Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Bank Indonesia sejatinya dicatat secara keliru. Sejarah Bank Indonesia seoralh-olah dimulai tanggal 1 Juli 1953 (seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953). Sementara pengakuan (kemerdekaan) Indonesia oleh Belanda sudah berlangsung sejak 27 Desember 1949 (hasil perjanjian KMB di Den Haag). Periode antara 27 Desember 1949 hingga 1 Juli 1953 tidak dicatat Bank Indonesia sebagai bagian sejarahnya Bank Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian penjelasan Bab-VIII, Pasal 23 tentang Keuangan dinyatakan akan membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sejarah Bank Indonesia sejatinya dicatat secara keliru. Sejarah Bank Indonesia seoralh-olah dimulai tanggal 1 Juli 1953 (seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953). Sementara pengakuan (kemerdekaan) Indonesia oleh Belanda sudah berlangsung sejak 27 Desember 1949 (hasil perjanjian KMB di Den Haag). Periode antara 27 Desember 1949 hingga 1 Juli 1953 tidak dicatat Bank Indonesia sebagai bagian sejarahnya Bank Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian penjelasan Bab-VIII, Pasal 23 tentang Keuangan dinyatakan akan membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Gedung Bank Indonesia (eks Javasche Bank) |
Pertanyaannya: Mengapa pimpinan bank sentral
Indonesia Sjafroeddin Prawiranegara seolah-olah baru dimulai tahun 1953 padahal
secara defacto Sjafroeddin Prawiranegara sudah bertanggungjawab penuh sejak
1951? Lantas kemudian mengapa fase transisi ini tidak dianggap penting, dan sejarah
Bank Indonesia baru dianggap penting sejak diberlakukannya Undang--Undang Pokok
Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Padahal esensi fase transisi ini
justru seharunya lebih penting sebagai bagian sejarah Indonesia jika
dibandingkan dengan sejarah fase Javasche Bank dan sejarah fase Bank Indonesia.
Akibat keliru dalam mencatat esensi sejarah yang penting, peran Lukman Hakim
menjadi tenggelam dan peran Sjafroeddin Prawiranegara seakan segalanya.
Padahal, Lukman Hakim adalah orang Indonesia yang paling berperan penting dalam
membidani peralihan Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Lukman Hakim adalah
pelopor Bank Indonesia. Inilah sejarah Bank
Indonesia yang sebenarnya.
Lukman Hakim dan Bank Indonesia
Jauh sebelum Sjafroeddin Prawiranegara
dilibatkan di bank sentral, Lukman Hakim sudah berperan penting. Ini dimulai
pada akhir era RIS (1950). Pada awal era (NK)RI, Lukman Hakim, mantan Menteri
Keuangan Republik Indonesia di Djogjakarta ditunjuk sebagai Direktur Javasche
Bank (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-09-1950). Lukman Hakim
adalah Menteri Keuangan Kabinet RI (20 Desember 1949-6 September 1950)
sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara adalah Menteri Keuangan Kabinet RIS RI (20
Desember 1949-6 September 1950). Ketika Lukman Hakim ditunjuk sebagai Direktur
Javasche Bank, Sjafroeddin Prawiranegara diangkat sebagai Menteri Keuangan pada
Kabinet Natsir (sejak 6 September 1950).
Bank sentral di Indonesia (sejak pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949) diperankan
oleh Javasche Bank. Sebelum diberlakukannya pengakuan kedaulatan sudah
diputuskan bahwa hanya ada satu bank sirkulasi di seluruh wilayah Indonesia
(Amigoe di Curacao, 04-08-1949). Oleh karena bank swasta Javasche Bank lebih
baik dari Bank Negara Indonesia (BNI) maka untuk bertindak sebagai bank
sirkulasi alias bank sentral dipilih Javasch Bank, Sementera Javasche Bank
telah ditunjuk sebagai bank sirkulasi, BNI terus memperbaiki diri. Javasche
Bank sendiri dipimpin oleh Presiden Komisaris Dr. A. Houwink dengan satu direktur.
Dalam fase inilah Lukman Hakim ditunjuk sebagai direktur Javasche Bank sehingga
posisi direktur Javasche Bank menjadi tiga orang. Penunjukkan Lukman Hakim
dalam hal ini adalah sebagai pejabat pemerintah Republike Indonesia
(berdampingan dengan orang-orang swasta di Javasche Bank, bukan dengan
pemerintah Belanda). Sejak inilah Lukman Hakim memainkan peran penting untuk
Indonesia. Dalam susunan bank sentral ini Presiden Javasche Bank adalah orang
Belanda dari pihak BFO, sedangkan dua direktur adalah masing-masing RI dan BFO
(federalis) yakni Mr. Lukman Hakim perwakilan dari RI dan Indrakoesoema perwakilan
dari federalis (lihat De Telegraaf, 15-08-1950). Lalu dalam perkembangannya dua
orang Belanda yakni PA van Garderen dan Mr. FH Parmentie yang berposisi sebagai
wakil direktur (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 14-09-1950). Kedua
wakil ini diduga adalah orang-orang Javasche Bank. Untuk sekadar catatan bahwa
jika pemerintahan RIS terwujud maka ORI dan uang Belanda ditarik dari peredaran
dan digantikan oleh Oeang RIS (De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 19-12-1949).
Hal pertama yang dilakukan oleh Lukman Hakim
sebagai direktur di Javasche Bank adalah berangkat ke kantor pusat Javasche Bank di
Amsterdam (Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 12-09-1950). Disebutkan Lukman Hakim akan
berangkat akhir bulan September dan bertugas di Amsterdam selama enam bulan
untuk mempelajari berbagai hal terkait dengan Javasche Bank.
Kabinet Natsir dibubarkan dan digantikan Kabinet Sukiman pada
tanggal 20 Maret 1951. Perdana Menteri Natsir menawarkan pengundurdirian
kabinetnya kepada Presiden Soekarno setelah dua menteri PIR telah mengundurkan
diri dari kabinetnya (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 31-12-1951). Menteri
Keuangan Sjafroeddin Prawiranegara harus menyerahkan kepada penerusnya yang
baru Menteri Keuangan Jusuf Wibisono. Sejak tanggal 20 Maret Sjafroeddin
Prawiranegara tidak memiliki posisi jabatan alias menganggur. Namun tidak lama
kemudian Presiden Komisaris Javasche Bank Dr. A. Houwink dikabarkan mengundurkan
diri. Posisi ini menjadi peluang untuk ditempati oleh Sjafroeddin Prawiranegara.
Tanpa diketahui alasan Dr. A. Houwink menawarkan
pengundurkan diri sebagai Presiden Komisaris Javasche Bank kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 29 Mei. Setelah itu muncul rumor bahwa pemerintah
merekomendasikan yang menggantikannya adalah Sjafroeddin Prawiranegara (lihat
De nieuwsgier, 02-06-1951). Dalam berita ini juga disebutkan bahwa pemerintah
juga menginginkan Dr. Sumitro Djojohadikusumo tetap sebagai anggota dewan komisaris
yang tinggal di Eropa/Belanda. Pemerintah melalui Menteri Keuangan yang baru
Jusuf Wibisono akan menasionalisasi Javasche Bank.
Boleh jadi pengunduran
diri Dr. A. Houwink terkait dengan pengumuman pada tanggal 29 April yang mana Menteri
Keuangan yang baru Mr. Jusuf Wibisono mengatakan akan melakukan nasionalisasi terhadap
Javasche Bank. Menteri Keuangan juga mengatakan Javasche Bank dalam kondisi prospek.
Dengan demikian kronologisnya dapat disusun sebagai berikut: (1) Penemptanan
Mr. Lukman Hakim di Javasche Bank, adalah wujud dari perjanjian KMB yang mana
ditetapkan hanya satu bank sirkulasi atau bank sentral di Indonesia. Secara
dejure dapat dimulai pada tanggal 27 Desember 1949, tetapi secara defacto baru
direalisasikan pada bulan September 1950, saat Lukman Hakim telah berada di
jajaran pimpinan Javasche Bank, (2) Penggantian Presiden Javasche Bank, A.
Houwink yang menawarkan pengunduran diri dan (sebagaimana kita lihat dalam perkembangan berikutnya) penunjukan Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara merupakan awal proses nasionalisasi Javasche Bank yang dalam
prosesnya nama Javasche Bank diubah menjadi Bank Indonesia. Dalam fase proses
nasionalisasi ini Presiden Javasche Bank sudah dijabat oleh Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara dan komite persiapan nasionalisasi Javasche Bank sudah terbentuk.
Komite ini juga termasuk menyiapkan rancangan undang-undang pokok Bank
Indonesia. Tepat pada tanggal 1 Juli 1953 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia disahkan
dan struktur pimpinan (baru) Bank Indonesia diumumkan. Dengan diberlakukannya
undang-undang baru ini pimpinan bank yang berasal dari asing (Belanda) harus
meletakkan jabatan, tetapi para ahli/staf yang penting yang masih bekerja di
dalam bank tetap dipertahankan (sebagai pegawai non Indonesia).
Pada tanggal 28 Juni Menteri Keuangan membentuk
komisi untuk mempersiapkan nasionalisasi Javasche Bank. Pada tanggal 4 Juli sidang
kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden Javasche
Bank. Dalam hubungan ini pemerintah juga telah mengndang pakar keuangan dari
Jerman, Dr. Hjalmar Schacht.
Untuk memperkuat rencana pemerintah terhadap
nasionalisasi Javasche Bank pemerintah telah mengundang seorang pakar keuangan
dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht. Pakar ini tiba di Indonesia pada tanggal 3 Augustus
atas undangan pemerintah Indonesia. Dalam kedatangan Dr. Schacht ini, pemerintah
juga mengumumkan bahwa akan membeli saham Javasche Bank dengan harga 120% dari
nilai nominal.
Dr. Hjalmar Schacht adalah seorang
profesional yang tidak memihak siapapun bahkan terhadap PBB. Dr. Schacht
bekerja dengan kapasitasnya sebagai seorang ahli keuangan. Kemampuan Dr.
Schacht benar-benar tidak diragukan. Dr. Hjalmar Schacht bekerja untuk
kepentingan tuannya yang telah mengundangnya Pemerintah Indonesia. Kehadiran Dr.
Hjalmar Schacht telah menguntungkan Indonesia dan juga membuka peluang bagi
pemerintah untuk melakukan banyak hal dalam perbaikan ekonomi keuangan
Indonesia.
Dr. Hjalmar Schacht tampaknya menjadi seorang yang
netral. Namun kenetralannya telah menimbulkan hambatan bagi pihak lain. Salah
satu yang perlu dicatat adalah perwakilan PBB merasa terganggung dengan
kehadiran Dr. Hjalmar Schacht di Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober4 1951 dalam sebuah
resepsi di Djakarta, Dr. Keenleyside. Kepala Administrasi Bantuan Teknis
Perserikatan Bangsa-Bangsa menolak berjabat tangan dengan Dr. Schacht. Beberapa
hari kemudian pada tanggal 9 Oktober, Dr. Schacht mempresentasikan laporan
tentang temuannya di Indonesia. Apakah ada kaitannya atau tidak yang jelas pada
tanggal 19 Oktober, Pemerintah Indonesia membentuk suatu komite untuk merancang
suatu perjanjian biasa dengan Belanda (bentuk perjanjian internasional) untuk
mengganti klausal-klausal perjanjian KMB (bentuk perjanjian bilateral, dengan
semboyan cooperative tetapi lebih banyak merugikan Indonesia). Keyakinan
pemerintah selain menasionalisasi Javasche Bank juga semakin kuat untuk
menasionalisasi perusahan-perusahaan strategis bagi Indonesia. Ini terindikasi
pada tanggal 22 November 1951 pemerintah juga telah membentuk sebuah komite yang
bertugas untuk melakukan persiapan dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan
gas dan listrik.
Upaya pemerintah untuk menasionalisasi
Javasche Bank mendapat respon positif dari parlemen. Pada tanggal 30 November
1951, parlemen telah menyetujui deklarasi Rancangan Undang-Undang tentang nasionalisasi
Javasche Bank. Dalam situasi dan kondisi inilah Lukman Hakim, direktur Javasche
Bank dan Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden (komisaris) yang baru Javasche
Bank saling bahu membahu untuk menasionalisasi Javasche Bank dan menggantinya
dengan nama yang baru, yakni Bank Indonesia.
Sebagaimana diketahui, setelah perjanjian KMB, peran bank
sentral di Indonesia dilakukan oleh Javasche Bank (karena kapabilitas bank yang
dimiliki pemerintah, dalam hal ini BNI belum mampu melakukan tugas fungsi bank
sentral yang efektif. Javasche Bank, sebagai bank sentral di Indonesia selama
era RIS, pemerintah telah mengeluarkan uang kertas RIS, paling tidak untuk menggantikan
Oeang Republik Indonesia (yang dulu dikeluargkan di era perang di Djogjakarta).
Ketika RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah NK(RI) tetap
memberlakukan uang baru tersebut sebagaimana di dalam Undang-Undang tentang Mata
Uang pada tahun 1951 (yang telah menggantikan undang-undang tentang mata uang
kolonial Belanda yang berlaku sejak tahun 1912).
Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak
mudah dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena
keuangan Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di
Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini
terkait dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana
Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah
Belanda tidak terlalu meresponnya. Paralel dengan upaya nasionalisasi Javasche
Bank, Pemerintah Indonesia juga semakin mengebu-gebu untuk membebaskan Irian
Barat, sementara Pemerintah Belanda sebaliknya justru semakin memperkuat
pertahahan dengan mengirim pasukan dan peralatan militer ke Irian Barat. Dalam
hal ini, Lukman Hakim, direktur Javasche Bank telah berangkat ke Belanda dan
tiba pada hari Jumat Sore tiba di Belanda untuk kunjungan delapan hari (De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-05-1953).Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak
mudah dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena
keuangan Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di
Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini
terkait dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana
Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda
tidak terlalu meresponnya.
De vrije pers: ochtendbulletin, 24-01-1953:’Pada resepsi
ulang tahun ke-123 Javasche Bank di Soerabaja, seorang pembicara mengatakan
bahwa De Javasche Bank tidak dapat ditolak adalah Hadiah Nasional saat ini. De
Javanshe Bank, meskipun nama Belanda, namun sudah menjadi Lembaga Nasional,
yang bekerja untuk kepentingan Negara dan rakyat Indonesia. Keadaan ini berarti
bahwa warga negara Indonesia masih memiliki Belanda dan para pegawai asing
lainnya yang bekerja untuk Indonesia, tetapi meski sedang nasionalisasi bank mereka
tetap bekerja keras, tetapi perkembangan ini membutuhkan profesionalisme, dan
selama kita, sebagai warga negara terhormat dan warga negara ini (orangporang
Belanda) diperbolehkan untuk terus bekerja untuk kepentingan Indonesia. Hanya
ada satu tujuan: tindakan yang baik untuk melanjutkan dan menjaga bank (Javasche
Bank) berjalan baik, meskipun bank (Javasche Bank) akan segera mengubah
namanya, sebagai tanda keadaan baru yang berubah’.
De Telegraaf, 26-05-1953:’Direktur Javasche Bank. Mr.
Lukman Hakim yang tiba di Djakarta dari Belanda dalam kunjungan delapan atau
sembilan hari untuk membahas isu-isu rutin, sebagai tanggapan atas pertanyaan,
menyatakan bahwa Mr. Lukman Hakim tidak pesimis tentang masa depan
ekonomi-keuangan Indonesia. Suatu kondisi, bagaimanapun, adalah bahwa ada
keseimbangan dalam anggaran. Ketentuan impor terbaru menghasilkan hasil yang
baik dan oleh karena itu diharapkan akan lebih membaik di masa mendatang. Mr.
Lukman menekankan bahwa sebagai akibat dari nasionalisasi Javasche Bank, para pegawai
Belanda di Indonesia atau di Belanda akan diberhentikan. Dalam hal ini Lukman
Hakim menyatakan bahwa tujuannya adalah Indonesia akan memiliki dua fungsi
manajerial yakni fungsi yang lebih tingggi (komisaris) dan fungsi yang lebih
rendah (direksi) yang ditempati oleh orang Indonesia. Menurut Lukman Hakim
bahwa perubahan itu harus dilakukan tanpa terjadi guncangan bagi staf Belanda
yang sekarang sekarang dalam bekerja dalam pelayanan di Javasche Bank dan
diharapkan mereka akan tetap dapat melanjutkan kegiatan operasi secara normal.
Juga Mr. Lukman Hakim membantah pemberitaan bahwa Indonesia melakukan
pembayaran dengan kurs Europa sebagai akibat dari hubungan Indonesia dan
Belanda yang akan segera berakhir. Mr. Lukman Hakim menambahkan bahwa skema
yang ada sangat bagus, Mr. Lukman Hakim juga mengatakan bahwa Javasche Bank akan membatasi
pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Akhirnya, Mr.
Lukman Hakim memberi tahu bahwa undang-undang nasionalisasi Javasche Bank akan
segera ditandatangani oleh Presiden Soekarno, setelah itu pada tanggal 1 Juli sebuah
nama bank akan secara resmi diubah menjadi Bank Indonesia’.
Sejak kepulangan direktur Javasche Bank Mr.
Lukman Hakim dari Belanda, pemerintah dan otoritas bank sentral di Indonesia
(Javasche Bank) terus melakukan konsolidasi. Undang-Undang Pokok Bank Indonesia
telah diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1953. Ini sehubungan dengan tuntasnya
upaya nasionalisasi Javasche Bank. Dengan diberlakukannya undang-undang Bank
Indonesia maka Mr. H. Teunissen, salah satu direktur di Javasche Bank yang
merangkap wakil presiden terhitung tanggal 1 Juli harus mengundurkan diri dari
jabatannya, Susunan pimpinan baru Bank Indonesia telah ditetapkan (Het vrije
volk: democratisch-socialistisch dagblad, 14-07-1953). Disebutkan dewan eksekutif
Bank Indonesia terdiri sebagai berikut: Gubernur: Sjafroeddin Prawiranegara; direktur
adalah Mr. Lukman Hakim yang merangkap sebagai Wakil Gubernur dan Mr. Indrakoesoema.
Het nieuws: algemeen dagblad, 07-11-1951:’Sjafroeddin
Prawiranegara. mantan menteri keuangan dan sekarang Presiden Javasche Bank (baca:
Gubernur Bank Indonesia), menyatakan bahwa defisit 900 juta rupiah pada
anggaran tahun 1951 adalah karena jumlah besar yang diperuntukkan untuk ‘biaya
yang diperlukan’. Sebagai langkah-langkah untuk menutupi defisit, Sjafroeddin
Prawiranegara mengusulkan kemungkinan ekonomi terbesar dalam pengeluaran dan
menutupnya dengan pinjaman dalam negeri. Menurut Sjafroeddin Prawirangera kecenderungan
inflasi, yang katakan di beberapa kalangan, pada kenyataannya tidak ada,
Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar uang beredar, seperti diakui Sjafroeddin
Prawiranegara, tetapi bagian penting dari uang ini dirahasiakan oleh penduduk
dalam bentuk tabungan.
Sebelumnya berbagai kalangan sempat mengkhawatirkan
fungsi bank sentral akan berantakan setelah pengunduran diri Dr. A Houwink. Namun penunjukkan Sjafroeddin Prawiranegara
untuk menggantikan Houwink secara perlahan mampu menghilangkan persepsi
tersebut.
Kronologis susunan pimpinan Javasche Bank sebagai bank
sentral Indonesia pada awalnya teridiri dari sebagai berikut. Dr. A. Houwink
sebagai Presiden, H. Teunissen sebagai Wakil Presiden merangkap anggota. Mr.
Lukman Hakim dan Mr. Indrakoesoemo masing-masing sebagai anggota. Pada tahun
1951 Dr. A. Houwink mengundurkan diri dan digantikan oleh Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara. Pada jelang pemberlakukan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia
1953, H. Teunissen terpaksa mengundurkan diri. Susunan menjadi: Presiden Mr.
Sjafroeddin Prawiranegara; Wakil Presiden yang merangkap anggota Mr. Lukman
Hakim; dan Mr. Indrakoesoema sebagai anggota.
Dalam hal nasionalisasi Javasche Bank dan pergantian
namanya menjadi Bank Indonesia beberapa nomenklatur telah diubah. Sebelumnya di
era Javasche Bank posisi Presiden (komisaris) dianggap sebagai pimpinan
strategis. Setelah diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia, nomenklatur Presiden
(komisaris) telah diubah namanya menjadi Gubernur. Untuk nomenklatur direktur
tetap seperti sebelumnya. Ini berarti ketika Mr. Sjafroeddin Prawiranegara
ditunjuk pemerintah sebagai Presiden Javasche Bank pada tahun 1951 tugas dan
fungsi sejatinya tidak berubah ketika Mr. Sjafroeddin Prawiranegara ditunjuk
(kembali) sebagai Gubernur Bank Indonesia tahun 1953 (sesuai undang-undang yang
baru). Dengan demikian, pimpinan bank sentral di Indonesia seharusnya dicatat
sebagai berikut: 1949-1951 Dr. A. Houwink (Javasche Bank); 1951-1953 Mr.
Sjafroeddin Prawiranegara (Javasche Bank); 1953-1958 Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara (Bank Indonesia); 1958-1959 Mr. Lukman Hakim (Bank Indonesia);
dan demikian seterusnya.
Dalam hal ini sejarah Bank Indonesia
seharusnya dicatat sebagai berikut: pimpinan bank sentral Indonesia pertama
(Javasche Bank) adalah Dr. A. Houwink (1949-1951); orang Indonesia pertama yang
menjabat pimpinan bank sentral Indonesia adalah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara
(1951). Namun demikian yang juga perlu dicatat bahwa orang Indonesia pertama
yang terlibat langsung dengan bank sentral Indonesia (Javasache Bank) adalah
Mr. Lukman Hakim (sejak 1950). Dengan demikian, dalam sejarah Bank Indonesia,
nama Mr. Lukman Hakim tidak boleh dibaikan, karena Mr. Lukman Hakim adalah
pionir dan telah memainkan peran penting dalam membidani kelahiran Bank
Indonesia.
De vrije pers: ochtendbulletin, 12-07-1949 |
Lukman Hakim memulai pendidikan tinggi di Rechts
Hoogeschool di Batavia. Pada tahun 1937 Lukman Hakim lulus ujian kandidat
pertama (De Indische courant, 12-08-1937). Lukman Hakim lulus ujian kandidat
kedua (De Indische courant, 19-08-1938). Lukman Hakim lulus ujian doktoral
pertama (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-11-1939). Lukman
Hakim lulus ujian doktoral kedua (Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1940). Lukman
Hakim lulus ujian doktoral ketiga dan berhak mendapat gelar Mr (Bataviaasch
nieuwsblad, 28-08-1941). Pada tahun 1942 Mr. Lukman Hakim menjadi wakil
inspektur Keuangan di Semarang, ia menjabat sebagai Inspektur Keuangan antara
tahun 1942-1945 di Kantor Pusat Departemen Pajak di Jakarta (lihat Algemeen
Indisch dagblad : de Preangerbode, 14-09-1950). Setelah kemerdekaan Indonesia
(17 Agustus 1945) pada kabinet ketiga Perdana Manteri Sjahrir, diangkat sebagai
Menteri Keuangan adalah Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dari Masjumi dan Wakil
Menteri Keuangan Mr. Lukman Hakim dari PNI (De waarheid, 02-10-1946). Pada
kabinet kedua Sjharir sebelumbnya Mr. Sjafroeddin Prawiranegara menjabat
sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada kabinet berikutnya (Kabinet Amir
Sjarifoeddin I) posisi Menteri Keuangan adalah AA Maramis dan Menteri Muda
Keuangan Ong Eng Die. Posisi keduanya tetap pada Kabinet Amir Sjarifoeddin II.
Sebagaimana telah disebutkan di atas pada Kabinet Hatta I, Menteri Kemakmuran
dijabat oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dan Mr. Lukman Hakim menjabat
sebagai Komisaris Keuangan Pemerintah
Bank Indonesia, setelah penerapan Undang-Undang
Bank Indonesia 1953, semakin leluasa mengambil keputusan. Sebelumnya,
pengambilan keputusan masih berbau Belanda, karena para investor Belanda masih
memiliki suara dan paling tidak pada level pimpinan (setingkat direktur) masih
terdapat orang Belanda. Tapi kini, saham Bank Indonesia telah dimiliki oleh
pemerintah 100 persen dan para pimpinannya juga 100 persen orang Indonesia.
Tahun 1953 baru boleh dikatakan Bank Sentral di Indonesia yang dalam hal ini
Bank Indonesia benar-benar berdaulat penuh di Indonesia.
Sejak Indonesia berdaulat dalam hak kebanksentralan, tidak
ada lagi keragu-raguan para pimpinannya untuk mengambil keputusan. Sistem
operasi Bank Indonesia telah berjalan normal sesuai prinsip-prinsip dasar yang
telah dinyatakan dalam undang-undang Bank Indonesia 1953. Satu hal yang penting
dalam tahun-tahun awal Bank Indonesia adalah tiba waktunya Gubernur Bank
Indonesia selesai masa jabatannya selama tiga tahun yang berakhir pada tanggal
15 Juli 1953. Oleh karena itu Sjafroeddin Prawiranegara tidak lagi masuk kerja
sejak tanggal tersebut (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 23-07-1956). Disebutkan pertemuan dewan moneter diadakan
Jumat pagi di kantor Menteri Keuangan yang dihadiri oleh dewan gubernur Bank
Indonesia. Dalam hal ini Menteri Keuangan adalah Prof. Sumitro Djojohadikusumo
(Kabinet Wilopo).
Mengapa tidak segera ditentukan posisi
Gubernur Bank Indonesia? Apakah menunjuk kembali Mr. Sjafroeddin Prawiranegara
atau digantikan oleh yang lain? Semua itu tampaknya wait en see. Sebab Kabinet
Wilopo tengah demisioner. Menteri Keuangan Prof. Sumitro Djojohadikusumo hanya
bisa berkoordinasi dengan jajaran dewan gubernur Bank Indonesia yang bersifat
independen. Selama tidak ada jabatan Gubernur Bank Indonesia, fungsi
kebanksentralan tetap dijalankan oleh para direktur, termasuk Mr. Lukman Hakim.
Kabinet Wilopo telah mengembalikan mandat kepada Presiden
Soekarno dan dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953
Tanggal 3 Juni 1953. Siapa yang menjadi Gubenur Bank Indonesia akan ditentukan
oleh parlemen. Sementara siapa yang ditunjuk menjadi formatur pembentukan
kabinet baru belum berhasil menyusun anggota kabinet. Penyusunan anggota
kabinet sangat dipengaruhi oleh (komposisi) parlemen. Penentuan Gubernur Bank
Indonesia hanya prioritas kedua, karena itu jabatan Gubernur Bank Indonesia
untuk sementara dalam posisi lowong.
Kabinet Wilopo akhirnya dibubarkan dan telah
terbentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
yang diresmikan pada tanggal 30 Juli 1953. Kabinet masih dipimpin oleh PNI.
Namun demikian, Menteri Keuangan Prof. Sumitro Djojohadikusumo tergusur dan
digantikan oleh menteri keuangan yang baru Dr. Ong Eng Die. Keharmonisan antara
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia adalah sangat penting dalam
membangun perekonomian Indonesia.
Dr. Ong Eng Die bukanlah orang baru. Dr. Ong Eng Die, pernah
menjabat sebagai Menteri Muda Keuangan pada era Kabinet Amir Sjarifoeddin II (11
November 1947-29 Januari 1948). Antara Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Dr. Eng
Eng Die sejatinya terdapat persaingan. Keduanya adalah begawan di bidang
ekonomi. Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah doktor ekonomi (Ph.D) lulusan
Rotterdam dan Dr. Eng Eng Die adalah doktor ekonomi (Ph.D) lulusan Amsterdam.
Dua sekolah ekonomi elit ini di Belanda memiliki mazhab yang berbeda
(kerakyatan vs kapitalis). Tidak banyak doktor ekonomi Indonesia, boleh
dibilang hanya tiga orang. Satu lagi adalah Dr. Tan Goan Po dari Rotterdam yang
menjadi sahabat dekat Prof. Sumitro Djojohadikusumo sesama pengajar di Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia. Lantas apakah Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan
Dr. Tan Goan Po yang akan dinominasikan untuk jabatan Gubernur Bank Indonesia.
Ternyata tidak. Yang diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia adalah Mr.
Sjafroeddin Prawiranegara (untuk jabatan periode kedua). Meski demikian, antara
Prof. Sumitro Djojohadikusumo (PSI) dan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (Masyumi)
cukup dekat satu sama lain. Dr. Eng Eng Die sendiri adalah seorang PNI.
Pertarungan para begawan ekonomi dimulai lagi.
Gubernur Bank Indonesia tetap dijabat oleh Mr.
Sjafroeddin Prawiranegara (untuk jabatan periode kedua). Ini menunjukkan bahwa
selain Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dianggap berhasil, boleh jadi tidak ada
kandidat lain yang kapabel. Mr. Sjafroeddin Prawiranegara adalah seorang
Masyumi, sementara pemerintah yang berkuasa adalah PNI (Kabinet Ali).
Posisi Mr. Sjafroeddin Prawiranegara semakin kuat pada
kabinet berikutnya, yakni Kabinet Boerhanoeddin Harahap. Kabinet Ali
Sastroamidjojo (PNI) telah digantikan oleh Kabinet Boerhanoeddin Harahap
(Masyumi). Namun kemudian Kabinet Boerhanoeddin Harahap digantikan dan kembali
PNI berkuasa yang dipimpinan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Kabinet
Ali II).
Pada kabinet ini, masa jabatan Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara berakhir. Namun kembali Mr. Sjafroeddin Prawiranegara diangkat
kembali (De Telegraaf, 04-01-1957), Mr. Sjafroeddin Prawiranegara melakukan
kembali tugas-tugas rutin.
Sebelum pengangkatan kembali Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara ada dua hal yang penting yang mendahuluinya. Pada tanggal 1
Desember 1956 Wakil Presiden Mohamad Hatta telah mengundurkan diri (dan telah
disetujui oleh parlemen). Tidak lama kemudian pada tanggal 20 Desember 1956
telah terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi. Beberapa lama
kemudian Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada
Presiden Soekarno karena tidak tahan dengan tekanan yang dilancarkan oleh
partai oposisi. Perdana Menteri yang baru ditunjuk Ir, Djoanda yang memulai
pemerintahan pada bulan April 1957.
Beberapa tugas Gubernur Bank Indonesia Mr.
Sjarifoeddin Prawiranegara yang dianggap penting adalah turut menghadiri
pembukaan cabang Bank Indonesia di Ampenan, Lombok pada tanggal 1 September
yang akan dibuka oleh Perdana Menteri Djoanda (Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957).
Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara pada akhir September menghadiri konferensi Bank
Dunia di Washington (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-09-1957).
Pada tanggal 20 November di Djakarta diadakan rapat Dewan
Monter Indonesia, Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan
dan Industri, dan Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara (Trouw, 22-11-1957),
Satu hal yang terpenting dalam rapat tersebut adalah kemungkinan pemutusan
hubungan dagang dengan Belanda, dalam kasus perdebatan di PBB tentang Irian
Barat yang tidak menguntungkan untuk Indonesia. Pemerintah juga memberikan
peringatan kepala maskapai pelayaran Belanda, KPM yang telah ketahuan membawa
senjata dan telah dilucuti. Atas peristiwa itu juga pemerintah untuk tetap
maskapai melakukan layanan normal. Ini sehubungan dengan kebijakan manajemen
KPM yang akan mengurangi layanan dengan alasan membawa kapal untuk perbaikan ke
Hongkong.
Pada awal bulan Desember 1957 Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara menghadiri rapat tertutup tentang konstruksi nasional (Nieuwsblad
van het Noorden, 05-12-1957). Dalam rapat ini turut dihadiri oleh Presiden
Soekarno dan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Sjafroeddin Prawiranegara, Gubernur
Bank Indonesia mengatakan bahwa kita akhir-akhir ini dalam mencoba untuk pemulihan
Irian Barat telah melakukan hal-hal yang merupakan pelanggaran mencolok
terhadap ketentuan konstitusi kita. Sebagai contoh disebutkannya telah terjadi pengambilalihan
sewenang-wenang perusahaan asing di Djakarta. Lebih buruk lagi masih terjadi di
Surabaya, dimana masyarakat lokal melakukan semacam concentratiekamp yang mana keberadaan
komunitas Belanda seperti hidup dalam suasana konsentrasi dan sepuluh gudang tembakau
dibakar. Sjafaoeddin Prawiranegara mengatakan bahwa konsekuensi kacau dari aksi
pendudukan perusahaan-perusahaan asing oleh para pekerja sudah mulai memicu ada
gangguan pada perbankan Belanda terhadap jumlah uang beredar, stagnasi impor
dan ekspor serta harga beras melonjak. Sjafroeddin Prawiranegara dalam sesi
penutupan rapat tersebut membantah untuk membela kepentingan Belanda. Saya hanya ingin mengingatkan Anda bahwa semua tindakan
kita harus dilakukan dalam batas-batas konstitusi. Sjafroeddin Prawiranegara meminta Soekarno dan Hatta untuk membujuk
orang-orang agar kembali ke hukum’.
Setelah rapat tertutup konstruksi nasional ini keberadaan
Sjafroeddin Prawiranegara tidak diketahui. Pada pertengaan bulan Desember Sjafroeddin
Prawiranegara dikabarkan berada di Sumatra Tengah. Menurut majalah nasionalis
Soeloeh Indonesia, sebuah pertemuan para politisi, yang menyatakan diri
menentang pemerintah pusat di Djakarta, baru-baru ini terjadi di Padang di
Sumatra Tengah. Mereka akan mempersiapkan proklamasi. Di antara para politisi
adalah: Kolonel Zulkifli Loebis, Sjafroedin Prawiranegara dan Prof. Soemitro
Djojohadikoesoemo,
Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, Gubernur Bank
Indonesia, yang telah berlibur di Sumatera sejak pertengahan Desember, menurut
laporan di Jakarta, mengirim surat kepada pemerintah Indonesia, dimana ia
menyatakan bahwa ia ingin mundur sebagai gubernur Bank Indonesia (Het vrije
volk: democratisch-socialistisch dagblad, 18-01-1958). Disebutkan alasannya
adalah pemecatan terhadap semua ahli Belanda di Bank Indonesia oleh pemerintah,
yang mana Sjafroeddin Prawiranegara sendiri tidak setuju. Semua karyawan staf
Belanda yang jumlahnya 24 orang telah diberhentikan terhitung dari tanggal 1
Januari 1958.
Algemeen Handelsblad, 31-01-1958: ‘Kabinet Indonesia
memutuskan untuk mengabaikan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank
Indonesia, karena meninggalkan jabatannya dan tidak mengikuti panggilan
pemerintah untuk kembali ke Djakarta. Pemerintah sekarang telah mempercayakan
bank kepada Wakil Gubernur pertama, Mr. Lukman Hakim. Menteri Keuangan, Sutikno
Slamet, mengatakan bahwa pemerintah belum membahas masalah penggantinya Sjafroeddin
Prawiranegara. Sementara itu dari pihak pimpinan Masyumi meminta Perdana
Menteri Djoeanda agar pemerintah lebih menahan diri dari mengambil tindakan
terhadap Sjafroeddin Prawiranegara. Dr. Sukiman, Wakil Ketua Masyumi mengatakan
bahwa dewan partai Masyumi sendiri masih membahas pertanyaan seputar Sjafroeddin
Prawiranegara’.
Akhirnya pada tanggal 15 Februari 1958 di
Padang dideklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Ini
mengindikasikan, Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara yang tetap berada di Sumatra
Tengah, posisinya sebagai Gubernur Bank Indonesia berakhir sudah. Lalu Wakil
Gubernur Bank Indonesia, Mr. Lukman Hakim diangkat sebagai Gubernur Bank
Indonesia. Sebagaimana diketahui, Mr. Lukman Hakim adalah pionir di bank
sentral Indonesia yang sebelumnya bernama Javasche Bank kemudian menjadi Bank
Indonesia.
Bank BRI dan Bank BNI
Bank sentral Indonesia sudah lahir sebelum
tanggal 1 Juli 1953. Bank sentral Indonesia secara dejure diperankan oleh
Javasche Bank sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (sejak 27 Desember 1949). Sejak
itu bank sentral Indonesia ‘Javasche Bank’ bertugas hanya untuk Indonesia dan
kepentingan Indonesia di luar negeri (sesuai perjanjian KMB). Secara defacto
bank sentral Indonesia Javasche Bank baru dimulai ketika orang Indonesia
pertama ditempatkan di Javasche Bank pada bulan September 1950. Lalu
berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, nama
bank sentral Indonesia Javasche Bank diganti namanya menjadi bank sentral Indonesia
‘Bank Indonesia’ (sesuai UUD 1945 pada bagian penjelasan). Lantas mengapa
sekarang bank sentral Indonesia ‘Bank Indonesia’ menetapkan hari lahirnya pada
tanggal 1 Juli 1953. Ini berarti hari lahir bank sentral Indonesia telah
dikorting beberapa tahun, entah untuk maksud apa.
Sebaliknya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) sejatinya lahir
pada tahun 1946 (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946). Namun BRI
menetapkan hari lahirnya pada pada tanggal 16 Desember 1895 yang merujuk pada
tanggal pendirian sebuah bank di masa lampau di Poerwokerto. Padahal pendirian
bank di Poerwokerto tersebut tidak terkait dengan maksud pendirian BRI yang
sejatinya dimulai pada tahun 1946. Yang sedikit masuk akal adalah penetapan
hari lahir Bank Negara Indonesia (BNI) yang dimulai tahun 1946. Untuk itu
bahkan BNI memastikannya dengan nama BNI 1946 (BNI 46). Hal ini karena, BNI
memang didirikan pada tahun 1946. Lantas bagaimana BRI menyebut hari lahirnya
tahun 1895 padahal BRI baru ditetapkan pada tahun 1946. Jika kita mengikuti
pola penetapan hari lahir BRI ini dan diterapkan ke penetapan hari lahir Bank
Indonesia, maka Bank Indonesia sudah lahir sejak 1828 (awal pendirian Javasche
Bank). Jika hari lahir Bank Indonesia tahun 1828 tentu salah, karena faktanya
secara dejure Javasche Bank baru dideklarasikan sebagai bank sentral Indonesia
ketika kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda. Penetapan hari lahir Bank
Indonesia tahun 1953 juga tentu saja tidak benar. Jika Bank Indonesia telah
melakukn korting terhadap penetapan hari lahirnya, sebaliknya BRI telah
melakukan ‘markup’ terhadap hari kelahirannya. Yang benar-benar tepat
menetapkan hari lahirnya adalah BNI.
Bank Rakyat Indonesia (disingkat BRI)
didirikan pada tahun 1946 (Het nieuws: algemeen dagblad, 10-04-1946). Disebutkan
untuk membangun kembali Indonesia, beberapa bulan yang lalu Bank Rakyat
Indonesia dibuka dan sekarang memiliki tidak kurang dari 70 unit cabang di Jawa
dan Madura dan mendukung republik dalam perjuangan, konstruksi dan ekonomi.
Pendirian Bank Rakyat Indonesia ini sesuai dengan isi Peraturan Pemerintah No.
1 tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1946.
Apa yang menjadi pangkal salah tafsir soal penetapan hari
lahir Bank Rakyat Indonesia berasal dari isi Pasal-1 Peraturan Pemerintah No. 1
tahun 1946. Disebutkan pada pasal satu tersebut bahwa ‘Bank Rakyat Indonesia
yang dahulu berturut-turut bernama Algemeene Volkscredietbank dan Syumin Ginko
adalah Bank Pemerintah’. Boleh jadi dari sini BRI mencari leluhurnya sebelum
adanya Syumin Ginko dan sebelum adanya Algemeene Volkscredietbank. Lalu
ketemulah sebuah bank yang dahulu didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja di
Poerwokerto pada tanggal 16 Desember 1895 yang disebut dengan De
Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden. Padahal sudah jelas
dinyatakan ‘Bank Rakyat Indonesia yang dahulu berturut-turut bernama Algemeene Volkscredietbank
dan Syumin Ginko adalah Bank Pemerintah’. Artinya, bank pemerintah yang disebut
Bank Rakyat Indonesia dimulai pada saat penetapan tanggal 22 Februari 1946.
Bandingkan dengan negara Indonesia yang dimulai saat diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Nyatanya tidak ada yang mencari-cari Indonesia itu
dulunya adalah Hindia Belanda (Nederlansche Indie). Setali tiga uang dengan
penetapan hari lahir Universitas Indonesia pada tanggal 2 Februari 1950 dan
nyatanya tidak ada yang mencari-cari Universitas Indonesia itu dulunya adalah
Universiteit van Indonesie.
Beberapa bulan setelah pendirian Bank Rakyat
Indonesia (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 yang ditetapkan
pada tanggal 22 Februari 1946) muncul Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tentang pendirian Bank Negara Indonesia yang
ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1946. Disebutkan dalam pasal satu bahwa ‘Dengan
nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah Bank kepunyaan Republik Indonesia
untuk mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas Bank dengan harga yang
tetap’. Pimpinan Bank Negara Indonesia adalah Margono Djojohadikoesoemo sebagai
Presiden (Nieuwe courant, 17-10-1946). Margono Djojohadikoesoemo adalah ayah
dari Dr. Sumitro Djojohadikoesoemo.
Pendirian Bank Negara Indonesia adalah sebagai bank
sentral Indonesia. Bank sentral dalam hal ini boleh mengeluarkan uang baru.
Uang baru yang dikeluarkan disebut Oeang Republik Indonesia atau ORI. Bank
sentral hanya satu, karena itu disebut bank sentral. BRI bukan bank sentral
tetapi bank pembangunan, Akan tetapi bank sentral juga diizinkan untuk
berfungsi sebagai bank pembangunan. Ketika disepakati pengakuan Indonesia oleh
Belanda (perjanjian KMB), BNI meski secara dejure sudah berhak, tetapi secara
defacto belum bisa menjalankan fungsi bank sentral seperti yang diinginkan
perjanjian KMB. Oleh karena itu, Javasche Bank menjadi bank sentral Indonesia
(yang dalam prakteknnya masih berfungsi sebagai bank pembangunan). Bank sentral
Indonesia Javasche Bank mengeluarkan uang Oeang Republik Indonesia Serikat dan
tidak lagi menggunakan mata uang ORI maupun mata uang Gulden. Bank BNI sendiri hanya
difungsikan sebagai bank pembangunan sebagaimana fungsi BRI. Sesuai amanat UUD
1945, negara Indonesia harus memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia,
maka satu-satunya yang memungkinkan untuk mencapai semua tujuan adalah
menasionalisasi (aset) Javasch Bank dan mengubah namanya menjadi Bank
Indonesia. Setelah berhasil menasionalisasi Javasche Bank baru namanya bisa
diubah menjadi Bank Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang
ditetapkan pada tanggal 1 Juli 1953. Tanggal ini menjadi salah satu tonggak
perubahan nama bank sentral Indonesia, tetapi fungsi bank sentral Indonesia
yang diperankan oleh Javasche Bank sudah berlangsung jauh sebelumbnya (secara
defacto sejak September 1950).
Bank sentral Indonesia, yang dalam hal ini,
Bank Indonesia adalah bank pemerintah yang menaungi bank-bank pemerintah
lainnya dan bank-bank swasta Indonesia lainnya. Sejauh ini bank pemerintah baru
tiga buah. Selain Bank Indonesia adalah BRI dan BNI.
Sementara Presiden BNI dijabat oleh Margono
Djojohadikoesoemo, pada tahun 1954 pimpinan BRI diganti dengan presiden
direktur BRI yang baru yakni RS Soeria Atmadja (De vrije pers: ochtendbulletin,
15-06-1954). Disebutkan RS Soeria Atmadja dilantik oleh Menteri Economische
Zaken (Menteri Perekonomian: Iskak Tjokroadisurjo). Soeria Atmadja hingga tahun
1957 masih menjabat sebagai Presiden Direktur BRI (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 04-09-1957).
Bank Swasta di Era Kolonial Belanda
Pada dasarnya penerapan bank sentral di
Indonesia baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang
diperankan oleh Javasche Bank. Saat Javasche Bank dibebankan sebagai
penanggungjawab fungsi bank sentral, Javasche Bank sendiri adalah bank swasta.
Javasche Bank ini sudah berumur lebih satu abad ketika difungsikan sebagai bank
sentral Indonesia pada tahun 1950.
Javasche Bank didirikan pada bulan Desember 1827 dan dipublikasikan
pada tanggal 24 Januari 1828 di Batavia. Pada tahun 1829 cabang Javasche Bank
dibuka di Semarang dan Soerabaja. Cabang-cabang Javasche Bank terus bertambah
seperti di Bandoeng, Padang, Medan dan lainnya. Selain Javasche Bank ban swasta
lainnya yang terkenal adalah Escompto Bank yang dibuka tahun 1857. Di era
kolonial Belanda juga terdapat bank asing seperti bank dari Australia, China,
Hongkong, Jepang dan lainnya. Bank HSBC (Hongkong and Shanghai Banking
Corporation) sudah beroperasi sejak tahun 1884, Bank of China tahun 1915 Mitsui
Bank tahun 1925 dan lain sebagainya.
Selain bank asing juga muncul bank lokal yang
diperankan baik oleh orang-orang Tionghoa maupun orang-orang pribumi. Bank
Vereeniging Oey Tiong Ham yang didirikan tahun 1906 sangat terkenal di
Semarang, Chunghwa Shangjeh Maatschapij muncul di Medan bulan April 1913 dan Batavia
Bank tahun 1918 di Batavia.
De Telegraaf, 28-12-1920 |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar