*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah banjir di Bekasi adalah sejarah panjang, bahkan sejak jaman purba. Muara sungai Bekasi yang sekarang sebelumnya jauh lebih ke dalam. Pada era VOC, kampong Moara diidentifikasi sebagai batas daratan dan lautan. Kampong Moara tempo doeloe ini kini menjadi batas Kecamatan Muara Gembong hingga ke laut. Seluruh wilayah kecamatan ini dapat dikatakan hasil proses sedimentasi jangka panjang. Proses sedimentasi yang kuat mengindikasikan adanya arus deras di kawasan rendah yang membawa lumpur dari hulu. Tipologi daratan dan sungai semacam ini kerap menimbulkan banjir besar. Seringnya banjir di Bekasa pada masa ini adalah gambaran banjir yang intens pada masa lampau. Banjir besar di Bekasi terjadi pada tahun 2016.
Sejarah banjir di Bekasi adalah sejarah panjang, bahkan sejak jaman purba. Muara sungai Bekasi yang sekarang sebelumnya jauh lebih ke dalam. Pada era VOC, kampong Moara diidentifikasi sebagai batas daratan dan lautan. Kampong Moara tempo doeloe ini kini menjadi batas Kecamatan Muara Gembong hingga ke laut. Seluruh wilayah kecamatan ini dapat dikatakan hasil proses sedimentasi jangka panjang. Proses sedimentasi yang kuat mengindikasikan adanya arus deras di kawasan rendah yang membawa lumpur dari hulu. Tipologi daratan dan sungai semacam ini kerap menimbulkan banjir besar. Seringnya banjir di Bekasa pada masa ini adalah gambaran banjir yang intens pada masa lampau. Banjir besar di Bekasi terjadi pada tahun 2016.
Banjir bandang di Bekasi 1961 (De Volkskrant, 24-01-1961) |
Banjir gede pada tahun 2016
bukanlah banjir terbesar dalam sejarah banjir Bekasi. Pada tahun 1961 pernah
terjadi banjir hebat di Bekasi yang disebabkan oleh sungai Bekasi dan sungai
Tjitaroem. Sebanyak 211.600 jiwa
penduduk mengungsi dan 60.000 rumah ditelan banjir. Otoritas militer yang melakukan
pengamatan dari pesawat menyatakan bahwa daerah Bekasi menyerupai satu lautan
coklat besar (lihat De Volkskrant, 24-01-1961).
Peristiwa banjir 1961 inilah yang kemudian memantapkan penyegeraan rencana
lanjutan pembangunan kanal Kalimalang dari Bekasi ke (bendungan) Tjoeroek di
Poerwakarta. Sebelumnya, pada tahun 1959 kanal Kalimalang ruas Bekasi-Jakarta sudah
selesai dibangun.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Kali Mati, Rawa Pandjang dan Tjiboentoe
Tanda- tanda alam di Bekasi sejak tempo doeloe
telah terpetakan dengan sangat jelas. Ini dapat dilihat pada peta mikroskopik
(skala 1:20.000) yang terbit pada periode waktu 1900-1903). Puluhan peta (blad)
ini telah membagi habis seluruh wilayah Bekasi. Informasi dalam peta-peta
tersebut dapat dibandingkan dengan kondisi masa sekarang. Informasi tersebut yang
memiliki kaitan dengan soal banjir antara lain tentang situs sungai (kali), muara,
rawa, situ, area persawahan dan pemukiman, jalan dan jembatan serta bendungan dan
kanal.
Peta
dengan skala 1.20.000 setara dengan peta digital pada masa ini seperti googlemaps.
Dalam peta digital googlemaps bisa dilacak dengan baik dan tepat tentang
situs-situs yang diperlukan dalam kajian seperti posisi dan arah sungai dan rawa.
Tanda-tanda alam di Bekasi yang mengindikasikan suatu
dampak suatu banjir di masa lalu, diantaranya yang terpenting adalah kali mati
(sungai mati), rawa panjang dan rawa yang sangat panjang (sungai buntu).
Situs-situs unik cukup banyak ditemukan di wilayah Afdeeling Bekasi.
Kali mati sungai Tjitaroem di Bekasi (Peta 1901) |
Kali mati ditemukan di kali Bekasi dan sungai
Tjitaroem. Kali mati adalah arah aliran sungai yang kemudian menjadi nyaris
tidak berfungsi atau terkurung karena munculnya arah aliran sungai yang baru.
Kali mati ini terdapat pada aliran sungai yang berbelok-belok yang mana bagian
hilirnya hampir menyentuh hulunya. Pola aliran sungai ini hampir membentuk
lingkaran. Belok-belok tajam (bahkan
hampir satu lingaran) menunjukkan tingkat permukaan yang merata di satu
kawasan. Seringnya hujan di wilayah hulu menyebabkan debit air tinggi di hilir
yang dapat menerjang di tikungan sungai (abrasi). Proses abrasi inilah yang
menyebabkan arah aliran sungai melingkar mempertemukan bagian hulu dan hilir
sehingga lingkungan sungai terisolasi dan menjadi terputus dan penduduk
menyebutnya kali mati. Dalam hal ini kali mati adalah tanda-tanda alam yang
menunjukkan wilayah di sekitarnya rawan banjir.
Sungai Soerabaja (Peta 1867) |
Tanda-tanda alam lainnya yang terkait dengan
banjir di masa lalu adalah ditemukannya sejumlah rawa panjang. Suatu rawa yang cukup
panjang dan melengkung dan beberda dengan rawa yang umumnya lebar dan tidak
beraturan. Rawa panjang mengindikasikan suatu bekas arah aliran air yang
mengindikasikan pernah terjadi banjir gede. Rawa panjang ini cenderung lebih
dalam dan eksis lebih lama (jika dibandigkan dengan rawa luas yang cenderung
dangkal). Orang yang tempo doeloe membuat perkampungan di sekitar rawa diduga
menjadi asal usul nama kampong Rawa Pandjang (kini kawasan di sekitar Naragong).
Rawa Panjang adalah salah satu bentuk penamaan rawa karea bentuknya. Nama
rawa diberikan sesuai karakteristik rawa. Nama-nama rawa di Bekasi seperti rawa
Gede (rawa yang luas), rawa Siloeman, rawa Tembaga. Penghuni utama rawa adalah
buaya yang dianggap raja rawa, seperti halnya harimau adalah raja hutan. Di
Rawa Tembaga dan Rawa Siloeman penduduk selalu mengaitkan dengan keberadaan
monster. Namun bagi orang Eropa Belanda, monster yang terdapat di Rawa Tembaga
(antara pal 21 dan pal 22 di dekat Bekasi) itu adalah buaya besar yang berdiam
di rawa. Pada musim kemarau ketika rawa kering buaya-buaya itu adakalanya
keluar dan tidur di jalan dan menghalangi orang yang lewat (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad,
05-01-1856).
Satu lagi tanda-tanda alam di Bekasi yang terkait
dengan banjir, meski sangat jarang tetapi tetap dapat dijadikan sebagai
petunjuk adalah sungai buntu (Tjiboentoe). Suatu sungai pendek yang diduga terbentuk
karena dampak banjir. Sungai buntu ini tidak mengalir lebih jauh ke hilir
tetapi berbelok ke arah hulu membentuk setengah lingkaran (lihat lagi kali
mati). Sungai buntu ini boleh dikatakan bentuk lain dari rawa panjang.
Rawa Siloeman dan Sitoe Siloeman (Peta 1903) |
Tanda-tanda alam yang terkait banjir di Bekasi
masih banyak tetapi tidak perlu diuraikan lagi. Contoh tanda-tanda alam di
Bekasi tersebut di atas menunjukkan suatu kisah banjir. Contoh ini sudah cukup
mewakili untuk mengatakan bahwa Bekasi memiliki potensi banjir. Contoh-contoh
ini denga seringnya banjir di Bekasi pasa masa ini berkorelasi. Tanda-tanda
alam dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahaya banjir.
Banjir dan Kali Malang
Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap pada awal
pembentukan kabinetnya tahun 1955 menghadapi persoalan minimnya ketersediaan
listrik menyusul protes (demonstasi) mahasiswa yang digalang oleh Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia di Babndoeng (cikal bakal Dewan Mahasiswa ITB).
Ketua Dewan Mahasiswa ITB saat itu adalah Januar Hakim Harahap. Sejak itu Boerhanoeddin
Harahap meminta Pandji Soeroso (Menteri PU) mengkajinya. Lalu muncullah gagasan
pembangunan waduk Djatiloehoer (sungai Tjitaroem di Poerwakarta) yang mengintegrasikan
untuk pembangunan irigasi dan pembangunan pembangkit listrik. Pekerjaan proyek
Djatiloehoer dimulai pada bulan April 1956 (lihat Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 07-02-1957).
Algemeen...de Preangerbode, 07-02-1957 |
Pada tahun 1959 proyek bendungan kali Bekasi dan
kanal serta jalan raya Bekasi ke Djakarta selesai dibangun. Kanal dan jalan ini
garis lurus dari kota Bekasi hingga ke Tjawang. Aliran air kanal ini di Tjawang
berbelok ke utara dan kemudian ke timur menuju rawa Malang di perbatasan
Djakarta dan Bekasi. Sementara itu debit air yang meningkat di rawa Malang
dikembangkan aliran kali dari rawa Malang ke laut (Maroenda). Kanal antara kali
Bekasi dan rawa Malang inilah diduga kemudian disingkat menjadi nama kanal Kali
Malang. Nama jalan di sisi utara kanal boleh jadi lambat laun disebut jalan
Kalimalang.
Kanal Kalimalang dan Banjir Kanal Timur (BKT) |
Sementara pekerjaan proyek pembangunan waduk
Djatiloehoer terus berlangsung, bencana besar terjadi pada tahun 1961. Banjir bandang
di Bekasi yang disebabkan oleh sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem (lihat De Volkskrant, 24-01-1961). Disebutkan sebanyak 211.600 jiwa penduduk mengungsi dan 60.000 rumah ditelan
banjir. Otoritas militer yang melakukan pengamatan dari pesawat menyatakan
bahwa daerah Bekasi menyerupai satu lautan coklat besar. Het vrije volk : democratisch-socialistisch
dagblad, 23-01-1961 menambahkan bahwa di
Bekasi hanya lima desa yang masih tersisa untuk menampung 60.000 hingga 100.000
pengungsi. Lalu lintas kereta api telah berhenti dan koneksi telepon antara Djakarta
dan Soerabaja menjadi terputus,
Banjir
bandang dari sungai Tjitaroem ini tentu saja waduk Djatiloehoer belum memberi
pengaruh apa-apa karena pekerjaanya masih tahap awal. Demikian juga pembangunan
bendungan Tjoeroek juga belum meberi dampak apa-apa dan bahkan boleh jadi
pekerjaannya masih tahap permulaan. Oleh karena itu, banjir bandang dari
Tjitaroem murni masih pengaruh alam dalam arti banjir bandang Tjitaroem
sepenuhnya karena potensi bahaya alamiah sungai Tjitaroem sendiri,
Pasca banjir bandang sungai Tjitaroem sudah barang
tentu rencana awal membangun kanal dari Tjoeroek ke Kali Bekasi menjadi
prioritas. Kapan pembangunan kanal dari Tjoeroek ke Bekasi tidak diketahui
kapan dimulai dan juga kapan selesainya. Yang jelas, bahwa pembangunan kanal
dari Tjoeroek ke Bekasi mendesak dilakukan agar mampu mengurangi potensi banjir
dari sungai Tjitaroem ke hilir. Ini berari pekerjaan kanal Kalimalang dari
Tjoeroek dilakukan segera setelah banjir bandang.
Pekerjaan proyek pembangunan waduk Djatiloehor adalah pekerjaan mega
proyek yang membutuhkan waktu cukup lama. Seperti diketahui, bendungan
Djatiloehoer sepenuhnya selesai dan diresmikian pemerintah RI pada tahun 1967.
Itu berarti pembangunan bendungan Djatiloehoer membutuhkan waktu selama 10
tahun. Pada saat waduk Djatiloehoer mulai dioperasikan pada tahun 1967, kanal
dari Tjoeroek ke Kali Bekasi (terusan kanal Kalimalang) sudah lama selesai.
Dengan kata lain, kanal Kalimalang secara keseluruhan (dari Tjoeroek,
Poerwakarta ke Djakarta) jauh lebih dulu selesai jika dibandingkan dengan waduk
Djatiloehoer. Kanal Kalimalang sumber airnya dari bendungan Tjoeroek (bukan dari
Kali Bekasi atau sungai Tjibeet).
Kanal Kalimalang jelas seakan memberi manfaat
langsung untuk banyak hal. Yang pertama mengurangi potensi banjir sungai
Tjitaroem ke hilir dan memberi sumpai air bersih ke Djakarta. Manfaat lainnya
dari kanal Kalimaling yang juga penting telah memberikan jaminan bagi
pembangunan irigasi di hilir kanal. Pada satu sisi, kanal Kalimalang dipandang
sebagai hal yang bermanfaat.
Namun
pada sisi lain kanal Kalimalang harus dilihat cermat dan bersifat jangkat
panjang. Kanal Kalimalang telah banyak menghambat arah aliran sungai yang menyebabkan
banyak sungai-sungai buntu di hulu kanal (yang doeloe penduduk menyebut kali
semacam ini sungai/kali Tjiboentoe). Kanal Kalimalang juga menyebabkan sejumlah
sungai di dilir kanal menjadi mati (Kali Mati). Sementara itu, keberadaan kanal
Kalimalang bagi Kali Bekasi tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk
meminimumkan potensi banjir Kali Bekasi ke hilir. Sebab kenyataannya air kanal
Kalimalang tidak tercamput dengan air sungai Kali Bekasi. Kanal Kalimalang yang
membawa air (bersih) dari Tjoeroek pada perkembangannya disalurkan melalui
terowongan (channel) di bawah bendungan Kali Bekasi. Sebaliknya, air Kali Bekasi
tidak dialihkan ke kanal Kalimalang untuk mengurangi potensi banjir Kali Bekasi
ke hilir.
Dalam hal ini, terutama pada masa kini, pengaruh
keberadaan Kalimalang di tengah Kota Bekasi boleh jadi hanya bermanfaat bagi
kota Djakarta, tetapi sebaliknya keberadaan kanal Kalimalang justru memberi
beban kepada Kota Bekasi. Keberadaan Kalimalang mau tak mau tetap akan menahan arah
air bawah permukaan dan tidak mengalir ke hilir, tetapi membuat arah air bawah
permukaan justru berbalik ke arah hulu. Kerapnya banjir lingkungan di bilangan Narogong
dan Rawalumbu pada masa ini boleh jadi karena pengaruh langsung dari keberadaan
Kalimalang. Gambaran sungai (kanal) Kalimalang tidak hanya mencerminkan seperti
nasibnya yang kini airnya kotor, tetapi juga mencerminkan perilakunya terhadap area-area
yang dilaluinya di tengah Kota Bekasi juga mengalami malang sendiri (kerap
terjadi banjir).
Tidak
hanya itu, fungsi kanal Kalimalang pada masa ini tidak begitu penting lagi
untuk memberi manfaat pembangunan irigasi. Hal ini karena di wilayah (kab/kota)
Bekasi sudah tak terbilang berapa luasnya sawah irigasi hilang digantikan oleh
pemukiman. Sebaliknya pemukiman tidak melihat kegunaan kanal Kalimalang baginya.
Hanya melihat sungai-sungai yang dulu banyak mati karena terhalang kanal
Kalimalang telah banyak menghilang dan diurug untuk menambah luasnya lahan
pemukiman. Tapi jangan lupa ada risiko besar disitu, saluran pembuangan
(drainase) menjadi terhambat dan dapat meningkatkan potensi banjir lingkungan.
Jika merecall kembali ke masa lampau, wilayah
Bekasi sejatinya rawan banjir. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya rawa-rawa yang
muncul dan juga ditemukannya kali buntu (Tjiboentoe) dan rawa panjang plus kali
mati. Sekarang, manfaat kanal Kalimalang yang semakin berkurang, justru
sebaliknya telah memberi pengaruh pada peningkatan potensi banjir lingkungan.
Dalam hal ini kanal Kalimalang harus dipandang telah turut melipatgandakan
potensi bahaya banjir di Bekasi, khususnya di Kota Bekasi.
Batas wilayah Kecamatan Muara Gembong, Bekasi |
Dengan memperhatikan sifat alamiah air di Bekasi
sejak dahulu kala dan peran kanal Kalimalang pada masa ini, maka yang tergambar
adalah bahwa wilayah Bekasi adalah wilayah yang rawan banjir. Gambaran ini
menyebabkan kita tidak perlu lagi mendaftar intensitas banjir di Bekasi (jumlah
dan frekuensi) dari era kolonial Belanda hingga era kemerdekaan ini. Sebab
gambaran umum wilayah Bekasi sebagai wilayah rawan banjir sudah cukup
menjelaskannya secara keseluruhan. Terbentuknya daratan di pantai Bekasi tempo
doeloe, yang kini semuanya menjadi wilayah Kecamatan Muara Gembong, harus
dipandang sebagai wujud kerapnya banjir bandang di Bekasi pada jaman kuno.
Tanda-tanda ini terpetakan dengan jalan pada peta VOC pada tahun 1750.
Peta 1840 |
Kota Bekasi adalah wilayah perkotaan yang khas. Keberadaan kanal
Kalimalang yang arahnya melintang (dari timur ke barat), memang tempo doeloe
memberi manfaat, tetapi pada masa ini boleh dikatakan sebagai beban kota.
Pembangunan kanal dengan arah melintang adalah intervensi manusia yang melawan
(kodrat) alam. Kanal-kanal normanya mengikuti arah aliran sungai, bukan
sebaliknya. Kanal di Semarang dan Soerabaja tempo doloe mengikuti arah aliran
sungai. Demikian juga dalam pembangunan kanal pelayaran kapal dari sungai
Tjitaroem di hulu ke hilir di sungai Bekasi via sungai Gembong di Babakan pada
tahun 1867 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-04-1867). Pada Peta 1840 sungai
Tjitaroem, sungai Gembong dan sungai Bekasi berada pada posisi sejajar. Dengan
adanya kanal dari Tjitaroem yang diintegrasikan dengan sungai Gembong. Lalu
kanal sungai Gembong ini diintegrasikan dengan sungai Bekasi (lihat Gambar di
bawah ini). Sebelumnya, sudah ada indikasi membangun kanal dari Karawang lurus
ke laut hingga (Tnadjoeng) Pakkies (lihat lagi Peta 1840).
Kanal Tjitaroem, Kali Gembong dan Sungai Bekasi (sejak 1867) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar