gulik konsentrasi di
Tjiiandjoer. Brigade-7 Infanteri Britisch Indiers sudah melakukan perjalanan
(kembali) ke Batavia. Bandara di Andir telah digantikan oleh sebuah unit dari
penerbangan militer Belanda, untuk kepentingan pengamatan udara.
Pasteur Instituut yang
telah mulai beroperasi pada bulan Februari 1946 di bawah pimpinan Louis Otten
sudah mulai dimanfaatkan. Dalam situasi perang yang semakin intens dan semakin meluas
berbagai penyakit sudah mulai diidentifikasi. Salah satu penyakit yang banyak
ditemukan terutama di Batavia dalah penyakit rabies.
Di Djakarta/Batavia muncul rabies.
Pihak Belanda meminta warga segera melapor ke Kantor Pelayanan Medis
Koningsplein West 21 untuk perawatan untuk dirujuk ke Pasteur Instituut
Bandoeng (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 26-08-1946).
Pemerintah Indonesia
semakin terdesak. Belanda semakin menekan. Akhirnya pemerintah RI harus pindah
ke Jogjakarta. Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia hijrah dari
Jakarta ke Jogjakarta. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan
Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Mr. Arifin
Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja
yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).
Sementara itu di Jogjakarta sudah
dibentuk Kabinet Sjarir III. Dalam kabinet ketiga Sutan Sjahrir ini, posisi
Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan pada waktu kabinet
sebelumnya diubah menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Perubahan kementerian ini
besar kemungkinan karena pertahanan sudah porak-poranda oleh Belanda dan
republik lebih memperhatikan keamanan rakyat (dan mengkonsolidasikan laskar dan
pembentukan kesatuan tentara RI) . Namun kabinet Sjarir ini tidak lama lalu
digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifoeddin Harahap (mulai 3 Juli 1947). Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap
merangkap Menteri Pertahanan (hingga 29 Januari 1948).
Prof. Dr. Louis Otten
yang sudah sangat lemah akibat penderitaan selama diinternir oleh militer
Jepang tampaknya tidak cukup kuat lagi. Louis Otten dipulangkan ke Belanda.
Namun tidak lama kemudian Louis Otten dikabarkan telah meninggal dunia. Ini
dapat dilihat dalam iklan keluarga yang dimuat Algemeen Handelsblad, 09-11-1946.
Disebutkan dalam iklan tersebut bahwa hari ini (9 September 1946) Otten
meninggal dalam usia 63 tahun dalam status duda.
De West : nieuwsblad uit en voor
Suriname, 11-11-1946): Dr. Louis Otten, direktur Pasteur Instituut di Bandoeng,
yang merupakan penemu vaksin melawan wabah sampat, meninggal pada hari Kamis
pada usia 63 tahun akibat serangan jantung. Dr. Otten, datang setelah sejumlah
wilayah dikuasai kembali oleh Belanda. Dia berada dalam kondisi lemah sebagai
akibat dari pemenjaraan di kamp konsentrasi di Jawa’.
Pada tahap berikutnya
Belanda yang melakukan serangan terhadap TRI dan penduduk yang kemudian dikenal
yang disebut Politie Actie atau Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II
(1948). Pada saat ibukota RI berada di Djogjakarta yang menjabat sebagai kepala
dinas kesehatan Djogjakarta adalah Dr. Parlindoengan Lubis kelahiran Batang
Toroe Padang Sidempoean, orang Indonesia satu-satunya yang pernah ditahan militer
Jerman di kamp konsentrasi NAZI. Parlindoengan Lubis adalah Ketua Perhimpoenan
Indonesia di Belanda (1936-1940).
Satu kejadian dalam agresi militer
di Djogjakarta ini adalah ditangkapnya sebanyak enam orang ilmuwan Indonesia
pada hari pertama agresi militer Belanda di Djogjakarta dan yang pertama
ditembak mati adalah Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D. Mendengar aksi teror
Belanda ini membuat PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan
penyelidikan segera (lihat De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad
voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Dr, Masdoelhak
Nasution, Ph.D adalah panasehat hukum Soekarno dan Mohamad Hatta. Dr,
Masdoelhak Nasution, Ph.D meraih gelar doktor di bidang hukum di Utrecht
(Rijksuniversiteit) pada tahun 1943 dengan predikat suma cum laude. Friesche
courant, 27-03-1943 memberitakan Masdoelhak gelar Managaradja Hamongangan berhasil
mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de
Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Dr,
Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah saudara sepupu dari dokter Dr. Ida Loemongga,
Ph.D, perempuan Indonesia pertama bergelar doktor, Kematian Dr, Masdoelhak
Nasution, Ph.D telah menambah daftar ilmuwan asal Padang Sidempoean (Afdeeling
Mandailing dan Angkola) yang menjadi korban akibat ulah keji dari imperialis
Belanda dan Jepang. Catatan: dokter pertama periah gelar Ph.D adalah Dr. Soewarno
(1919) dan yang kedua adalah Dr. Sardjito (1923). Sedangkan ahli hukum pertama
periah gelar Ph.D adalah Mr. Gondokoesoemo (1922), sedangkan yang keempat adalah
Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (1925) kelahiran Batang Toroe Padang
Sidempoean dengan desertasi berjudul: ‘Het
grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Perempuan
pertama asal Sumatra yang menjadi sarjana hukum adalah putri Radjamin Nasution (wali
kota pertama Soerabaja) yang bernama Sheherazade Radjamin (1955) sedangkan
yang kedua adalah putri Parada Harahap yang bernama Aida Dalkit Harahap (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
25-05-1956).
Universitas Gadjah Mada
di Djogjakarta adalah universitas negeri di Indonesia pertama yang didirikan
oleh Pemerintah Republik Indonesia. Cikal bakal Universitas Gadjah Mada di
Djogjakarta sudah muncul usaha pendirian Universitas Gadjah Mada segera setelah
ibukota RI pindah ke Djogjakarta pada tanggal 3 Maret 1946 atas inisiatif
Menteri Pendidikan RI. Universitas Gadjah Mada terdiri dari dua fakultas (faculteit
der rechten en faculteit der letteren).
Menteri Pendidikan RI saat itu
adalah Soetan Goenoeng Moelia. Awal pendidikannya dimulai tahun 1911 berangkat
studi ke Belanda mengambil bidang pendidikan.Setelah berhasil meraih gelar
sarjana pendidikan kembali ke tanah air dan menjadi guru dan berpindah-pindah
diantaranya sebagai guru HIS di Kotanopan. Pada tahun 1927 diangkat sebagai
anggota Volksraad yang jabatannya adalah ketua komite pendidikan pribumi. Pada
tahun 1929 berangkat lagi ke Belanda untuk melanjutkan studi doktoral. Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia kelahiran Padang Sidempoean berhasil
meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit
Leiden tahun 1933 dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de
moderne wetenschap' (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933). Soetan Goenoeng Moelia
adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoeddin (Perdana Menteri RI kedua) dan Mr.
Arifin Harahap (Menteri terlama dalam berbagai bidang selama tujuh tahun dalam tujuh
kabinet di era Presiden Soekarno).
Universitas Gadjah Mada
kemudian secara resmi sebagai universitas para Republiken (De waarheid, 25-03-1947).
Jumlah dosen semakin bertambah. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 29-10-1948 memberitakan Mr. Iwa Koesoemasoemantri
diangkat sebagai profesor di universitas Gadjah Mada di Djokjakarta pada
tanggal 1 November. Ada kemungkinan bahwa Mr Moh. Jamin juga akan menjadi
profesor untuk posisi dosen. Mr. Iwa Koesoemasoemantri adalah sekretaris
Universitas Gadjah Mada (Limburgsch dagblad, 05-08-1949).
De locomotief, 08-12-1949 |
Pada masa pendudukan
Belanda (1945-1949) Belanda kembali menyelenggarakan pendidikan tinggi. Universiteit
van Indonesie dibuka kembali pada tanggal 21 Januari 1946 (tidak lama setelah
ibukota RI mengungsi ke Djogjakarta).
Universiteit van Indonesie dibentuk
dari tiga sekolah tinggi, Technisch Hoogeschool di Bandoeng, Rechts Hoogeschool
di Batavia dan Geneesgundige Hoogeschool di Batavia. Fakultas Seni dan Filsafat
(Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan
memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940 dan kemudian disusul Faculteit
der Landbouwwetenschap di Buitenzorg. Saat pendudukan Jepang, Universiteit van
Indonesie berhenti tetapi dihidupkan kembali oleh pemerintah militer jepang
namun tidak berjalan lancar.
Jumlah fakultas yang
sebelumnya bertambag fakultas ekonomi (faculteit der economische). Oleh karena
situasi dan kondisi yang sulit setelah Belanda kembali ke Indonesia ada kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi
dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946).
Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri
dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua dibawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad,
24-10-1947).
Fakultas yang ada terdiri dari
Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas
Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian
(faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas
Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale
weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte).
Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap)
dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng.
Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan
jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute
(tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan
pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang
ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di bawah
naungan Universiteit Indonesie.
Dengan dimulainya
otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik menggagas
dan mendirikan perhimpunan mahasiswa Universiteit van Indonesie. Dengan
kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama
Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20
November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru
sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama
anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia).
Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia.
Sebelumnya Lafran Pane di
Djogjakarta bersama teman-temannya yang lain mendeklarasikan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Lafran Pane kemudian menjadi Presiden
pertama Himpunan Mahasiswa Islam. Lafran Pane memulai pendidikan di Akademi
Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Universitas Gajah Mada pada bulan April 1948. Universitas swasta ini
lalu kemudian diakuisi pemerintah republik 1949 dan menjadi universitas RI dan
akademi ini berubah menjadi fakultas. Lafran Pane menggagas perlunya dibentuk
organisasi mahasiswa Islam untuk turut memberi wadah dalam situasi politik
perang. Lafran Pane adalah adik dari sastrawan terkenal Sanoesi Pane dan Armijn
Pane. Ini mengingatkan kembali ke awal organisasi mahasiswa pertama didirikan
oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908 yang
disebut Indisch Vereeniging. Ini bukan serba kebetulan bahwa Soetan Casajangan,
Lafran Pane dan Ida Nasution sama-sama berasal dari Padang Sidempoean.
Sementara itu, pada
tanggal 19 Desember 1949 sebanyak enam fakultas diresmikan sebagai bagian dari
Universitas Gadjah Mada yang diatur dalam PP No.23 tahun 1949. Ini terjadi
menjelang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Presiden
Universitas Gadjah Mada yang pertama diangkat Prof. Dr. Sardjito, Ph.D. Proklamasi
Universitas Gadjah Mada sebagai universitas republik dan pengangkatan Dr.
Sardjito, Ph.D sebagai presiden (baca: rektor) pertama universitas menjadi satu
titik penting dalam sejarah nasional Indonesia. Universitas Gadjah Mada
didirikan oleh para Republiken pada era RI, tepat sehari sebelum dibentuk RIS
tanggal 20 Desember 1949.
Indonesia pasca KMB 1949
sejatinya terbelah-belah bagaikan buah belimbing: antara negara-negara federal
dan daerah otonono di satu pihak dan wilayah-wilayah republik (RI) di pihak
lain. Negara-negara federal adalah negara setengah Belanda alias negara-negara
boneka bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur, Negara
Pasoendan, Negara Sumatra Selatan, Negara Indonesia Timur dan lainnya.
Sementara negara-negara otonomi diantaranya ditemukan di pulau Kalimantan.
Sedangkan wilayah RI hanya tinggal secuil dan wilayah RI yang seteril hanya
tinggal wilayah Djogjakarta (dan sekitarnya) dan wilayah Tapanoeli. Saat ini wilayah
Indonesia disebut negara RIS, singkatan dari Republik Indonesia Serikat. Meski namanya berlabel Republik Indonesia
tetapi sesungguhnya hanya sebagian kecil yang masih Republik Indonesia.
Sebagian besar adalah wilayah yang menjadi negara-negara federal (dimana
Belanda masih memiliki pengaruh kuat). Satu wilayah negara federal dimana
orang-orang Republiken cukup dominan adalah Negara Sumatra Timur (NST). Dalam
situasi yang tidak menguntungkan para Republiken ini, justru Soekarno dan
Mohammad Hatta ‘mengingkari’ RI dan menjadi Presiden RIS yang mana Mohamamd
Hatta sebagai Perdana Menteri beserta para menteri kabienetnya yang
berkedudukan di Djakarta/Batavia, sementara wilayah RI (RI 100%) beribukota di
Djogjakarta dimana terdapat Presiden, Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri
serta para menterinya. Presiden RI di Djogjakarta adalah Mr. Assaat, Perdana
Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap.
Dalam perkembangannya
para Republiken di berbagai wilayah mulai gerah karena terjadi dua
(kepemimpinan) pemerintahan yang mana kepemimimpinan pemerintahan RI dalam
posisi yang tidak menguntungkan. Lalu, mulai ada gerakan yang menghubungkan RI
di Djogjakarta (Abdoel Hakim Harahap) dan Republiken di Medan (NST) yang
dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap (adik kelas Dr. Sardjito dulu di STOVIA).
Gerakan ini memunculkan protes keras (semacam permberontakn) ke pusat RIS di
Batavia. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya
menyelenggarakan Kongres Rakyat di NST. Gerakan RI dan Kongres Rakyat ini
sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta dan para pentolan NST
kasak-kusuk ke Batavia/Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat kongres
tersebut. Namun gerakan RI dan Kongres Rakyat yang dislenggarakan pada tanggal
25 April 1950 hasilnya adalah Bubarkan NST dan Bentuk NKRI. Hasil ini membuat Presiden
Ir. Soekarno menjadi paham dan lalu memberikan dukungan terhadap Hasil Kongres
di Medan dan mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI. Proses perubahan RIS menjadi
NKRI ini butuh waktu hingga jelang tanggal 17 Agustus 1950. Pada tanggal 17
Agustus 1950 di Medan peringatan hari kemedekaan dilakukan dengan inspektur
upacara Mr. GB Josua Batubara (pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara
ini untuk kali pertama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja. Dengan lagu
Indonesia Raya tersebut, Medan dan sekitarnya benar-benar merasakan kemerdekaan
sejati oleh para Republiken.
Selama gerakan RI dan Kongres Rakyat
di Medan di Djogjakarta tenang-tenang saja, kecuali mungkin Wakil Perdana
Menteri Abdoel Hakim yang terus memantau perkembangan. Namun suasana menjadi
lain ketika situasi semakin menguat membubarkan RIS dan membentuk NKRI, para
menteri kabinet Mohammad Hatta menginginkan Universitas Gadjah Mada dipindahkan
ke Djakarta, digabungkan dengan universitas yang ada di Djakarta. Djogjakarta
bereaksi dan senat Universitas Gadjah Mada melakukan rapat mendadak di ruang
pertemuan Fakultas Kedokteran (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 25-05-1950). Diseutkan Prof. Dr. Sardjito mewakuli senat
setelah rapat menyatakan bahwa universitas (Gadjah Mada) harus tetap di Djogja,
sebab itu penting karena Djogjakarta adalah pusat perjuangan. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Kabinet Halim) S. Mangunsarkoro mengamini hasil keputusan
rapat senat Gadjah Mada. Presiden Mr. Assaat juga melontarkan pendapat bahwa
tidak pada tempatnya untuk memindahkan Universitas Gadjah Mada. Selamatlah
Universitas Gadjah Mada hingga hari ini tetap berada di Jogyakarta.
Di tingkat pusat NKRI
baru terlaksana pada tanggal 6 September 1950 yang mana PM Mohammad Hatta harus
mengundurkan diri dan kabinetnya dibubarkan yang lalu kemudian ditunjuk M.
Natsir sebagai Perdana Menteri yang baru dalam konteks NKRI. Yang mana sebagai
Presiden tetap Soekarno dan Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Negara-negara
federal lainnya lalu kemudian turut dibubarkan. Dan dengan demikian, tentu saja
pemerintahan RI di Djogjakarta lega dan legowo membubarkan diri.
Djogjakarta sebagai pusat perjuangan
sebagai salah satu alasan Universita Gadjah Mada tetap berada di Djogjakarta juga
terungkap ketika RIS beribukota di Djakarta, di Djogjakarta Wakil Perdana
Menteri RI Abdoel Hakim Harahap memimpin langsung pemindahan semua pahlawan
yang gugur dalam berjuang melawan Belanda untuk disatukan di dalam satu tempat
pemakaman yang kemudian disebut Taman Makam Pahlawan. Terkait dengan taman
makam pahlawan Djogjakarta ini Presiden Assaat menginisiasi pembangunan masjid
raya baru yang disebut Masjid Syuhada (masjid para pejuang). Taman Makam
Pahlawan Djogjakarta adalah yang pertama di Indonesia. Boleh jadi Abdoel Hakim
Harahap merasakan arti perjuangan dan bagaimana cara menghormati para pejuang yang
telah gugur karena Abdoel Hakim Harahap sendiri pada era Agresi Militer Belanda
II (dimulai 19 Desember 1948) adalah Residen Tapanoeli yang ikut bergerilya dan
berperang melawan militer Belanda di seputar Afdeeling Padang Sidempoean.
Sedangkan taman makam pahlawan di Djakarta baru direncanakan pada tahun 1952
yang merupakan usul ketua komisi pertahanan di parlemen Zainoel Arifin Pohan dengan
membentuk Biro Konstruksi Nasional dan yang sekaligus ketuanya. Taman Makam
Pahlawan Kalibata lalu diresmikan oleh Zainoel Arifin Pohan tahun 1954. Zainoel
Arifin Pohan adalah panglima Hizbullah, ketua parlemen, pendiri Partai NU dan
Wakil Perdana Menteri.
Dr. Djabangoen Harahap dkk telah
mendudukkan kembali Ir. Soekarno menjadi Presiden NK(RI) dan juga mengantarkan
Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara. Abdoel Hakim Harahap
adalah pejabat ekonomi di Djawa di era Belanda yang ditunjuk militer Jepang
menjadi ketua dewan di Tapanoeli. Pada era perang kemerdekaan Indonesia, Abdoel
Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli. Dalam delegasi RI ke konferensi KMB di
Den Haag, Abdoel Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda,
Inggris dan Prancis) bertindak sebagai penasehat ekonomi. Namun hasil sidang
KMB tidak menguntungkan RI yang mana RIS yang berbau Belanda tidak disetujui
oleh Abdoel Hakim Harahap yang lalu kemudian sepulang dari KMB di Den Haag
langsung hijrah ke Djogjakarta untuk bergabung dengan para Republiken (100 %
RI).
Setelah Indonesia
kembali ke (NK)RI, Universitas Gadjah Mada, universitas para Republiken (100%
RI) dengan cepat tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito, Ph.D dalam hal ini
cukup menonjol. Para senat Universitas Gadjah Mada tampaknya lega setelah Ir.
Soekarno mendukung penuh NKRI. Ir. Soekarno yang sempat ‘mengingkari’ RI dan
membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat Universitas Gadjah
Mada.
Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno
terus berjuang demi NKRI. Senat Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan
memberikan gelar doktor honaris causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe
courant, 20-09-1951). Promosi gelar tersebut dilakukan di auditorium Universitas
Gadjah Mada. Presiden Universitas, Profesor Sardjito membuka sidang dan
kemudian membacakan isi penganugerahan itu lalu diserahkan kepada Presiden
Soekarno. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan pidato.
Sementara
fakultas-fakultas Universiteit van Indonesie (yang notabene dulu berada di
wilayah negara federal) secara berangsur-angsur digeser dan diubah menjadi
universitas yang mandiri seperti Universitas Indonesia di Djakarta, Institut
Teknologi Bandoeng di Bandoeng dan Universitas Airlangga di Soerabaja.
Di Djakarta kegiatan
Universitas Indonesia dimulai pada tanggal 2 Februari 1951. Ini dilakukan
setelah dileburnya Badan Perguruan Tinggi RI dengan Universiteit van Indonesiea
dengan mengusung nama Universiteit Indonesia atau Universitas Indonesia. Selanjutnya
dibentuk Jajasan Universitas Indonesia (lihat De vrije pers : ochtendbulletin,
26-07-1951). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Indonesia. Yang
menjadi Presiden Jajasan (sekaligus Presiden Universitas Indonesia) adalah
Prof. Dr. Mr. Soepomo (ahli hukum Indonesia yang keenam peraih gelar Ph.D).
Akta pendirian Univeristas Indonesia dibuat oleh notaris Mr. Soewandi (notaris
Indonesia pertama). Bedanya Universitas Indonesia yang dipimpin Prof. Mr.
Soepomo dengan Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sardjito
adalah di Universitas Indonesia masih banyak dosen dan guru besar orang-orang
Eropa/Belanda, Universitas Gadjah Mada (sejauh ini) seluruh dosen adalah orang
Indonesia. Fakultas-fakultas Universitas tersebar di Djakarta, Bogor, Bandoeng
dan lainnya. Di Padang didirikan
sekolah tinggi hukum, perguruan tinggi pertama di Sumatra. (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 22-08-1951). Disebutkan dalam pembukaannya dihadiri oleh Prof. Mr.
Hazairin Harahap, Ph.D. Pendiri sekolah hukum ini adalah Mr. Egon Hakim
Nasution, sarjana hukum alumni Universiteit Leiden, anak wali kota Padang, Dr.
Abdoel Hakim (sekelas dengan Dr, Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School
di Batavia). Di Medan dibentuk
Jajasan Universitas Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952). Jajasan ini adalah badan
penyelenggara Universitas Sumatra Utara. Presiden Jajasan adalah Abdoel Hakim
Harahap (gubernur Sumatra Utara) yang mana dalam susunan dewan terdapat Dr.
Mohamad Ildrem Siregar, alumni fakultas kedokteran Universiteit Amsterdam,
bendahara Perhimpoenan Indonesia (1936-1940). Akta pendirian Univeristas
Sumatra Utara dibuat oleh notaris Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoeman
(notaris Indonesia kelima). Di Soerabaja
didirikan Universitas Airlangga yang langsung diresmikan oleh Presiden Soekarno
pada tahun 1954 (De nieuwsgier, 12-11-1954).
De nieuwsgier, 24-09-1952 |
Lafran Pane akhirnya
lulus ujian dan menjadi sarjana di Fakultas Ilmu Politik di Universitas Gadjah
Mada pada tanggal 26 Januari 1953. Lafran Pane kelahiran Padang Sidempoean sendiri
terbilang sebagai sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Lafran Pane adalah
pendiri organisasi mahasiswa HMI di Djogjakarta pada tahun 1947. Kelak, di
fakultas ini menyusul Ashadi Siregar, lulusan SMA Padang Sidempoean (1964)/
Ashadi Siregar lalu menjadi dosen di departemen Publisistik/Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Ashadi Siregar juga terkenal sebagai
penulis novel produktif (12 novel) dengan novelnya yang terpopuler berjudul
Cintaku di Kampus Biru. Mungkin maksud Ashadi Siregar adalah cintanya terhadap
Universitas Gadjah Mada.
Enam fakultas
Universitas Gadjah Mada diantaranya fakultas ilmu politik, fakultas hukum, fakultas
kedokteran dan fakultas teknik. Sebelum digabungkan sebagai bagian dari
Universitas Gadjah Mada, fakultas teknik adalah sekolah tinggi teknik yang
didirikan oleh Prof. Rooseno (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-08-1953).
Sementara itu, Universitas Indonesia yang fakultas-fakultasnya terdapat di
beberapa kota terus dilakukan konsolidasi. Presiden Universitas Indonesia masih
dijabat Prof. Mr. Soepomo, sebagaimana Presiden Universitas Gadjah Mada masih
dijabat oleh Prof. Dr. Sardjito. Dies natalis yang ketiga (1953) Universitas
Indonesia akan diselenggarakan di Bandoeng yang diadakan di aula van de
technische faculteit (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 30-01-1953). Dies natalis Universitas Gadjah Mada yang
keempat baru akan dilakukan bulan Desember (De nieuwsgier, 21-12-1953).
Presiden Soekarno mengundang Prof. Sardjito
untuk presentasi di Istana Merdeka (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 22-07-1953). Presiden Universitas Gadjah Mada di depan
Presiden Soekarno yang juga turut dihadiri Menteri Pendidikan Bahder Djohan dan
para profesor dari Universitas Indonesia menyampaikan kertas kerjanya tentang arkeologi
dan sejarah (seni) patung di Indonesia. Dalam pertemuan ini yang boleh
dikatakan sebagai pertemuan ilmiah, Presiden Soekarno juga ikut memberikan
pandangannya terhadap sejarah patung. Presiden Soekarno bertanya apakah tjandi
seperti Borobudur dan Mendut, dan struktur kemudian, seperti Javasche Bank,
dapat dianggap sebagai ekspresi artistik Indonesia. Presiden Soekarno menjawab
sendiri bahwa sesainnya berasal dari orang asing, tetapi dalam hal apapun,
orang Indonesia yang telah berkontribusi pada bangunan-bangunan itu dengan
pengetahuan mereka tentang kerajinan yang dapat dianggap sebagai kontributor. Undangan
Presiden Soekarno ini seakan presentasi balasan yang mana pada tahun 1951 Prof.
Sardjito mengundang Presiden Soekarno untuk berpidato di Universitas Gadjah
Mada dalam rangka pemberian gelar doktor honoris causa.
Prof. Sardjito memimpin
delegasi Indonesia ke kongres sains kedelapan di Manila (De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-11-1953).
Kongres ini adalah kongres Asia Pasifik yang berada dibawah naungan UNESCO yang
telah berjalan dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam delegasi yang berjumlah (12
orang) 12 kertas kerja ini juga terdiri dari para profesor dari Djakarta,
Bandung, Bogor. Anggota delegasi dari Bandoeng terdiri dari tiga orang yang
semuanya profesor berkebangsaan Belanda. Disebutkan kongres ketujuh telah
diadakan di Bogor pada bulan Januari tahun lalu.
Pada awal tahun 1954 Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada membuka cabang di Semarang (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-01-1954).
Disebutkan perguruan tinggi farmasi ini adalah perguruan tinggi yang pertama di
Semarang. Pembukaan dilakukan oleh Presiden Universitas Gadjah Mada yang turut
dihadiri Prof. Sardjono dan Prof Mr Notonegoro dan undangan lainnya seperti
Overste Saragih, Komandan Teritorial. Perguruan tinggi cabang fakultas farmasi
ini dibimbing oleh enam dosen antara lain Liem Han Tjioe dan Liem Hok Ie. Pada
tahun 1951 di Soerabaja sudah berdiri perguruan tinggi farmasi, jauh sebelum
Univesitas Airlangga didirikan. Salah satu dosen perguruan tinggi farmasi di
Soerbaja ini adalah Ismail Harahap. Sekolah farmasi/apoteker
(artsenubereidkunst) kali pertama diadakan pada tahun 1938. Pada tahun 1941
lulus apoteker sebanyak 17 orang salah satu diantaranya Ismail Harahap (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1940). Ismail
Harahap awalnya ditempatkan pemerintah di Batavia tetapi tahun 1941 dipindahkan
ke Soerabaja. Setelah pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda, pada tahun 1951 pemerintah Republik Indonesia membuka sekolah tinggi farmasi di Soerabaya. Kepala
sekolah yang ditunjuk adalah Dr. GP Parijs (Belanda) dan dosen adalah Drs. Gouw
Soen Hok, Yap Tjiong Ing, Tjoa Siok Tjong dan Ismail Harahap. Sekolah farmasi Soerabaya
tersebut mewisuda pertama pada tanggal 27 Juni 1954 (lihat De vrije pers:
ochtendbulletin, 29-06-1954). Beberapa dosen farmasi di Semarang dan dosen di
Soerabaja terindikasi adalah seangkatan dengan Ismail Harahap di Artsenubereidkunst
1938-1940. Boleh jadi dosen-dosen fakultas farmsi Univesitas Gadjah Mada di
Djogjakarta adalah lulusan Artsenubereidkunst. Sekolah farmasi Soerabaja ini
kemudian ikut bergabung dalam pendirian Universitas Airlangga (1954). Ismail
Harahap adalah ayah dari Datoe Oloan Harahap yang lebih dikenal sebagai Ucok
AKA Harahap, pionir musik rock Indonesia.
Dr. Sardjito sudah
menjadi presiden Unversitas Gadjah Mada ssejak 1949. Pada tahun 1954 Dr/
Sardjito sudah memimpin universitas selama lima tahun. Pada rapat tahunan yang
dipimpin Dr. Sardjito terungkap bahwa jumlah mahasiswa sebanyak 7444 orang,
dosen sebanyak 122 serta asisten dosen
sebanyak 115 orang, tigas asisten WHO, sebanyak 28 orang profesor asing
termasuk 21 profesor Belanda (De vrije pers : ochtendbulletin, 20-09-1954).
Disebutkan dari hasil rapat tahunan ini fakultas voor juridische, economische,
sociale en politieke wetenchappèn akan dipecah menjadi tiga fakultas: Faculteit
voor juridische; Faculteit voor Sociale en Economische; dan Faculteit voor politieke
wetenchappèn.
De nieuwsgier, 21-09-1954: ‘Universitas
Gadjah Mada saat ini memiliki 7.444 mahasiswa. Sebanyak 1.944 mahasiswa
kedokteran dan farmasi, sebanyak 3.101 mahasiswa ilmu hukum, ekonomi, sosial
dan politik. Sementara sebanyak 1.113 mahasiswa teknik dan sebanyak 419
mahasiswa pertanian. Sedangkan mahasiswa filsafat, litarature dan pedagogi’.
Presiden Universitas
Gadjah Mada Prof. Sardjito mulai menghadapi kesulitan dalam soal dosen. Ini
terkait dengan pendirian Universitas Air langga di Soerabaja. Sejumlah dosen
dan profoesor yang mengajar di Universitas Airlangga juga adalah dosen dan
profesor di Universitas Gadjah Mada, Untuk mencari solusi telah bertemu dan
mendiskusikan persoalan ini antara Presiden Universitas Airlangga di Surabaya,
Prof. AG Pringgodigdo dan Prof. Sardjito (Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 01-12-1954). Prof. Sardjito menyatakan bahwa para profesor yang mengajar
di Universitas Airlangga akan tetap sebagai profesor Universitas Gadjah Mada
karena mereka memegang keputusan pengangkatan sebagai profesor di Universitas Gadjah
Mada. Namun, Universitas Gadjah Mada akan terus mendukung Universitas Airlangga
yang belum memiliki profesor dan dosen yang berkualitas. Sebelum pertemuan dua
presiden univeritas ini sebelumnya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
sempat ditutup setelah pembukaan resmi Universitas Airlangga oleh Presiden
Soekarno. Hal ini karena sebelumnya tidak ada kontak yang dilakukan antara
Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada.
De vrije pers: ochtendbulletin, 11-11-1954 |
Sebagaimana Universitas
Gadjah Mada, sebelum Universitas Airlangga didirikan sudah berdiri beberapa
perguruan tinggi di Soerabaja. Salah satu perguruan tinggi tersebut adalah
fakultas kedokteran Soerabaja yang merupakan kelanjutan sekolah kedokteran di
era kolonial Belanda (NIAS) dan menjadi bagian dari Universiteit Indonesia.
Salah satu profesor fakultas kedokteran Soerabaja tersebut adalah Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D, alumni STOVIA yang meraih gelar Ph.D di Belanda tahun 1930. Pada tahun
1935 Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat sebagai kepala laboratorium Soerabaja.
Saat ini Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga adalah Kepala Dinas Kesehatan di Jawa
Timur. Di era kolonial Belanda Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga pernah menjabat
kepala dinas kesehatan Residentie Soerabaja dan juga Residentie Kediri. Fakultas kedokteran ini menjadi salah satu
pendukung didirikannya Universitas Airlangga.
De vrije pers:
ochtendbulletin, 06-04-1951: ‘Fakultas kedokteran. Dengan keputusan Menteri
Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter di klinik dokter praktik di
Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter kelas satu, di Departemen Bedah, Fakultas
Kedokteran di Soerabaja’.
Dr. Sardjito akan
berakhir masa jabatannya sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada. Dr. Sardjito
mulai menjabat pada tanggal 19 Desember 1949. Ini berarti pada tanggal 19
Desember 1954 Dr. Sardjito telah menjadi Presiden Universitas Gadjah Mada selama
lima tahun. Kini, Dr. Sardjito sudah lima tahun lebih menjabat. Dalam rapat
kabinet diputuskan pengangkatan kembali Profesor M. Sardjito sebagai Presiden
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1955). Sejauh ini memang, Dr.
Sardjito terbilang sukses menata dan mengembangkan Universitas Gadjah Mada.
Alasan itulah yang besar kemungkinan mengapa Dr. Sardjito masih dipecaya
pemerintah untuk menjabat sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada untuk
periode kedua (1955-1960). Beberapa hari kemudian Dr. Sardjito menghadiri acara
pemisahan fakultas di Universitas Airlangga di Soerabaja.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-04-1955:
‘Di hadapan Presiden Universitas Gadjah Mada dan Presiden Universitas Indonesia,
banyak dosen dan profesor dari Universitas Airlangga dan banyak tamu undangan,
Sabtu Menteri Pendidikan, Mohamad Jamin, Ketua dan anggota Dewan Pengawas dan Presiden
Universitas Airlangga di auditorium fakultas kedokteran di Surabaja. Setelah
membaca teks pemisahan Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, dan teks pemisahan Fakultas Ilmu Hukum dan Fakultas Ekonomi,
Sosial dan Politik dari Universitas Gadjah Mada, masing-masing oleh Presiden
Univeristeit Indonesia, Prof. Bahder Djohan dan Presiden Universitas Gadjah
Mada, Prof. Sardjito, menandatangani akta pemisahan empat fakultas. Menteri
Pendidikan mengatakan dalam sambutannya bahwa, berkat keunggulan
universitas-universitas di Universita Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, maka
Universitas Airlangga dapat didirikan. Berbicara tentang masa depan Universitas
Airlangga, Mohamad Jamin mengatakan bahwa jumlah profesor dan dosen akan
ditambah sesegera mungkin. Jumlah fakultas di Universitas Airlangga juga akan
diperluas, sementara pembangunan blok bangunan yang dibutuhkan akan dipercepat.
Mohamad Jamin mengatakan bahwa dana yang diperlukan tersedia meskipun fakta
bahwa kondisi keuangan, seperti yang dia katakan, saat ini masih ‘gelap’. Dalam
pidatonya setelah penandatanganan akta pemisahan empat fakultas, Prof.
Sardjito, Presiden Universitas Gadjah Mada memnberi gambaran singkat tentang
perkembangan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada di Soerabaja sejak
didirikan. Jumlah keseluruhan mahasiswa adalah 169 mahasiswa, yang mengikuti ujian
pendahuluan, diantaranya sebanyak 12 mahasiswa telah lulus (66.4%) dan dari 21 mahasiswa
yang mengikuti ujian akhir, diantaranya 14 berhasil (66,7%). Setelah acara resmi,
Menteri, para presiden universitas, dewan para kurator, para profesor, dosen dan
tamu yang hadir menuju ruang resepsi, dimana dilakukan acara pemberian ucapan selamat
kepada Presiden Universitas Airlangga dan Dewan Pengawas’.
Dr. Sardjito dan dan Parada Harahap: Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) Presiden Soekarno
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar