*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Sulit mengetahui sejak kapan warga Bekasi pergi naik haji. Sebab awalnya perjalanan haji hanya bersifat pribadi (perseorang). Sejak era VOC bahkan hingga awal Hindia Belanda, pemerintah kurang peduli untuk urusan pribumi apalagi yang terkait dengan keagamaan. Sementara itu, perjalanan haji ke Mekkah bukanlah pelayaran jarak pendek tetapi jarak jauh yang harus ditempuh berminggu-minggu. Untuk itu, pribumi yang ingin naik haji melakukan upaya perjalanan sendiri dengan menumpang kapal-kapal dagang Arab dan Persia. Pada era VOC embarkasinya berada di kampong Loear Batang, Batavia.
Sulit mengetahui sejak kapan warga Bekasi pergi naik haji. Sebab awalnya perjalanan haji hanya bersifat pribadi (perseorang). Sejak era VOC bahkan hingga awal Hindia Belanda, pemerintah kurang peduli untuk urusan pribumi apalagi yang terkait dengan keagamaan. Sementara itu, perjalanan haji ke Mekkah bukanlah pelayaran jarak pendek tetapi jarak jauh yang harus ditempuh berminggu-minggu. Untuk itu, pribumi yang ingin naik haji melakukan upaya perjalanan sendiri dengan menumpang kapal-kapal dagang Arab dan Persia. Pada era VOC embarkasinya berada di kampong Loear Batang, Batavia.
Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah, 1750 |
Lambat laun Pemerintah Hindia Belanda mulai
merasa kecolongan. Pemerintah Hindia Belanda baru sadar ada yang hilang. Yang
hilang itu adalah potensi pendapatan dalam hal keuntungan dari pengangkutan
jemaah haji dari Hindia Belanda yang justru dinikmati oleh kapal-kapal Inggris.
Pemerintah Hindia Belanda secara perlahan-lahan mengambil alih ‘bisnis’
perjalanan haji ini. Dalam hubungan ini, sejak kapan warga Bekasi berangkat
naik haji ke Mekkah? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*. Masjid Loear Batang, 1851
Bekasi dan Mekkah
Mekkah adalah kota tua, sementara Bekasi adalah
wilayah ekonomi baru. Pada tahun 1724 wilayah Bekasi masih era kosong, tetapi
pada tahun 1732 wilayah Bekasi sudah diokupasi oleh eks pasukan pendukung VOC
yang memulai kehidupan bermasyarakat. Mereka inilah yang merintis wilayah
Bekasi menjadi wilayah ekonomi baru. Tentu saja warga Bekasi baru ini masih
sangat sibuk dengan urusan mereka untuk memulai membangun kehidupan baru.
Mereka ini sudah barang tentu belum memikirkan tentang bagaimana cara untuk
sampai ke tanah suci Mekkah.
Berita-berita
perjalanan haji umumnya datang dari Turki dan Mesir. Selain dua kawasan ini
penduduknya dominan agama Islam, juga karena letaknya yang cukup dekat dengan
kota suci Makkah dan Madinah. Pada saat itu, tentu saja kapilah dari Mesir
masih melalui darat (belum ada terusan Suez). Saat itu memang, Makkah dan
Madinah berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah (Turki) yang beribukota di
Istambul. Jamaah-jamah asal Turki berangkat ke Mekkah antara lain dilaporkan
oleh Oprechte Haerlemsche courant, 02-11-1683.
Belanda
(VOC) di tahun-tahun itu masih konsentrasi di Batavia dan melakukan
kerjasama-kerjasama dagang dengan pemimpin lokal di berbagai tempat. Kota
Batavia semakin besar (pada masa ini disebut kota tua atau Oud Batavia).
Sementara di luar kota Batavia sudah mulai dikembangkan pertanian (terutama
padi dan tebu). Titik terjauh baru sanmpai ke Antjol (timur) dan Anke (barat)
dan di selatan sampai batas Rijswijk dan Noordwijk.
Dalam
Peta 1689 (buatan Portugis), di wilayah Laut Merah yang sekarang sudah
teridentifikasi nama Jeddah, suatu pelabuhan yang berada di suatu teluk di sisi
timur. Nama lainnya yang masih popular hingga kini antara lain Suez. Nama-nama
tempat di pedalaman seperti Mecca dan Medinah tidak teridentifikasi. Hal yang
berbeda dengan pemahaman sekarang, jazirah Arab yang sekarang kala itu, bagian
utara adalah wilayah Yaman dan bagian selatan adalah Arabia. Pada masa kini,
bagian selatan dikenal sebagai wilayah Yaman dan bagian utara adalah wilayah
Saudi Arabia.
Keberadaan Mekkah oleh orang-orang Eropa besar
dugaan baru mulai tahun 1750. Ini sehubungan dengan beredarnya lukisan di Eropa
tentang situasi dan kondisi di dalam Masjidil Haram dimana terdapat Ka’bah
(kiblat penganut agama Islam seluruh dunia).
Mekkah dan Madinah (Peta 1773) |
Nama tempat Makkah dan Madinah sudah mulai diidentifikasi
pada Peta 1773. Makkah dan Madinah tentu saja sudah dikenal sebagai kota suci
agama Islam. Pemahaman wilayah Arab diduga dimulai sejak kehadiran Inggris di
wilayah Timur Tengah.
P. vd Broek tiba di Arabia tiba di Arabia, 1616 |
Dalam perkembanganya setahap demi setahap wilayah
Timur Tengah dikuasai oleh Inggris. Demikian juga wilayah India. Sisa terakhir
kekuasaan VOC/Belanda di India (Malabar) pada tahun 1715. VOC/Belanda lambat
laun hanya menyisakan wilayah Afrika Selatan, Hindia Barat dan Hindia Timur.
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC/Belanda, pengaruh Inggris sangat kuat di Timur
Tengah dan India. Pada masa inilah diduga orang-orang dari Nusantara mulai
melakukan perjalanan haji ke Mekkah.
Orang-orang
pribumi yang melakukan perjalanan haji terdeteksi di Pantai Barat Sumatra
menjelang berakhirnya abad ke-17. Mereka itu adalah penguasa-penguasa pusat
perdagangan di Pantai Barat Sumatra di Taroemon. Kesempatan itu diperoleh
karena saat itu antara Ingrris dan Belanda tengah menanamkan pengaruhnya di
Pantai Barat Sumatra. Beberapa wilayah menjadi wilayah pengaruh Belanda dan
beberapa wilayah yang lain oleh Inggris. Saat itu Kerajaan Atjeh masih
independen dan masih memiliki kekuatan untuk mengimbangi kekuatan Eropa
(Inggris dan Belanda).
Radja
Taroemon yang pribumi ketika Inggris melakukan kerjasama mendapat kesempatan
untuk berangkat haji dengan kapal-kapal Inggris. VOC yang melakukan kerjasama
dengan raja-raja pribumi tidak terlalu peduli dengan haji. Hal ini karena saat
itu Arabia sudah berada di bawah pengaruh Inggris. Sedangkan radja-radja Atjeh
yang umumnya orang-orang Moor (Timur Tengah) perjalanan haji bukanlah hal yang
luar biasa, karena dengan kekuatan armada lautnya bisa tahun kapan saja untuk
membawa mereka untuk pergi naik haji.
Masjid Loear Batang, 1851 |
Kapal-kapal dagang Arab yang lalu lalang di selat
Malaka dan Jawa juga dimanfaatkan orang pribumi sebagai moda transportasi haji
ke Makkah. Kapal-kapal dagang dari Arab ini bahkan masih intens hingga
pendudukan Inggris di Jawa (1811-1816). Tempat pemberangkatan haji (embarkasi)
berada di kampong Loear Batang, Batavia.
Orang Bekasi Naik Haji dan Polemik Haji di Hindia Belanda
Pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda mulai
mengkooptasi perjalanan haji orang pribumi ke Jeddah. Untuk setiap calon jemaah
haji dikenakan retribusi dan diarahkan untuk menggunakan kapal orang Belanda.
Mengabaikan aturan ini tidak diberikan surat jalan (paspor) dan dapat dikenakan
sanksi.
Aturan
ini sesungguhnya terbilang longgar. Meski demikian, itu sudah menguntungkan
Pemerintah. Di satu sisi mendapatkan pajak perjalanan dan di sisi lain meningkatkan
jumlah penumpang kapal-kapal Belanda. Namun aturan sederhana ini ternyata
menimbulkan sejumlah persoalan. Banyak yang berangkat tetapi banyak yang tidak
kembali, apakah karena meninggal atau bermukim di Mekkah karena kehabisan uang.
Pafa tahun 1859 aturan perjalanan haji diperketa.
Selain syarat terdahulu, syarat baru harus memenuhi bagi calon jemaah yang
benar-benar mampu (secara finansial). Aturan ini juga menjadi beban tambahan
bagi pemerintah daerah (Asisten Residen dan Controleur). Besarnya biaya fiskal
setiap calon jemaah sebesar f25 hingga f100 (lihat Nederlandsche staatscourant,
07-09-1859).
Jumlah
jemaah haji yang berangkat dari waktu ke waktu terus meningkat. Ini
mengindikasikan tingkat kemakmuran makin meningkat. Pada tahun 1853 jumlah
jemaah haji yang berangkat sebanyak 1.100 orang. Jumlah ini telah meningkat 2.000
pada tahun 1858. Untuk mengawasi jemaah Hindia Belanda di Jeddah, pemerintah
mendirikan konsulat di Jeddah 1872. Salah satu konsuler (semacam dubes) yang
terkenal adalah Snouck Hurgronje.
Namun permasalahan jamaah haji belum selesai.
Para calon haji di satu sisi menjadi lebih selektif tetapi di sisi lain layanan
kapal selama pelayaran kurang diperhatikan pemerintah. Tingkat kesakitan dan
jumlah meninggal, meski sudah menurun, tetapi secara absolut masih tinggi.
Tidak adanya pemandu perjalanan dan pemandu selama menjalankan haji di Mekkah
menambah daftar layanan yang seharusnya diperhatikan pemerintah. Meski demikian,
jumlah jamaah tetap meningkat dari tahun ke tahun.
Pada
tahun 1900 pemerintah menunjuk seorang mantan guru yang pernah menjalankan haji
ke Mekkah sebagai pemandu perjalanan haji yakni Dja Endar Moeda. Pemandu haji
ini adalah orang yang sudah dikenal oleh adalah Snouck Hurgronje. Dja Endar
Moeda pernah ditempatkan sebagai guru di Singkel tahun 1887. Setelah pensiun,
Dja Endar Moeda dari Singkel berangkat ke Mekkah untuk menunaikan haji.
Sepulang dari Mekkah, pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah di
kota Padang dan membeli surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat tahun 1900.
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, kelahiran Padang Sidempoean adalah alumni
sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean pada tahun 1884.
Pada tahun 1900 Dr. C Snouck Hurgronje, penasehat
pribumi meminta pemerintah memperbarui ordonatie 1859 karena tidak sesuai
dengan situasi dan kondisi terkini (lihat Soerabaijasch handelsblad, 11-08-1900).
Sehubungan dengan semangat perubahan itu, Dja Endar Moeda berinisiatif dan
secara sukarela membuat pedomana perjalan haji yang dapat membantu calon jemaah
terutama bagi yang belum pernah sebelumnya ke Mekkah.
Soerabaijasch handelsblad, 11-08-1900 |
Pada
tahun 1902 pemerintah menerbitkan pedoman haji yang tidak lain merupakan adopsi
pedoman perjalanan haji yang telah dibuat oleh Dja Endar Moeda. Pedoman ini
kemudian dicetak dan diedaerkan ke seluruh Hindia Belanda melalui Asisten
Residen dan Controleur.
Pada tahun 1909 Dr. C Snouck Hurgronje yang telah
menjadi guru besar di Leiden memberikan seminar dengan judul Hadji-politiek der
Indische Regeering (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-04-1909).
Isi makalah ini meyakinkan sebagian pihak Belanda mengkhawatirkan para haji
Hindia Belanda jika kembali ke tanah air. Menurut sang profesor mereka
konservatif dan balik bertanya apakah anda tidak memerlukan 7.000 jamaah tiap
tahun di kali f500 sebesar f 3.500.000?
Boleh
jadi analisis Dr. C Snouck Hurgronje tidak hanya berdasarkan pengalamannya dulu
sebagai kocul di Jeddah dan laporan konsul baru-baru ini, tetapi juga Dr. C Snouck
Hurgronje melihat situasi kondisi mahasiswa-mahasiswa pribumi yang tengah studi
di Belanda. Seperti disebutkan Dr. C Snouck Hurgronje jemaah-jemaah haji yang
tidak segera pulang karena mereka belajar agama di Mekkah dan sungguh-sungguh
belajar. Apakah ini yang menjadi alasan bagi Dr. C Snouck Hurgronje menyimpulkan
para jamaah yang ke Mekkah bersifat konservatif? Sebagai catatan tambahan:
jumlah mahasiswa pribumi di Belanda pada tahun 1909 sebanyak 30 orang. Pada
tahun 1905 ketika Soetan Casajangan tiba di Belanda baru lima orang mahasiswa
pribumi yang datang ke Belanda untuk kuliah. Pada tahun 1908 jumlahnya sudah
menjadi sebanyak 20 orang. Pada saat inilah Soetan Casajangan mengundang semua
mahasiswa ke rumahnya untuk membicarakan pendirian organisasi mahasiswa yang
disebut Indische Vereeniging. Lalu secara aklamasi Soetan Casajangan ditunjuk
sebagai presiden. Organisasi ini di era Mohamad Hatta pada tahun 1924 namanya
diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
adalah kelahiran Padang Sidempoean, alumni sekolah guru (kweekschool) Padang
Sidempoean tahun 1887. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda.
Tentu saja tidak semua orang Belanda sepakat
dengan pendapat dan kesimpulan Prof. Dr. C Snouck Hurgronje. Seseorang menulis
pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 08-07-1909 yang pada intinya
kekhawatiran itu nyata adanya dengan merujuk pada pemberontakan haji di
Tjilegon, Banten pada tahun 1888 (namun segera dapat dipadamkan, pen).
Penyelenggaraan Haji di Era Kemerdekaan dan Asrama Haji di Pondok Gede
Bekasi
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di
blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah
menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping
pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton
sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam
memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini
hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar