*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Profil penduduk Bekasi masa kini, heterogen kosmopolitan sejatinya pola yang sudah ada sejak tempo doeloe. Seperti umumnya kota atau wilayah pantai interaksi yang intens antar berbagai pihak (terutama dalam perdagangan) memunculkan pola bertempat tinggal yang beragam tetapi khas. Wilayah Bekasi memiliki pola pemukiman dengan ciri khas tersendiri.
Profil penduduk Bekasi masa kini, heterogen kosmopolitan sejatinya pola yang sudah ada sejak tempo doeloe. Seperti umumnya kota atau wilayah pantai interaksi yang intens antar berbagai pihak (terutama dalam perdagangan) memunculkan pola bertempat tinggal yang beragam tetapi khas. Wilayah Bekasi memiliki pola pemukiman dengan ciri khas tersendiri.
Warga Bekasi, 1891 |
Mengapa wilayah Bekasi memiliki pola pemukiman
dengan ciri khas tersendiri memunculkan pertanyaan bagaimana secara historis
okupasi penduduk terjadi di wilayah Bekasi. Itu baru terjadi di era VOC, ketika
pasukan pendukung VOC ditempatkan (dimasyarakatkan) yang letaknya tidak terlalu
dekat kota Batavia tetapi masih mudah dijangkau dari kota Batavia. Mereka
ditempatkan serupa itu dengan banyak alasan. Untuk memahaminya, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Pemukim Pertama di Bekasi
Pada tahun 1667 kebijakan VOC/Belanda berubah
dari pola perdagangan yang longgar di sepanjang garis pantai pulau-pulau
menjadi kebijakan baru dimana penduduk dijadikan sebagai subjek. Untuk
mendukung kebijakan itu, pemerintah VOC/Belanda mengeluarkan anggaran besar
dengan membangun banyak benteng mulai dari kota pantai, muara sungai bahkan
hingga ke wilayah pedalaman. Benteng-benteng pertama di wilayah pedalaman
antara lain benteng Missier di Tegal, benteng Tandjoengpoera di hulu sungai
Tjitaroem, benteng Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong.
Untuk
mendukung benteng Tandjoengpoera dan benteng Padjadjaran dibangun benteng
Meester Cornelis dan benteng Tandjoeng (lokasinya kini di Jatinegara dan
Pasarrebo) dan benteng Bacassie di muara sungai Bekasi. Benteng-benteng di
seputar kota Batavia sudah lebih awal dibangun sebagai perluasan Kasteel
Batavia yakni benteng Noordwijk (kini Juanda), Risjwijk (kini Harmoni), Angke,
Jacatra (kini Manggadoea), Antjol dan Maroenda serta Tangerang.
Benteng-benteng Missier, Tandjoengpoera dan
Padjadjaran adalah benteng-benteng terjauh yang berada dalam garis lurus
pertahanan di pedalaman. Benteng-benteng ini secara teknis dijaga oleh sejumlah
pasukan pendukung VOC yang direkrut seperti dari Ambon, Boegis, Makassar, Jawa
dan Madoera yang dipimpin oleh satu atau dua sersan Belanda.
Penempatan
eks pasukan (pensiun yang tidak ingin kembali ke kampong halaman) di seputar
Batavia adalah untuk mendukung penduduk Eropa/Belanda. Tidak hanya untuk
merintis hutan-hutan belantara, juga untuk menciptakan sumber produksi baru
bagi kebutuhan kota dalam hal pangan (beras, sayur-sayuran dan buah-buahan).
Sebagai pemukim mereka juga menjadi benteng pertahanan pertama untuk
mengantisipasi potensi ancaman yang datang dari wilayah pedalaman. Pimpinan
mereka memiliki kontak langsung dengan orang-orang (militer) Eropa/Belanda.
Dalam konteks inilah awal penempatan eks pasukan
dimasyarakatkan di seputar Batavia, di area-area yang tidak berpenghuni
(steril). Mereka ini diharapkan secara perlahan terhubung dan bercampur dengan
pemukim-pemukim asli terdekat yang sudah ada. Para eks pasukan yang sudah
terbiasa dengan bahasa Melayu (lingua franca) akan menjadi penghubung antara
orang Eropa/Belanda dengan penduduk asli di pedalaman.
Pemerintah
VOC/Belanda dengan kebijakan baru ‘penduduk sebagai subjek’ pada prinsipnya
tidak pernah menggusur penduduk asli baik karena kehadiran orang-orang
Eropa/Belanda, Tionghoa dan para pemukim esk pasukan VOC/Belanda. Sebab
penduduk asli selalu dipandang sebagai mitra strategis. Tujuan VOC/Belanda
sejatinya hanya untuk berdagang dengan motif keuntungan. Menggusur penduduk
asli hanya akan mengurangi produksi, terjadinya perang hanya akan menimbulkan
anggaran/biaya besar. Oleh karena itu pola pemukiman VOC/Belanda juga
diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda membangun tanpa menggusur.
Benteng-benteng dan memulai membangun kota cenderung menempati area marginal
(seperti area rawa-rawa yang tidak berpenghuni) tetapi tidak terlalu jauh dari
pemukiman yang ada. Kasteel Batavia di bangun di sisi timur muara sungai
Tjiliwong, sementara pemukiman/pelabuhan penduduk berada di Soenda Kalapa sisi
barat sungai. Demikian juga di Semarang dan Soerabaja. Wilayah rawa-rawa diubah
menjadi area pemukiman baru bagi orang Eropa/Belanda dengan membangun
kanal-kanal (fungsi drainase). Kegunaan lain dari kanal-kanal itu adalah
menjadi fungsi produksi (pelayaran sungai) dan juga menjadi barrier (fungsi
pertahanan). Pendekatan ini by design (yang dirancang oleh para ahli, ahli
planologi kota atau ahli pembangunan wilayah). Setiap pembangunan benteng,
kanal dan kota adalah biaya (investasi) yang diharapkan kembali dalam bentuk
produksi atau keuntungan. Untuk mendatangkan produksi dan keuntungan elemen
penduduk dioptimalkan apakah penduduk asli atau warga yang ditempatkan (eks
pendukung VOC/Belanda). Itulah esensi kebijakan baru ‘penduduk sebagai
seubjek’.
Penempatan eks pendukung VOC/Belanda di seputar
Batavia adalah penempatan eks pasukan Jonker di Tjilintjing. Penempatan warga
eks interniran Portugis di hulu sungai Tjakoeng di Toegoe juga sebagai bentuk
penempatan. Tentu saja eks interniran yang lain juga ditemukan seperti di area
Kampong Makassar masa ini. Eks pasukan pendukung Melayu, Bandjar, Bali, Jawa juga
ditempatkan di berbagai titik di seputar Batavia. Penempatan ini kemudian
diperluas ke wilayah seputar sungai Bekasi, sungai Gembong, sungai Tjikarang
dan sungai Tjitaroem.
Pada
Peta 1702 seluruh wilayah antara sungai Tjakoeng dan sungai Tjitaroem telah dijadikan
sebagai wilayah penempatan. Di wilayah ini sudah lebih awal dibangun benteng
Bacassie dan benteng Tandjoengpoera. Wilayah penempatan ini diduga kuat adalah
wilayah kosong yang alami yang rawan banjir sehingga pemukiman penduduk asli
hanya ditemukan di area kering di arah hulu sungai seperti di Oedjoeng Menteng,
Bantar Gebang, Tjilengsi, Tjibaroesa, Tjikarang, Sammadang dan wilayah sebelah
hulu benteng Tandjoengpoera.
Area-area pemukiman ini pada Peta 1702 yang
berada di hilir sungai Bekasi belum memiliki nama. Nama-nama pemukiman yang
sudah ada adalah Bantar Gebang dan Oedjoeng Menteng. Area dimana kini awal mula
kota Bekasi, meski sudah diidentifikasi sebagai pemukiman tetapi belum memiliki
nama. Nama yang sudah diidentifikasi adalah Pisangan (di dekat muara sungai
Bekasi). Area antara Pisangan dan Bantar Gebang dikuasai oleh Captein Soeta
Wangsa dan Pengeran Poerbaja yang merupakan para pemimpin pasukan eks pendukung
VOC/Belanda yang berasal dari Jawa.
Area di
seputar hilir sungai Tjikarang dan hilir sungai Tjitaroem ditempati oleh eks
pasukan Jonker yang terusir dari Tjilintjing. Mereka ini diduga menempati area
tidak ilegal, sebab mereka eksodus dari Tjilintjing karena melakukan
pemberontakan. Area Tjilintjing kemudian diokupasi oleh orang Eropa/Belanda.
Sementara itu, wilayah Sammadang diduga wilayah penduduk asli yang dipimpin
oleh seorang pangeran bergelar Raden. Kontak pertama antara benteng
Tandjoengpoera dengan pemimpin di Sammadang dilakukan pada tahun 1659.
Penempatan eks pasukan pendukung VOC/Belanda ini
diduga dimulai sejak adanya ekspedisi VOC/Belanda di sungai Bacassie pada tahun
1662. Seperti biasanya, ekspedisi dipimpin oleh seorang komandan militer yang
disertai dengan sejumlah ahli seperti ahli linguistik (yang mencakup bahasa dan
budaya), ahli geografi sosial, ahli geologi dan perairan, ahli botani. Ahli
pertahanan dan ahli kesehatan sudah menjadi bagian dari militer sendiri. Setiap
ekspedisi telah menghasilkan peta-peta wilayah. Laporan mereka dicatat dalam
Daghregister di Kasteel Batavia.
Pemukim-pemukim
pertama di wilayah Bekasi ini menjadi prakondisi pengembangan wilayah. Area
pemukiman baru (area pendatang) dikontrol oleh pemerintah VOC/Belanda yang
berada di benteng Bacassie dan benteng Tandjoengpoera. Tidak setiap pendatang
bebas bermukim. Kebijakan ini dibuat tidak hanya untuk mengontrol setiap
pendatang juga kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi
benturan antara pendatang dengan penduduk asli. Benturan akan menggangu
keamanan dan upaya rehabilitasinya membutuhkan biaya lagi (suatu yang
dihindarkan dalam konteks produksi dan keuntungan VOC/Belanda). Dan setiap
pemukim baru harus atas seizin pemerintah VOC/Belanda. Itu yang terjadi
terhadap sebanyak 20 orang Jawa yang diizinkan menempati area Tjikeas (di hulu
sungai Bekasi) pada tahun 1676 untuk membuka usaha perkebunan tebu.
Masuknya Investor Eropa/Belanda dan Kebijakan Tanah Partikelir
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar