*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Djamaloedin atau lengkapnya Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad bukanlah orang biasa, tetapi pemuda luar biasa, mahasiswa pertama asal Kota Padang yang kuliah jauh di negeri Belanda. Djamaloedin tiba di Amsterdam, Belanda pada tahun 1903. Sementara itu mahasiswa pertama Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah Raden Kartono yang tiba di Belanda tahun 1896. Raden Kartono adalah abang dari Raden Adjeng Kartini.
Djamaloedin atau lengkapnya Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad bukanlah orang biasa, tetapi pemuda luar biasa, mahasiswa pertama asal Kota Padang yang kuliah jauh di negeri Belanda. Djamaloedin tiba di Amsterdam, Belanda pada tahun 1903. Sementara itu mahasiswa pertama Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah Raden Kartono yang tiba di Belanda tahun 1896. Raden Kartono adalah abang dari Raden Adjeng Kartini.
Buku Djamaloedin (1920) |
Nama Djamaloedin kurang
dikenal, padahal Djamaloedin adalah mahasiswa pertama asal Kota Padang di
Belanda. Soal popularitas adalah masalah lain, tetapi bagaimana Djamaloedin
tiba di Belanda dan melanjutkan studi di perguruan tinggi menjadi hal yang
penting. Saat Djamaloedin tiba di Belanda jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda
masih hitungan jari. Untuk menambah pemahaman kita mari kita telusuri siapa dan
bagaimana (Who is Who) kiprah Baginda Djamaloedin.
Majalah Insulinde di Padang
Dr. AA Fokker adalah
orang Belanda yang fasih berbahasa Indonesia (baca: bahasa Melayu). Dengan
kemampuannya berbahasa Melayu, Dr. AA Fokker mendirikan majalan dwimingguan di
Belanda, Bintang Hindia yang oplahnya hingga ke Indonesia. Namun dalam
perkembangnya Dr. AA Fokker merasa perlu memperluas sirkulasinya di Indonesi.
Untuk itu Dr. AA Fokker datang ke Indonesia menjajaki kemungkinan untuk
kolaborasi dengan orang Indonesia. Dr. AA Fokker berhasil menemukan tiga orang
Indonesia yang giat menulis, yakni Dja Endar Moeda, Abdul Rivai dan
Djamaloedin.
Setelah berkunjung ke
Batavia dan Bandoeng lalu dilanjutkan ke Padang pada tahun 1903 Dr. AA Fokker
menemukan dua partner yang potensial yakni guru Dja Endar Moeda di Padang dan
Dokter Abdul Rivai di Batavia. Dja Endar Moeda akan membantu pemasaran di
Sumatra dan sekaligus kontributor berita-berita dari Indonesia. Dr. Abdul Rivai
akan mengambil peran sebagai pemimpin editor di Bintang Hindia. Lalu pada tahun
1903 Dja Endar Moeda dan Dr. Abdul Rivai diundang ke Amsterdam di Belanda. Dr.
Abdul Rivai berangkat sendiri melalui Singapura, sedangkan Dja Endar Moeda
berangkat bersama dengan asistennya di majalah Insulinde di Padang. Asisten
majalah Insulinde ini adalah Djamaloedin yang berangkat ke Belanda sekitar
bulan Agustus (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-08-1903). Sebelumnya,
artikel Djamaloedin pernah dimuat di Bintang Hindia edisi ketiga percobaan (lihat
Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-09-1902). Disebutkan artikel ditulis
oleh Djamaloedin, seorang guru Melayu di Padang. Secara reguler edisi pertama
tahun pertama bulan Januari 1903.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904 |
Setelah beberapa lama di
Amsterdam, Dja Endar Moeda kembali ke Padang. Sementara Abdul Rivai dan
Djamaloedin tetap tinggal di Belanda. Abdul Rivai dan Djamaloedin telah menjadi
pemimpin redaksi Bintang Hindia dan sebagai asistennya Djamaloedin. Kedua
pemuda ini sangat menikmati perannya di Amsterdam Belanda.
Di sela-sela pekerjaan baru sebagai
asisten editor di Bintang Hindia, Djamaloedin membuat suatu gebrakan yang belum
pernah terjadi selama ini. Djamaloedin yang beralamat di Prinsengracht 667
memasang uiklan di surat kabar yang terbit di Amsterdam, Het nieuws van den dag:
kleine courant, 13-01-1904 menawarkan jasa mengajar bahasa Melayu. Untuk anggota
Oost en West di Belanda atau pemasang iklan di Bintang Hindia mendapat korting 25
persen..
Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda
mendirikan sekolah swasta di Padang. Gagasan ini muncul karena tudak semua
penduduk usia sekolah tertampung di sekolah pemerintah. Dja Endar Moeda,
seorang pensiunan guru yang telah menulis sejumlah buku pelajaran dan buku umum
serta beberapa buah roman (novel) pada tahun 1897 diangkat menjadi ediot surat
kabar berbahasa Melayu di Padang, Pertja Barat. Pada tahun1900 Dja Endar Moeda
diketahui telah mengakuisisi surat kabar Perja Barat beserta percetakannya.
Sementara Dja Endar tetap sebagai editor Pertja Barat, dan juga telah memiliki
toko buku, juga pada tahun itu (1900) memperluas usahanya dengan menerbitkan
surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oeli dan majalah dua mingguan Insulinde.
Dja Endar Moeda menjadi editor untuk ketiga media tersebut, yang mana
asistennya untuik majalah Insulinde direkrut Djamaloedin. Dalam hubungan tersebut
di atas, Soetan Casajangan dan Baginda Djamaloedin terhubung karena peran Dja
Endar Moeda.
Soetan Casajangan (duduk tengah) di Belanda 1908 |
Dja Endar Moeda di
Padang tahun 1900 menggagas didirikannya organisasi kebangsaan yang diberi nama
Medan Perdamaian. Sebagai presidennya yang pertama adalah Dja Endar Moeda.
Organisasi ini merupakan organisasi kebangsaan Indonesia pertama (organisasi
kebangsaan Boedi Oetomo baru berdiri Mei 1908). Organisasi Medan Perdamaian
sangat peduli pendidikan pribumi. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian bahkan
memberi sumbangan sebanyak f14.000 untuk peningkatan pendidikan pribumi di
Semarang. Sumbangan ini diteruskan melalui Direktur Pendidikan Pribumi Pantai
Barat Sumatra (Sumatra’s Westkus) Charles Adrian van Ophuijsen. Pada tahun 1903
organisasi kebangsaan juga didirikan di Medan. Penggagasnya dan sekaligus
presiden pertama adalah Mangaradja Salamboewe, kepala editor surat kabar
berbahasa Melyu di Medan, Pertja Timor. Organisasi ini (juga) bersifat multi
etnik yang terdiri dari Jawa, Mandailing en Angkola dan Melayu (lihat De
Sumatra post, 14-09-1903). Organisasi ini adalah organisasi kebangsaan yang
kedua setelah Medan Perdamaian di Padang.
Saleh Harahap gelar Dja
Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean, lulus
tahun 1884. Setelah berdinas menjadi guru di berbagai tempat yang dimulai di
Batahan seperti di Airbangies dan Singkel lalu menunaikan ibadah haji kemudian
menetap di Padang. Dua adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang
Sidempoean adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, lulus tahun 1887
dan Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe, Setelah berdinas menjadi guru
cukup lama, Soetan Casajangan melanjutkan studi untuk mendapat gelar sarjana
pendidikan di Belanda. Charles Adrian van Ophuijsen adalah guru Dja Endar Moeda,
Soetan Casajangan dan Mangaradja Salamboewe di Kweekschool Padang Sidempoean.
Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru di Kweekschool Padang Sidempoean
selama delapan tahun, yang mana lima tahun terakhir menjabat sebagai direktur
Kweekschool Padang Sidempoean sebelum diangkat menjadi Direktur Pendidikan
Pribumi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust).
Mahasiswa Asal Sumatra
Baginda Djamaloedin dan
Abdul Rivai datang ke Belanda yang tiba di Belanda tahun 1903 awalnya hanya
untuk bekerja. Mereka pada dasarnya di tanah air sudah memiliki pekerjaan.
Baginda Djamaloedin setelah lulus sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock bekerja
sebagai guru dan Abdul Rivai setelah lulus sekolah kedokteran (Docter Djawa
School) di Batavia bekerja sebagai dokter. Untuk sekadar catatan: gaji mereka
cukup menggiurkan. Untuk asisten redaktur gajinya berada di atas gaji seorang
letnan militer Belanda.
Djamaloedin gelar Baginda
Djamaloedin memulai pendidikan menengah di Kweekschool Fort de Kock. Djamaloedin
mengikuti ujian akhir pada tanggal 28 hingga 30 Januari dan tanggal 1 Februari
1897. Djamaloedin yang berasal dari Padangsch Benedenlanden termasuk yang
dinyatakan lulus dan mendapat akte guru (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-02-1897).
Djamaloedin gelar Baginda Djamaloedin diangkat menjadi guru di Padang. Setelah
mengajar lebih dari satu tahun Djamaloedin gajinya dinaikkan f5 menjadi f25 (Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 06-08-1898). Dalam berita ini juga disebutkan Dja
Endar Bongsoe guru di Singkil, setelah tiga tahun tidak mengalami kenaikan gaji
mendapat kenaik f5 menjadi f55. Dja Endar Bongsoe adalah adik kandung Dja Endar
Moeda. Dja Endar Bongsoe lulus tahun 1891 di sekolah guru (Kweekschool) Padang
Sidempoean. Djamaloedin kelak mengubah penyebutan namanya menjadi Djamaloedin
bin Mohamad Rasad.
Raden Mas Kartono diterima di HBS
Semarang tahun 1891 (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
13-05-1891). Dalam daftar ini hanya Kartono dari golongan pribumi. RM Kartono
naik dari empat ke kelas lima (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1895). Raden Mas
Pandji Sosno Kartono lulus ujian HBS (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke
Batavia untuk test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi
Indologi ke politeknik di Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Di antara 63 kandidat untuk Korps
Mahasiswa Delft juga ada seorang pangeran Hindia, Raden Mas Pandje Sono Kartono
(Algemeen Handelsblad, 15-09-1896). Namun sayang, RM Kartono gagal di Delft. RM
Kartono diketahui melanjutkan ke universitas di Utrech dan diterima di
faculteiten der godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi (Algemeen Handelsblad,
25-08-1901). Raden Mas Kartono adalah abang dari Raden Ajeng Kartini (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
17-09-1902).
Raden Kartono datang ke
Belanda adalah satu-satunya pemuda Indonesia yang benar-benar memenuhi
persyaratan masuk perguruan tinggi (PT) karena Raden Kartono adalah satu-satunya
lulusan HBS (sekolah yang kompatibel dengan syarat masuk PT di Belanda).
Setelah Raden Kartono, lulusan HBS yang menyusul kemudian adalah Husein Djajadiningrat ke Belanda tahun 1904. Untuk
melanjutkan studi, lalu pada tahun 1905 datang Soetan Casajangan.
Soetan Casajangan, bukan
lulusan HBS, tetapi lulusan sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean
tahun 1887. Lulusan HBS, karena bahasa pengantar Bahasa Belanda dengan
sendirinya memenuhi syarat bahasa untuk masuk PT di Belanda. Raden Kartono dan
Husein Djajadiningrat adalah lulusan HBS lima tahun (setingkat SMA). Soetan
Casajangan dengan pengalaman guru selama 15 tahun tidak sepenuhnya memenuhi
syarat bahasa (semacam TOEFL pada masa ini). Oleh karenanya Soetan Casajangan
harus memulai studi pada tingkat matrikulasi (semacam magang dulu) beberapa
bulan (De Sumatra post, 08-11-1905).
Sementara melakukan persiapan masuk perguruan tinggi, Soetan Casajangan menjadi
anggota dewan redaksi majalah berbahasa Melayu di Amsterdan, Bintang Perniagaan
(lihat Pertja Timor yang dikutip De Sumatra post, 28-02-1906). Berita ini (yang
bersumber dari Pertja Timor) juga dilansir surat kabar di Soerabaja dan surat
kabar di Belanda. Ini menunjukkan komunikasi antara Soetan Casajangan dan
Mangaradja Salamboewe terus berlangsung. Dalam perkembangannya, Abdul Rivai mengikuti
langkah yang dilakukan oleh Djamaloedin dan Soetan Casajangan. Lalu mereka
bertiga berurutan memulai studi di perguruan tinggi. Djamaloedin di sekolah
pertanian Rijks-Landbouwschool di Wageningen; Soetan Casajangan di
sekolah keguruan Rijkskweekschool di Haarlem; dan Abdul Rivai di fakultas
kedokteran di Universiteit Amsterdam. Inilah awal tiga mahasiswa pertama asal
Sumatra di Belanda: Soetan Casajangan van Tapanoeli; Abdul Rivai van
Bengkoelen; dan Djamaloedin van Padang.
Setelah Raden Kartono,
Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan, lalu kemudian pemuda Indonesia
yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi adalah Abdul Rivai dan Djamaloedin
(yang keduanya selama ini bekerja di Bintang Hindia). Raden Kartono, Soetan
Casajangan dan Abdul Rivai dalam hal umur tergolong senior, karena rata-rata
umur mereka sudah mencapai tiga puluh tahun. Soetan Casjangan lulus kweekschool
tahun 1887, Abdul Rivai lulus Dokter Djawa School tahun 1894, sedangkan
Djamaloedin baru lulus kweekschool tahun 1897.
Penanggung Jawab Bintang
Hindia (Dr. AA Fokker) kembali mendatangkan pemuda Indonesia untuk bekerja di
Bintang Hindia untuk menggantikan peran Abdul Rivai dan Djamaloedin yang telah
memasuki kuliah. Mereka yang datang tersebut adalah dua dari Sumatra dan satu
dari Jawa. Mas Socngkono tiba tahun Februari 1906 di Belanda, kemudian menyusul
Samsoeddin Rassat pada bulan Mei 1906 serta disusul kemudian Amaroellah pada
bulan September 1906 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-12-1907). Seperti halnya
Soetan Casajangan, juga Amaroellah adalah pensiunan guru (masih muda usia, 21
tahun, terakhir di Idi, Atjeh). Amaroellah gelar Soetan Mangkoeta pada tahun
1903 di Medan termasuk anggota pengurus organisasi kebangsaan yang dipimpin
oleh Mangaradja Salamboewe. Mas Soengkono tidak memenuhi syarat lalu akan dipulangkan
ke kantor pusat Bintang Hindia di Hindia Belanda di Bandoeng pada bulan Februari
tahun 1907. Akan tetapi Mas Soengkono tidak bersedia dan mengundurkan diri dari
Bintang Hindia. Mungkin karena dipengaruhi oleh Soetan Casajangan, Mas
Soengkono tidak pulang tetapi melanjutkan studi di Wageningen mengikuti jejak
Djamaloedin. Namun, Mas Soengkono tidak kuat, lalu sakit dan meninggal tahun
1907. Pemuda Indonesia yang kemudian menyusul adalah JE Tehupeiory dan WK
Tehupeiory (alumni Dokter Djawa School) yang mengikuti jejak Abdul Rivai. Namun
JE Tehupeiory juga dikabarkan meninggal tahun 1908 (lihat Het nieuws van den
dag : kleine courant, 25-12-1908).
Jumlah pemuda Indonesia
yang datang ke Belanda dari waktu ke waktu semakin bertambah. Pemuda yang
beberapa waktu sebelumnya telah berada di Belanda sudah memasuki perguruan
tinggi dan tengah sibuk mengikuti perkuliahan. Sementara Djamaloedin dan Abdul
Rivai terus sibuk dengan kuliah masing-masing, Soetan Cajasangan dikabarkan
telah lulus ujian dan mendapat akte LO pada tanggal 22 Mei di Haarlem (Lager
Onderwijs) (lihat Algemeen Handelsblad, 23-05-1907)
Soetan Cajasangan dan Djamaloedin sama-sama
lulusan sekolah guru (kweekschool) sedangkan Abdul Rivai lulusan Docter Djawa
School. Ada perbedaan antara kweekschool dengan Docter Djawa School. Kweekschool
lama studinya tiga tahun, sedangkan Docter Djawa School lima tahun. Oleh karena
itu, lulusan kweekschool dianggap setara dengan lulusan SPG sedangkan lulusan
Docter Djawa School setara dengan Diploma. Di Belanda, Soetan Cajasangan dan Djamaloedin
harus menyelesaikan program diplomanya dulu sebelum lanjut ke pendidikan
sarjana (Mr, Dr. atau Ir.). Abdul Rivai langsung mengikuti program sarjana.
Sementara Soetan Cajasangan sudah selesai program diplomanya di Rijkskweekschool
di Haarlem, sedangkan Djamaloedin masih belum selesai program diplomanya di Rijks
Hoogere Land-Tuin- en Boschbouwschool dan Abdul Rivai juga belum selesai
program sarjananya di fakultas kedokteran di Universiteit Amsterdam. Dalam
perkembangannya, seperti kita lihat nanti, Abdul Rivai berhasil meraih gelar sarjana
kedokteran (Dr) tahun 1908 dan Soetan Cajasangan berhasil meraih gelar sarjana keguruan
tahun 1911. Djamaloedin hanya sampai lulus program diploma pertanian, tidak
melanjutkan ke program sarjana.
Organisasi Mahasiswa di Belanda:
Indische Vereeniging (1908)
Soetan Casajangan
awalnya hanya ingin studi ke Belanda untuk meraih diploma (LO). Akan tetapi
setelah lulus tahun 1907 Soetan Casajangan berubah pikiran dan ingin
melanjutkan ke program sarjana (Mr). Oleh karena itu, Soetan Casajangan tidak
segera pulang ke tanah air, tetapi tetap bertahan di Belanda untuk mengikuti
program sarjana. Djamaloedin masih terus berjuang untuk mendapat akta diploma
pertanian di Wageningen.
Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908 |
Pengurus Indisch Vereeniging di Belanda, 1908 |
Organisasi kemahasiswaan ini di
Belanda digagas oleh Soetan Casajangan bukanlah bersifat spontan. Hal yang
mendasar dibentuknya organisasi mahasiswa nasional ini sebagai respon terhadap
didirikannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang akan melakukan kongres
pertama di Djogjakarta pada tanggal 2-5 Oktober 1908. Misi Boedi Oetomo dalam
hal ini bersifat kedaerahan. Di dalam statuta Boedi Oetomo hanya terbatas untuk
kepentingan Jawa dan Madura. Misi Boedi Oetomo ini bertentangan dengan misi
Medan Perdamaian di Padang dan misi organisasi kebangsaan di Medan yang
mengusung misi nasional. Hal inilah yang mendorong Soetan Casajangan mengikat
semua mahasiswa Indonesia di Belanda dalam persatuan nasional. Kesadaran
nasional yang mengemuka dalam pikiran Soetan Casajangan, sebagaimana Dja Endar
Moeda di Padang dan Mangaradja Salamboewe di Medan. Kebetulan Dja Endar Moeda,
Soetan Casajangan dan Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni sekolah guru (kweekschool)
Padang Sidempoean,
Djamaloedin dalam
studinya cukup lancar di Rijks-Landbouwschool. Setelah berhasil pada tingkat
persiapan tahun 1905, berhasil naik ke tingkat dua tahun 1906. Djamaloedin
bersama RM Soemardji berhasil lulus ujian akhir tingkat dua pada bulan Juli
1907 (lihat Algemeen Handelsblad, 10-07-1907). RM Soemardji Widjojosiwajo, asal
Trenggalek, Kediri dinyatakan lulus tahun 1908 (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 14-07-1908).
Dalam daftar kelulusan ini tidak ada nama Djamaloedin. Lantas, apa yang
terjadi? RM Soemardji Widjojosiswojo langsung pulang ke tanah air dengan kapal
ss Konings Willem III dari Amsterdam 14
November 1908 (lihat Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 14-11-1908).
Ada perbedaan sekolah keguruan
dengan sekolah pertanian. Pada sekolah keguruan bisa akselerasi karena adanya
pengalaman sebagai guru, seperti Soetan Casajangan yang masuk tahun 1905 sudah
lulus untuk akte LO pada tahun 1907. Sementara Djamaloedin yang mengubah haluan
dari keguruan ke pertanian harus mulai dari nol yakni dari tingkat persiapan
pada tahun 1904.
Pada tahun 1909
Djamaloedin masih berada di Wageningen. Disebutkan bahwa Djamaloedin sebagai
mahasiswa di Hoogere Landbouwschool (lihat Provinciale Geldersche en
Nijmeegsche courant, 21-08-1909). Besar dugaan Djamaloedin setelah lulus
tingkat dua langsung ke perguruan tinggi (Hoogere Landbouwschool).
Pada tahun 1909 Djamaloedin beberapa
kali menulis artikel di Het Koloniaal Weekblad ‘Oost en West’. Semua artikel
tentang pertanian di Hindia khususnya di Pantai Barat Sumatra. Djamaloedin juga
pernah menulis artikel pertanian yang dimuat di buletin Ceres, orgaan der
studenten aan de Rijks Hoogere Land-Tuin- en Boschbouwschool te Wageninegn pada
akhir 1909 dan awal 1910.
Sejak akhir 1909
Djamaloedin tidak lagi di Wageningen tetapi sudah beberapa kali pindah di kota
lain untuk praktek di bidang pertanian seperti di Rotterdam. Besar dugaan pada
tahun 1910 Djamaloedin telah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma
pertaniannya. Djamaloedin tengah mempelajari beberapa lembaga pertanian di Landbouwbank
en Handelsvereeniging di Lonneker (Het Centrum, 04-06-1910). Tidak lama
kemudian Djamaloedin diangkat sebagai Staf Departement van Landbouw in Indie di
's-Gravenhage dan menjadi assistent laboratorium botani di bahah departement di
Amsterdam bersama Dr. AAL Rutgers (Arnhemsche courant, 05-10-1910).
Nederlandsche staatscourant, 06-10-1910:
‘Berdasarkan resolutie van den Minister van Koloniën, 4 Oktober 1910, bagian D,
No. 47, Djamaloedin gelar Baginda Djamaloedin telah ditempatkan di Gouverneur-Generaal
van Nederlandsch Indie, untuk sementara bekerja di departemen pertanian di
Belanda’.
Djamaloedin bin Mohamad Rasad
Djamaloedin kembali ke
tanah air pada bulan Desember 1910. Djamaloedin menumpang kapal Grotius dari
Amsterdam tanggal 21 Desember ke Batavia (De Maasbode, 23-12-1910). Selesai
sudah perjuangan dan studi Djamaloedin di Belanda. Lantas bagaimana kisah
selanjutnya.
Sementara itu Dr. Abdul Rivai pada
tahun 1910 kembali ke tanah air. Sedangkan Soetan Casajangan masih
menyelesaikan pendidikan sarjananya. Soetan Casajangan lulus dan meraih gelar
sarjana pendidikan tahun 1911. Soetan Casajangan tidak langsung pulang tetapi
masih melakukan sejumlah kegiatan di Belanda terutama yang terkait dengan
masalah upaya peningkatan pendidikan pribumi di Hindia Belanda dengan para ahli
yang tergabung dalam Oost en West. Setelah menyelesaikan buku yang diterbitkan
di Barn pada tahun 1913, Soetan Casajangan kembali ke tanah air..
Setelah tiba di tanah
air, Djamaloedin awalnya bekerja di Departmen Lanndbouw di Batavia lalu
kemudian ditempatkan di Provinsi Sumatera Westkust. Pada tahun 1912 setelah Tweede
Kamer membahas sejumlah nama, nama Djamaloedin termasuk yang ditetapkan untuk
diusulkan naturalisasi (Algemeen Handelsblad, 21-05-1912). Keputusan resmi Djamaloedin
berstatus naturalisasi baru terjadi bulan Juli 1912.
Staatsblad No. 226, 15den Juli 1912:
‘Kami WILHELMINA, oleh kasih karunia Tuhan, Ratu Belanda, Putri Oranye-Nassau,
dll. Semua orang yang akan melihat atau mendengar pembacaan ini, melakukan salut!
Jadi Kami telah mempertimbangkan bahwa Baginda Djamaludin bin Mohamad Rasad
telah menyerahkan kepada kami permintaan untuk naturalisasi, dengan penyerahan
bukti yang dimaksud dalam Art 3 Staatsblad No. 268 (12 December 1892) sebagaimana
yang diubah dalam Staatsblad No. 216 (15 Juli 1910) tentang kewarganegaraan dan
residensi Belanda. Dengan demikian adalah bahwa Kami, setelah mendengar Raad
van State, dan dengan kesepakatan bersama dari Staten-Generaal, telah
menyetujui dan memahami, sebagaimana Kami menyetujui dan memahami dengan ini diberikan
kepada Baginda Djamaloedin bin Mohamad Rasad, lahir di Priaman (Gouvernement
Sumatra’s Westkust) 1 Desember 1881, ahli agronomi, sebelumnya berada di Den
Haag, Provinsi Holland Selatan, saat ini berada di Provinsi Pantai Barat Sumatera
(Gouvernement Sumatra’s Westkust). Sehubungan dengan itu memerintahkan bahwa
ini akan ditempatkan dalam Lembaran Resmi, dan bahwa semua Departemen
Departemen, Pihak Berwenang, Akademi dan Pejabat, siapa pun yang bertanggung
jawab untuk ini, akan tetap pada penerapan yang akurat. Diberikan di Paleize
het Loo, 15 Juli 1912. WILHELMINA. De Minister van Justitie, Ditetapkan pada tanggal
tiga-puluh Juli 1912. De Minister van Justitie.
Soetan Casajangan dan Trio Sumatra
Soetan Casajangan
setelah lulus dan mendapat gelar sarjana keguruan di Belanda kembali ke tanah
air tahun 1913.Soetan Casajangan pulang ke tanah air pada bulan Juli 1913.
Soetan Casajangan guru berlisensi Eropa langsung ditempatkan di Fort de Kock.
Surat penempatannya (resolutie van den minister van kolonien) di Fort de Kock
sudah keluar pada bulan April (De Preanger-bode, 19-04-1913).
Sambil menunggu penempatan di Fort
de Kock, Soetan Casajangan sempat menjadi guru Eropa di Buitenzorg. Tidak lama,
karena harus segera ke Fort de Kock, Di kota hujan inilah Soetan Casajangan
bertemu dengan, Sorip Tagor, kelahiran Padang Sidempoean, yang bekerja sebagai asisten
dosen di Veeartsen School. Sementara di Fort de Kock, Soetan Casajangan bertemu
dua guru muda, alumni Kweekschool Fort de Kock, Dahlan Abdoellah dan Ibrahim
gelar Datoek Tan Malaka.
Pada akhir tahun 1913
tiga pemuda berangkat studi ke Belanda, satu dari Buitenzorg dan dua dari Fort
de Kock. Tiga pemuda ini sudah barang tentu telah bertemu dengan Soetan
Casajangan. Dari Fort de Kock, Dahlan Abdoellah berangkat studi ke Belanda pada
bulan Oktober 1913 lalu kemudian disusul oleh Tan Malaka. Pada bulan Desember,
Sorip Tagor berangkat ke Belanda. Trio, kader Soetan Casajangan di Belanda
nantinya akan membuat gebrakan baru dalam bidang organisasi mahasiswa.
Sorip Tagor Harahap di Belanda
mendaftar di sekolah kedokteran hewan (Veeartsen
School) di Utrecht sesuai dengan bidangnya di Buitenzorg. Sorip Tagor adalah
mahasiswa Indonesia pertama di Utrecht. Tan Malaka, juga mengambil bidang
keguruan seperti bidangnya di Fort de Kock. Tan Malaka kuliah di kampus dimana
Soetan Casajangan lulus di Haarlem. Dahlan Abdoellah mengambil bidang bahasa di
Universiteit Leiden. Trio Sumatra ini di Belanda langsung menjadi bagian dari
Indisch Vereeniging. Saat itu presiden Indisch Vereeniging adalah Husein
Djajanegara (Presiden pertama tahun 1908 adalah Soetan Casajangan).
Tidak lama setelah trio
Sumatra ini di Belanda, menyusul seorang lagi pemuda bernama Zainoeddin Rasad.
Dari marganya Rasad mirip dengan Djamaloedin Rasad. Iya, betul. Baginda
Zainoeddin Rasad adalah adik kandung Baginda Djamaloedin Rasad (sohib dari
Soetan Casajangan). Baginda Zainoeddin Rasad tiba di Belanda pada tahun 1915.
Beberapa tahun sebelumnya dua pemuda
Sumatra, asal Padang Sidempoean tiba di Belanda. Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soeangkoepon pada tahun 1910. Lalu tahun berikutnya 1911 tiba di
Belanda Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeg Moelia. Keduanya masih tergolong
belia lulusan ELS (sekolah dasar Eropa). Setelah menyelesaikan pendidingan
menengah di Belanda Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia
sama-sama mengambil bidang hukum. Pada tahun 1915 (yang bersamaan kedatangan
Zainoeddin Rasad) tiba Raden Pandji Soerachman. Jika Zainoeddin Rasad mengambil
bidang pertanian di Wageningen, Soerachman mengambil bidang teknik (kimia) di
Delft. Pada tahun 1930 Soetan Goenoeng
Moelia kembali ke Belanda untuk studi doktoral di bidang pendidikan dan meraih
gerlar doktor (Ph.D) tahun 1933. Kelak, pada era kabinet Perdana Manteri Soetan
Sjahrir, tiga pemuda ini menjadi menteri: Ir. Soerachman menjadi Menteri Kemakmuran,
Mr. Soetan Goenoeng Moelia menjadi Menteri Pendidikan; dan Ir. Zainoeddin Rasad
menjadi Menteri Pertanian. Pada era pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1949)
Soetan Goenoeng Moelia (guru besar UI) adalah besan dari Soerachman (Rektor UI
pertama).
Zainoeddin mengambil
bidang studi pertanian, seperti udanya Djamaloedin Rasad. Zainoeddin pada tahun
berikut lulus dan naik ke tingkat dua di Middelbare Koloniale Landbouwschool di
Deventer (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 17-07-1916).
Pada tahun 1903
didirikan Landbouwschool di Buitenzorg. Pada tahun 1912 Landbouwschool ini
ditingkatkan menjadi Middelbare Landbouwschool. Lulusan pertama Middelbare Landbouwschool
di Buitenzorg tahun 1914 adalah Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan.
Sementara Veeartsen School Buitenzorg didirikan pada tahun 1907 dan lulusan
pertama adalah Sorip Tagor pada tahun 1912. Sorip Tagor adalah lulusan Veeartsen
School Buitenzorg pertama yang melanjutkan studi ke Belanda (sebagaimana Soetan
Casajangan adalah lulusan pertama kweekschool yang melanjutkan studi ke
Belanda). Landbouwschool di Belanda terakhir
tahun 1904 sebelum diubah menjadi Middelbare Landbouwschool. Djamaloedin Rasad
adalah angkatan terakhir Landbouwschool di Belanda.
Setelah lulus Middelbare
Landbouwschool di Deventer, Baginda Zainoeddin Rasad melanjutkan ke tingkat
studi lebih lanjut di Landbouw Hoogeschool di Wageningen. Pada tanggal 7
November 1918 Zainoeddin lulus tingkat persiapan (propadeutisch) di Landbouw Hoogeschool
di Wageningen (lihat De Maasbode, 07-11-1918).
Sorip Tagor mempelopori
didirikannya ‘Persatoean Anak Sumatra’ di Utrecht, Belanda sebagai wujud
perlawanan atas berdirinya Jong Java. Pada tanggal 1 Januari 1917, persatuan
anak Sumatra resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari
Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Todeong
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota
komisaris (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka. Tentu saja Zainoeddin Rasad
menjadi anggota. Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup
penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan
Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan
dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke
perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta
Radja dan di tempat lain di Soematra
(lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Meski
anak-anak Sumatra telah mendirikan Sumatra Sepakat, tetapi visi persatuan
nasional Indonesia tetap dijunjung. Mereka juga tetap bagian dari Indisch
Vereeniging. Para anggota ‘Soematra Sepakat’ juga turut berpartisipasi dalam Kongres
Mahasiswa Hindia Belanda (Indisch Studentencongres) yang pertama diadakan pada
bulan November 1917 dan dalam kongres mahasiswa
Hindia Belanda kedua tahun 1919.
Zainoeddin Rasad lulus dan
mendapat akte diploma Landbouwkundige (De Maasbode, 29-09-1919). Setelah
mendapat gelar diploma, Zainoeddin Rasad kembali ke tanah air dengan kapal Insulinde
dari Rotterdam pada tanggal 7 Februari 1920 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 08-02-1920).
Dalam kapal yang besar ini yang menampung ratusan penumpang ke Hindia hanya
Zainoeddin yang prubumi. Teman-temannya sesama Sumatra belum selesai kuliah.
Di Wageningen, sekolah pertanian
terbagi dua tingkat yakni tingkat sekolah menengah Middelbare Landbouwschool
atau juga disebut Rijkslandbouwschool dan tingkat sekolah tinggi yang disebut Rijks
Hogere Land-, Tuin- en Bosbouwschool en Landbouwhogeschool. Di perguruan tinggi
ini dibagi kedalam beberapa program: Nederlansch Lambouw; Nederlansch
Boschbouw; Koloniale Landbouw; dan Indisch Landbouw. Zainoeddin memulai studi Middelbare
Landbouwschool di Deventer dan melanjutkan ke Hoogeschool di Wageningen.
Sedangkan abangnya, Djamaloedin Rasad dulu memulai studi di Landbouwschool
(sebelum ditingkatkan menjadi Middelbare Landbouwschool). Zainoeddin adalah
Koloniale Landbouw.
Sorip Tagor baru beberapa
bulan kemudian di Rijksveeartsenijschool, Utrecht lulus dan mendapat gelar
dokter hewan (Dr) (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920).
Dahlan Abdoellah lulus ujian sarjana dengan acte MO vóór de Maleis che taal en
letterkunde bulan Juni 1920 (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad,
28-06-1923), Gelar ini merupakan gelar yang sama diperoleh Soetan Casajangan
pada tahun 1911.
Sarjana (diploma)
pertanian pertama adalah Djamaloedin Rasad yang memulai pendidikan tahun 1904
dan selesai tahun 1909 (empat tahun). Sementara sarjana (diploma) pertanian
kedua adalah Zainoeddin Rasad yang memulai pendidikan pada tahun 1915 dan
selesai tahun 1919 (empat tahun). Pada era Djamaloedin masih berbasis
Landbouwschool, sedangkan pada era Zainoeddin sudah berbasis
Middelbarelandbouwschool. Terjadi pergeseran level. Juga terjadi pada bidang
keguruan jika sebelumnya di Indonesia Kweekschool lalu bergeser menjadi Normaal
School. Hal ini harus dibedakan dengan di Belanda unutuk akte LO (diploma) dan
akte MO (sarjana). Pada era modorn, jika
sebelumnya untuk menjadi guru besar (profesor) bisa hanya sarjana, tetapi kini
harus pendidikan doktoral.
Pembangunan di Sumatra: Soetan
Casajangan Tampil di Forum Lagi
Sejak kepulangan Soetan
Casajangan ke tanah air (1913) dan sejak hadirnya kader-kader Soetan Casajangan
dari Sumatra di Belanda, sudah dua kali diadakan kongres mahasiswa asal Hindia
Belanda (baca: Indonesia). Kongres mahasiswa pertama Kongres Mahasiswa Hindia
Belanda (Indisch Studentencongres) diadakan pada bulan November 1917. Sorip
Tagor dan Dahlan Abdullah turut memberikan pendapat dalam kongres tersebut
(lihat Algemeen Handelsblad, 24-11-1917). Kongres Indonesia ini meliputi seluruh
mahasiswa-mahasiswa adal Hindia Belanda yang terdiri dari Indo (Belanda
kelahiran Indonesia), Tionghoa dan pribumi.
Kongres kedua mahasiswa Indonesia
dilakukan pada tahun 1919 (yang namanya juga disebut Indonesisch Verbond) yang
mana mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra juga turut memberi pendapat (lihat Algemeen
Handelsblad, 02-02-1919). Diantara yang memberikan pendapat Dahlan Abdullah dan
Zainoedin Rasad (saat ini presiden Indische Vereeniging adalah Dahlan
Abdullah).
Soetan Casajangan,
selain tetap mengajar juga sejak 1917 Soetan Casajangan diperbantukan menjadi
asisten JH Nieuwenhuys dan DA Rinkes (penasehat urusan pribumi) di Directeur van
Binnenlandsch Bestuur. Soetan Casajangan akan berakhir tugasnya pada tanggal 7
Fevruari 1920 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Soetan
Casajangan akan dipromosikan sebagai Wakil Direktur Normaal School di Meester
Cornelis.
Sumatranen Bond (Sumatra Sepakat) di Belanda 1 Januari, 1917 |
Djamaloedin Rasad terus
berkiprah di West Sumatra. Djamaloedin di Priaman telah berhasil membangun
perusahaan pertanian bersama masyarakat (De Sumatra post, 22-03-1919). Ilmunya
tidak hanya dibaktikan kepada pemerintah tetapi juga kepada rakyat. Djamaloedin
Rasad dari Priaman juga memperluas gerakan kelembagaan pertanian ini ke Fort de
Kock (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1919). Tan
Malaka menjadi guru di Deli dan Soetan Goenoeng Meolia menjadi kepala HIS di
Kotanopan. Zainoeddin Rasad bekerja di Departemen Pertanian di Batavia; dan
Sorip Tagor bekerja sebagai pengawas (dokter hewan) di Istana Gubernur Jenderal
di Batavia. Dahlan Abdullah masih di Belanda.
Di Pematang Siantar pada tahun 1920 didirikan
bank pribumi yang diberi nama Bataksch Bank oleh Mengaradja Soeangkoepon, Dr. Mohamad
Hamzah (alumni Docter Djawa School tahun 1902, saudara sepupu Soetan
Casajangan), Dr. Alimoesa Harahap (alumni Veeartsenschool, 1914, adik kelas
Sorip Tagor) dan Hasan Harahap gelar Soetan Paroehoem (lulus notaris 1917,
notaris pribumi pertama di Sumatra). Tujuan pendirian bank ini untuk
memfasilitas pribumi yang sulit akses ke Java Bank (Belanda) dan Bank Kesawan
(Tionghoa). Misinya kirang lebih sama dengan yang dilakukan Djamaloedin Rasad
mendirikan perusahaan pertanian di Priaman untuk nmemfasilitasi pribumi
mengembangkan pertanian). Masih pada tahun 1920, Abdul Azis Nasution gelar Soetan
Kenaikan, alumni pertama Middelbare Lanbouwschool di Buitenzorg menedirikan
sekolah pertanian swasta di Loeboek Sikaping (sekolah pertanian pertama swasta
di Hindia Belanda).
Soetan Casajangan,
setelah bekerja untuk pemerintah selama enam tahun lebih, sejak bulan Februari
1920 diberikan cuti selama delapan bulan ke Eropa (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Saat inilah kembali bertemu Soetan
Casajangan di Belanda dengan Dahlan Abdullah (yang telah menjadi ketua Indisch
Vereeniging). Selama di Belanda, Soetan Casajangan diundang kembali oleh
Vereeniging Moederland en Kolonien (Oost en West) untuk berpidato di hadapan
para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920. Soetan Casajangan
berbicara di dalam forum bergengsi tersebut dengan makalah 19 halaman yang
berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek
(modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam forum ini juga diundang dan
dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Soetan Casajangan, sebagaimana dulu pernah berbicara
di forum yang sama tahun 1911, tetap dengan percaya diri untuk membawakan
makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidato Soetan Casajangan:
Geachte Dames en Heeren! (Dear
Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr.
van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan
kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar
sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap
sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya
peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya
orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang
ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan
bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras
untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah
membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan
cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari
keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar
sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan..
Pidato ini selain
terkait dengan pendidikan pribumi juga terkait dengan telah dibukanya THS di
Bandoeng. Sebagaimana terjadi ternyata dalam penerimaan pertama THS bandoeng
hanya tiga mahasiswa pribumi yang diterima. Tampaknya Soetan Casajanga menyimak
perdebatan yang terjadi di kongres mahasiswa di Belanda tahun 1917 dan 1919.
Pada kongres pertama Dahlan
Abdfullah dan Sorip Tagor menginginkan perbaikan pendidikan di Hindia. Pada
kongres kedua Zainoeddin menghaapkan sudah waktu peningkatan mutu sekolah
pertanian di Hindia.
Jika kembali pada pidato
Soetan Casajangan pada forum 1911 dengan pidato yang sekarang erdapat hubungan
yang konsisten tema-tema yang disuarakan Soetan Casajangan di dalam bidang
pendidikan. Saat itu, Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en
Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di
Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang
diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat
percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch
Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting
isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and
Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
Pidato Soetan Casajangan
pada tahun 1920 diduga kuat menjadi pemicu awal peningkatan mutu pendidikan
tinggi di Hindia dan kemudian direalisasikannya perguruan tinggi (THS) di
Bandoeng tahun 1920. Pemerintah Hindia Belanda selalu mendengar dan berupaya
merealisasikan rekomendasi dari Vereeniging
Moederland en Kolonien. Soetan Casajangan sendiri dalam pidatonya itu meski
diutarakan dengan sangat santun tetapi memberi makna yang dalam yang
menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan
profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda.
Kutipan pidato Soetan Casjangan pada
tahun 1911 tersebut dikutip dan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda
dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang
Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya menjadi paham mengetahui problem
dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan. Hal serupa berulang di
tahun 1920. Dalam pidaro 1920, Soetan Casajangan dengan tegas menyatakan
politik etik sudah usang. Dua pidato Soetan Casajangan ini tidak pernah diungkap
oleh penulis-penulis sejarah di Indonesia. Padahal inti dua pidato tersebut
adalah tekanan yang dilancarkan Soetan Casajangan untuk meningkatkan kesadaran
Belanda dalam membangun dan memperkuat fondasi pendidikan Indonesia ke
depannya.
Jika tema-tema
pendidikan Soetan Casajangan, Djamaloedin Rasad dan Dahlan Abdoellah ditrace ke
masa lampau sejatinya terdapat hubungan yang bersifat continuum sejak era Dja
Endar Moeda. Dengan kata lain, perjuangan pendidikan di Indonesia telah
berlangsung secara estafet dan tidak berdiri sendiri (melainkan yang satu yang
lebih awal dirujuk oleh yang lainnya yang menyusul kemudian).
Dja Endar Moeda, meski sudah beralih
ke dunia pers, guru tetaplah guru. Pada tahun-tahun awal Dja Endar Moeda antara
lain pernah mengusulkan: Pendidikan menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar
di sekolah agar siswa lebih mudah memahami dan lebih luas (Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898); Tidak setuju penghematan dalam
pendidikan, dapat memperburuk pendidikan pribumi (Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 15-11-1898); Mendorong
rakyat untuk maju agar tidak tertinggal (Sumatra-courant: nieuws-en
advertentieblad, 28-02-1899);
menerbitkan majalah Insulinde yang memuat artikel-artikel pembangunan
(pendidikan, pertanian, kesehatan) (De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 25-03-1901). Editornya Dja Endar Moeda dan asistennya
Djamaloedin Rasad; Mendorong media pribumi lebih banyak agar rakyat lebih
berpengetahuan (De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad,
02-05-1901); Kurikulum pendidikan pribumi harus diperluas agar setara dengan
orang-orang Eropa/Belanda (De Sumatra post, 27-01-1903);
Dja Endar Moeda tidak hanya
berbicara di tingkat publik, Dja Endar Moeda juga melaksanakan sendiri pada tingkat
keluarga. Putrisnya, Alimatoe Sa’diah adalah perempuan Indonesia pertama yang mendapat
pendidikan Eropa (jauh sebelum RA Kartini). Cucu Dja Endar Moeda (putri sulung
Alimatoe Sa’diah) bernama Ida Loemongga kelhairan Padang 1904, kelak diketahui
adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D). Ida Loemonggo meraih
gelar Ph.D di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1931.
Setelah semuanya penjuangan
pendidikan telah mulai direalisasikan dan berlangsung baik, satu per satu
pendekar pendidikan Indonesia tersebut lengser ke prabon. Dja Endar Moeda
setelah mulai menua tidak lama kemudian diketahui meninggal dunia di Kota Radja
(kini Banda Aceh) pada tahun 1926. Lalu kemudian, Soetan Casajangan saat
menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara) setelah
mengalami saki sebulan meninggal dunia tahun 1929. Posisi yang ditinggalkan oleh
Soetan Casajangan ini kemudian dijabat oleh Soetan Goenoeng Moelia.
Pada tahun-tahun meninggalnya Dja
Endar Moedan dan Soetan Casajangan generasi kedua telah memainkan peran yang
signifikan seperti Mangaradja Soengkoepon menjadi anggota dewan pusat (Volksraad)
di Pedjambon. Juga adiknya Dr. Abdul Rasjid menjadi anggota Volksraad. Mangaradja
Soeangkoepon mewakili ‘dapil’ Oostkust van Sumatra (Sumatra Timur) dan Dr.
Abdul Rasjid dari ‘dapil’ Noor Sumatra (Tapanoeli en Atjeh). Pada tahun 1934 Soetan
Goenong Moelia (setelah meraih gelar Ph.D di Belanda) juga menjadi anggota
Volksraad (mewakili golong pendidikna). Sebelumnya, di West Sumatra,
Djamaloedin Rasad sempat bersaing dengan Abdoel Moeis untuk kandidat ke
Volksraad (De Preanger-bode, 22-02-1923). Namun akhirnya yang terpilih Abdoel
Moeis. Saat itu Djamaloedin Rasad adalah konsulen pertanian di Wesy Sumatra
yang juga merangkap untuk Residentie Palembang.
Dahlan Abdullah menjadi anggota dewan
kota (gemeenteraad) Batavia. Djamaloeddin Rasad sayang tersandung kasus (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 06-01-1926). Disebutkan Baginda Djamaloedin Rasad
Kepala Sekolah HIS di Priaman dijatuhi hukuman (Verbeterd Vonnis) dengan
vonnis satu bulan penjara atau denda f200. Tidak diketahui jelas kasusnya apa.
Apakah ada orang yang iri dengan kiprah Djamaloedin Rasad? Entahlah! Setelah
nama Djamaloedin Rasad menghilang, Zainoeddin Rasad menggantikan posisi yang
ditinggalkan Djamaloedin di West Sumatra. Zainoeddin Rasad yang juga adik
Djamaloedin Rasad diangkat sebagai konsulen pertanian di West Sumatra (De
Indische courant, 29-05-1929). Zainoeddin
Rasad juga diperbantukan sebagai pengajar di OSVIA di Fort de Kock.
Last bun not least: Setelah
generasi pertama habis dan generasi kedua mulai menua lalu muncul generasi ketiga.
Mereka ini tidak lagi berjuang dalam peningkatan pendidikan tetapi telah
bergeser ke bidang politik. Mereka itu adalah Parada Harahap, Mohamad Hatta, Soetan
Sjahrir, Mohamad Jamin, Amir Sjarifoeddin dan Radjamin Nasution. Dalam hubungan
ini pidato Soetan Casajangan tahun 1911 bertema pendidikan dan pada tahun 1920 pidato
yang beraroma politik sudah mulai dijalankan oleh mahasiswa generasi ketiga
asal Sumatra.
Pada tahun 1919, saat kongres
pertama Sumatranen Bond di Padang, Parada Harahap dan Mohamad Hatta mulai saling
mengenal. Parada Harahap, pendiri dan editor surat kabar yang terbit di Padang
Sidempoean Sinar Merdeka datang ke kongres mewakili pemuda-pemuda dari
Tapanoeli (saat itu Mohamad Hatta masih MULO). Selepas kongres kedua di Padang
tahun 1921, Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda dan Parada Harahap hijrah
ke Batavia. Pada tahun 1923 Parada Harahap dan Dr. Abdul Rivai mendirikan surat
kabar Bintang Hindia (nama majalah dulu yang digawangi oleh Abdul Rivai dan
Djamaloedin Rasad di Belanda). Setelah Abdul Rivai mulai lelah (menua), pada
tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena (bersama WR
Supratman) dan pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang
Timoer. Saat inilah Parada Harahap, seorang revolusioner dari Padang Sidempoean
‘mengolah’ Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno menjadi revolusioner. Surat kabar Bintang
Timoer yang juga kepala ediotornya kerap memberitakan kiprah Mohamad Hatta dkk
di Belanda sebagai pemimpin Perhimpoenan Indonesia (nama baru dari Indisch
Vereeniging). Surat kabar Bintang Timoer juga kerap memuat artikel Ir.
Soekarbno dari Bandoeng. Pada tahun 1927, Parada Harahap sebagai sekretaris
Sumatranen Bond menggagas pendidirian supra organisasi kebangsaan yang disebut
Permofakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (yang disingkat
PPPKI). Organisasi supra ini didirikan di rumah Husein Djajadinibgrat yang juga
dihadiri Soetan Casajangan dan Mangarada Soeangkoepon (mereka berempat ini
adalah pentolan Indisch Vereeniging di Belanda). Singkat kata: setelah
pergumulan politik setelah berdirinya PPPKI, yang dipicu karena Soekarno ditahan
dan pers pribumi dibreidel, Parada Harahap gerah dan memimpin tujuh revolusioner
ke Jepang pada bulan November 1933. Dalam rombongan ini termasuk Abdullah
Lubis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (editornya saat itu
Djamaloedin alias Adinegoro, adik Mohamad Jamin); Mr. Samsi Widagda, Ph.D
(teman kuliah Dahlan Abdullah di Univeristeit Leiden) dan Mohamad Hatta yang
baru tiba di tanah air setelah lulus sarjana ekonomi di Universiteit Riotterdam
Belanda. Saat kembali rombongan ini di tanah air di pelabuhan Tnadjong Perak Soerabaja
tanggal 13 Januari 1934, pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari
Tandjong Priok untuk diasingkan ke Flores. Pada bulan Februari semua anggata
rombongan ditangkap PID. Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia
dan Samsi Widagda ditangkap di Bandoeng. Oleh karena kesaksian Konsulat Jepang
di Batavia, para tokoh revolusioner dibebaskan. Namun tidak lama kemudian
pentolah Partai Pendidikan Indonesia ditangjkap karena terkait selebaran di
majalah Daulat Ra’jat enam bulan sebelumnya. Setelah diadili para pentolah
Partai Pendidikan Indonesia ini, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir diasingkan ke
Digoel. Tidak lama kemudian, juga dua tokoh Partai Indonesia Mohamad Jamin (kepala
cabang Soerabaja) dan Amir Sjarifoenddin Harahap )kepala cabang Batavia) akan
diasingkan ke Digoel. Namun para pegiat pendidikan termasuk Prof. Husien
Djajadingrat (guru besar di Recht Hoogesschool) serta anggota Volskrad (MH
Thamrin, Soetan Goenoeng Moelia dan Mangaradja Soangkoepon) meminta Gubernur
Genderal mengurungkan dengan alasan kedua pemda kadel Soekarno tersebut masih
muda dan sedang menyelesaikan kuliah di Recht Hoogesschool).
Pada tahun 1938 muncul
gagasan dari orang-orang Revolusioner untuk memindahkan tiga tokoh yang
diasingkan di Flores dan Digoel ke Sumatra. Namun Mohamad Hatta dan Sjahrir
tidak dikabulkan karena alasan Moahamad Hatta dan Sjahrir orang Sumatra, tetapi
keduanya hanya dipindahkan ke Banda.
Pada saat pemindahan Sorkarno ke Bengkulu sempat dibatalkan, anggota Volksraad
yang dipimpin MH Thamrin melakukan protes ke Gubernur General. Akhirnya Ir.
Soekarno dipindahkan ke Bengkoelen dengan (permintaan) jalan darat. Dalam
perjalanan, Soekarno (yang dikawal PID) berhasil ditemuai Dr. Radjamin Nasution
(anggota gemeenteraad Soerabaja); di Batavia Soekarno dikunjungi Parada Harahap
dan MH Thamrin. Di Telok Betong Soekarno dikunjungi oleh Gele Haroen (ahli
hukum lulusan Unioversiteit Leiden, Adik Ida Loemongga yang notabene cucu dari
Dja Endar Moeda). Dari Telok Betong dengan kereta api ke Lahat dan selanjutnya
ke Bengkoelen dengan naik bis.
Selama di Bengkoelen, Ir. Soekarno
kerap dikunjungi Gele Haroen dari Telok Betong; dan Egon Hakim dari Padang
(anak Dr. Abdul Hakim Nasution, wakil wali kota Padang; Egon Hakim juga adalah
menantu MH Thamrin). Pada tahun 1938 Abdul Haris Nasution ditempat sebagai guru
di Bengkoelen. Namun tidak lama kemudian, Abdul Haris Nasution mengundurkan
diri guru dan mendaftar untuk dilatih menjadi perwira KNIL di Bandoeng. Apakah
Ir. Soekarno yang meminta Abdul Haris Nasution masuk militer? Besar dugaan iya.
Sebab, setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan Ir. Soekarno dan Abdul Haris
Nasution tidak terpisahkan hingga meletusnya G 30 S/PKI tahun 1965.
Pada tahun 1942 saat
terjadi chaos (pendudukan Jepang), semua orang Belanda di pantai barat Sumatra merangsek
ke Padang untuk dievakuasi ke Australia. Dalam evakuasi ini termasuk Soekarno
dan keluarga dari Bengkoelen. Di Padang, Ir. Soekarno diculik Egon Hakim
Nasution dari pengawasan Belanda. Egon Hakim kemudian membawa Soekarno ke Fort
de Kock (Bukittinggi) tempat dimana markas militer Jepang didirikan. Sementara,
Mohamad Hatta dan Sjahrir dari Banda dievakuasi ke Soekaboemi (akses menuju
Pelabuhan Ratoe di selatan Jawa untuk dievakuasi ke Australia). Di Soekaboemi,
Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap telah setahun membuka firma hukum.
Di Soekaboemi juga, setelah pensiun, Sorip Tagor sudah lama berdiam. Sedangkan
pentolan-pentolan revolusioner dari Medan hijrah ke Firt de Kock (termasuk
Adinegoro, editor Pewarta Deli). Sebagai penjaga gawang di Batavia masih ada
Parada Harahap, Zainoeddin Rasad dan Dahlan Abdullah (MH Thamrin sudah
meninggal tahun 1940).
Mereka inilah kemudian yang
berkolaborasi dengan pemerintahan militer Jepang di Batavia (kecuali Soetan
Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menentangnya). Ketua Dewan pusat di Batavia Ir.
Soekarno dan sebagai wakil Mohamad Hatta. Parada Harahap sebagai Koordinator
media. Walikota Batavia diangkat Dahlan Abdullah; dan Walikota Soerabaja
diangkat Dr. Radjamin Nasution. Untuk pimpinan di West Sumatra diangkat
Adinegoro. Sebagai pembangkang, selama pendudukan Jepang, Amir Sjarifoeddin
ditahan di penjara Jepang di Malang (baru dilepaskan setelah proklamsi
Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945).
Pada saat persiapan
kemerdekaaan Indonesia, pemerintah militer Jepang di Batavia membentuk BPUPKI
yang mana sejumlah nama sebagai anggota diantaranya: Ir. Soekarno, Drs. Mohamad
Hatta, Mr. Samsi Widagdo, Ph.D dan Parada Harahap. Akhirnya, Indonesia merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945. Tiga tokoh utama dalam kabinet baru adalah Ir.
Soekarno sebagai Presiden, Drs. Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden dan Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan/Menteri Pertahanan. Dalam
daftar ini tentu saja termasuk Abdul Haris Nasution, sebagai perwira militer
yang dapat diandalkan. Demikian kiprah pemdua asal Sumatra di pentas nasional,
mulai dari awal kebangkitan bangsa hingga kemerdekaan Indonesia. Ibarat kata:
sesuatu itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sejatinya dimulai dari nol di masa
lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar