*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Batavia, Tjikampek dan Bandoeng adalah garis lalu lintas perjalanan kereta api terpenting di wilayah West Java. Garis ini juga menjadi penting pada era perang kemerdekaan Indonesia. Posisi Tjikampek sebagai interchange lalu lintas kereta api, juga lokasinya sangat stategis diantara dua medan pertempuran: wilayah pegunungan dan wilayah pantai. Itulah keutamaan kota Tjikampek. Pada era perang kemerdekaan, Mayor Moeffreni Moe’min menjadi Komandan Tjikampek.
Batavia, Tjikampek dan Bandoeng adalah garis lalu lintas perjalanan kereta api terpenting di wilayah West Java. Garis ini juga menjadi penting pada era perang kemerdekaan Indonesia. Posisi Tjikampek sebagai interchange lalu lintas kereta api, juga lokasinya sangat stategis diantara dua medan pertempuran: wilayah pegunungan dan wilayah pantai. Itulah keutamaan kota Tjikampek. Pada era perang kemerdekaan, Mayor Moeffreni Moe’min menjadi Komandan Tjikampek.
Pada
era perang kemerdekaan, ketika Belanda/NICA menggantikan posisi Sekutu/Inggris
di Djakarta/Batavia, area pertempuran bergeser ke luar kota yang berpusat di
tiga tempat: Depok, Tangerang dan Tjikampek. Garis terdepan wilayah Depok
berada di Tjililitan dan Kalibata dan garis terdepan wilayah Tjikampek berada
di Tjakoeng dan Tjilintjing. Belanda/NICA menganggap wilayah Depok menjadi
penting karena terjadi kerusuhan di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945,
sementara Sekutu/Inggris menganggap wilayah Tjikampek menjadi penting karena
terjadi kecelakaan pesawat militer Inggris di Tjakoeng yang mana korban selamat
dibunuh di Bekasi. Dua wilayah sisi luar Batavia ini menjadi wilayah terpenting
Komando Siliwangi, dua wilayah yang bertetangga, dan dua wilayah gerilya yang saling
terhubung sejak doeloe.
Mayor Moeffreni Moe’min dan wilayah Bekasi
menjadi tidak terpisahkan. Wilayah Bekasi mulai dari sungai Tjakoeng di barat
hingga sungai Tjitaroem di timur. Saat terjadi berbagai peristiwa di Bekasi (23
November-13 Desember), di Tjikampek sudah dibentuk Garis Pertahanan Pertama (eerste
verdedigingslinie) Republik. Komandannya adalah Mayor Moeffreni Moe’min. Lantas
siapa Mayor Moeffreni Moe’min? Sejarahnya sudah banyak ditulis. Artikel ini tidak
untuk mengulang, hanya sekadar untuk melengkapi. Itu berarti ada hal-hal baru yang selama ini tidak diceritakan. Mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Moeffreni Moe’min
Moeffreni masuk sekolah menengah pertama di
NIATWU Mulo School di Batavia tahun 1939. Satu kelas dengan Moefreni antara
lain Lim Bian Tjay, Kaharoedin dan Ibrahim. Seperti teman-temannya, Moeffreni berhasil
naik ke kelas dua tahun berikutnya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1940).
Namun belum sempat lulus, terjadi pendudukan (militer) Jepang.
Mohamad
Moeffreni lahir pada tanggal 12 Februari 1921 di Pandeglang, Banten. Ayahnya
bernama Mohammad Moe’min. Setelah dewasa, Mohamad Moeffreni menggunakan nama
belakang ayahnya. Namanya kemudian lebih dikenal (hanya) sebagai Moeffreni Moe’min.
Nama teman-temannya juga menjadi Kaharoedin Nasoetion dan Ibrahim Adjie.
Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
mulai terbentuk badan-badan keamanan rakyat. Di ibukota RI di Djakarta dipimpin
oleh Moeffreni Moe’min. Teman-teman lamanya juga merapat ke Djakarta termasuk Kaharoedin
Nasoetion dan Ibrahim Adjie. Di Bandoeng terbentuk badan keamanan rakyat oleh
para mantan KNIL/Belanda seperti Abdul Haris Nasoetion, TB Simatoepang dan AE
Kawilarang. Kelompok Moeffreni Moe’min di Djakarta umumnya lebih muda dan
merupakan eks PETA/Jepang.
Pada tanggal
8 September 1945 utusan Sekutu yang dipimpin Inggris datang ke Djakarta. Utusan
ini datang setelah sebelumnya Soekarno menemui pimpinan sekutu di Singapoera (De
patriot, 18-10-1945). Kemudian tanggal 29 September 1945 pasukan Sekutu/Inggris
telah merapat di pelabuhan Tandjong Priok. Tugas mereka hanya ada dua melucuti
tentara Jepang dan membebaskan interniran Eropa/Belanda. Sementara badan-badan
keamanan rakyat terbentuk, untuk mengantisipasi pasukan Sekutu/Inggris, Presiden
Soekarno menginstruksikan kepada Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk membentuk
Tentara (profesional) Indonesia. Pembentukan ini dimulai pada tanggal 1 Oktober
1945. Oerip Soemohardjo adalah mantan instruktur KNIL/Belanda. Langkah pertama
yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda
cemerlang di Djogjakarta dengan kualifikasi tertentu, antara lain Dr. Ibnoe
Soetowo, Ir. MO Parlindungan dan Dr. Irsan Radjamin. Mereka yang 17 orang
pertama ini diangkat dengan pangkat Letenan Kolonel (Overste).
Ir. MO
Parlindungan adalah insinyur teknik kimia lulusan Fakultas Teknik di Delft
tahun 1942. AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindungan adalah pribumi
kedua yang lulus di sekolah elit dan super sulit tersebut. Lulusan pertama
adalah Ir. Soerachman tahun 1922. Mahasiswa pertama di Teknik Delft adalah
Raden Sosro Kartono (abang RA Kartini) tahun 1896, namun gagal di tahun
pertama. Dalam kabinet RI pertama ini Ir. Soerachman menjabat sebagai Menteri
Kemakmuran. Sementara itu Dr. Ibnoe Soetowo adalah lulusan sekolah kedokteran
Soerabaja, 1940 sedangkan Dr. Irsan Radjamin, lulusan sekolah kedokteran di
Djakarta 1943. Dr. Irsan Radjamin adalah anak Wali Kota Soerabaja,
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah
mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Indonesia. Sementara itu, seiring
dengan semakin derasnya aliran tentara Sekutu/Inggris yang masuk ke Indonesia,
pada tanggal 13 Oktober Tentara Indonesia yang bermarkas di Bandoeng menyatakan
Proklamasi Perang. Pada waktu yang sama Oemat Islam memproklamsikan perang (lihat
Keesings historisch archief: 14-10-1945). Presiden Soekarno dalam dilema.
Siapa
yang memproklamasikan perang dari Bandoeng ini diduga adalah grup pimpinan
badan-badan keamanan rakyat yang dipimpin oleh Colonel Abdul Haris Nasoetion.
Siapa yang mengatasnamakan Oemat Islam ini diduga kuat adalah kelompok-kelompok
organisasi seperti Hizbullah.
Oleh karena begitu ngototnya Inggris untuk
memasuki Indonesia, berbagai hal energi terkuras untuk merespon Inggris.
Akibatnya Presiden Soekarno tidak ada kesempatan untuk menyempurnakan susunan
menteri dalam kabinet. Kabinet (pertama) sendiri baru terbentuk pada tanggal 13
Oktober 1945 dengan daftar sebagai berikut (lihat Keesings historisch archief:
14-10-1945). Dalam susunan kabinet yang terdiri dari 15 orang termasuk Ir.
Soerachman sebagai Menteri Kemakmuran (Maatschappelijk werk) dan Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan (Voorlichting).
Dengan
terbentuknya kabinet RI pertama ini, paling tidak Soekarno dan Hatta tidak
sendiri lagi, sudah ada pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain
sudah ada tim (kabinet) yang membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam
merumuskan dan menjalankan berbagai kebijakan dan program. Namun dari daftar
kabinet ini sungguh sangat tidak ideal karena belum ada Menteri Keamanan.
Apalagi pada saat yang bersamaan harus menghadapi sekutu yang dipimpin Inggris
(yang mana dibelakangnya menguntit Belanda/NICA/KNIL yang ingin menguasai
kembali Indonesia).
Tanda-tanda perang kemerdekaaan ini sudah mulai
terlihat. Ini dimulai pada tanggal 16 Oktober 1945 yang mana pasukan Belanda
telah mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan dan pasukan tambahan telah
dikirim dari Singapoera untuk memperkuatnya.
Permulaan
perang juga telah direspon pasukan sekutu Inggris. Ini terkesan dari proklamasi yang dimaklumatkan Mayor Jenderal
DC Hawthorne, komandan pasukan darat sekutu di Jawa (yang juga membawahi di
Medan dan Padang) pada tanggal 14 Oktober 1945 menyatakan: ‘bahwa ia
mengendalikan hukum dan ketertiban, perusahaan publik, mengambilalih pelayanan
kesehatan dan makanan. Proklamasi mengutip fakta-fakta berikut yang akan
dihukum oleh pemerintahan militer: sabotase, penjarahan, pemogokan di
perusahaan publik, menolak untuk menjual kebutuhan untuk alasan apapun dan
membawa senjata oleh orang yang bukan bagian dari pasukan sekutu atau polisi
berseragam. Semua pertemuan publik, yang menghasut kerusuhan atau kerumunan,
dilarang. Sebagian besar pelayanan publik yang dilakukan oleh Indonesia pada
saat ini, bekerja secara independen atau di bawah kepemimpinan Jepang.
Proklamasi juga menyatakan bahwa semua layanan harus dilaksanakan sekarang
memiliki orang-orang untuk bekerja sampai mereka diambilalih oleh pemerintahan
militer. Sampai saat itu akan mengontrol layanan yang dilakukan oleh
pemerintahan sipil Jepang (lihat juga Keesings historisch archief: 14-10-1945).
Pernyataan
Sekutu/Inggris pada tanggal 14 Oktober 1945 ini haruslah diartikan bahwa secara
defacto Sekutu/Inggris telah memerintah di Indonesia. Padahal sebelumnya, Sekutu/Inggris
meminta Soekarno hanya sebatas membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti militer
Jepang. Perubahan sikap Sekutu/Inggris besar dugaan disebabkan dua hal, yakni
adanya negosiasi Belanda/NICA di belakang Sekutu/Inggris dan juga meningkatnya eskalasi
politik di dalam negeri yang sudah menimbulkan perlawanan terhadap pasukan
asing (Sekutu/Inggris dan Belanda/NICA) yang telah memasuki wilayah Indonesia.
Dalam hal inilah kelompok perlawanan di Bandoeng menyebut Soekarno harus
bertanggungjawab karena telah memberi jalan bagi Sekutu/Inggris memasuki
wilayah Indonesia.
Pada tangga 17 Oktober 1945 terjadi pertempuran
antara pasukan Belanda dengan Indonesia. Dua pasukan Belanda ditembak tentara
Indonesia di atas pohon dengan senapan mesin (De patriot, 18-10-1945). Inilah
kontak pertama tentara Indonesia dengan (pasukan) Belanda/NICA.
Pasukan
Belanda (NICA) terus melakukan konsolidasi dan pasukan dari waktu ke waktu
terus mengalir. Belanda semakin bernafsu untuk kembali ke Indonesia (negara
yang pernah menjadi jajahannya beberapa abad lamanya). Pasukan sekutu Inggris
yang tujuan utama untuk membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti tentara
Jepang namun dinamika politik yang terus
berlangsung (antara negara Inggris dan negara Belanda) menjadi dalam posisi
dilematis. Oleh karena itu muncul tuntutan dari (pemerintah) Indonesia yang disampaikan
kepada komandan Sekutu/Inggris. Tuntutan itu adalah sebagai berikut (Leeuwarder
koerier, 20-10-1945): (1) Tidak ada pasukan Belanda di Indonesia dapat
dimasukkan ke darat; (2) Semua pasukan Belanda meninggalkan Indonesia; (3) NICA harus tetap keluar dari layanan; (4) Pemerintah
sekarang harus diakui sampai masalah ditinjau oleh ‘otoritas dunia’ yang
kompeten; (5) Pendudukan tentara Sekutu/Inggris harus dibatasi untuk urusan
yang terkait dengan semua tawanan perang dan melucuti tentara Jepang.
Semua
tuntutan itu dalam kenyataannya tidak digubris baik oleh Inggris maupun
Belanda. Tampaknya Belanda merasa percaya diri untuk mengambil peran yang lebih
luas dari Inggris dan merasa mampu untuk menguasai Indonesia kembali. Di lain
pihak, pemerintahan yang baru terbentuk di bawah Presiden Soekarno belum mampu
sepenuhnya mengkonsolidasikan kelompok-kelompok perlawanan (terutama pemuda) di
seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Para Gubernur dan Residen yang
sudah ditunjuk belum bekerja secara efektif.
Pasukan Sekutu/Inggris semakin deras masuk ke
Indonesia. Pada tanggal 18 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris memasuki
Bandoeng. Lalu pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris mendarat di
Semarang dan kemudian menyusul pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris
mendarat di Soerabaja.
Pada
tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di
Surabaya. Ketika terdesak, tentara Sekutu/Inggris mengusulkan perdamaian.
Pemimpin militer Sekutu/Inggris di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia
(Soekarno) untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Ir. Soekarno dan Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap berangkat ke Soerabaja. Secara defacto, ketika Ir. Soekarno
dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ke Soerabaja pasca kerusuhan/gencatan senjata
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Penerangan telah bertindak sebagai Menteri
Pertahanan dan Panglima Perang (dalam susunan daftar kabinet tidak/belum ada
Menteri Pertahanan).
Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo
yang turut mendamping Ir Soekarno dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, sebelumnya
sudah menugaskan 17 tentara profesional ke sejumlah tempat tertentu. Overste
Dr. Ibnoe Soetoeo ke Tjepoe untuk mengamankan isntalasi minyak. Sementara
Overste Dr. Irsan Radjamin ke Soerabaja untuk menangani logistik dan penanganan
kesehatan untuk memback-up pejuang yang terluka. Sedangkan Overste Ir. MO
Parlindoengan yang awalnya di Bandoeng untuk membantu Colonel Abdul Haris
Nasoetion dalam menangani pabrik senjata dan mesiu kemudian di perbantukan ke
Soerabaja untuk penanganan bom-bom peninggalan Jepang yang digunakan dalam
pertempuran Soerabaja.
Untuk memperkuat kesatuan yang berada di bawah
Colonel Abdul Haris Nasoetion di Tjikampek, Overste Ir. MO Parlindoengan mulai
memasok dalam jumlah besar ke Tjikampek seiring dengan peningkatan konsentrasi
pasukan di Tjikampek. Suplai senjata ini juga mengalir hingga perbatasan di
timur Djakarta dan ke Buitenzorg hingga ke perbatasan di selatan Djakarta.
Wilayah
Tjikampek dan Poerwakarta adalah wilayah yang diproyeksikan oleh Menteri
Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap untuk garis pertahanan pertama di
pedalaman. Posisinya yang strategis dapat mendukung pasukan ke tiga arah front
pertempuran yakni ke barat ke Djakarta, ke selatan ke Bandoeng, dan ke timur ke
Tjirebon. Sejauh ini hingga pada akhir bulan Oktober, Menteri Pertahanan Mr.
Amir Sjarifoeddin (masih) memuji kedisiplinan tentara di Depok, Tangerang dan
Tjikampek.
Akan
tetapi persoalannya menjadi lain ketika terjadi peristiwa jatuhnya pesawat
Dakota yang membawa serdadu Inggris/India dari Djakarta ke Semarang yang
mendarat darurat di Tjakoeng tanggal 23 November. Majoor Madmoein Hasiboen dan
pasukannya dari Tjilinting berhasil menangkap semua serdadu yang selamat. Tawanan
yang jumlahnya 22 orang ini dievakuasi ke Odjoeng Menteng dan kemudian dipindahkan
ke penjara Bekasi. Dua hari kemudian Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
yang mendapat laporan mengirim surat melalui utusan agar para komandan di
Bekasi dan Tjikampek membawanya ke Batavia. Besoknya Menteri Pertahanan Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap baru mengirimkan pemberitahuan ke markas
Sekutu/Inggris (yang berada di Djakarta). Baru ingin merespon markas
Sekutu/Inggris mendapat kabar semua tahanan di Bekasi telah dibunuh. Pasukan
yang membunuh semua serdadu Sekutu/Inggris ini adalah pasukan (laskar) Banteng
Hitam. Lalu pada tanggal 29 Sekutu/Inggis mengirim ekspedisi ke Bekasi untuk
pengangkutan mayat dan pembebasan interniran di penjara Bekasi dan pencarian
dua mayat di Tjakoeng.
Pada
tanggal 13 Desember kembali lagi Sekutu/Inggris mengirim ekspedisi ke Bekasi
untuk tindakan balas dendam. Mereka menemukan kampong-kampong kosong dan
berhasil menangkap empat orang anggota Banteng Hitam. Pesawat pembom yang
melihat truk yang melarikan diri dari Bekasi berhasil menghancurkannya. Dalam
situasi marah terhadap pembunuhan serdadu Inggris/India korban selamat pesawat
Dakota, pasukan Sekutu/Inggris membakar Bekasi dan kampong-kampong lain. Total sebanyak
600 rumah ludes terbakar termasuk 60 buah rumah orang Tionghoa. Sejak itu,
markas Banteng Hitam di Bekasi direlokasi ke Tjikampek (berbaur dengan
konsentrasi pasukan di Tjikampek).
Situasi dan kondisi yang semakin mencekam di
Djakarta, pemerintahan RI mulai pada awal bulan Januari secara bertahap dipindahkan
ke Jogjakarta. Dalam perpindahan ini komandan sektor Djakarta pusat, Majoor
Soedarsono turut serta evakuasi sambil mengawal rombongan pemerintah ke
Jogjakarta. Pusat komando yang selama ini dibawah pimpinan Majoor Moefferin Moe’min
direlokasi ke Tjikampek. Praktis di dalam wilayah Djakarta tidak terdapat lagi
pasukan, dan telah bergeser semuanya ke luar kota Djakarta. Sebaliknya wilayah
Djakarta sudah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda/NICA.
Perseteruan
pasukan Sekutu/Inggris dengan tentara Indonesia dan para pejuang (laskar dan
rakyat) di Bandoeng semakin hari semakin memuncak. Pasukan Sekutu/Inggris yang
dipimpin oleh Brigadir Jenderal MacDonald mulai kewalahan dan memberi ultimatum
hingga pada tanggal 24 Maret. Untuk menghindari jatuhnya korban seperti di
Soerabaja dan kerugian di Bekasi, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
segera bergegas dari Jogjakarta dengan kereta api untuk berkonsultasi dengan
Colonel Abdul Haris Nasution. Usulan Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
untuk mengungsi hingga batas tertentu dapat dituruti oleh Colonel Abdul Haris
Nasoetion, Akan tetapi perintah Colonel Abdul Haris Nasoetion untuk mengungsi
sangat sulit terutama dari para pejuang (laskar dan penduduk). Namun pada
akhirnya perintah itu dapat dituruti. Dalam proses pengugsian inilah terjadi
aksi bumi hangus di wilayah Bandoeng Selatan. Aksi ini boleh dikatakan sebagai
respon terhadap pembakaran oleh Sekutu/Inggris di Bekasi. Dengan aksi
pembakaran di Bandoeng Selatan ini akan membuat sejumlah bangunan penting dan
rumah-rumah yang potensial tidak dapat digunakan oleh Sekutu/Inggris vis-a-vis
Belanda/NICA yang akan segera menyusul ke Bandoeng.
Sehubungan dengan semakin menguatnya Belanda/NICA
yang telah menggantikan Sekutu/Inggris, wilayah pertahanan Indonesia kembali
dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Pemerintah RI
membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang
terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran. Dalam pengumuman ini juga Kolonel
Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal,
sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
(lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan
untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.
Nieuwe
courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah
diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan
perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi
panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer
ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel
TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai
Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil;
Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala
Sekretariat. Sudibijo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang
mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga
diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala
Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel
Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar
radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr.
Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima
Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima
Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan
Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal
Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf;
Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai
Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono
sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan
Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal
Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.
Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini
kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut Jenderal (Soedirman,
sebagai Panglima). Pangkat dibawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo,
sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada
tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di
bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel (belum digunakan pangkat
Brigadir Jenderal).
Dalam
struktur baru ini, Majoor Soedarsono dipromosiskan sebagai perwira tinggi
sebagai Panglima Divisi-3 dengan pangkat Mayor Jenderal. Sebelumnya Majoor
Soedarsono adalah komandan sektor Djakarta Pusat yang mengawal Presiden, Wakil
Presiden dan Menteri serta pejabat pemerintah. Ketika ibukota RI dipindahkan ke
Jogjakarta Majoor Soedarsono dan pasukannya juga ikut evakuasi ke Jogjakarta.
Dalam hal ini Panglima Divisi-3 meliputi wilayah Jogjakarta.
Majoor
Moefferin Moe’min yang juga kologe Major Soedarsono di Djakarta diposisikan
sebagai Komandan Resimen di Tjikampek dengan pangkat Letnan Kolonel.
Sebelumnya, semua pasukan yang bergerak di Djakarta dan telah bergeser ke luar
Djakarta telah dintegrasikan di dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Dengan
struktur baru ini di West Java dengan panglimanya Majoor Generaal Abdul Haris
Nasoetion, Letnan Kolonel Moefferin Moe’min menjadi salah satu komandan resimen
di wilayah komando-3 (Siliwangi) yang meliputi wilayah Karawang dan Bekasi. Untuk
resimen di Buitenzorg (Bogor dan Soekabomei) di bawah komando Letnan Kolonel AE
Kawilarang. Poerwakarta sendiri telah menjadi pusat komando Siliwangi setelah
pasukan dievakuasi dari Bandoeng (pasca bumi hangus Bandoeng).
Setelah tugas Sekutu/Inggris selesai, seperti
diduga, Belanda/NICA akan menggantikannya. Dalam fase era melawan Belanda/NICA
inilah pemerintah melakukan reorganisasi ketentaraan. Reorganisasi ketentaraan
ini dilakukan oleh tiga tokoh utama yang berada di Jogjakarta yakni Menteri
Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Kolonel Zulkifli Loebis (Kepala
Intelijen Negara) dan Soeltan Hamengkoeboewono (Pemimpin Wilayah Jogjakarta,
ibukota RI).
Zulkifli
Loebis lahir di Kota Radja (kini Banda Aceh) tahun 1923. Setelah menyelesaikan
pendidikan HIS dan MULO di Kota Radja, anak guru ini melanjutkan studi ke
Jogjakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan AMS di Jogjakarta kemudian terjadi
pendudukan militer Jepang. Zulkifli Loebis bergabung dengan pusat pelatihan militer
di Magelang. Lalu Zulkifli Loebis termasuk yang dilatih di sekolah militer
Jepang di Tangerang. Dalam angkatan pertama ini termasuk Daan Mogot dan
Moeffreni. Setelah selesai pendidikan Zulkifli Loebis kembali ke Jogjakarta
(telah menjadi anak Jogja). Pada tahun 1944 Zulkifli dibawa salah satu komandan
Jepang ke Singapoera dan mendapat kesempatan belajar intelijen. Lalu Zulkifli
Loebis ditempatkan di Koeala Loempor. Kota ini tidak asing bagi Zulkifli
Loebis, sebab banyak kerabat yang tinggal di Koeala Loempoer (kota Koeala
Loenpoer di didirkan oleh orang Mandailing en Angkola, kini Tapanuli Selatan).
Ketika Indonesia merdeka dan masuknya Sekutu/Inggris, Zulkifli Loebis adalah satu-satu
orang Indonesia yang memiliki keahlian khusus di bidang intelijen (seperti
halnya Ir. MO Parlindoengan di bidang teknik kimia). Zulkifli Loebis mulai
membagun badan intelijen negara di Djakarta. Ketika ibukota RI pindah ke
Jogjakarta, seperti halnya Majoor Soedarsono, Zulkifli Loebis juga pindah ke
Jogjakarta. Zoelkifli Loebis seakan kembali ke kotanya di Jogjakarta. Sebagai
anak Jogja, Zulkifli Loebis cukup dekat dengan Soeltan. Trio Amir, Loebis dan
Soeltan inilah yang membuat desain baru organisasi TRI/TNI. Dalam struktur baru
TRI/TNI ini Zulkifli Loebis sebagai kepala badan intelijen sedangkan rekannya
dari Djakarta, Majoor Soedarsono menjadi Panglima Divisi-2 (Jogjakarta en
Soeracarta). Seperti diduga, pasca reorganisasi ini Menteri Pertahanan Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap dibantu dengan penambahan Menteri Negara urusan Pertahanan
yakni Soeltan Hamengkoeboewono.
Setelah reorganisasi ketentaraan ini, struktur TRI/TNI semakin rapih dan
solid dalam menghadapi pasukan Belanda/NICA. Pertempuran yang tidak
berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti
dengan gencatan senjata (sejak 14 Oktober) dan dilanjutkan dengan suatu
perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat Belanda/NICA
di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1946. Pada saat perjanjian
Linggarjati, yang menjadi komandan Resimen di Tjirebon adalah Letnan Kolonel
Moeffreni Moe’min.
Sebelum diselenggarakannya konferensi Linggardajti, untuk menjaga situasi
dan kondisi kondusif , Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan
kepala badan intelijen negara Kolonel Zilkifli Loebis menggeser posisi Letnan
Kolonel Moefferin Moe’min dari Resimen Tjikampek ke Resimen ke Tjirebon. Amir
mangandalkan Zulkifli Loebis, lalu Kolonel Zulkifli Loebis mengandalkan teman
lamanya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (sesama PETA/Jepang). Disamping itu,
mertua Moeffreni Moe’min adalah seorang wedana di Tjirebon.
Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min tidak lama
bertugas di Tjirebon. Pemindahannya dari Resimen Tjikampek ke residem Tjirebon
bukan untuk mendekatkan diri ke rumah mertua, tetapi hanya semata-mata untuk
diandalkan komandannya untuk mengamankan proses perundingan Linggarjati,
Setelah usai perjanjian Linggarjati, Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min
dipindahkan ke wilayah Priangan Timur. Pada bulan April 1947 Letnan Kolonel
Moeffreni Moe’min ditugaskan untuk menjabat sebagai komandan sekolah perwira
Divisi-1 Siliwangi yang dipusatkan di Garoet. Tentu saja pekerjaan ini tidak
sulit, karena Moeffreni Moe’min memiliki pengalaman sebagai instruktur pada era
pendudukan Jepang.
Pada
tanggal 3 Juli Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dilantik
menjadi Perdana Menteri untuk menggantikan Soetan Sjahrir. Meski sudah menjabat
posisi Perdana Menteri, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap masih merangkap sebagai
Menteri Pertahanan. Soeltan Hamengkoeboewon tetap menjadi Menteri Negara urusan
Pertahanan. Itu berarti Kolonel Zulkifli Loebis tetap di posisinya sebagai
kepala intelijen negara.
Namun baru dua minggu Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap memimpin kabinet, Belanda/NICA pada tanggal 20 Juli 1947 melancarkan
serangan militer yang kemudian disebut Agresi Militer Belanda. Pada agresi
militer Belanda ini Moeffreni Moe’min yang tengah bertugas di sekolah perwira
di Garoet tertangkap dan diasingkan ke Noesakambangan. Kolonel Zulkifli Loebis
kehilangan teman lamanya.
Belanda/NICA
berdalih bahwa TNI dan pejuang (laskar dan rakayat) melakukan gangguan dan
kemudian melakukan serangan dan pendudukan di wilayah-wilayah yang dikuasi oleh
Republik. Padahal agresi ini jelas-jelas untuk merebut wilayah-wilayah yang
potensial dimana banyak perkebunan-perkebunan besar seperti di Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatra Timur dan Jawa Barat. Perkebunan di Jawa Barat mencapai
wilayah-wilayah di Soemedang dan Garoet.
Perseteruan antara Republik dengan Belanda yang
tidak pernah putus akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk
gencatan senjata pada tanggal 1 Agusrus dan keputusan PBB ini ditindaklanjuti
oleh Belanda/NICA. Gencata senjata dimulau tanggal tanggal 17 Agustus 1947.
Tindakan selanjutnya Dewan Keamanan PBB membentuk komisi tiga negara untuk
menengahi. Indonesia meminta Australia dan Belanda meminta Belgia. Kedua belah
pihak sepakat Amerika Serikat disertakan. Perundingan dilakukan pada tanggal 8
Desember 1947 di atas kapal Amerika Serikat, Renville.
Meski
gencatan senjata sudah diberlakukan sejak tanggal 17 Agustus 1947, pertempuran
yang tiada habisnya antara Republiken dengan militer Belanda/NICA tetap
berlangsung di wilayah antara Karawang dan Bekasi. Wilayah ini sangat straregis
dan menjadi keinginan Belanda/NICA yang belum terpenuhi. Wilayah
Karawang-Bekasi yang berpusat di Tjikampek sudah sejak lama dikuasiai oleh
Republik. Tjikampek adalah interchange penting karena persimpangan jalur kereta
api antara Batavia dengan Bandoeng dan Semarang. Menjaga kedaulatan di
Tjikampek menjadi harga mati. Jebol berarti habis segalanya. Tjikampek adalah
pemutus rantai Belanda/NICA di Jawa.
Sesuai keinginan Belanda/NICA melakukan agresi
untuk merebut wilayah Republik lebih luas menjadi sulit ditahan. Militer
Belanda yang telah menguasai wilayah-wilayah potensial di Indonesia seperti
Sumatra Timur dan Jawa Barat menjadi harga mati. Belanda/NICA dengan sendirinya
mematok hanya mengakui Jawa Tengah, Jogjakarta dan Sumatra sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia. Dua wilayah Indonesia yang kaya (perkebunan) di
Jawa boleh dikatakan secara paksa dilancarkan oleh Belanda/NICA. Itu menjadi
inti perjanjian Renville. Belanda/NICA juga memaksa melalui perjanjian agar TNI
harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur.
Konsekuensi
dari perjanjian ini pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI. Pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa
Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota
Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.
Melihat rekasi yang muncul dari berbagai pihak
dari hasil perjanjian yang tidak mengenakkan ini, Perdana Menteri Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap mengundurkan diri dan mengembalikan mandat kepada Presiden
Soekarno. Pada tanggal 29 Januari 1948 sudah terbentuk dan diresmikan kabinet
baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta dimana Menteri Pertahanan
dijabat oleh Soeltan Hamengkoebewono. Sebaliknya para pimpinan TNI mulai gerah
dengan Belanda/NICA dan TNI akan melakukan agresi dengan caranya sendiri yakni
mengingkari perjanjian Renville dan semua TNI kembali berjuang ke wilayah
masing-masing. Kesepakatan para pimpinan TNI ini dituangkan dalam Surat
Perintah Siasat No 1 Tanggal 9 November 1948 yang ditandatangani Jenderal
Soedirman.
Instruksi
ini dikeluarkan tidak lama setelah penumpasan pemberontakan yang terjadi di
Madiun berhasil dipadamkan. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20
September 1948 yang dipimpin oleh Kolonel AH Nasoetion.
Namun belum sepenuhnya Surat Perintah Siasat No 1
Tanggal 9 November 1948 dapat ditindaklanjuti, Belanda/NICA kembali melancarkan
agresi militer (disebut Agresi Militer Belanda kedua). Agresi militer Belanda
kedua ini dimaksudkan untuk merebut seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 19
Desember 1948 ibukota Jogjakarta diduduki oleh Belanda/NICA dan menahan
Presiden dan Wakil Presiden lalu mengasingkannya ke Sumatra.
Dalam
situasi ini pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat untuk berjuang. Pasukan ini
berangkat dari Jogjakarta pada tanggal 20 Desember 1948. Panglima Jenderal
Soedirman juga segera mengungsi untuk melakukan gerilya dari luar kota. Namun
pasukan Jenderal Soedirman dapat ditangkap oleh Belanda/NICA (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948). Dalam kondisi sakit parah, Jenderal
Soedirman dibawa ke Jogjakarta. Dengan ditahannya Jenderal Soedirman dan
lebih-lebih dengan dibrangusnya Radio Djogka maka hubungan dengan para
komandan-komandan militer yang bergerilya di berbagai tempat menjadi terputus.
Menteri Pertahanan Soeltan Hamengkoeboewono dilakukan tahanan rumah di
Jogjakarta, Panglima TNI Jenderal Soedirman sudah ditahan dalam kondisi sakit.
Praktis kekuatan militer Indonesia (TNI) hanya berada di tangan dua orang:
Wakil Kepala APRI Letnan Jenderal TB Simatupang (yang bergerilya di Jawa
Tengah) dan Kepala Teritorium Jawa Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution (yang
bergerilya di Jawa Barat).
Melihat situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan
Jenderal Soedirman mulai menyadari tak elok dirawat oleh medis Belanda. Apa
lagi hanya Jenderal Soedirman sendiri yang berada di Jogjakarta. Para pemmpin
telah diasingkan sementara pasukan TNI terpencar-pencar di berbagai tempat di
Jawa dan Sumatra. Soedirman bukanlah Presiden atau Menteri. Soedirman adalah
Jenderal. Dalam kondisi belum sehat, Jenderal Soedirman keluar dari Jogjakarta
(melarikan diri dari pengawasan Belanda/NICA).
Dimana
Jenderal Soedirman berada masih belum diketahui. Yang jelas Jenderal Soedirman
tidak lagi berada di tangan medis Belanda. Juga sulit menduga jika Jenderal
Soedirman sudah bergerak jauh karena kondisinya yang masih sakit. Satu-satunya
tempat dimana Jenderal Soedirman berada adalah di kraton Jogjakarta.
Dalam perkembangan terakhir kantor berita Aneta
di Batavia 31 Januari 1949 yang mengutip surat kabar Repoebliken Pedoman telah
diumumkan melalui radio bahwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra
sedang mempersiapkan para pemimpin Repoebliken untuk di Jawa. Untuk komisaris
di Jawa berada di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 31-01-1949).
Dalam
berita ini tidak disebutkan apakah Jenderal Soedirman masih berada di kraton
Jogjakarta. Namun yang jelas dalam perkembangannya Jenderal Soedirman setuju
dengan keputusan dari Sumatra tersebut
Perang yang tidak pernah putus, apalagi dengan
kembali pasukan Siliwangi ke Jawa Barat, akhirnya mulai ada inisiatif pertemuan
perwakilan Belanda dan perwakiltan Republik Indonesia yang dimulai tanggal 14
April 1949 yang hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen yang
ditandatangani tanggal 7 Mei 1949 di Djakarta. Selama proses perundingan Roem-Royen
pihak Republiken di Jawa telah menyelesaikan konsolidasi.
Satu
yang penting dari perjanjian ini implikasinya adalah Republik Indonesia (para
Republiken) kembali ke Jogjakarta yang pada gilirannya dilanjutkan dalam
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Satu hal yang menjadi pertanyaan pasca
perjanjian Roem-Royen ini adalah belum diketahuinya dimana posisi (gerilya)
Jenderal Soedirman.
Untuk
sekadar tambahan sisa pertempuran Republik Indonesia melawan Belanda/NICA tinggal
hanya di sejumlah tempat, yakni di Jawa Barat di daerah antara Sukabumi dan
Tjiandjur; di Jawa Tengah di daerah Djokja dan Solo; di Jawa Timur di daerah
Kediri, Kertosono dan Malang; di Sumatera konsentrasi ini terutama di daerah
sekitar Bukit Tinggi; daerah Kabandjahe (selatan Medan); Tarutung (selatan
Danau Toba) dan di sekitar Padang Sidempuan (lihat Algemeen Handelsblad,
11-05-1949).
Ada dua poin penting di seputar proses penjanjian
Roem-Royen yakni kembalinya Republik ke Jogjakarta dan upaya menemukan kontak
dengan Letnan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatupang. Secara khusus TB
Simatupang sangat diperlukan segera karena TB Simatupang berpengalaman dalam
implementasi pasca perjanjian Renville tahun 1947. Namun dimana posisi gerilya
TB Simatupang dan Soedirman sulit diketahui. Akan tetapi secara umum menurut
laporan tidak resmi Soedirman bergerilya di wilayah selatan Jongjakarta
sementara TB Simatupang diduga berada di wilayah utara Jogjakarta.
Saat-saat
inilah Soeltan Hemengkoeboewono yang keduanya teman baiknya sulit untuk
menemukan kontak. Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin daerah Jogjakarta
tempat dimana Republik kembali memerlukan keduanya. Kekhawatiran Soeltan
Hamengkoeboewono sangat beralasan jika salah satu diantara kedua petinggi TNI
itu tidak ada. Sebab di dalam kota Jogjakarta bisa chaos atau paling tidak
muncul kriminalitas karena militer Belanda akan segera evakuasi dari
Jogjakarta. Setelah beberapa lama Soeltan Hamengkoeboewono berhasil menemukan
kontak dengan TB Simatupang di sekitar wilayah Banaran, Jawa Tengah. Pihak
militer Belanda juga sangat khawatir jika tidak ada yang mampu mengendalikan
situasi saat mereka evakuasi ada kemungkinan mereka diserang dari belakang.
Kedatangan kembali Kolonel TB Simatoepang ke Joghjakarta telah menjamin
keamanan tidak hanya bagi kraton yang menjadi tuan rumah kembalinya Presiden
dan Wakil Presiden, juga menjamin militer Belanda/NICA tidak diserang dari
belakang saat evakuasi (ke Semarang).
Akhirnya Kolonel TB Simatupang tiba di Jogjakarta
yang dijemput dari Banaran (Jawa Tengah). Soeltan Hamengkoeboewono lega.
Kolonel TB Simatupang adalah Republiken pertama yang kembali ke Jogjakarta.
Beberapa hari kemudian militer Belanda melakukan evakuasi dari Jogjakarta.
Pemerintah
Belanda/NICA sempat meminta gencatan senjata dan jaminan kepada Kolonel TB
Simatupang saat mereka evakuasi. Namun militer Belanda tak menyangka
mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Simatupang menjawab diplomatis: ‘Akan
sulit untuk mengakhiri gerilya dan meminta jaminan’ (lihat Algemeen
Handelsblad, 04-07-1949). Boleh jadi Soeltan Hamengkoeboewono yang mendengar
permintaan itu tersenyum. Tentu saja Soeltan lega setelah militer Belanda
evakuasi dari Jogjakarta. Sejak serangan ke Jogjakarta 19 Desember 1948 Soeltan
Hamengkoeboewono yang diawasi sebagai tahanan rumah kini 100 persen bebas.
Sementara Simatupang memberi jawaban seperti boleh jadi diartikan ‘pergi kalian
ke Belanda dan jangan kembali kesini’.
Dalam proses evakuasi tersebut terjadi dua
tembakan ringan. Tembakan itu datang dari arah belakang pasukan terakhir yang
evakuasi. Boleh jadi tembakan TNI itu menunjukkan pelampiasan kekesalan
terhadap militer Belanda atau boleh jadi tembakan itu menggambarkan kegembiraan
di antara anggota TNI yang sepenuhnya telah menguasai (kembali) Jogjakarta.
Hanya itulah yang dilaporkan insiden satu-satunya di Jogjakarta saat
berlangsungnya evakuasi militer Belanda
Soekarno
dan Mohamad Hatta dan tokoh lainnya dijadwalkan akan kembali ke Jogjakarta pada
tanggal 6 Juli 1949. Namun persoalan lain muncul karena Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara pimpinan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi belum ada
kontak. Untuk itu dikirim delegasi RI ke Bukittinggi yang terdiri dari Leimena,
Natsir dan Halim pada tanggal 4 Juli 1949 dengan menggunakan pesawat KLM.ke
Padang yang selanjutnya melakukan perjalanan ke Bukittinggi dimana delegasi ini
akan menunggu kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Upaya
ini dilakukan karena sebelumnya Mohamad Hatta sudah dua kali gagal kontak
dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya yang bergerilya di sekitar
Bukittinggi.
Singkatnya: Pemerintah RI kembali ke Jogjakrta.
Persiapan ke KMB di Den Haag dilakukan yang dipimpin oleh Perdana Menteri
Mohamad Hatta yang didampingi penasehat ekonomi Abdul Hakim Harahap (Residen
Tapanoeli). Sementara Mohamad Hatta dan Abdul Hakim Harahap ke Belanda, Prof.
Tadoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia ke Amerika Serikat untuk
menghadiri Sidang Umum PBB. Perjanjian KMB ditandatangani dan diberlakukan pada
tanggal 27 Desember 1949.
Majoor Moeffreni Moe’min Kembali ke Djakarta
Wujud dari pengakuan kedaulatan Indonesia oleh
Belanda, sesuai hasil perjanjian KMB pada tanggal 27 Desember di Istana
Koningsplein di Batavia terjadi serah terima dari Dr. Lovink ke Soeltan
Hamengkoeboewono yang disusul penandatanganan piagam. Dalam serah terimana ini
turut dihadiri Sjafroeddin Prawiranegara dan Maria Ulfah. Dari kalangan TNI yang
hadir antara lain Kolonel TB Simatupang, Kolonel Abdul Haris Nasution dan
Commodore Soeryadarma.
Pada
tanggal yang sama, 27 Desember 1949 di Amsterdam (karena perbedaan waktu),
Perdana Menteri Mohamad Hatta menerima dari Ratu Belanda yang kemudian
dilakukan penandatanganan piagaam. Upacara ini merupakan pemisahan bangsa
Belanda dan bangsa Indonesia setelah berabad-abad, yang dilangsungkan di sebuah
gedung kuno di Amsterdam. Gedung yang menjadi Balai Kota ini adalah konstruksi yang
pembangunannya dimulai pada 1648 oleh Pemerintah Kota Amsterdam.
Hari
esoknya pada tanggal 28 Desember 1949 Presiden Soekarno berangkat dari
Jogjakarta dan kembali ke ibukota RI di Djakarta. Sementara itu, setelah usai
di Belanda, Mohamad Hatta dan rombongan kembali ke tanah air tanggal 2 yang
disambut Presiden Soekarno di lapangan terbang Kemayoran.
Seminggu kemudian dilaporkan bahwa pimpinan TNI
diputuskan yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat. Sebelumnya sudah diumumkan untuk jabatan Panglima TNI yakni Kepala Angkatan
Perang RI adalah TB Simatupang. Jenderal Soedirman sakitnya semakin parah dan
tidak lama kemudian dikabarkan telah meninggal dunia di Magelang tanggal 29 Januari 1950.
Letnan
Kolonel Moeffreni Moe’min yang selama ini berada di tahanan Belanda/NICA di
Nusakambangan, setelah pengakuan kedaulatan ini telah otomoatis dibebaskan. Letnan
Kolonel Moeffreni Moe’min telah berada di Djakarta.
Kolonel Abdul Haris Nasoetion tentu sangat
mengetahui siapa yang telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia. Kolonel
Abdul Haris Nasoetion akan menempatkan setiap orang yang memiliki kualifikasi
pada bidangnya, apakah di bidang teritorial atau bidang keahlian khusus. Satu
yang penting, Overste Ir. MO Parlindoengan yang selama ini telah mendukung
habis Kolonel Abdul Haris Nasoetion apakah saat melawan Sekutu/Inggris maupun
hijrah ke Jawa Tengah.
Overste
Ir. MO Parlindoengan diposisikan untuk menjabat Kepala Perusahaan Sendjata dan
Mesioe di Bandoeng tahun 1950. Perusahaan peninggalan Belanda ini sudah pernah
ditangani oleh Overste Ir. MO Parlindoengan ketika Kolonel Abdul Haris
Nasoetion sebagai Panglima Divisi-1 Siliwangi. Overste Ir. MO Parlindoengan
pensiun dini karena ingin mengelola bisnis pada tahun 1954. Perusahaan ini
kelak disebut PT Pindad. .
Kolonel Abdul Haris Nasoetion kemudian
menempatkan Majoor Moeffreni Moe’min di Markas Angkatan Darat sambil menunggu
penempatan. Lalu kemudian Majoor Moeffreni Moe’min ditetapkan sebagai Komandan Brigade
ke-15 Divisi Siliwangi Bogor. Sehubungan dengan serah terima militer dari
Belanda kepada Indonesia dilakukan serah terima dari Letnan Kolonel Beets,
Komandan Batalion KNIL Infanteri XXIV di Soekaboemi kepada Majoor Moeffreni Moe’min
(lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
15-05-1950).
Ayahnya
sendiri Mohamad Moe’min sebelumnya telah diangkat menjadi Residen Militer di Poewakarta
(lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
28-01-1950). Lalu tidak lama kemudian Mohamad Moe’min juga merangkap sebagai Residen
Krawang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-03-1950). Residen Mohamad Moe’min yang berkedudukan di
Poerwakarta kemudian diperluas dengan nama wilayah yang baru yang disebut
Residen Djakarta (luhat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-02-1951). Dengan kata lain wilayah keresidenan Djakarta,
pada saat ini meliputi wilayah Jakarta, Bekasi, Purwakarta dan Krawang.
Pada bulan Januari 1951 Majoor Moeffreni Moe’min
dipromosikan menjadi Panglima Militer Teritorial (territoriaal hoofdofficier) di
West Java (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 01-02-1951). Disebutkan Majoor Moeffreni Moe’min
akan menggantikan Overste B Saragih; Majoor Muffreni Moe’min sebelumnya adalah komandan
sub-wilayah Bogor.
Penempatan
Majoor Moeffreni Moe’min di Bandoeng boleh jadi karena Majoor Moeffreni Moe’min
pernah bertugas di Priangan Timoer pada era perang kemerdekaan. Divisi
Siliwangi masih punya persoalan lama dengan kelompok-kelompok tertentu terutama
di Priangan Timur. Saat ini Panglima Siliwangi dijabat oleh Kolonel Sadikin.
Pada bulan April 1951 dibuka Pusat Pelatihan
Perwira APRI wilayah West Java di Bandoeng yang beralamat di Djalan Papandajan.
Pelatihan Perwira ini dibuka oleh Overste Dr.
Erie Soedewo, Kepala Staf Divisi Siliwangi mewakili Kolonel Sadikin
(lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 13-04-1951). Disebutkan
pelatihan para perwira ini terutama ditujukan kepada perwira teritorial yang
belum ditempatkan. Dalam pembukaan ini turut hadir Gubernur West Java, Sewaka,
Wali Kota Bandoeng Enoch dan Komandan PMT Majoor Moeffreni Moe’min. Pelatihan
diikuti oleh sebanyak 200 peserta yang akan berlangsung selama tiga bulan di
bawah komando Kapten Legiman.
Kolonel
Sadikin di era BKR adalah Komandan di Djakarta Pusat. Pada masa ini pangkat
Sadikit dua tingkat berbeda dengan Moeffreni Moe’min. Boleh jadi kenaikan
pangkat Sadikin terjadi ketika Moeffreni Moe’min berada di tahanan Belanda/NICA
(1947-1949). Overste Dr. Erie Soedewo adalah salah satu dari 17 tantara
profesional yang direkrut oleh Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemodihardjo.
Overste Ir. MO Parlindoengan juga telah berada di Bandoeng sebagai Kepala Perusahaan
Sendjata dan Mesioe Angkatan Darat.
Pada bulan Mei 1951 Gubernur Jawa Barat M Sewaka diangkat
menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Soekiman-Soewirjo (lihat Algemeen Indisch
dagblad : de Preangerbode, 17-05-1951). Disebutkan bahwa Mas Sewaka telah mendelegasikan tugas itu
kepada Kepala Staf Keamanan (Overste Erie Soedewo) dan sebagai ketua pelaksana
dan Majoor Moefferin Moe’min sebagai wakil hingga gubernur terpilih diangkat.
Dalam
mengisi kekosongan Gubernur Jawa Barat ini muncul berbagai usulan. Sejumlah
tokoh terkemuka Tjirebon dan juga tokoh masyarakat di Kabupaten Bandung
mengusulkan Mohamad Moe’min menjadi Gubernur Jawa Barat yang kini menjabat
sebagai Residen Djakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-06-1951). Disebutkan nama Sanusi Hardjawinata juga
muncul. Sebagaimana dikethaui kelak yang terpilih adalah Sanusi Hardjawinata.
Pada tahun 1952 Majoor Moeffreni Moe’min kembali
ke Markas Angkatan Darat. Pada tahun 1955 menjelang Pemilu Majoor Moeffreni Moe’min
menjadi calon legislatif dari Partai IPKI. Ketika Majoor Moeffreni Moe’min dicalonkan
tentu saja harus berhenti (cuti di laur tanggungan) menjadi dari dinas militer.
Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) didirikan pada tanggal 20 Mei 1954. Lalu
organisasi ini menjadi partai yang ikut pada Pemilu tahun 1955. Partai ini
digagas oleh Abdul Haris Nasoetion. Saat itu Abdul Haris Nasution sedang
dirumahkan karena persitiwa demonstrasi militer ke Istana pada tanggal 17
Oktober 1952 yang memprotes campur tangan anggota parlemen di pemerintah.
Terhadap peristiwa ini Abdul Haris Nsoetion, Kepala Staf Angakatn Darat
diberhentikan dan digantikan oleh Kolonel Zulkifli Loebis. Dalam perkembangan
berikutnya Jenderal TB Simatoepang juga diberhentikan. Sebagai solidaritas
terhadap teman, Soeltan Hamengkoeboewono yang menjadi Menteri Pertahanan ssat
itu kemudian mengundurkan diri. Pada fase menganggur ini. Abdul Haris Nasoetion
menulis buku Pokok-Pokok Gerilja. Buku ini sangat terkenal hingga ini hari.
Ketegangan
yang terus muncul diantara anggota TNI, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap
meminta Menteri Negara Pertahanan Abdul Hakim Harahap untuk mendamaikan seluruh
tentara. Abdul Hakim Harahap, mantan Residen Tapanoeli, Penasehat ke KMB dan
Wakil Perdana Menteri RI terakhir di Jogjakarta mengumpulkan semua kolonel Indonesia
di Jogjakarta. Dalam rapat para kolonel itu Abdul Hakim Harahap dengan tegas
mengatakan para kolonel untuk memilih pimpinan sendiri. Dalam rapat tersebut
muncul dua tokoh yakni Kolonel Abdul Haris Nasoetion dan Kolonel Zulkifli
Loebis. Hasil voting menunjukkan Kolonel Abdul Haris Nasoetion. Nama Abdul
Haris nasoetion yang disodorkan PM Boerhanoedin Harahap kepada Presiden
Soekarno dan dengan terpaksa menerimanya. Sejak tahun 1955 Abdul Haris
Nasoetion diangkat kembali sebagai KASAD. Ternyata keduanya menjadi sangat
kompak dan bertahan hingga tahun 1965.
Beberapa anggota legislatif yang terpilih dari
IPKI adalah Moeffreni Moe’min, Ovesrte Mr. Arifin Harahap dan Majoor Oking
(lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 12-03-1956). Tiga orang ini semasa perang adalah berada di dalam dan pinggir Djakarta. Moeffrein Moe'min di Tjikampek dan Oking di Tjibinong. Arifin Harahap berada di dalam kota di Djakarta untuk mengepalau suatu instansi milik pemerintah RI (yang sudah pindah ke Jogjakarta). Institusi ini semacam kedubes pada masa ini. Sebab saat itu meski Djakarta sudah dikuasai NICA/Belanda, faktanya masih banyak republiken yang bertahan (tetap tinggal) di Djakarta.
Mr.
Arifin Harahap adalah sarjana hukum lulusan Recht Hogeschool di Batavia tahun
1939. Mr. Arifin Harahap termasuk salah satu dari 17 tentara profesional yang
direkrut oleh Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo tahun 1945 dengan
pangkat Overste (Letnak Kolonel). Overste Mr. Arifin Harahap adalah kepala rombongan
terakhir pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Dakarta ke Jogjakarta.
Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari
bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian
Perhubungan. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju
Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946). Overste
Mr. Arifin Harahap seorang sarjana cemerlang yang pernah menjadi menteri di
dalam tujuh kabinet mulai dari Kabinet Kerja I (10 Juli 1959) hingga Kabinet
Dwikora III (25 Juli 1966). Ketika Suharto menjadi anggota kabinet (Kabinet
Ampera I) Mr. Arifin Harahap tidak lagi menjadi menteri, tetapi pada Kabinet
Pembangunan I (era Suharto), tahun 1969 Mr. Arifin Harahap diangkat menjadi
Duta Besar untuk Aldjazair. Overste Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap.
Untuk sekadar catatan kembali, pada saat pembentukan struktur militer, pemerintah menugaskan Letnan Jenderal Oerip untuk membentuk kesatuan fungsional dengan merekrut sejumlah pemuda yang berpredikat sarjana cemerlang (banyaknya 17 orang). Mereka yang direkrut baru ini diberi pangkat Letnan Kolonel (Overste). Untuk urusan persenjataan direkrut Ir. MO Parlindoengan (Ir. AFP Siregar) lulusan fakultas teknik kimia Universiteit te Delf. Juga sejumlah dokter muda seperti Dr. Ibnu Soetowo, Dr. Erie Soedewo, Dr. W. Hutagalung, Dr. Irsan Radjamin (anak dari wali kota pertama Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution). Dalam hal ini Dr. Soetowo ditempatkan di pengilangan minyak di Tjepoe (kelak menjadi direktur pertamina) dan Dr. W Hutagalung ditugaskan menjadi dokter pribadi panglima, Jenderal Soedirman. Ir. MO Parlindoengan sebagai ahli teknik kimia ditugaskan ke pabrik persenjataan dan mesiu di Bandoeng (kelak menjadi direktur perusahaan senjata dan mesiu tersebut, kini Pindad). Dari bidang hukum juga direkrut antara lain Mr. Kasman dan Mr. Arifin Harahap.
Untuk sekadar catatan kembali, pada saat pembentukan struktur militer, pemerintah menugaskan Letnan Jenderal Oerip untuk membentuk kesatuan fungsional dengan merekrut sejumlah pemuda yang berpredikat sarjana cemerlang (banyaknya 17 orang). Mereka yang direkrut baru ini diberi pangkat Letnan Kolonel (Overste). Untuk urusan persenjataan direkrut Ir. MO Parlindoengan (Ir. AFP Siregar) lulusan fakultas teknik kimia Universiteit te Delf. Juga sejumlah dokter muda seperti Dr. Ibnu Soetowo, Dr. Erie Soedewo, Dr. W. Hutagalung, Dr. Irsan Radjamin (anak dari wali kota pertama Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution). Dalam hal ini Dr. Soetowo ditempatkan di pengilangan minyak di Tjepoe (kelak menjadi direktur pertamina) dan Dr. W Hutagalung ditugaskan menjadi dokter pribadi panglima, Jenderal Soedirman. Ir. MO Parlindoengan sebagai ahli teknik kimia ditugaskan ke pabrik persenjataan dan mesiu di Bandoeng (kelak menjadi direktur perusahaan senjata dan mesiu tersebut, kini Pindad). Dari bidang hukum juga direkrut antara lain Mr. Kasman dan Mr. Arifin Harahap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar