*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Universitas Sumatera Utara (USU) diresmikan sebagai universitas negeri pada tanggal 20 November 1957 oleh Presiden Soekarno. Kedatangan Presiden Soekarno ke Medan menggunakan pesawat pribadi dengan nama Dolok Martimbang. Lantas mengapa nama universitas diberi nama Universitas Sumatera Utara dan mengapa penegeriannya telat dilakukan? Dan, mengapa pula nama pesawat kepresiden Indonesia Ir. Soekarno diberi nama Dolok Martimbang?
Universitas Sumatera Utara (USU) diresmikan sebagai universitas negeri pada tanggal 20 November 1957 oleh Presiden Soekarno. Kedatangan Presiden Soekarno ke Medan menggunakan pesawat pribadi dengan nama Dolok Martimbang. Lantas mengapa nama universitas diberi nama Universitas Sumatera Utara dan mengapa penegeriannya telat dilakukan? Dan, mengapa pula nama pesawat kepresiden Indonesia Ir. Soekarno diberi nama Dolok Martimbang?
Pesawat Kepresidenan Pertama 'Dolok Martimbang' (1957) |
‘Air Force One’ Dolok
Martimbang adalah pesawat hadiah pemberian Presiden Uni Soviet Nikita Kruschev kepada
Presiden Soekarno. Saat pesawat jenis IL-14 buatan Uni Soviet mendarat kali
pertama di Pangkalan Udara Halim (Tjililitan) tanggal 10 Mei 1957. Presiden
Soekarno langsung meninjau ke bandara dan spontan memberi nama Dolok Martimbang.
Semua orang yang hadir ‘molohok’.
Spontanitas pemberian nama itu pada dasarnya bukan tanpa pemikiran. Saat
itu situasi dan kondisi negeri tengah mengalami krisis karena di Sumatera
Tengah tengah terjadi pemberontakan. Presiden Soekarno sebelumnya sudah
mengetahui arti legenda Dolok Martimbang. Presiden Soekarno pernah berkunjung
ke Tapanoeli pada bulan Maret 1953. Untuk menjaga tetap terjadi persatuan dan
kesatuan bangsa, Presiden Soekarno membutuhkan simbol yang sesuai. Legenda
Dolok Martimbang menjadi penting. Itulah mengapa nama pesawat kepresidenan
diberi nama Dolok Martimbang.
Pesawat Pribadi Presiden Indonesia Pertama: Dolok
Martimbang
Ir. Soekarno sudah sejak lama
kenal dengan wilayah Tapanoeli, namun kurang terinformasikan. Dalam suatu
kesempatan, Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa sangat senang di Tapanoeli,
bukan karena keindahan alamnya saja, tetapi lebih menganggap dia berada di
tanah suci, tanah dimana Sisingamangaradja melakukan perlawanan kepada Eropa/Belanda
hingga titik darah penghabisan. Sisingamangaradja pantang bekerjasama dengan dalih
apapun termasuk agama dan tidak pernah pula menyerah terhadap penjajah. Di
wilayah lain, bekerjasama dengan penjajah dan menyerah sangatlah jamak. Tidak
di Tapanoeli. Boleh jadi itulah alasan Soekarno mempersepsikan wilayah
Tapanoeli sebagai tanah suci. Soekarno tidak akan mampu melampaui jiwa patritotik
dari Sisingamangaradja. Pengakuan tersebut dikatakan Presiden Soekarno pada
bulan Maret 1953 ketika berkunjung ke wilayah Tapanoeli (lihat De nieuwsgier, 17-03-1953).
Jadwal dan rute perjalanan
Presiden Soekarno sudah diumumnkan pada tanggal 9 Maret 1953 (De nieuwsgier, 10-03-1953).
Disebutkan Presiden Soekarno akan melakukan kinjungan ke tiga wilayah: Atjeh,
Tapanoeli dan Bangka. Direncanakan pada hari Kamis, 12 Maret, Presiden Soekarno
dari Djakarta ke Atjeh. Secara berturut-turut akan berkunjung ke Aceh, Tapanoeli,
pulau Nias dan pulau Bangka. Pada hari Sabtu, rombongan akan tiba di Balige.
Dari sana, perjalanan dengan mobil dilakukan pada hari Minggu ke Taroetung dan
Sibolga dan hari berikutnya ke Padang Sidempoean. Pada hari Rabu Presiden dengan
Catalina ke Gunungsitoli di pulau Nias. Pada hari Kamis, perjalanan akan
dilanjutkan ke Pangkalpinang di pulau Bangka. Sabtu 21 Maret pukul enam sore rombongan Presiden Soekarno diharapkan tiba
di (bandara) Kemajoran’.
Dalam penerbangan ke
Atjeh, Presiden transit di Medan untuk sementara mengambil waktu istirahat di
restoran di bandara. Di bandara Presiden Soekarno dan rombongan disambut oleh
Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap, Residen Atjeh Daudsjah, Wali Kota
Medan AM Djalaloedin Pohan dan Komandan Teritorial Sumatra Bagian Utara Kolonel
M. Simbolon. Presiden memeriksa barisan kehormatan di bandara dan menyapa tamu
undangan termasuk tamu asing. Selanjutnya penerbangan dilakukan menuju Blang
Bintang, Atjeh. Bandara ini terbilang baru. Untuk sekadar catatan perluasan
bandara Polonia dan pembukaan bandara Blang Bintang dipimpin oleh Ir. Tarip
Harahap (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952). Ir. Tarip Harahap adalah
alumni THS Bandoeng 1939. Kelak Ir. Tarip Harahap diangkat menjadi Kepala Dinas
Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra,
15-11-1957).
Setelah kunjungan ke Atjeh
(Kota Radja dan Sabang), Presiden Soekarno tiba di Balige dengan dua buah Catalina
yang mendarat di danau Toba (De nieuwsgier, 17-03-1953). Lalu Presiden melakukan
rapat akbar di depan massa di Balige. Presiden mengatakan bahwa pada tahun 1948
dia juga berada di Baiige, sesaat sebelum aksi polisional Belanda kedua (baca:
Agresi Militer Belanda II). Presiden dan rombongan kemudian melanjutkan
perjalanan dari Balige ke Sibolga dan akan berpidato di beberapa titik. Pada
saat keberangkatan dari Baiige, cuaca masih bagus, sehingga rombongan dapat
menikmati pemandangan danau Toba yang sangat indah.
Siborongborong adalah
pemberhentian pertama di perjalanan. Pada satu sisi terlihat sebuah spanduk
dengan tulisan ‘Lindungi Kelompok-Kelompok Kecil’. Ketika pidato Presiden
mangatakan ‘Tapanuli juga memiliki masalah, tetapi Tapanuli sangat kuat. Presiden
kemudian membahas gagasan perjuangan untuk kebebasan yang belum tercapai, bahkan
di atas Irian, merah-putih belum berkibar. Presiden Republik Indonesia akan
selalu ada di sana, tetapi Presiden mengingatkannya tentang pemenjaraannya
setelah aksi polisional kedua, dan dia senang dijadikan tahanan di daerah
Tapanuli, karena Tapanuli telah menjadi tanah suci sejak perang Sisingamangaradja
melawan penguasa Belanda pada tahun 1907. Masyarakat Siborongborong sekarang
menuntut perlindungan dari kelompok-kelompok kecil. Permintaan itu sudah ada
dan demokratis. Setiap negara mencegah sebagian kecil dari upaya memaksakan
kehendaknya oleh mayoritas, tetapi juga perlu minoritas untuk mengambil posisi
melawan mayoritas.
Perjalanan dilanjutkan ke
Tarutung dan kemudian menuju Sibolga. Dalam perjalanan ke Sibolga inilah
pemdangan awal terlihat gunung Dolok Martimbang di sisi timur jalan raya.
Sementara ketika memasuki jelang Sibolga, pemandangan di sisi barat Bukit Barisan
di teluk Sibolga terhalang pandangan oleh hujan yang menyertai perjalann. Sore hari
tiba di Sibolga, malamnya dilakukan resepsi. Puncak acara malam ini adalah kehadiran
40 anak-anak sekolah dari Tumba Djae di perbatasan Tapanuli dan Aceh, seratus
kilometer dari Sibolga. Anak-anak itu berjalan sekitar tiga puluh kilometer
untuk kemudian melakukan perjalanan dengan bus ke Sibolga (De nieuwsgier, 18-03-1953).
Dalam pidatonya pada hari Senin, Presiden sekali lagi bersikeras menyelamatkan bangsa
dalam kesatuan dan persatuan. Dalam pidato yang diadakan sebelum keberangkatan
dari Sibolga, Presiden telah menekankan perlunya kesederhanaan dalam cara hidup
dan kesederhanaan pikiran. Sebagai informasi awalnya Presiden akan ke Barus
pada pagi hari. Namun karena hujan lebat, ke Barus dibatalkan. Pada Senin sore,
sebuah delegasi yang terdiri lebih dari 40 orang pergi ke Sibolga untuk meminta
Presiden tetap berkunjung ke Barus. Penduduk telah membuat persiapan dengan
baik untuk kunjungan Presiden, termasuk lima belas jembatan yang telah tersapu
oleh banjir telah dibuat secara gotong rojong dalam waktu lima belas hari.
Presiden Sukarno dan rombongan melakukan
perjalanan ke Padang Sidempuan pada hari Selasa dari Sibolga (De nieuwsgier, 19-03-1953).
Di sepanjang jalan dari Sibolga hingga ke Padang Sidempoean. pesta menyambut
Presiden dan rombongan dibuat dengan gembira oleh masyarakat yang hadir
dipinggir jalan dengan melambai dan meneriakkan
merdeka dan horas dengan keras. Presiden berpidato di Batangtoroe. Di kota
kecil Batangtoro, Presiden menunjukkan bahwa 28 persen penduduk Indonesia
tinggal di kota-kota besar dan penduduk pedesaan mencapai 72 persen. Presiden mengatakan
bahwa Indonesia membutuhkan pasukan yang kuat dan armada yang kuat, tetapi jika
tidak diresapi oleh keinginan untuk kebebasan, itu tidak akan berguna.
Perjalanan dilanjutkan ke
Padang Sidempoean. Setiap kali ada keramaian besar di sepanjang perjalanan, Presiden
harus berhenti karena orang-orang menutup jalan, dilarang lewat lalu bernyanyi
untuk Presiden atau menawarkan berbagai hadiah, seperti ulos. Di Padang
Sidimpoean rapat akbart dihadiri sekitar 100.000 massa padahal penduduk kota
hanya 40.000 jiwa. Sepertinya semua penduduk Tapanuli Selatan telah datang ke
Padang Sidempoean. Presiden menyatakan bahwa seluruh rakyat pada tahun 1945
disambut kemerdekaan dengan sukacita dan semua orang kemudian siap untuk
memberikan hidupnya. Jika kita ingin kembali ke semangat juang 1945, persatuan
dan persatuan diperlukan. Jika kita ingin membangun negara yang adil dan makmur,
kita harus bekerja keras, menjadi satu dan mengembangkan dedikasi mulia kita.
Presiden Soekarno selama dua
hari tinggal di Gunung Sitoli di Nias (Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-03-1953). Presiden Soekarno
mendesak 'perkembangan pulau yang agak terpencil ini untuk melakukan segala
sesuatu dalam pekerjaan. untuk pengembangan diri sendiri. Secara khusus, Presiden
mendesak para wanita untuk berpaling dari pengekangan dan rasa takut dan untuk
melihat dunia di sekitar mereka dengan pikiran terbuka. Pada sebuah pertemuan
dengan orang-orang muda, Presiden bertanya dengan saksama kepada hubungan
feodal yang masih ada di Nias, apa yang menggunakan kebebasan dan merah-putih
jika semangat kolonial tidak dilemparkan dan orang-orang tidak berubah. Presiden
mengatakan bahwa rasa rendah diri harus dibuang karena tidak ada alasan untuk
itu. Presiden mengatakan bahwa Indonesia mungkin termasuk negara terkuat,
tetapi persatuan itu diperlukan untuk itu. Pada pertemuan dengan para pemimpin
pemuda, Presiden mengatakan bahwa orang tidak boleh berpikir bahwa itu tidak
penting karena Gunung Sitoli adalah tempat kecil. Presiden menunjukkan dalam
hubungan ini bahwa baik Kristen dan Islam berasal dari tempat-tempat kecil,
yaitu masing-masing Bethlehem dan Mekkah. Tokoh-tokoh sejarah besar seperti
Napoleon, Stalin dan Alexander Agung juga lahir di kota-kota kecil.
Dalam perjalanan ke Tapanoeli
inilah Presiden Soekarno melihat (kembali) Dolok Martimbang di sisi timur jalan
dari Tarutung ke Sibolga. Sudah barang tentu para pengawal dan pendamping di
dalam mobil yang ditumpangi selama di Tapanoeli memberi penjelasan setiap
pertanyaan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno adalah penyelidik (peneliti)
yang baik dan memiliki memori yang kuat. Presiden Soekarno tentu saja dapat
penjelasan tentang legenda Dolok Martimbang.
Foto sawah dan Dolok Martimbang 1917 |
Dolok Martimbang pernah disebut
Nommensen dalam suratnya yang dimuat pada surat kabar Sumatra-courant: nieuws-
en advertentieblad, 21-02-1878. Di dalam surat itu, Nommensen mengatakan bukan
maksud untuk menghibur tetapi fakta dilapangan ekspedisi militer yang
berkekuatan 80 prajurit yang dipimpin oleh Kapitein Scheltens dan dibantu
seorang luitenant, di bawah komisaris Controleur Van Hoëvell mengalami
kekalahan melawan pasukan Sisingamangaradja. Setelah melalui perjalanan enam
hari pasukan gontai tiba di Silindoeng. Battakkers yang melihat mereka
selama dua hari beristirahat di Silindoeng, banyak yang tersenyum dan
menyindir. Dari kerumunan yang melihat tentara banyak yang pincang dan terluka
dengan berkata: ‘orang-orang ini tidak berbahaya, karena mereka tidak bisa
berjalan’. Mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa meski mereka jago dalam menggunakan
senjata’. Penduduk Silindoeng menyindir bahwa pasukan telah melanggar aturan. Nommensen
menyebutkan pasukan baru lega setelah sampai di Pearadja setelah dipandu oleh
beberapa tetua dan dibantu oleh para kuli beras untuk menuntun kuda mereka hingga
mencapai ketinggian Dolok Martimbang. Lalu dilakukan rapat dengan semua
kepala-kepala daerah untuk melakukan perjanjian perdamaian.
Tampaknya Dolok Martimbang sudah menjadi tempat yang khusus yang selalu
dijadikan sebagai tempat untuk melakukan perjanjian perdamaian. Tidak hanya
antara para pemimpin lokal dengan pemerintah Belanda tetapi juga antar kepala-kepala
daerah yang bermusuhan.Boleh jadi tempat dolok yang berada di selatan Silndoeng
ini sudah sejak lama menjadi simbol perdamaian sehingga namanya disebut Dolok
Martimbang (dolok perdamaian?).
Nama Dolok Martimbang sudah ada
dibenak Presiden Soekarno. Arti nama Dolok Martimbang bagi penduduk di
Tapanoeli di Silindoeng sudah dipahami oleh Presiden Soekarno. Oleh karena
itulah Presiden Soekarno dengan spontan memberi nama pesawat kepresidenan yang
baru mendarat dengan nama Dolok Martimbang.
Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-01-1957: ‘Pagi ini berlangsung di bandara militer
Pangkalan Udara Halim (Tjililitan) transfer resmi pesawat Iljusin, yang
pemerintah Rusia telah diberikan kepada Presiden Soekarno. Tepat pukul 08.00,
Presiden Soekarno tiba dengan duta besar Rusia, Zhukov di bandara, setelah itu
penjaga kehormatan diperiksa. Di antara yang hadir juga Menteri Pendidikan,
Sudibjo, Menteri Kesehatan, Dr. Sinaga dan Kepala Staf Angkatan Udara,
Suryadarma. Setelah duta besar Rusia menyerahkan pesawat dalam pidato singkat, Presiden
naik ke podium. Presiden mengucapkan terima kasih kepada duta besar untuk
hadiah ini dari pemerintah Soviet, dan mengucapkan terima kasih kepada
pemerintah Rusia dan rakyat Rusia. Presiden kemudian mengingat sambutan hangat
selama kunjungannya ke Uni Soviet dan diterima dengan baik. Berkenaan dengan di
domestik, Presiden mengatakan bahwa masih ada banyak perbedaan antara penduduk
Indonesia dari 80 juta orang. Tapi menurut presiden, ini tidak mengejutkan
saya, karena kami masih muda. Karena itu saya menyerukan kepada rakyat untuk
memulihkan persatuan dan terus berjuang bersama. Presiden Soekarno mengingatkan
belum selesai perjuangan rakyat Indonesia. Presiden akan menggunakan pesawat
tersebut untuk melayani orang Indonesia dalam perjuangan yang belum selesai. Saya
akan mempercayakan pemeliharaan pesawat ini ke AÃœRI dan saya dengan ini memuji
AURI dengan cara terbaik. Bagi negara muda, adalah normal bahwa ada
perselisihan diantara kelompok-kelompok penduduk yang berbeda-beda. kelompok
dan daerah diantara mereka sendiri. Saya tahu bahwa ada perselisihan. Presiden mengatakan
Indonesia merupakan daerah pegunungan dengan berbagai lembah. Di Tapanuli ada
daerah dengan pegunungan dan lembah, yang menurut legenda, terus bertengkar
satu sama lain. Dan itu Dolok Marimbang yang bisa menyatukan kembali mereka. Itulah
mengapa saya memberikan pesawat IL-14 ini dengan nama Dolok Martimbang. Dengan
Dolok Martimbang ini saya berharap dapat memberikan kekuatan kepada saya untuk membuat
reunifikasi dan penguatan rakyat lndonesia, tidak hanya untuk kemakmuran mereka
sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan umat manusia. Setelah dua pidato lalu
lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu dari Uni Soviet. Setelah itu semua yang
hadirdiberi kesempatan untuk melihat pesawat
penumpang Rusia itu dari dalam. Sekitar
9.45 Presiden dan duta besar Rusia meninggalkan bandara’.
Boleh jadi nama pesawat 'Air Force One Indonesia' bernama Dolok Martimbang
menjadi heboh. Oleh karena pemberian nama bersifat spontan dari Presiden
Soekarno, maka berbagai pihak mulai ingin mengetahui sejarah gunung Dolok
Martimbang. Menteri Pendidikan menugaskan untuk melakukan penelitian (Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1957).
Disebutkan dua pejabat dari Kantor Informasi Kabupaten Tapanuli Tengah telah
dikirim ke Tarutung untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah Dolok Martimbang di
Tapanuli Utara, yang merupakan atas permintaan Departemen Pendidikan di Djakarta.
Terhadap nama yang diberikan kepada pesawat, yang diterima Presiden Soekarno
sebagai hadiah dari Uni Soviet. Pesawat kepresidenan Indonesia dengan nama
Dolok Martimbang baru digunakan kali pertama oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 16-05-1957 dari Soerabaja ke Djakarta. Pesawat ini sudah diserahkan
kepada Presiden Soekarno sejak 24-01-1957. Jarak waktu antara penerimaan dan
penggunaan oleh Presiden Soekarno hampir empat bulan. Penundaan ini bukan
karena pilot Indonesia kesulitan, melainkan hanya semata-mata karena Presiden
Soekarno berusaha untuk menahan diri.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-03-1957:’Presiden Soekarno menerima
awak pesawat Ilyushin, Dolok Martimbang yang diserahkan kepada presiden oleh
pemerintah Rusia. Mereka ditemani oleh duta besar Rusia Zhukov. Presiden menjamu
makan siang bersama mereka di Istana Merdeka. Java-bode : nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-04-1957:’ Pesawat jenis llyushin, hadiah dari pemerintah Rusia kepada Presiden
Soekarno, yang telah diberi nama Dolok Martimbang, akan digunakan untuk pertama
kalinya oleh Kepala Negara pada tanggal 16 April untuk perjalanan ke Soerakarta
dan ke Bali. Pada 16 April, Presiden berangkat ke Solo untuk menghadiri
pertemuan publik di sana, rapat raksasa Merah Putih, yang akan berlangsung di
stadion Sriwedari. Hari berikutnya presiden akan mengadakan ceramah untuk
otoritas militer, sipil dan kepolisian serta untuk pemimpin partai dan
tokoh-tokoh terkemuka lainnya di Solo. Pada malam hari tanggal 17 April, kepala
negara juga akan menghadiri pertemuan di Solo, memperingati turunnya Al-Qur'an.
Pada 19 April, Presiden akan melanjutkan perjalanannya, juga dengan Dolok
Martimbang, ke Bali untuk beristirahat selama tiga hari, dan Presiden akan
diharapkan kembali ke ibukota pada tanggal 23 April. Presiden akan ditemani
oleh sejumlah besar koresponden domestik dan asing’. Het nieuwsblad voor
Sumatra, 16-04-1957:’
Soekarno tidak dengan Dolok
Martimbang. Bertentangan dengan berita sebelumnya, Presiden Soskarno telah menunda
menggunakan pesawat Ilyushin Dolok Martimbang ke Solo hari ini dan dari sana ke
Denpasar. Tidak diketahui mengapa Presiden menunda dari menerbangkan pesawat
Ilyusin, hadiah pribadi dari Uni Soviet kepada Presiden Sukarno. Jika penerbangan
ini berlangsung maka Dolok Martimbang ini akan menjadi peneperbangan perdana
Presiden Sukarno dengan pesawat ini. Presiden sekarang akan pergi ke Solo
dengan pesawat GlA’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 30-04-1957:’Dolok Martimbang. Presiden Soekarno bisa
setiap saat menggunakan Ilyushin Dolok Martimbang, hadiah dari Presiden Uni
Soviet, menurut pemberitahuan dari layanan informasi Angkatan Udara Indonesia. Layanan
tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa itu tidak benar bahwa pilot Indonesia
memiliki kesulitan teknis atau personil dengan perangkat. Para pilot Indonesia
dapat menerbangkan pesawat tanpa bantuan pilot asing, sementara teknisi kami
mampu membuat perbaikan yang diperlukan untuk pesawat. Presiden Soekarno pada
awalnya akan menggunakan pesawat ini selama perjalanan baru-baru ini ke Solo. Keamanan
telah diserahkan kepada Angkatan Udara Indonesia’. Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-05-1957:‘Presiden Voroshilov
dan Presiden Soekarno kembali kemarin sore di Djakarta dari kunjungan ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur dan Bali. Perjalanan dari Surabaya ke Djakarta dua kepala
negara itu menggunakan Ilyushin Dolok Martimbang. Pesawat itu dikemudikan oleh
pilot dari Indonesia. Ini adalah pertama kalinya, Presiden Soekarno menggunakan
Dolok Martimbang. Kedua Presiden pagi ini telah berangkat ke Medan bersama rombongan
mereka. Kedua presiden bepergian bersama dengan pesawat GIA dan mereka
berangkat pada pukul delapan. Untuk pengangkutan anggota rombongan lainnya, sembilan
pesawat lainnya digunakan, termasuk pesawat pribadi Presiden Sukarno Dolok
Martimbang, serta dua pesawat lainnya dari jenis Ilyushin, yang digunakan oleh
tamu-tamu Rusia. Ketika meninggalkan Kemajoran, kedua presiden diantar oleh Wakil
Perdana Menteri Pertama Mr. Hardi dan beberapa menteri lainnya, Wali Kota Djakarta
Raja Soediro serta oleh berbagai otoritas sipil dan militer lainnya’. Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-06-1957: ‘Presiden
Soekarno kemarin sore dengan Dolok Martimbang kembali ke ibukota setelah memanfaatkan
liburan di Tawangmangu’. Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 19-06-1957:’ Kemarin sore, dengan Dolok Martimbang ke Madiun, Presiden Soekarno pergi
dengan ditemani Nyonya Hartini Soekarno dan beberapa menteri, serta sejumlah perwakilan
pers Belanda dan asing’.
Setelah beberapa kali digunakan oleh Presiden Soekarno, Air Force One
Dolok Martimbang harus masuk hanggar dan dikirim ke Moskow (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 01-07-1957). Disebutkan pesawat pribadi Presiden Sukarno Dolok
Martimbang akan segera dikirim ke Moskow untuk diperbaiki, dan di Jakarta
delapan anggota awak Rusia diperkirakan akan membawa pesawat ke Moskow. Perbaikan
pesawat Dolok Martimbang dilakukan selama satu setengah bulan dan kini sudah
tiba di bandara Polonia Medan.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-09-1957:’Pagi
ini sekitar pukul sebelas, pesawat pribadi Presiden Soekarno Dolok Martimbang
mendarat di bandara Polonia. Pesawat itu berasal dari Moskow dimana telah
mengalami perbaikan. Perjalanan dari Djakarta ke Uni Soviet dan kembali
berlangsung dibawah pimpinan Kapten Muljono. Menurut Kapten Muljono, kabin Dolok
Martimbang kini telah diperbesar, sebelumnya 16 kursi, sekarang menjadi 21 buah
kursi. Belum diketahui kapan pesawat akan melakukan perjalanan ke Djakarta.
Untuk pekerjaan perbaikan pesawat itu berada di Uni Soviet selama satu setengah
bulan’. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-09-1957:’ "Pesawat kepresidean Dolok
Martimbang dikembalikan ke Djakarta pada Jumat sore, setelah mengalami perbaikan
yang diperlukan di Moskow. Pesawat itu berangkat dari Djakarta ke Moskow dan
diterbangkan kembali oleh pilot dari Angkatan Udara Indonesia. Pada tanggal 25
September yang lalu kepulangan dari Moskow untuk perjalanan kembali ke
Indonesia’.
Pesawat kepresidenan Dolok Martimbang memiliki jumlah kursi yang lebih
banyak setelah dilakukan perbaikan. Jumlah kursi telah ditambah dari 16 buah
menjadi 21 buah kursi. Setelah parkir di Medan, pesawat Dolok Martimbang
kembali ke Djakarta.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-10-1957:’Presiden
Sukarno, menurut sebuah telegram dari direktur kantor kepresidenan, yang
diterima oleh kantor provinsi, akan tiba di Ambon pada tanggal 1 November untuk
kunjungan ke beberapa daerah di Maluku. Setelah itu, presiden akan melanjutkan
perjalanannya ke Sumbawa. Sejumlah menteri dan duta besar asing akan
mendampingi presiden dalam perjalanan ini. Presiden akan menggunakan pesawat pribadinya
Dolok Martimbang, untuk penerbangan, setidaknya untuk transportasi dari Djakarta
ke Ambon. Untuk perjalanan ke daerah lain, seperti Banda, angkatan udara akan
menyediakan pesawat Catalina’. Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 24-10-1957: ‘Setelah usai kunjungan ke Bandoeng, Presiden
Soekarno berangkat dengan Dolok Martimbang kembali ke ibukota’,
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1957:’ Pesawat pribadi presiden, Dolok Martimbang telah mengadakan beberapa
demonstrasi penerbangan di atas Bandung. Presiden telah membuat pesawat ini
tersedia untuk berbagai kelompok perempuan di Bandung untuk penerbangan wisata
di Bandung’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-11-1957:’ Presiden Soekarno di Kupaag Jumat lalu untuk menghadiri banyak undangan.
Presiden Kamis tiba di Kupang. Kepala negara disini dengan pesawat pribadi Dolok
Martimbang. Presiden Soekarno menjelaskan lebih lanjut perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Kepala negara lebih lanjut bersatu dan bersatu kebutuhan Indonesia
untuk ivestasi sumberdaya manusia. Oleh karena itu, konsultasi tentang
pembangunan akan membahas pembangunan yang sama dari seluruh negeri dan
menyiapkan cetak biru orang-orang yang akan tinggal di negara yang adil dan
makmur. Untuk pelaksanaan ini harus ada sebuah saluran yang dalam bentuk Komite
Perencanaan Nasional. Kalau tidak begitu kita akan berada dalam kekacauan
sebelum fajar pada tanggal 1 Januari 1958’.
Pesawat kepresidenan Dolok Martimbang akhirnya kembali ke Medan. Pesawat
pribadi Dolok Martimbang tersebut akan membawa Presiden Soekarno dalam rangka
peresmian penegerian Universitas Sumatra Utara yang direncanakan pada tanggal
20 November 1957. Inilah berkah tahun 1957 bagi Sumatra Utara, yang Universitas
Sumatra Utara yang telah didirikan tahun 1952 oleh Gubernur Abdul Hakim Harahap
telah dinegerikan. Cukup lama untuk menunggunya. Berkah lainnya, nama Dolok
Martimbang, gunung yang berada di Tapanuli Utara telah ditabalkan oleh Presiden
Soekarno sebagai lambang persatuan dan kesatuan di Indonesia.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-11-1957:
‘Kunjungan kepala negara ke Medan. Presiden Soekarno akan tiba dengan pesawat dari
Djakarta di Medan pada pukul sebelas pada hari Rabu pagi. Seperti disebutkan
sebelumnya, kepala negara tiba di Medan untuk secara resmi membuka universitas
negeri USU. Mungkin kepala negara dengan pesawat pribadinya Dolok Martimbang
datang. Dari bandara Polonia, kepala negara, bersama dengan Gubernur Soetan
Koemala Pontas dan otoritas lokal lainnya, akan pergi ke Padangbulan untuk
mengunjungi pekarangan gedung universitas yang akan didirikan disana. Dari
bandara Polonia rombongan akan pergi melalui Djalan Djokja, Djalan Bindjei,
Djalan Sultan Iskandar Muda dan seterusnya ke kompleks USU di Padangbulan.
Setelah kunjungan ke komplek USU, rombongan Presiden akan pergi ke kediaman
resmi Gubernur, dimana Presiden akan tinggal. Kunjungan Presiden Soekarno ke
Medan kali ini juga berarti, bahwa kepala negara akan melihat lebih banyak lagi
kota. Misalnya, selama tur kota, kepala negara akan dibawa ke tempat tujuan
dengan cara yang berbeda dari kediaman resmi Gubernur. Rabu sore pukul setengah
lima, Presiden Soekarno akan secara resmi membuka USU. Upacara akan berlangsung
di gedung Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial USU di Djalan Seram. Pada Kamis pagi
mulai pukul 7.45 hingga 8.30, Presiden Soekarno akan memberikan kuliah umum
untuk para mahasiswa USU. Presiden Soekarno juga akan bertemu dengan otoritas
sipil dan militer setempat di Balai Pradjurit di Djalan Rumah Bola. Kepala
negara akan mengadakan kuliah pada kesempatan ini. Rombongan Presidensial akan
meninggalkan Polonia pada Kamis sore. Diminta bahwa selama kunjungan Presiden
Soekarno ke Medan yakni tanggal 20 dan 21 warga untuk memasang bendera’. Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-11-1957:’Presiden
berangkat ke Medan. Pagi ini Presiden Soekarno pergi ke Medan untuk kunjungan
satu hari ke kota ini dengan rombongan kecil dengan menggunakan pesawat
kepresidenan Dolok Martimbang, dan di Medan Presiden akan menghadiri pembukaan
resmi Universitas Sumatera Utara. Kepala negara akan kembali ke Jakarta besok
siang’.
Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 21-11-1957: ‘Presiden Soekarno dan rombongan kemarin sore pukul
satu dengan pesawat pribadi dari kepala negara Dolok Martimbang tiba di Medan,
puluhan ribu orang telah menunggu di bandara Poloniadengan tamu-tamu terhormat untuk menjemput. Jam
sebelum itu sudah sibuk di jalan menuju bandara. Para anggota rombongan kepresidenan
juga termasuk putra kepala negara, Goentoer, yang pertama kali datang ke Medan.
Dalam sebuah pidato, Presiden mendesak penduduk untuk memperkuat persatuan
untuk pembebasan Irian Barat. Melalui persatuan hanya bisa kita mencapai tujuan
kita sehubungan dengan daerah itu, kata Presiden. Sebelum tiba di Medan, di
Talang Betutu, Presiden Soekarno dan rombongan kemarin pagi tiga puluh menit di
bandara Palembang, Talang Betutu, bersitirahat di perjalanan mereka ke Medan
untuk menghadiri pembukaan resmi Universitas Sumatera Utara di sana. Meskipun istirahat
itu singkat sementara mengambil bahan
bakar untuk Dolok Martimbang, masyarakat Sumatera Selatan tidak lalai menyiapkan
kepala negara dan rombongan untuk penyambutan yang besar, yang juga turut
dihadiri pemerintah setempat seperti komandan TT-I Komandan Barlian, Gubernur dan
ribuan orang yang datang ke bandara dimana Presiden dilakukan penerimaan secara
adat. diantara mereka yang melakukan penyambutan Presiden di bandara, juga Konsul
Belanda di Palembang. Presiden mengaku terkejut pada penerimaan dan dia meyakinkan
pendengarnya bahwa kasih sayang itu timbal balik. Presiden mengatakan menggunakan
Dolok Martimbang untuk perjalanannya melalui wilayah Indonesia, karena pesawat
ini adalah simbol untuk pendirian kesatuan dan persatuan diantara rakyat Indonesia. Dalam
kaitan ini Presiden menjelaskan fungsi apa yang telah dipenuhi oleh pegunungan
Dolok Martimbang ketika pada tahun-tahun di jaman kuno menurut legenda dari
Tapanuli, pegunungan dimana selalu ada perang dengan satu sama lain. Itu adalah
Dolok Martimbang, yang akhirnya memulihkan kedamaian di gunung-gunung ini. Presiden
juga membahas pembicaraan tentang Irian Barat. hari itu, dimana Presiden banyak
mengulangi pidatonya, yang ia bicarakan Senin sore di pertemuan massa di Djakarta
dalam rangka kampanye pembebasan Irian Barat. Tidak masuk akal bahwa Belanda memiliki
rencananya untuk menjajah Irian Barat, kata kepala negara. Jika Belanda
mengklaim bahwa tidak ada yang bisa keluar dari Irian Barat, mengapa mereka
tinggal di sana? Kepala negara juga menunjukkan bahwa itu tidak cukup untuk
membebaskan Irian Barat dengan berbicara atau hanya menyerahkan masalah kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami juga akan mencoba mengumpulkan kekuatan
sendiri kita bisa memaksa Belanda angkat tumit mereka dari Irian Barat,kata
presiden, yang menekankan rakyat Indonesia agar yakin bahwa sebelum ayam
berkokok pada 1 Januari 1958 Irian Barat akan kembali ke wilayah Indonesia. Diantara
anggota rombongan Presiden adalah Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Prijono, Sultan
Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, dan komandan distrik militer Maluku dan Irian
Barat, Letnan Kolonel. H. Pieters, Presiden Soekarno memperkenalkan para
anggota rombongannya, dimana Presiden secara khusus meminta perhatian dari para
pendengarnya untuk Pieters yang jauh. Presiden kemudian meminta Pieters untuk
menyampaikan satu kata kepada mereka yang hadir di bandara. Pieters mengatakan
bahwa sebagai seorang prajurit dia tidak bisa berbicara dengan baik. Pieters
hanya menyampaikan satu permintaan kepada komunitas Maluku Selatan ‘Untuk mendukung
perjuangan untuk pembebasan Irian Barat’.
Penegerian Universitas Sumatra Utara tidak terduga. Penetapan tanggal
peresmiaan penegerian Universitas Sumatra Utara juga dilakukan mendadak.
Penegerian Universitas Sumatra Utara dilakukan pada tanggal 20 November 1957.
Penegerian lebih bersifat politik daripada bersifat akademik. Tanggal-tanggal
di seputar (proses) penegerian Universitas Sumatra Utara terbilang situasi dan
kondisi politik di Indonesia tidak kondusif. Eskalasi politik antara pusat dan
daerah sedang memanas, lebih-lebih krisis hubungan antara Djakarta dan Provinsi
Sumatra Tengah yang berpusat di Bukittinggi yang mana Letkol Achmad Husein telah
melakukan kudeta terhadap pemerintahan pusat di Bukittinggi pada tanggal 20
Desember 1956.
Dalam konteks ini pula Presiden
Soekarno menabalkan nama Dolok Martimbang pada tanggal 24 Januari 1957sebagai
nama pesawat kepresiden RI, sebagai lambang/simbol persatuan dan kesatuan di
Indonesia. Jarak waktu antara dua kejadian ini sangat dekat, sekitar satu
bulan.
Sejarah Universitas Sumatra
Utara
Pembentukan perguruan tinggi/fakultas tidaklah mudah apalagi untuk
membentuk universitas. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Di Sumatra Utara, khususunya
di Medan pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, hasil perjanjian
KMB yang terbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) sejatinya belum kondusif
untuk pembentukan perguruan tinggi/universitas. Saat itu Negara Sumatra Timur yang
menjadi bagian dari RIS belum kondusif karena di Medan dan Negara Sumatra Timur
masih terdapat friksi antara orang-orang federalis dan orang-orang republiken.
Friksi ini mengerucut pada bulan April 1950 yang diadakannya Kongres Rakyat.
Hasil keputusan Kongres Rakyat adalah bubarkan Negara Sumatra Timur, Bentuk
Negara Kesatuan (Rpublik Indonesia). Hasil kongres di Medan ini direspon pusat
(Djakarta) dengan membubarkan RIS dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Kabinet
RIS Mohamad Hatta dibubarkan dan terbentuk Kabinet Natsir (NKRI) terhitung
tanggal 6 September 1950.
Untuk reorganisasi pemerintahan
dibentuk Provinsi Sumatra Utara (yang terdiri dari Residentie Tapanoeli,
Residentie Atjeh dan Residentie Sumatra Timur) yang mana pejabat Kementerian
Dalam Negeri, Sarimin Reksodiharjo dikirim ke Medan yang bertugas terhitung
tanggal 14 Agustus 1950 sebagai pejabat Gubernur Sumatra Utara. Setelah selesai
pembentukan dewan di setiap kabupaten/kota dan pengangkatan Bupati/Walikota di
setiap kabupaten/kota secara definitif Provinsi Sumatra Utara terbentuk. Tugas Sarimin
Reksodiharjo dianggap selesai pada tanggal 25 Januari 1951 bersamaan dengan
pengangkatan secara definitif Gubernur Provinsi Sumatra Utara, Abdul Hakim
Harahap.
Saat Abdul Hakim
Harahap resmi menjadi Gubernur Sumatra Utara belum ada tanda-tanda atau yang
sudah terbentuk perguruan tinggi/fakultas di Medan. Sementara di berbagai
daerah, meski struktur pemerintahan belum tuntas, sudah ada komite yang
dibentuk untuk tugas membentuk perguruan tinggi. Satu yang pertama di Sumatra
adalah pembentukan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ di bawah Jajasan
Sriwidjaja yang dibuka secara resmi pada tanggal 22 Agustus 1951 (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Salah satu pendiri perguruan tinggi
Pantjasila ini adalah Egon Hakim Nasution (anak mantan Wali Kota Padang). Pada
saat pembukaan perguruan tinggi di Padang ini, sejatinya ibukota Provinsi
Sumatra Tengah belum ditetapkan apakah di Padang atau di Bukittinggi. Komisi
pembentukan ibukota provinsi masih bekerja.
Jika kita membaca
sejarah Fakultas Kedokteran yang menjadi pilar pertama pembentukan Unversitas Sumatra Utara di dalam website resmi Universitas Sumatra
Utara akan ditemukan hal yang berbeda dengan fakta yang sebenarnya.
Subyektivitas lebih menonjol daripada objektivitas. Pada kenyataannya tidak ada
dalam fase pendudukan Jepang muncul gagasan pendirian universitas/perguruan
tinggi selain di (pulau) Jawa. Sebelumnya, perguruan tinggi di era kolonial
Belanda hanya terdapat di Jawa. Perguruan tinggi inilah yang coba dihidupkan di
era pendudukan Jepang, namun pemerintah militer Jepang tidak memiliki niat yang
serius untuk penyelenggaraan perguruan tinggi sehingga hidup segan mati tak
mau. Lalu tidak lama setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali. Ketika RI terdesak dan mengungsi ke
Djogjakarta barulah muncul gagasan pendirian universita yang diberi nama
Universita Gadjah Mada di Djogjakarta pada tahun 1946. Peresmiannya dihadiri
oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Sementara itu di pihak
Belanda pada tahun 1946 yang dimulai di Djakarta/Batavia berinisiatif
menyelenggarakan universitas yang disebut Nood Universiteit (Univerrsita
Darurat). Boleh jadi di luar Jawa di wilayah pengungsian muncul keinginan untuk
mendirikan perguruan tinggi tetapi faktanya di pengungsian adalah suasana
perang. Sangat naif untuk direalisasikan dan kebutuhannya juga tidak jelas.
Jadi tidak ada esensi sejarahnya. Hal ini berbeda dengan perguruan tinggi
republik di Djogjakarta, Solo dan Klaten yang memang cukup tersedia dosen-dosen
dan peralatan dan buku-buku yang turut diungsikan. Perguruan tinggi ini
kemudian setelah pengakuan kedaulatan Indonesia dibentuk menjadi Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 18 Desember 1949. Sedangkan pihak Belanda terus
meningkatkan kapasitas Nood Universiteit menjadi Universiteit van Indonesie
yang didukung oleh dosen-dosen yang dulu pernah mengajar sebelum pendudukan
Jepang plus dosen-dosen baru yang didatangkan dari Belanda. Pada era
Universiteit van Indonesia ini hanya satu kota di luar Jawa yang dibentuk
fakultas yakni di Makassar, Ini juga karena untuk keperluan khusus
Belanda/NICA. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia Universiteit van Indonesia
ditransfer dan kemudian menjadi Universitas Indonesia pada tahun 1950. Oleh
karena itu, tidak ada riwayat pembentukan universitas/perguruan tinggi di
Sumatra sebelumnya dan baru sejarah perguruan tinggi di Sumatra dimulai pasca
pembubaran RIS.
Tidak lama setelah pembukaan perguruan tinggi hukum Pantjasila di Padang,
di Medan, Gubernur Abdul Hakim Harahap mulai mengambil inisiatif untuk
pembentukan perguruan tinggi. Inisiatif ini boleh jadi karena di Padang sudah
terbentuk perguruan tinggi. Inisiatif in disegerakan karena sejumlah pihak di Sumatra
Utara khususnya di Medan juga telah mendorong Gubernur Abdul Hakim Harahap
untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
04-12-1951:‘Di Medan dan sekitarnya, Universitas untuk Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap mengirim surat yang ditujukan
kepada coordinator dewan dari Aceh dan Tapanuli dan semua bupati di wilayah itu, yang dimaksudkan untuk
mengumpulkan dana di kalangan penduduk dalam rangka untuk meningkatkan modal
bagi pendirian Universitas Sumatera Utara di Medan. Dana yang terkumpul akan
dikelola oleh badan khusus, dan hal ini dimaksudkan bahwa pada awal tahun depan
dapat memulai studi di universitas ini untuk Sumatera Utara. Gubernur Abdul
Hakim menempatkan dalam suratnya menyatakan bahwa dia sudah berulang kali
didesak untuk mengambil inisiatif untuk pendirian universitas yang mana mereka
umumnya meminta untuk memulai fakultas kedokteran. Gubernur berharap bahwa
pemerintah akan mengatur sebuah universitas di Medan yang mana sekarang ingin
masyarakat Sumatera Utara memungkinkan dirinya untuk menaikkan dana yang
diperlukan. Hal ini dipertimbangkan sebesar Rp 1 per kapita untuk memberikan
kontribusi, selain kontribusi dari sektor perdagangan, industri dan lainnya.
Gubernur berharap pengumpulan dana selesai pada akhir Februari’
Abdul Hakim Harahap, kelahiran Saroelangoen, Djambi tahun 1907, bukanlah
orang baru di Medan. Pada tahun 1927 Abdul Hakim Harahap ditempatkan sebagai
pejabat bea dan cukai di Medan. Pada tahun 1930 terpilih sebagai anggota dewan
kota (gemeenteraad) Medan. Abdul Hakim Harahap masih menjadi anggota dewan
hingga tahun 1937 sebelum dipindahkan ke Batavia di Kementerian Keuangan
(Economische Zaken). Selama di Medan tiga warisan Abdul Hakim Harahap adalah
proposal pengembangan pasar kota yang direalisasikan menjadi Pasar Sentral dan proposal
yang direalisasikan untuk menjadi rumah sakit kota yang representatif (kelak
disebut RS Pirngadi) serta klub sepak bola Sahata.
Hasil persiapan komite
yang diketuai oleh Dr. Soemarsono mulai dimatangkan untuk diumumkan ke publik. Salah
satu hasil pematangan komite ini adalah penetapan awal perkuliahan (pada bulan
Agustus 1952). Sebagaimana diketahui, sebelum terbentuk komite persiapan, Gubernur
Abdul Hakim Harahap memperkirakan pengumpulan dana via pemerintah di tingkat
kabupaten/kota selesai pada bulan Februari 1952 dan perkuliahan sudah dapat
dimulai pada awal tahun (1952). Sementara mulai intens persiapan, pada awal
tahun 1952 ini Abdul Hakim Harahap (Masyumi) juga termasuk kandidat untuk Menteri
Keuangan pada Kabinet Wilopo (lihat misalnya Het nieuwsblad voor Sumatra,
28-03-1952).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952 |
Lalu Gubernur
mengumumkan upaya pengumpulan dana setiap penduduk di Provinsi Sumatra Utara
sebesar Rp 1 per kepala. Setelah sejumlah dana terkumpul, lalu pada tanggal 4
Juni 1952 Jajasan Universitas Sumatera Utara didirikan dihadapan Notaris Hasan
Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra,
05-06-1952). Disebutkan Gubernur Abdul Hakim Harahap telah mengambil inisiatif
untuk mendirikan sebuah universitas di Medan, dana yang terkumpul sebesar Rp.
1,127,808.07. Pendirian fakultas ini di bawah yayasan yang diberi nama Jajasan
Universitas Sumatera Utara dan berkedudukan di Medan. Dewan Jajasan: Presiden,
Abdul Hakim Harahap, Wakil. Dr. T. Masoer, Sekretaris Dr. Soemasono, anggota: Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia
(Dr. Maas dan Dr. J. Pohan), Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (Drg. Barlan) Dewan Ekonomi Indonesia (Notaris Soetan
Pane Paroehoem).
Soetan Pane Paroehoem, jika
tidak mau dikatakan di Sumatra adalah satu-satunya di Provinsi Sumatra Utara. Soetan Pane Paroehoem adalah notaris kelima pribumi di Indonesia. Soetan
Pane Paroehoem lulus ujian notaris kelas satu pada tahun 1927. Pada tahun 1929
Soetan Pane Paroehoeman dinyatakan lulus ujian notaris kelas dua, salah satu
diantara empat orang yang lulus dari lima kandidat (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 10-08-1929). Dalam berita ini disebutkan dari
tujuh orang peserta ujian notaris kelas satu hanya dua orang yang lulus. Notaris
keempat adalah Soedja. Notaris ketiga pribumi adalah Raden Kadiman lulus
notaris kelas satu tahun 1921 (De Preanger-bode, 10-07-1921). Notaris RM
Wiranto adalah notaris kedua (lihat De Preanger-bode, 97-09-1920). Notaris
pertama adalah Soewandi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi
26-07-1920). Notaris Soewandi adalah nataris yang membuat dan menandatangani
akte pendirian Jajasan Universitas Indonesia yang diketua oleh Prof. Mr.
Soepomo, Ph.D (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 26-07-1951)
Pendaftaran mahasiswa dimulai (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode,
07-06-1952). Juga disebutkan bahwa perkuliahan akan dimulai 17 Agustus 1952
yang mana sebagai Ketua Jajasan Universitas Sumatra Utara adalah Abdul Hakim
Harahap dan diangkat Dr. A. Sofjan sebagai ketua dewan kurator (anggota wali
amanat), Tidak lama kemudian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
secara resmi dibuka pada tanggal 20 Agustus 1952 (Het nieuwsblad voor Sumatra,
20-08-1952). Terlambat tiga hari dari
yang jadwalkan.Disebutkan dalam peresmian ini turut hadir Menteri Dalam Negeri,
Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan. Para menteri hanya memuji-muji
inisiatif ini tetapi tidak ada kesan untuk ikut memberi kontribusi dalam hal
finansial. Kemandirian Jajasan Universitas Sumatra Utara tengah diuji.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-08-1952:’Fakultas
kedokteran Universitas Sumatera Utara akan dibuka secara resmi pada 20 Agustus
di auditorium fakultas-fakultas ini di Djalan Seram di Medan. Dewan Pembina
dari Jajasan Universitet Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Gubernur Abdul
Hakim Harahap, telah menyiapkan sebuah perguruan tinggi. Ketua dewan kurator
adalah Dr Ahmad Sofian, sementara anggota telah ditunjuk: wali kota AM
Djalaluddin, Dr. M. Wasidin, Mrs. Ny. A. Abbas Manoppo dan Mr. Lie Ghien Ghiam,
Tan Boen Djin, M. Ganie dan Arsi. Sekretaris adalah kepala administrasi pusat
universitas ditunjuk Mr. Oesman Fachoeddin. Tugas dewan kurator adalah untuk memastikan
kebutuhan universitas, jika perlu, berkonsultasi dengan pemerintah dan
otoritasnya, dan untuk memastikan bahwa semua peraturan (dan undang-undang) mengenai
organisasi universitas sepenuhnya dipenuhi’.
Gubernur Abdul Hakim Harahap adalah tokoh yang memiliki kepercayaan diri
yang tinggi dengan talenta yang banyak. Gubernur Abdul Hakim Harahap tidak
hanya republiken sejati, tetapi juga memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
luas. Abdul Hakim Harahap, alumni sekolah elit di Batavia, Prins Hendrik School
memiliki kemampuan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) dan karena
itu diposisikan sebagao penasehat delegasi RI ke KMB di Den Haag. Abdul Hakim
Harahap selain pernah menjadi Wakil Perdana Menteri RI, juga memiliki
pengalaman sebagai residen perang di era Angresi Militer Belanda II di
Residentie Tapanoeli. Satu hal lagi, Abdul Hakim Harahap adalah seorang ‘gibol,
pendiri merangkap pemain Sahata Voetbalclub di Medan (1934).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1952:
‘Kemarin sore pada pukul satu, Gubernur Abdul Hakim Harahap meletakkan batu pondasi
untuk stadion PON di Medan, yang akan didirikan di Djalan Radja di Medan,
selama upacara singkat. dimana sebelumnya terletak kampung Teladan. Wali Kota AM
Djalaluddin Pohan berterima kasih kepada warga kampung Teladan atas kesediaan
mereka untuk pindah ke tempat lain untuk memungkinkan pembangunan stadion yang
bermartabat untuk pekan olahraga nasional ketiga yang akan diadakan di Medan
tahun depan. Setelah ini dia (wali kota) meminta Gubernur Abdul Hakim untuk
meletakkan batu pertama. Akhirnya, Mr GB Josua Batubara, Ketua Komite PON,
membuat beberapa pengumuman tentang stadion baru. Desainnya dirancang oleh Ir.
Lim Bwan Tjie, yang juga mendesain stadion Ikada di Djakarta (tempat PON 1951).
Persiapan untuk pembangunan dilakukan oleh Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Sumatera
Utara dalam kerjasama yang baik dengan pihak berwenang yang relevan dan dengan
bantuan baik badan resmi maupun swasta. Biaya konstruksi diperkirakan sekitar
Rp 5 juta. Stadion ini akan menampung 30.000 penonton’.
Dalam kapasitas itulah Abdul Hakim Harahap juga berani menawarkan diri
untuk menjadikan Provinsi Sumatra Utara sebagai penyelenggara PON III yang akan
diadakan tahun depan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-01-1952). Abdul
Hakim Harahap sudah membuktikan bahwa penduduk Provinsi Sumatra Utara mampu
mendirikan universitas, apalagi hanya PON. Biaya konstruksi sebesar lima juta
rupiah dan biaya penyelenggaraan sebesar dua juta rupiah dan kebutuhan PON di
Medan secara total diperlukan sebanyak Rp 7 juta. Namun sekali lagi, pemerintah
angkat tangan. Pemerintah hanya menyediakan sebanyak Rp 750.000 (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1952).
Het nieuwsblad voor Sumatra,
15-04-1952: ‘PON III kemungkinan akan diselenggarakan di Medan pada bulan Juni
atau Juli 1953 yang ditetapkan di Stadion Djalan Radja. Mr GB Joshua, ketua
panitia PON, kemarin sore pada konferensi pers sehabis pembicaraan dengan
delegasi Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Azis Saleh (bertindak sekretaris
Komite Olimpiade Indonesia) menjelaskan bahwa organisasi PON III sepenuhnya
keputusan panitia. KOI hanya menyediakan pedoman, semua keputusan akan diambil
oleh Mr. Joshua cs. Dengan PON ribuan orang muda dari seluruh bagian negara
akan bersama-sama dan mereka melihat wilayah Indonesia, dimana mereka mungkin
sebelumnya tidak pernah datang. Ketika ditanyakan bagaimana cara menyelesaikan
masalah penyediaan tempat tinggal bagi atlet, Mr. Joshua masih belum bisa
memberikan informasi yang pasti. Juga tentang anggaran dan cara bagaimana untuk
mendapatkan dana yang diperlukan, tidak ada rincian yang dapat diberitahu. Secara
total diperlukan sebanyak Rp 7 juta (pembangunan stadion Rp 5 Juta). Pemerintah
hanya menyediakan sebanyak Rp 750.000’.
Lantas apakah Abdul Hakim Harahap akan membatalkan? Oh, tidak. Abdul
Hakim Harahap adalah pejuang yang merasa yakin penduduk Provinsi Sumatra Utara
akan mampu. Gubernur Abdul Hakim Harahap kembali menggalang dana warga Sumatra
Utara. Terbukti mampu dan lancar. Kelak, Stadion Teladan (yang masih eksis
hingga ini hari) adalah warisan utama Gubernur Abdul Hakim Harahap yang boleh
dikatakan adalah milik warga Sumatra Utara (bukan pemerintah!).
Lantas mengapa pemerintah abai
terhadap pembiayaan di daerah termasuk kontribusi pemerintah pembangunan
Universitas Sumatra Utara dan pembangunan stadion dalam penyelenggaraan PON?
Pemerintah pusat seakan tidak mau tahu urusan di daerah. Itu semua karena
parlemen telah mengatur kabinet (kabinet parlementer). Selain ribut masalah
kursi juga sudah muncul korupsi. Susunan pimpinan dan anggota kabinet adalah
representatif di parlemen. Oleh karena itu, Kepala Staf Angkatan Darat, Majoor
Generaal Abdul Haris Nasution mulai gerah dan dengan pasukannya melancarkan
demonstrasi ke depan istana Presiden Soekarno untuk meminta agar parlemen
dibubarkan (karena cenderungan mengacaukan negeri yang baru mulai membangun).
Tidak hanya kontribusi pemerintah untuk anggaran pembentukan perguruan tinggi
dan penyelenggaraan PON sangat minor, juga kesejahteraan prajurit juga sangat
tidak layak. Peristiwa demonstrasi militer ini disebut Peristiwa 17 Oktober
1952.
Kegelisahaan Abdul
Hakim Harahap sebagai pemimpin tertinggi di daerah juga dialami oleh Jenderal
Abdul Haris Nasution di pusat. Demonstrasi militer yang dipimpin oleh Nasution
direspon Abdul Hakim Harahap di daerah dengan mengkritik pemerintah pusat dalam
urusuan pendidikan tinggi. Abdul Hakim Harahap selain pengagas Universitas
Sumatra Utara juga adalah anggota pendiri Universitas Islam Sumatra Utara. Abdul
Hakim Harahap juga bertindak sebagai Ketua dewan kurator (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 10-09-1952). Saat pembukaan Universitas Islam Sumatra Utara, Abdul
Hakim Harahap melontarkan kritiknya kepada pemerintah pusat. Universitas
Sumatra Utara yang ingiin dipromosikan oleh pengurusnya menjadi universitas
negeri saja tidak dapat anggaran dana pusat apalagi universitas yang dimiliki
oleh kelompok komunitas (Islam).
De nieuwsgier, 20-10-1952: ‘Kritik
pada pemerintah pusat pada pembukaan perguruan tinggi. Pada pembukaan gedung sekolah
Islam yang baru (Perguruan Tinggi Islam Indonesia) di Djalan Radja di Medan, Gubernur
Sumatera Utara telah memberikan pidato. Gubernur Abdul Hakim Harahap menyatakan
bahwa jika pemerintah pusat tidak memberikan bantuan, provinsi akan
melakukannya sendiri. Ini bukan provinsiisme, tapi disini (Provinsi Sumatra
Utara) ada orang-orang yang ingin maju sindir Abdul Hakim Harahap. Gubernur bertanya-tanya
mengapa pemerintah pusat tidak tertarik pada universitas. Tidak diinginkan
bahwa wilayah ini (Provinsi Sumatra Utara) membuat kemajuan lebih cepat
daripada modal? Daerah kami tidak akan menunggu. Kami akan melanjutkan, bahkan
jika tidak ada pun dukungan pemerintah pusat, kata Gubernur’.
Demonstrasi militer di Djakarta kemudian menular ke daerah. Demonstrasi
warga di Kota Medan yang menuntut bubarkan parlemen lalu menuju Kantor
Gubernur. Sekarang giliran Abdul Hakim Harahap yang didemo. Jika dipusat yang
didemo adalah Presiden Soekarno, di Medan yang didemo adalah Gubernur Abdul
Hakim Harahap. Lantas bagaimana reaksi Abdul Hakim Harahap? Gubernur Abdul
Hakim Harahap keluar dan menghampiri para demonstran sambil mendengarkan lalu
berpidato. Gubernur Abdul Hakim Harahap akan menyampaikan apa yang dituntut dan
sekarang semua yang hadir disini kembali ke rumah masing-masing dan semua
spanduk dilipat dan silahkan dikumpulkan dan semua spanduk akan segera saya
bawa ke Djakarta.
Dalam akhir pidato Gubernur
Abdul Hakim Harahap mengajak para demonstran untuk mengikuti dengan meneriakkan
dukungan kepada presiden: Hidup Presiden!, Hidup Presiden!, Hidup Presiden
Sukarno!. Ternyata para demonstran mengikutinya. Gubernur Abdul Hakim Harahap
tampaknya hanya mengakui atasannya Presiden Soekarno. Bukan Perdana Menteri,
bukan para Menteri dan juga bukan para pimpinan dan anggota parlemen. Idem dito
Jenderal Abdul Haris Nasution.
Setelah peresmian fakultas kedokteran, dekan yang ditunjuk adalah Dr. A.
Sofian sementara yang menjadi ketua dewan kurator adalah AM Djalaloeddin (De
nieuwsgier, 23-08-1952). Meski Dr. A. Sofian telah ditunjuk sebagai dekan
fakultas, pada dasarnya masih menjabat sebagai Kepala rumah sakit kota (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 29-06-1953). Sementara AM Djalaloeddin adalah Wali
Kota Medan yang didalam kepengurusan Jajasan Unversitas Sumatra Utara tetap
sebagai Wakil Ketua yayasan.
Dalam kunjungannya ke Provinsi
Sumatra Utara, Wakil Presiden Soekarno menyempatkan diri berkunjung ke fakultas
kedokteran (Het nieuwsblad voor Sumatra, 12-08-1953). Dies Natalis pertama
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara yang pertama dilakukan setahun
setelah peresmian. Dihadiri sejumlah pihak. Dekan nmelaporkan jumlah mahasiswa
sebanyak 26 mahasiswa diantaranya tiga perempuan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1953).
De nieuwsgier 12-10-1953 memberitakan Dr. Mansoer meninggal dunia. Disebutkan
Dr. Mansoer sudah beberapa lama sakit.
Pendirian fakultas ekonomi di Palembang juga didukung oleh Presiden
Universitas Indonesia Prof. Mr. Soepomo. Ph.D yang turut hadir dalam peresmian
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
03-11-1953). Usulan dari Palembang ini ternyata direspon positif dari dari dua
kota dimana sudah terdapat perguruan tinggi. Di Padang pada tahun 1951 telah
didirikan Perguruan Tinggi Hukum ‘Pantjasila’ dan di Medan telah dibentuk
Jajasan Universitas Sumatra Utara yang telah mendirikan fakultas kedokteran
pada tahun 1952. Pada saat usulan ini muncul di Indonesia baru dua universitas
negeri yakni Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta yang diresmikan pada
tanggal 20 Desember 1949 dan Universitas Indonesia di Djakarta yang didirikan
pada tanggal 20 Februari 1950.
Abdul Hakim Harahap (Het n.v Sumatra, 31-12-1952) |
Oleh karena Ketua Dewan Jajasan
Universita Sumatra Utara yang pertama Abdul Hakim Harahap telah dipindahkan ke
Djakarta, maka dibentuk kembali dewan jajasan yang baru (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 19-01-1954). Disebutkan struktur Dewan Jajasan Universita Sumatera
Utara yang diketuai oleh Gubernur SM Amin Nasution; H. Soetan Pane Paroehoem
sebagai wakil ketua, Dr. Soemarsono sebagai sekretaris-bendahara, dan sebagai
anggota: Wali Kota Medan, Oh Tjie Lien, Dr. Barlan, Dr. Maas, J. Pohan, Tahir,
Anwir dan Madong Lubis. Juga disebutkan Dekak Fakultas dan Ilmu Sosial adalah
Mr. T. Dzulkarnaen.
Ketika usulan pembentukan universitas di Sumatra mulai menguat, Menteri
Pendidikan yang baru Mohamad Jamin, tiba-tiba mengumumkan ke publik bahwa akan
dilakukan reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia (lihat De nieuwsgier,
19-05-1954). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan menambah tiga lagi
perguruan tinggi negeri (PTN). Selain Universitas Gadjah Mada yang berpusat di
Djogjakarta dan Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta ditambah satu
universitas di Soerabaja, satu universitas di Sumatra dan satu universitas di
Sulawesi. Universitas Gadjah Mada fakultasnya selain di Djogjakarta juga
terdapat di Soerabaja; Universitas Indonesia fakultasnya selain di Djakarta
juga terdapat di Bandoeng, Bogor, Soerabaja dan Makassar. Usulan dalam
reorganisasi pendidikan tinggi tersebut, Menteri Pendidikan Mohamad Jamin
menetapkan nama universitas di Sumatra dengan nama Adityawarman.
Tidak lama kemudian yang muncul
adalah pembentukan dua fakultas di Sumatra Tengah, fakultas pedagogik di Batusangkar
dan fakultas pertanian di Paijakoemboeh plus fakultas (kedokteran) di Medan dan
fakultas (ekonomi) di Palembang ((lihat Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 18-06-1954).
Dalam perkembangannya, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang
berbasis antar kota antar provinsi semakin tidak jelas. Ini sehubungan dengan
perubahan yang tiba-tiba bahwa Kementerian Pendidikan hanya fokus dalam
pembentukan tiga PTN yakni di Soerabaja, Sumatra Tengah dan di Makassar.
Pada tahun 1954 Universitas
Sumatra Utara yang telah memiliki dua fakultas dan sejatinya sudah siap
dinegerikan. Dalam hal ini pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) manakala
dikatakan keuangan pemerintah defisit, sebenarnya tidak perlu repot untuk
membangun fakultas baru untuk pendirian suatu universitas baru yang jelas
membutuhkan alokasi anggaran baru, Ketika fakultas-fakultas di Soerabaja belum
siap untuk dijadikan universitas tiba-tiba diumumkan akan segera diresmikan
sebagai universitas negeri di Soerabaja dengan nama Universitas Airlangga pada
tanggal 10 November 1954. Tampaknya mahasiswa-mahasiswa di Medan dan Palembang
kembali gigit jari. Mengapa? Jika fakultas/universitas dinegerikan pengeluaran
orangtua mahasiswa semakin kecil karena uang kuliah semakin murah. Pembentukan
Universitas Airlangga bertumpu pada fakultas kedokteran, kedokteran gigi dan
fakultas hukum di Soerabaja, Fakultas/institusi di Soerbaja ini yang menjadi
bagian dari Universitas Indonesia (yang notabene milik pemerintah/negeri).
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-10-1954 |
Tampaknya protes mahasiswa
dapat dipahami oleh pemerintah pusat. Namun tidak sepenuhnya tuntutan mahasiswa dipenuhi oleh
pemerintah. Pengakuan (penegerian) hanya dilakukan terhadap dua fakultas yang
ada. Pengakuan (penegerian) tampaknya bergeser ke Sumatra Tengah dengan
membentuk baru universitas negeri.
Het nieuwsblad voor
Sumatra, 15-09-1955:’Fakultas Kedokteran sejak 1 September 1955dan pada saat
yang sama juga Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial diserahkan kepada Pemerintah oleh
Jajasan Universitas Sumatera Utara untuk dinegerikan. Yang diangkat sebagai
dekan Fakultas Kedokteran dalam hal ini adalah
Dr. Achmad Sofjan, yang akan mengundurkan diri dari jabatannya saat ini
sebagai Direktur Medis Rumah Sakit Umum di Medan. Sedangkan yang diangkat
sebagai dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial adalah Ny. Mr. Ani A.
Abbas-Manoppo. Selanjutnya setelah transfer
fakultas-fakultas ini kepada pemerintah, pengelola Jajasan Universitas Sumatra
Utara akan melanjutkan kegiatannya yaitu perluasan pendidikan tinggi
(pembentukan fakultas-fakultas baru) di Sumatera Utara. Jajasan Universitas
Sumatra Utara saat ini tengah membentuk fakultas pertanian. Jajasan Universitas
Sumatra Utara didirikan tahun 1952 dengan membuka fakultas kedokteran pertama
untuk Sumatera. Pada tahun 1952 yayasan ini juga dimulai dengan pembukaan
fakultas kedokteran dan fakultas hukum di Medan. Beberapa tahun lalu Jajasan Universitas
Sumatra Utara memulai kegiatannya di Sumatera Utara untuk memberi kesempatan
kepada pemuda Sumatra Utara untuk mengikuti studi universitas yang diadakan di
Medan. Dalam peringatan yang diadakan kemarin, hadir Gubernur Sotean Kumala
Pontas yang kapasitasnya sebagai ketua dewan pengawas, berpidato tentang sejarah
fakultas yang dibuka oleh Jajasan Universitas Sumatra Utara selama
bertahun-tahun. Disebutkannya saat ini lulusan untuk berbagai ujian di fakultas
kedokteran dan fakultas hukum rata-rata sekitar 50 persen.
Sejauh ini Universitas
Sumatra Utara telah bermetamorfosis dari suatu inisiatif Gubernur Abdul Hakim
Harahap (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951), kemudian diimplementasikan oleh
sejumlah pimpinan instansi pemerintah di Medan yang tergabung dalam suatu
Komite Persiapan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952). Selanjutnya Gubernur
Abdul Hakim Harahap membentukan yayasan yang disebut Jajasan Universitas
Sumatra Utara dengan akte notaris (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-06-1952).
Lalu yayasan menetapkan susunan ketua dan anggota Dewan Kurator (Het nieuwsblad
voor Sumatra, 05-08-1952). Dengan demikian sudah terbentuk dua fungsi yakni
yang pertana fungsi organisasi yayasan (yang diketuai oleh Gubernur) dan fungsi
pelaksana penyelenggaraan akademik yang dalam hal ini disebut kurator (yang diketuai
oleh Dr. A. Sofian). Selanjutnya ketika fakultas kedokteran diresmikan diangkat
dekan Dr. A. Sofjan, sementara untuk ketua kurator diangkat AM Djalaloeddin.
Pada tahun 1954 Jajasan Universitas Sumatra Utara mendirikan fakultas hukum.
Ketika dua fakultas ini dinegerikan (yayasan memberikan kepada pemerintah) pada
tahun 1955 dekan untuk Fakultas Kedokteran diangkat kembali Dr. A. Sofian dan
untuk Fakultas Hukum yang diperluas menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
diangkat sebagai dekan adalah Ny. Mr. Ani A.
Abbas-Manoppo. Dekan Fakultas Kedokteran dibantu oleh Dr. Maas sebagai Wakil
Dekan dan Dr. Mohamad Ildrem Siregar sebagai Sekretaris Dekan; Dekan Fakultas
Hukum dan Ilmu Sosial dibantu oleh Mr. Prof. Mr. T. Dzulkarnain sebagai
Sekretaris Dekan. Selanjutnya dewan yayasan kembali memikirkan pembentukan
fakultas-fakultas baru.
Pemerintah/Kementerian Pendidikan terus melenggang dengan pembentukan dan
peresmian Universitas Airlangga, serta pembentukan fakultas-fakultas di Sumatra
Tengah untuk mengejar persyaratan pembentukan suatu universitas negeri.
Menyadari bahwa Universitas Sumatra Utara kurang diperhatikan Jajasan
Universitas Sumatra Utara terus berbenah sendiri dan memperkuat
fakultas-fakultasnya.
Suhubungan dengan hal tersebut
Gubernur Sumatra Tengah telah menerima surat dari Kementerian Pendidikan yang
mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier,
24-07-1956). Dalam hal ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal mengenai
pembukaan ini. Dalam perkembangannya, pembentukan Universitas Adityawarman di Sumatra
Tengah dan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi dilaporkan hampir selesai. (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Akhirnya Universitas Hasanoeddin di
Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956 dan tiga hari kemudia Universitas
Adtyawarman yang diganti nama dengan nama Universitas Andalas di Bukittinggi
pada tanggal 13 September 1956. Universitas Airlangga diresmikan oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan Universitas Hasanoeddin
dan Universitas Andalas.
Gagasan penegerian Universitas
Sumatra Utara baru muncul pada era Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto (Maret 1956-April
1957). Ketika ikut mendampingi Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan
Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1956, Menteri
Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengumumkan bahwa sebelum tahun 1960 akan
dibentuk universitas negeri di Medan (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 13-09-1956). Disebutkannya lebih lanjut bahwa setelah ini (baca:
Universitas Sumatra Utara), jumlah universitas tidak akan lagi ditambah, enam
universitas cukup untuk Indonesia.
Jajasan Universitas Sumatra kembali
menghasilkan fakultas baru di Medan. Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 19-11-1956 memberitakan di Medan Jumat pagi pembukaan
fakultas pertanian berlangsung, dibawah naungan Jajasan Universitas Sumatera
Utara. Penjabat gubernur Sumatera Utara, Soetan Koemala Pontas, dalam kapasitasnya
sebagai Ketua Jajasan memberikan sambutan. Disebutkan untuk memenuhi sebagian
ruangan yang diperlukan digunakan beberapa ruangan di kantor gubernur. Fakultas
pertanian yang baru ini disebutkan juga memiliki kepentingan dengan sejumlah
perusahaan di Sumatera Utara, termasuk AVROS. Fakultas saat ini memiliki 61 mahasiswa.
Namun belum lama Universitas Andalas diresmikan, Wakil
Presiden Mohamad Hatta dinyatakan mengundurkan diri pada tanggal 1 Desember
1956.
Pada hari yang sama, ketika parlemen menyetujui
pengunduran diri Mohamad Hatta, salah satu surat kabar di Djakarta menulis
sebagai berikut: ‘Dwitunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal’. Boleh jadi
pengunduran diri Mohamad Hatta tidak mengagetkan Soekarno. Namun tidak lama
kemudian lagi, terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi oleh
Letkol Achmad Husein pada tanggal 20 Desember 1956 dan mencopot Gubernur
Sumatra Tengah Muljohardjo yang notabene adalah wujud dari perwakilan
pemerintah pusat di Sumatra Tengah. Peristiwa di Bukittinggi ini tentu membuat
Presiden Soekarno kaget. Presiden Soekarno jelas dalam posisi dilawan. Karakter
Soekarno justru orang yang tidak mau dilawan. Terhadap peristiwa ini, lantas,
apakah Presiden Soekarno mulai gamang? Ternyata tidak gamang. Soekarno adalah
seorang revolusioner sejak era kolonial Belanda dan proklamator kemerdekaan
Indonesia yang baru-baru ini berhasil memimpin negara-negara Asia dan Afrika
dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandoeng (1955). Yang gamang adalah para
menteri-menterinya. Sebaliknya, Achmad Husein dengan dewan Bantengnya semakin
berani melawan pusat, tidak hanya Presiden Soekarno tetapi juga Kabinet
Djoeanda yang dipimpin Perdana Menteri Ir. Djoanda dengan Menteri Dalam Negeri
Sanoesi. Letnan Kolonel Achmad Husein bahkan tidak menggubris seruan damai dari
Kepala Staf Angkatan Darat, Majoor Generaal Abdul Haris Nasution (yang notabene
atasannya langsung). Secara historis, Soekarno, Djoeanda, Sanusi dan Nasution
adalah ‘kelompok Bandoeng’.
Setelah terjadi kudeta
di Bukittinggi, tidak lama kemudian Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengatakan pembentukan universitas negeri
di Medan dapat disegarakan. Pembentukan universitas negeri di Medan, yang baru
saja diumumkan oleh menteri pada upacara pembukaan Universitas Andalas di
Bukittinggi, dapat dibenarkan dengan kehadiran empat fakultas, yaitu. fakultas
kedokteran, hukum dan pertanian serta akademi pedagogis swasta. Pernyataan
Menteri Pendidikan ini sangat berdekatan dengan pertemuan tokoh-tokoh Tapnuli
di Djakarta yang memutuskan perlunya persatuan dan kesatuan, pembangunan di
Tapanoeli dan menghindari pemicu perpecahan di Sumatra Utara.
Java-boe, 22-01-1957 |
Kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 telah menimbulkan permasalahan
tersendiri di Sumatra Utara. Ketika muncul aksi di Sumatra Timur, tokoh-tokoh
Tapanuli (yang dipimpin oleh Abdul Hakim, mantan Gubernur Sumatra Utara) di
Djakarta memberi respon yang menyejukkan yakni memperkuat persatuan dan
kesatuan (di Indonesia), perlu menyegerakan pembangunan (di Tapanuli) dan menghindari
perpecahan (di Sumatra Utara).
Pemisahan Residentie Atjeh dari
Provinsi Sumatra menjadi Provinsi Atjeh berbeda dengan Pemisahan Sumatra Timur
dari Provinsi Sumatra Timur untuk dijadikan sebagai sebuah provinsi. Pada tahun
1956 secara resmi Provinsi Atjeh terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24
Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Pembebntukan Provinsi
Atjeh relatif bersamaan dengan pemberontakan di Povinsi Sumatra Tengah. Awal
pembentukan Provinsi Atjeh dimulai pada pemberintakan di Atjeh tepat pada
pembukaan PON III di Medan 20 September 1953 (di era Gubernur Abdul Hakim
Harahap). Boleh jadi tindak lanjut
perdamain di Atjeh di era Gubernur SM Amin Nasution adalah pembentukan Provinsi
Atjeh. Kini, di era Gubernur Soetan Kumala Pontas (mantan Bupati Tapanuli
Tengah) muncul isu pemisahan Sumatra Timur tidak lama setelah secara resmi
terbentuk Provinsi Atjeh. Sebagaimana tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta, Gubernur
Soetan Kumala Pontas juga ingin tetap menjaga persatuan dan kesatuan di
Provinsi Sumatra Utara (Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur),
Boleh jadi komunike ini telah disampaikan kepada pemerintah atau
terdeteksi oleh pemerintah (Presiden dan Menteri Pendidikan). Sebab keputusan
Menteri Pendidikan bersesuain dengan keputusan tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta
yang dipimpin oleh Abdul Hakim yang menekankan persatuan di antara orang-orang
Tapanuli dimanapun berada di Indonesia dan menghindari perpecahan di Sumatra Utara.
Beberapa hari kemudian, keputusan pribadi Presiden Soekarno menamai pesawat
kepresidenan dengan nama Dolok Martimbang juga bersesuaian dengan keputusan
tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta tentang persatuan dan kesatuan.
Pada tanggal 24 Januari 1957 sebuah
pesawat yang dihadiahkan oleh Pemerintah Uni Soviet mendarat di bandara Halim,
Djakarta. Presiden Soekarno langsung datang ke bandara. Pesawat yang akan
dijadikan sebagai pesawat kepresiden Indonesia, Presiden Soekarno spontan
memberi nama Dolok Martimbang.
Dolok Martimbang adalah nama gunung yang dikenal sejak masa lalu di
Tapanuli (Utara) yang memiliki legenda sebagai nama suatu gunung yang dijadikan
sebagai tempat mengikat perdamaian berdasarkan pertimbangan yang adil. Nama
Dolok Martimbang diartikan oleh Presiden Soekarno sebagai lambang persatuan dan
kesatuan. Lantas apakah kudeta di Bukittinggi memiliki relasi dengan penabalan
pesawat pribadi presiden dengan nama Dolok Martimbang?
Jelas iya. Meski
terkesan spontan Presiden Soekarno menabalkan nama Dolok Martimbang, tetapi
Soekarno sudah lama mengetahui makna nama Dolok Martimbang bagi penduduk Batak
di Tapanuli Utara. Yakni sebagai lambang perdamaian yang dalam bahasa Soekarno
diartikan sebagai simbol dari persatuan dan kesatuan. Boleh jadi saat itu
Presiden Soekarno melihat kejadian di Bukittinggi sebagai sinyal disiintegrasi
(menolak persatuan dan kesatuan) antara Provinsi Sumatra Tengah dengan
Indonesia. Dalam konteks inilah Presiden Soekarno memerlukan spirit Dolok
Martimbang untuk bisa memperkuat persatuan dan kesatuan. Nama Dolok Martimbang
ditempel di pesawat pribadi kepresidenan, pesawat yang membawa Presiden
Soekarno ke berbagai daerah di Indonesia. Setiap orang bertanya apa arti Dolok
Martimbang, Presiden Soekarno dengan tepat menjelaskan artinya simbol persatuan
dan kesatuan. Dalam hal ini ternyata, Presiden Soekarno merasa tidak cukup
dengan motto Bhinneka Tunggal Ika sehingga harus ditambah dengan spirit Dolok
Martimbang.
Bagi pegiat pendidikan tinggi di Medan, kudeta di Bukitttinggi adalah
satu hal. Penyegeraan untuk penegerian Universitas Sumatra Utara adalah hal
lain. Para akademisi di Medan tidak sedang larut dalam eskalasi politik. Oleh
karena sudah ada permintaan pemerintah, lalu komite persiapan penegerian
Universitas Sumatra Utara dibentuk (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-02-1957). Disebutkan sehubungan dengan niat Pemerintah untuk terus membentuk universitas negeri di
Medan dalam tahun ini, Komite Persiapan Universitas Sumatra Utara telah
dibentuk hari ini dengan komposisi sebagai berikut: Gubernur Sumatera Utara
Soetan Kumala Pontas sebagai Ketua; Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua; Mr. J.
Arnold Simandjuntak. kepala departemen administrasi umum di kantor gubernur
sebagai sekretaris pertama dan untuk sekretaris kedua adalah Mr. Mahadi. Mr. Paras
Nasution, Direktur Bank Dagang Indonesia sebagai bendahara; Para anggota komite
adalah Komandan Tritorial, Wali Kota Medan, Ketua Dewan Sumatera Utara; Ketua
Dewan Kota Medan, Prof. A. Sofian, Prof. Mohamad Ildrem Siregar, Prof. Mrs. A.
Abas-Manoppo, Prof. T Dzulkarnain, Tan Tong Tan dan G. Sianipar. Universitas
negeri yang akan dibentuk mencakup fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu
sosial, fakultas ilmu pertanian, fakultas pedagogi dan fakultas kedokteran
gigi. Dua fakultas, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial sudah
berlangsung sejak beberapa tahun di Medan. Sementara fakultas ilmu pertanian
dan fakultas pedagogi telah didirikan pada tahun lalu. Sedangkan fakultas
kedokteran gigi masih dipersiapkan.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-02-1957 pertemuan massa 5 di
Sumatera Tengah dalam rangka pengunduran diri permintaan pemerintah huddiige
adalah hari Rabu di Buikittinggi mengadakan pertemuan massa, yang dihadiri oleh
sejumlah besar penduduk kota dan sekitarnya. Pada pertemuan ini tiga orang
diucapkan, yaitu Dt. Madjo Indo sebagai wakil dari niniik-mamak, Maimunah
Rahman sebagai wakil dari organisasi-organisasi perempuan dan Maramis sebagai
wakil dari kaum muda. Itu berbicara tentang situasi saat ini, yang di mata
mereka tidak bisa lagi diatasi oleh pemerintah saat ini. Mereka menyatakan
pendapat mereka bahwa keberlangsungan eksistensi kabinet saat ini hanya akan
mengarah pada hubungan terpisah antara pemerintah pusat dan daerah. Atas dasar
ini, rakyat Sumatra Tengah menginginkan kabinet yang sekarang digantikan oleh
kabinet bisnis yang dipimpin oleh Dr. Hatta. Resolusi juga diadopsi pada
pertemuan massa ini, dengan pembubaran kabinet saat ini sebagai persyaratan
utama. Setelah pertemuan massal, sebuah prosesi besar diadakan oleh kota. Kepala
Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution, adalah audiensi dengan Presiden
di Bogflr. Dalam kunjungan ini, kepala staf melapor kepada presiden dalam
kualitasnya sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata Indonesia, pada
kunjungannya ke Sumatra baru-baru ini dalam konteks penyelesaian berbagai
peristiwa dan dalam militer. Juga diketahui bahwa kepala staf mengunjungi Ali
Sastroamidjojo untuk kedua kalinya sejak kepulangannya dari Sumatera dalam
kapasitasnya sebagai menteri pertahanan ai Naar, selama pertemuan ini berbicara
tentang penyelesaian masalah ini. Sumatra. Dengan GIA-kapal adalah ibu kota
Medan tiba sekelompok tujuh orang untuk tur orientasi melalui Sumatera Utara,
yang terdiri Bachrun Harahap, Jusuf Telombanua, S. Pandjaitan, Aminuddin Lubis.
Hasbullah Siregar. ir. Debataradja dan Amsar Lubis. Di pengamat bandara
disambut oleh ratusan warga Sumatera Timur dan Tapanuli. S. Pandjaitan. juru
bicara kelompok itu, permintaan mengatakan kepada pers bahwa mr. Tambunan dan
Abdul Hakim, mantan goeverneu- county Noor saya Sumatera aanvanke'ijk akan
berpartisipasi dalam perjalanan, tetapi mereka harus meninggalkan mereka karena
politik situasi di ibukota.
Proses pembentukan universitas negeri di Sumatra Utara (yakni Universitas Sumatra Utara) sudah direspon oleh pemerintah pusat. Gubernur Sumatra Utara Abdul Halim Harahap pernah mengkritik pusat karena tidak sesenpun pemerintah pusat mengalokasikan anggaran dalam pembentukan perguruan tinggi di Sumatra Utara sementara warga masyarakat dan stakeholder lainnya sudah menunjukkan partisipasinya (De nieuwsgier, 20-10-1952). Baru setelah protes mahasiswa tahun ketika Presiden Soekarno dan Mohamad Jamin berkunjung ke Medan dalam pembukaan kongres bahasa 1954 pemerintah mengalokasikan dana dalam wujud direalisasikan penegerian dua fakultas yang sudah ada (kedokteran dan hukum). Namun setelah penegerian dua fakultas itu proses pembentukan universitas negeri di Sumatra (Universitas Sumatra Utara) terkesan ditahan atau diperlambat. Ketika Universitas Andalas diresmikan pada tanggal 13 September 1956 tiba-tiba Menteri Pendidikan Sarino menghangatkan kembali pembentukan universitas negeri di Medan. Namun setelah itu dingin kembali. Setelah kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 dan munculnya sejumlah pihak pemisahan Sumatra Timur tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta menghasilkan suatu komunike. Tiba-tiba pemerintah melalui Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto meminta dibentuk komite penegerian Universitas Sumatra Utara. Ini seolah-olah pemerintah pusat selama ini telah mempermainkan pegiat pendidikan di Sumatra Utara (game theory). Ini ibarat setelah kisruh di Sumatra, pemerintah pusat baru buru-buru meminta Universitas Sumatra Utara dinegerikan.
Dalam persiapan yang
dilakukan komite persiapan ini, tampaknya pemerintah pusat (Kementerian
Pendidikan) juga bekerja cepat untuk mendukung termasuk dalam hal ini memperbanyak
jumlah dosen. Diantaranya Dr. FJ Nainggolan diangkat sebagai profesor luar
biasa dalam bidang parasitology dengan keputusan Menteri Pendidikan yang
ditempatkan di Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara di Medan (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 15-02-1957); Dokter Mohamad Hamzah Harahap akan
mengajar di Universitas Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-05-1957).
Disebutkan sehubungan dengan pengangkatannya sebagai profesor penyakit dalam di
fakultas kedokteran di Medan, Mohamad Hamzah Harahap akan pindah dari Siantar
ke Medan pada bulan depan. Dr. MohamadHamzah telah bermukim di Siantar selama
bertahun-tahun, dan sebagai dokter swasta di sana. Apotek praktek dokter
pribadinya di Siantar, akan dilanjutkan oleh Dr. De Graaf dari Rantauprapat.
Dr Mohamad Hamzah Harahap adalah
dokter senior. Dokter Mohamad Hamzah Harahap adalah alumni Dokter Djawa School.
Mohamad Hamzah Harahap dan Haroen Al Rasjid sama-sama lulus tahun 1902. Pada
tahun 1903 Dr, Mohamad Hamzah ditempatkan di Telokbetoeng dan Dr. Haroen Al
Rasjid ditempatkan di Padang. Di Kota Padang tahun 1903 menikah dengan putri
dari raja persuratkabaran Sumatra Dja Endar Moeda bernama Alimatoe’Saadiah. Pada
tahun 1905 anak mereka yang perama lahir di Padang yang diberi nama Ida
Loemongga. Kelak, Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama
yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam
tahun 1931. Mohamad Hamzah Harahap adalah sepupu Soetan Casajangan, pendiri
Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908. Indische Vereeniging ini kelak pada
tahun 1924 namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia oleh Mohamad Hatta dkk.
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Ayah Dr. Haroen
Al Rasjid bernama Soetan Abdoel Azis yang satu kelas dengan ayah Soetan
Casajangan di sekolah guru Kweekschool Tanobato (asuhan Willem Iskander).
Universitas Sumatra
Utara telah memasuki tahun kelima. Universitas Sumatera Utara merayakan lustrum
pertama (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1957). Universitas Sumatera Utara
merayakan lustrum pertamanya kemarin, universitas sekarang memiliki empat
fakultas, yaitu! Fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu sosial; fakultas pedagogis
dan fakultas pertanian. Dua fakultas pertama, fakultas kedokteran dan fakultas hukum
dan ilmu sosial telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1955 dan dengan
sendirinya milik pemerintah. Fakultas pedagogi dan fakultas pertanian yang didirikan
tahun lalu, saat ini masih berada, langsung dibawah yurisdiksi Jajasan
Universitas Sumatra Utara.
Jumlah mahasiswa yang diterima tahun
ini di berbagai fakultas Universita Sumatra Utara dilaporkan oleh Het
nieuwsblad voor Sumatra, 23-09-1957. Disebutkan dalam upacara pembukaan
perpeloncoan dari empat fakultas Universitas Sumatra Utara hadir Prof. Dr. Maas,
selaku wakil ketua dewan pembina Universitas Sumatera Utara dan Prof. Mr. Mrs. Ani
A. Abbas-Manoppo, Dekan Fakultas Hukum. Disebutkan jumlah mahasiswa yang
mengikuti perpeloncoan tersebut sebanyak 200 mahasiswa berasal dari fakultas
hukum dan ilmu sosial, 105 mahasiswa dari fakultas kedokteran, 200 mahasiswa
dari fakultas pedagogi (keguruan) dan 15 mahasiswa dari fakultas pertanian.
Ani A. Abbas-Manoppo adalah istri Mr.
Abdul Abbas Siregar. Ani Manoppo dan Abdul Abbas Siregar sama-sama satu kelas
di Rechts Hoogeschool Batavia. Setelah lulus dan mendapat gelar Mr, Ani Manoppo
menjadi pengacara di Batavia dan Mr. Abdul Abbas menjadi pengacara di Lampung
bersama Mr. Gele Haroen (alumni sekolah hukum di Be;anda yang merupakan adik kandung
Dr. Ida Loemongga Nasution, Ph.D). Pada era pendudukan Jepang Mr. Abdul Abbas
Siregar hijrah ke Batavia dan bertemu kembali dengan Mr. Ani Manoppo (lelu
menikah). Mr. Abdul Abbad Siregar adalah salah satu anggota PPKI yang diketuai
oleh Ir. Soekarno. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Mr Abdul Abbas Siregar
bersama Mr. T. Mohamad Hasan dikirim ke Sumatra, yang mana Mr. T Mohamad Hasan
diangkat menjadi Gubernur Sumatra di Medan dan Mr. Abdul Abbas Siregar diangkat
sebagai koordinator dalam pembentukan dewan di Sumatra. Lalu Provinsi Sumatra
terbagi sembilan residenti. Untuk Residen di Lampung diangkat Mr. Abdul Abbas
Manoppo, lalu kemudian dipindahkan sebagai Residen di Residentie Sumatra Timur
di Medan. Ketika Belanda kembali, Mr. Abdul Abbas dan istrinya Mr. Ani Manoppo
mengungsi ke Tapanoeli di Padang Sidempoean. Di Tapanoeli di era angresi
militer Belanda kedua, Mr. Abdul Abbas Siregar adalah Ketua Presidium
Republiken. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda Mr. Abdul Abbas
Siregar dan istrinya Mr. Ani Manoppo kembali ke Medan. Mr. Abdul Abbas Siregar
kelahiran Diski, Kota Medan.
Komite Persiapan (penegerian)
Universitas Sumatra Utara yang diketuai oleh Gubernur Sumatera Utara Soetan
Kumala Pontas telah bekerja dengan baik. Lalu pemerintah pusat menyetujui Rancangan
Undang-Undang untuk pembentukan Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-10-1957).
Dengan demikian penegerian Universitas Sumatra Utara sudah berada diambang
pintu.
Pembangunan komplek universitas
sedang dilakukan yang berada di Padangbulan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-10-1957).
Disebutkan sebelum akhir tahun akan selesai yang meliputi laboratorium dan
ruang kelas untuk departemen anatomi dan fisiologi dari fakultas kedokteran dan
dua ruang kelas dan dua kantor untuk administrasi faculteit hukum dan ilmu sosial. Jumlah lebih dari Rp. 5,7 juta telah dialokasikan oleh
pemerintah untuk ini, yang harus dibayarkan selama tahun ini. Untuk perluasan
komplek yang masih terkendala adalah pembebasan lahan. Sejumlah Rp. 4,5 juta
telah dialokasikan oleh pemerintah untuk menyiapkan 40 hektar lahan yang telah
dibuang dan membayar kompensasi kepada penghuni ilegal. Kompensasi telah
ditetapkan sebesar Rp. 1,75. sudah mulai dibangun di tanah universitas. Sebuah
pagar telah dipasang untuk mencegah pekerjaan baru. Sudah terdapat sepuluh rumah
dosen fakultas kedokteran. Namun masih terkendala dari keuangan pemerintah
untuk pembangunan rumah berikutnya yang mengakibat dosen dari Selandia Baru
belum datang karena belum tersedianya fasiltas perumahan. Saat ini, fakultas
ilmu pertanian dan fakultas pedagogi masih dalam manajemen swasta. Segera ini
juga akan diambil alih oleh pemerintah, dimana serentak universitas akan
didirikan di Medan, termasuk empat fakultas: kedokteran, hukum, pertanian dan
pedagogi. Sehubungan dengan itu dibentuk Badan Koordinasi Universitas Sumalera
Utara, sebelumnya koordinasi diatur antara fakultas ke Panitia Universitas
Sumatera Utara (Komite untuk mempersiapkan sebuah perguruan tinggi dengan
Gubernur Soetan Koemala Pontas sebagai Ketua dan Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua.
Rincian ini diberikan pagi ini pada konferensi pers oleh Prof. Dr. Maas dan
Prof. Mr. A. Abas'Manoppo.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
09-11-1957:’Presiden Soekarno akan datang ke Medan. Menurut pejabat di kantor
Gubernur J. Arnold Simandjuntak, Presiden Soekarno diharapkan bertemu tanggal 20
di Medan pada Rabu pagi untuk pembukaan resmi USU (Universitas Sumatera Utara).
Seperti yang Anda ketahui, pemerintah telah memutuskan untuk mengakui
universitas ini sebagai universitas negeri. USU saat ini memiliki empat
fakultas, yaitu fakultas medis, hukum, pedagogis dan pertanian, belum diketahui
secara resmi siapa yang akan menjadi presiden USU. Pembukaan resmi universitas
akan berlangsung pada sore hari yang bertempat di gedung fakultas hukum USU di
Djalan Seram. Keesokan paginya setelah pembukaan resmi ini, Presiden Soekarno
akan memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa USU. Setelah ini, kepala
negara masih akan mengadakan pertemuan dengan manajemen universitas. Kepala
negara akan melakukan perjalanan kembali ke ibukota pada sore hari tanggal 21
November’.
Jadwal peresmian
Universitas Sumatra Utara sudah ditetapkan. Peresmian akan dilakukan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 20 November. Sehubungan dengan itu, ketua panitia
persiapan juga telah menetapkan anggota presidium Universitas Sumatra Utara
sebagaimana diberitakan Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 14-11-1957: ‘Panitia
persiapan untuk peresmian (penegerian) Universitas Sumatera Utara pada
pertemuan di rumah dinas resmi Gubernur Soetan Koemala Pontas di Medan telah
menetapkan anggota presidium. Mereka itu adalah Ny. Prof. Annie Abbas Manoppo,
Prof. Dr. Maas dan Prof. Dr. Sofjan. Presidium ini akan bekerja di kantor
selama dua bulan. setelah itu penunjukan seorang presiden untuk universitas ini
akan dibuat. Menurut rencana, universitas akan diresmikan oleh Presiden
Soekarno pada 20 November’.
Bersamaan dengan
pembentukan dan penegerian Universitas Sumatra Utara di Medan, juga muncul gagasan
pembentukan universitas negeri
di Bandoeng. Ini sedikit bertentangan dengan pernyataan Menteri Sarino pada tanggal
13 November 1956 ketika peresmian Universitas Andalas. Algemeen Indisch dagblad,
04-01-1957 memberitakan pertemuan antara Menteri Pendidikan dan stafnya, Gubernur
Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, perwakilan dari Universitas Indonesia dan
komite untuk pembentukan sebuah universitas negeri di Bandung, disepakati untuk
mendirikan universitas negeri yang baru pada pertengahan tahun 1957. Pada tanggal
6 Januari, panitia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan kemajuan yang
dicapai untuk mewujudkan pembentukan universitas. Indonesia akan memiliki total
enam universitas negeri. Menteri Sarino pada tanggal 13 September 1956
mengatakan di Medan akan dibentuk universitas negeri sebelum tahun 1960 sebagai
yang keenam dan cukup enam universitas untuk seluruh Indonesia. Dengan
pembentukan universitas negeri yang keenam di Bandoeng itu berarti Bandoeng
telah menyalib Medan di tikungan.
Sementara itu, dalam pembentukan universitas di Bandung, yang diluar dugaan adalah Ketua Komite pembentukan universitas di Bandoeng adalah mantan Menteri Pendidikan Mohamad Jamin (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-01-1957). Disebutkan pembentukan universitas di Bandoeng diberi nama Universitas Padjadjaran. Strategi yang diusung dalam pembentukan universitas di Bandoeng tersebut adalah memisahkan dua fakultas dari Universitas Indonesia di Bandoeng dan membentuknya menjadi universitas. Ini mirip dengan cara yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Mohamad Jamin ketika membentuk Universitas Airlangga dengan memisahkan fakultas kedokteran dan institusi kedokteran gigi yang menjadi bagian Universitas Indonesia di Soerabaja.
Namun usulan
pembentukan universitas di Bandoeng ini sejumlah pihak tidak setuju termasuk
Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan (Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 04-02-1957). Sejak itu pengusulan pembentukan universitas di
Bandoeng masuk kotak. Akan tetapi sejak Kabinet Djoeanda berkuasa (sejak 9
April 1957) pembentukan Universitas Padjadjaran menguat kembali. Kabinet
Djoeanda pada intinya diisi oleh ‘kelompok Bandoeng’, mulai dari Presiden
Soekarno, Perdana Menteri Ir. Djoeanda hingga Kepala Staf Angkatan Darat Majoor
Generaal Abdul Haris Nasution. Pihak yang berlawanan dengan ‘kelompok Bandoeng’
menuduh ‘kelompok Bandoeng’ adalah anti Belanda.
Pegiat pendidikan
tinggi di Bandoeng boleh jadi sudah mendongkol ketika dua fakultas Universitas
Indonesia di Bandoeng ingin dipisahkan dan dibentuk Universitas Padjadjaran.
Para pegiatan pendidikan di era Kabinet Djoeanda ini tidak
memikirkan lagi pemisahan dua fakultas Universitas Indonesia tetapi membentuk
baru uinversitas di Bandoeng dengan memperkuat Universitas Merdeka di Bandoeng.
Universitas Medeka didirikan pada tahun 1952 dengan dua fakultas (hukum dan
ekonomi). Lalu Universitas Padjadjaran diresmikan pada tanggal 11 September
1957. Seperti halnya, halnya Universitas Sumatra Utara, pembentukan Universitas
Padjadjaran juga terkesan dihambat.
Universitas Sumatra
Utara akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno tepat pada tanggal 20 November
1957 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie). Peresmian ini sekitar dua bulan setelah peresmian
Universitas Padjadjaran di Bandoeng. Universitas Padjadjaran juga diresmikan
oleh Presiden Soekarno. Hal ini berbeda dengan peresmian dua universitas
sebelumnya yang waktu itu diresmikan oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta.
Universitas Hasanoeddin di Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956
dan tiga hari kemudian Universitas Andalas di Bukittinggi diresmikan pada
tanggal 13 September 1956. Ini seakan ada dua universitas kembar: Universitas
Hasanoeddin dan Universitas Andalas tahun 1956 sebagai kembar pertama dan
Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara pada tahun 1957 sebagai
kembar kedua.
Soal pemberontakan di
Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno tetap acuh tak acuh. Presiden
Soekarno hanya fokus pada Irian Barat. Seperti setiap kali berpidato sepanjang
tahunn 1957 di berbagai daerah, Presiden Soekarno mengingatkan sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1958, Belanda
harus angkat tumit dari Irian Barat. Oleh karena itu, Presiden Soekarno tetap
menekankan perlunya persatuan dan kesatuan untuk memuluskan kembalinya Irian
Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Akan tetapi Belanda tetap kukuh dengan Irian
Barat bahkan hingga 1 Januari 1958. Yang muncul justru adalah diproklamirkannya PRRI pada tanggal
15 Februari 1958. Lantas, apakah Presiden Soekarno menjadi gamang? Ternyata
juga tidak. Pembebasan Irian Barat adalah tujuan utamanya. Namun soal Provinsi
Sumatra Tengah tetap menjadi ganjalan bagi Presiden Soekarno. Untuk merebut
Irian Barat Presiden Soekarno memerlukan persatuan dan kesatuan. Oleh karena
itu, Presiden Soekarno ingin segera menyelesaikan Provinsi Sumatra Tengah,
tetapi tidak lagi dengan jalan damai yang telah dilaksanakan selama ini.
Presiden Soekarno memutuskan melakukan penyerangan terhadap PRRI.
Untuk melaksanakan itu
Presiden Soekarno meminta persetujuan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta,
tetapi ditolak karena tidak setuju. Lalu Presiden Soekarno memutuskan sendiri
untuk dilakukan penyerangan. Presiden Soekarno menugaskan kepada Majoor
Generaal Abdul Haris Nasution. Akan tetapi Abdul Haris Nasution menolak dengan
halus dengan persetujuan tetapi memberikan kebebasan kepada Kolonel Achmad Jani
untuk melaksanakannya. Sebelum serangan dimulai, sepulang dari kunjungan luar
negeri, Presiden Sukarno sempat melunak untuk berdamai dengan Mohamad Hatta.
Mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta hanya bersedia jika dirinya sebagai Perdana
Menteri tetapi Presiden Soekarno hanya sebagai simbol kepala negara. Tampaknya
penawaran Mohamad Hatta dianggap Soekarno harganya terlalu tinggi. Sikap
Soekarno yang awalnya melunak kembali mengeras, sekeras batu.
Penyerangan pendahuluan sudah dimulai (di pesisir Pantai
Barat Sumatra) dan serangan besar-besaran ke pedalaman di Sumatra Tengah dilakukan
pada bulan April 1958. Ketika Jenderal Abdul Haris Nasution datang meninjau di
Pekanbaroe, satu batalion TNI yang ditempatkan Achmad Jani di Tapanoeli untuk
merangsek ke Sumatra Tengah diminta dikosongkan. Mengapa Nasution meminta
dikosongkan? Boleh jadi agar tidak sepenuhnya PRRI yang terkepung di daerah DOM
di Provinsi Sumatra Tengah, dan jalur kosong menuju Tapanoeli ini menjadi jalur
pelarian. Pasukan reguler TNI di Tapanoeli hanya tinggal menangkapinya di
daerah netral (diluar DOM).. Itulah taktik ala gerilya Jenderal Abdul Haris
Nasution. Pertumpahan darah menjadi diminimalkan.
Penyerangan yang dilakukan terhadap PRRI di Provinsi
Sumatra Tengah sangat disayangkan. Namun boleh jadi dari sudut pandang Presiden
Soekarno, ketika pembebasan Irian Barat terkendala, tindakan penyerangan
terhadap PRRI adalah jalan pintas untuk memaksakan dalam mengeliminasi
disintegrasi bangsa. Penyerangan terhadap PRRI di Provinsi Sumatra Tengah
adalah salah satu wujud mempertahankan persatuan dan kesatuan, tetapi dengan
cara yang tidak diinginkan. Tampaknya spirit Dolok Martimbang tidak manjur di
Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno untuk mempertahankan persatuan dan
kesatuan di Sumatra Tengah telah dilakukannya dengan caranya sendiri.
Sebaliknya pers barat terutama Belanda sangat mengkhawatirkan tindakan Soekarno
menyerang Sumatra Tengah dijadikan sebagai gladi resik untuk serangan selanjutnya di Irian Barat yang masih dikuasai
Belanda (Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 19-03-1958).
Pada level daerah, apa yang terjadi pada level nasional
juga terjadi di Provinsi Sumatra Utara. Setelah Residentie Atjeh meminta
otonomi yang dimulai pada pemberontakan tanggal 20 September 1953 yang kemudian
dibentuk Provinsi Atjeh secara formal tanggal 7 Desember 1956. Setelah kudeta
di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 yang menimbulkan ketegangan antara
pusat (Djakarta) dengan Provinsi Sumatra Tengah (Bukittinggi) pada awal tahun
1957 kelompok tertentu di Medan meminta otonomi Residentie Sumatra Timur
menjadi sebuah provinsi. Sejumlah tokoh asal Tapanoeli di Djakarta yang
dipimpin mantan Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap mendeklarasikan
tetap menjaga persatuan di Tapanuli dan di seluruh Indonesia, melaksanakan
pembangunan dan menolak otonomi Sumatra Timur karena dapat memcu perpecahan di
Provinsi Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957). Tokoh-tokoh otonomi ini
antara lain Mr. Mahadi. Jusuf A. Puar dan Djaidin Purba (mantan Wali Kota
Medan). Lalu permintaan kelompok otonomi ini meningkatkannya dengan melakukan
Kongres Otonomi (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-03-1957).
Setelah penegerian
Universitas Sumatra Utara dilakukan, ketua presidium yang diangkat adalah Prof.
A. Sofian. Perjuangan penegerian Universitas Sumatra Utara di masa damai tidak
membuahkan hasil. Penegerian Universitas Sumatra Utara justru muncul tiba-tiba
dan tak terduga di waktu konflik nasional. Penegerian Universitas Sumatra Utara
tampaknya wujud dari strategi untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan di
bawah simbol Dolok Martimbang. Presiden Soekarno turut mendukung spirit
persatuan di Sumatra Utara dengan cara tidak merespon kongres otonomi. Setali
tiga uang Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas juga turut mendukung
persatuan dan kesatuan dengan caa tidak mengirim pejabat ke kongres otonomi.
Satu hal yang tersisa dari kasus PRRI ini adalah Prof. Bahder Djohan
mengundurkan diri sebagai Presiden Universitas Indonesia karena tidak setuju
dengan strategi penyerangan PRRI di wilayah Provinsi Sumatra Tengah (De
Volkskrant, 28-02-1958). Berbeda dengan Prof. Bahder Djohan yang mengundurkan
diri pada tahun 1958, Prof. Sumitro Djojohadikusoemo, dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia dipecat karena telah menyeberang ke PRRI. Lantas kemudian
posisi Prof. Dr. Achmad Sofian sebagai Ketua Presidium Universitas Sumatra
Utara telah digantikan oleh Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas.
Apakah penggantian Prof. Achmad Sofian ini memiliki kasus yang sama dengan
kasus Presiden Universitas Indonesia?
Lalu setelah berakhir PRRI, dua
fakultas Universitas Indonesia di Bandoeng dipisahkan dan dibentuk universitas
kedua di Bandoeng dengan nama Institut Teknologi Bandoeng yang diresmikan pada
tanggal 2 Maret 1959. Pertanyaannya: Apakah setelah Bahder Djohan tidak
menjabat Presiden Universitas Indonesia menjadi mulus pemisahan dua fakultas di
Bandoeng? Entahlah. Yang jelas di Bandoeng sudah berdiri dua universitas negeri
selama era Kabinet Djoeanda. Universitas Indonesia hanya tersisa di Djakarta
dan Bogor.
Universitas Sumatra
Utara yang sejatinya adalah universitas negeri yang ketiga, tetapi pada
akhirnya hanya duduk di urutan yang ketujuh setelah Universitas Gadjah Mada
(1949), Universitas Indonesia (1950), Universitas Airlangga (1954); Universitas
Hasanoeddin dan Universitas Andalas (1956); serta Universitas Padjadjaran
(1957). Berkah penegerian Universitas Sumatra Utara adalah berkah yang turun pada
situasi dan kondisi yang tepat ketika spirit persatuan dan kesatuan sangat
diperlukan untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi (NKRI).
Spirit Dolok Martimbang
langsung tidak langsung telah turut memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dolok Martimbang tidak hanya menghalangi munculnya gejala disintegrasi seperti
di Provinsi Sumatra Tengah, bahkan spirit Dolok Martimbang turut menyemangati
pembebasan Irian Barat. Dolok Martimbang telah membuat utuh NKRI. Sekadar catatan
kembali, spirit NKRI dimulai di Provinsi Sumatra Utara. Ini bermula dari
Kongres Rakyat yang menghasilkan keputusan Bubarkan Negara Sumatra Timur dan
wujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pemimpin di Medan di dalam
bingkai NKRI, ketika membentuk universitas di Sumatra Utara tidak pernah
berpikir untuk memberi nama Sisingamangaradja, tetapi nama yang diberikan cukup
dengan Universitas Sumatra Utara. Ini juga satu bentuk untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan di tingkat lokal dalam bingkai NKRI.
Mohamad Jamin (Menteri Pendidikan) sempat mengusulkan Universitas
Indonesia diganti menjadi Universitas Poernawarman karena mengacu pada pemberian
nama Universitas Gadjah Mada. Atas dasar itu Mohamad Jamin akan membentuk
universitas di Sumatra dengan nama Universitas Adityawarman, Universitas
Airlangga di Soerabaja dan Universitas Hasanoedidin di Makassar. Usulan
penggantian nama Universitas Indonesia tidak ada yang merespon. Ketika
Universitas Adityawarman dibentuk di Provinsi Sumatra Tengah, Wakil Presiden
Mohamad Hatta mengusulkan nama Adityawarman diganti dengan nama Tuanku Imam
Bondjol. Namun dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi Prof. Mohamad Sjaaf
juga tidak setuju lalu jelang peresmian universita di Sumatra Tengah tersebut
mengusulkan nama Universitas Andalas. Mohamad Sjaaf tampaknya jernih melihat
Provinsi Sumatra Tengah (yang terdiri dari Residentie Sumatra Barat, Residentie
Riau dan Residentie Djambi) pada dasarnya tidak homogen. Karena itu Mohamad
Sjaaf mengusulkan nama Andalas agar mencerminkan heterogenitas. Hal inilah yang
terjadi ketika Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap menetapkan nama
universitas di Provinsi Sumatra Utara dengan nama Universitas Sumatra Utara.
Dengan demikian nama-nama universitas negeri pada saat itu Universitas
Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Sumatra Utara adalah wujud
menjaga persatuan dan kesatuan pada tingkat yang berbeda-beda: nasional, pulau
dan provinsi. Format ini kemudian diikuti pada pembentukan Insitut Teknologi
Bandoeng (1959), Institut Teknologi Surabaja (1961) dan Institut Pertanian
Bogor (1963). Format ini sudah sejak lama diberlakukan di banyak negara seperti
Negeri Belanda dan Amerika Serikat.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar