*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Setelah benteng Batavia (Casteel Batavia) dibangun (1619), benteng yang dibangun berikutnya adalah benteng (pulau) Onrust. Benteng ini dibangun untuk pertahanan pertama dari kemungkinan serangan dari Banten. Namun celakanya, benteng Onrust ini tidak jauh dari muara sungai besar yakni sungai Tjisadane. Dari muara sungai inilah pelayaran sungai orang-orang bermula hingga ke hulu, bahkan hingga ke Tjiampea. Dari situasi inilah pangkal perkara dimulainya sejarah Tangerang.
Setelah benteng Batavia (Casteel Batavia) dibangun (1619), benteng yang dibangun berikutnya adalah benteng (pulau) Onrust. Benteng ini dibangun untuk pertahanan pertama dari kemungkinan serangan dari Banten. Namun celakanya, benteng Onrust ini tidak jauh dari muara sungai besar yakni sungai Tjisadane. Dari muara sungai inilah pelayaran sungai orang-orang bermula hingga ke hulu, bahkan hingga ke Tjiampea. Dari situasi inilah pangkal perkara dimulainya sejarah Tangerang.
Peta 1724 |
Sejarah Tangerang tentu saja sudah banyak ditulis
oleh ahli sejarah. Namun sejarah Tangerang tidak hanya itu. Data dan informasi
Tangerang sangat berlimpah dan lebih dari apa yang sudah ditulis. Sisa data
itulah yang ingin dimaksimalkan untuk melengkapi penulisan Sejarah Tangerang. Meski
sisa tetapi yang tertinggal justru inti. Ibarat mengolah kerang, kulitnya diambil
untuk hiasan, lalu dagingnya dimakan, tetapi dalamannya yang berisi butir-butir
mutiara diabaikan. Sejarah Tangerang juga tidak berdiri sendiri. Uniknya, meski
Tangerang masuk wilayah Provinsi Banten, sejarah Tangerang justru terbentuk dari
Batavia (Jakarta). Hal ini menyebabkan serial artikel sejarah Tangerang ini
akan sendirinya terhubung dengan sejarah Jakarta (Batavia) di pusaran dan
sejarah Bekasi di hilir dan sejarah Depok dan sejarah Bogor (Buitenzorg) di
hulu. Oleh karenanya, tulisan sejarah Jabodetabek pada masa ini sejatinya sudah
terlukis sejak tempoe doeloe. Mari kita mulai Sejarah Tangerang dengan artikel
pertama.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*. Peta 1724
Fort Tangerang: Origin Kota Tangerang
Seorang pelukis Prancis Cornelis de Bruijn datang
ke Batavia. Pada tahun 1701 Cornelis de Bruijn diketahui telah berkunjung ke
Tangerang. Cornelis de Bruijn melukis penampakan kota Tangerang di pinggir
sungai Tangerang (sungai Tjisadane) dimana di sisi barat sudah terdapat pemukiman
orang Eropa. Pemukiman ini dilindungi oleh palisade (pagar pertahanan) yang
terbuat dari kayu dan bambu. Lukisan ini dapat dibilang adalah lukisan tertua
tentang keberadaan kota Tangerang.
Adanya pemukiman orang Eropa/Belanda menunjukkan
situasi dan kondisi keamanan wilayah sudah mulai kondusif untuk mengusahakan
pertanian. Orang-orang Eropa/Belanda segera merespon kebijakan Pemerintah yang
telah menetapkan kebijakan baru bahwa penduduk dijadikan sebagai subyek VOC
(investor Eropa.Belanda mulai mengeksploitasi pertanian yang juga melibatkan
penduduk pribumi). Namun awalnya tidak mudah karena ada perlawanan penduduk
(Banten).
Aktivitas
perdagangan Belanda (VOC) dibagi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en
Minangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931). Pada periode pertama
dimana VOC/Belanda hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas
hubungan dengan komunitas di sekitar pantai. Pada tahun 1615 suatu wilayah diperluas
menjadi bagian perdagangan VOC. Pada tahun 1663 muncul kebijakan baru dimana
penduduk pribumi dijadikan sebagai sekutu VOC. Lalu pada tahun 1666 kebijakan
drastis dibuat yang mana penduduk dijadikan sebagai subyek VOC.
Sejak
kebijakan ini diberlakukan, Pemerintah VOC mulai mengambil langkah untuk
membantu penduduk untuk menyerang lawannya. Pada tahun 1666 militer VOC
berhasil mengusir kekuasaan Atjeh dari Padang; pada tahun 1669 Rijck Macasser,
Kesultanan Gowa berhasil dilumpuhkan. Dalam perang Gowa ini VOC bekerjasama
dengan Radja Palacca de Koningh der Bougies. Semua kejadian awal ini terjadi
era Gubenur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) dengan panglimanya yang
terkenal Cornelis Speelman.
Berdasarkan catatan Daghregister di Kasteel Batavia pada tanggal 12 Juni
1674 terjadi pembunuhan oleh tiga budak Cornelis Snoek di Banten di pulau
Onrust. Catatan ini besar dugaan Cornelis Snoek telah mulai melakukan
eksploitasi pertanian di Tangerang, namun mendapat perlawanan dari penduduk
yang diduga berasal dari Banten. Masih menurut Daghregister tanggal 6 November
1678 beberapa orang Jawa datang ke Casteel bersama kepala Tangerang. Sejak itu
suhu politik semakin memanas di Tangerang. Pada tanggal 8 Januari 1680 orang
Banten merusak pagar (palisade) Tangerang. Menurut catatan Daghregister tanggal
1 Juni 1680 Sultan Banten telah mengambil tanah Tanara, Pontang dan Tangerang
di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 5 November 1680 para pekerja yang
kembali di sekitar palisade Tangerang mengungsi karena orang-orang Banten
sedang berada sekitar. Pada tanggal 6 Juni 1681 dicatat di dalam Daghregister
suatu release dari landdrost Vincent van Mook terhadap pemukulan orang Jawa
oleh orang Banten di Tangerang. Dalam hal ini diduga pemilik land Tangerang
telah beralih dari Cornelis Snoek kepada Vincent van Mook.
Pada
tanggal 7 Maret 1682 Majoor Saint Martin melakukan persiapan terakhir menuju
Banten. Pada tanggal 8 Maret 1682 Majoor Martin tiba di Banten dengan 120 orang
Bali. Sementara itu, pada tanggal 19 Maret 1682 sejumlah besar orang Tangerang
berada melewati batas Batavia. Pada tanggal 21 Maret 1682 Schermutsel ditahan oleh orang Tangerang.
Pada tanggal 3 Mei 1682 orang Tangerang melukai orang-orang VOC. Pada tanggal 17
Mei 1682 orang-orang Tangerang benar-benar menyerang dan 300 dari mereka tewas
dan tenggelam di sungai. Pada tanggal 14 Juni 1682 sejumlah orang Tangerang mendatangi
VOC. Pada tanggal 6 Januari 1683 militer VOC berangkat ke sungai Tangerang di
bawah pimpinan Kapten Joan Ruysch dan dibantu sersan Anthonij Eygel. Sejak
inilah Tangerang dijaga oleh militer VOC.
Setelah Banten dapat dikendalikan dan dibuat perjanjian (plakaat), para pasukan
pendukung VOC mulai ditempatkan dengan memberikan lahan-lahan untuk diusahakan.
Lahan-lahan tersebut berada di seputar Batavia. Lahan-lahan yang dekat dengan
Batavia diberikan kepada orang Eropa/Belanda. Untuk lahan yang lebih jauh di seperti
sekitar sungai Bekasi diberikan kepada eks pasukan pendudung VOC orang pribumi
seperti Captein Soeta Wangsa dan Pangeran Poerbaja.
Pahlawan
VOC Majoor Saint Martin atas jasanya meredakan suhu politik di Banten, pemerintah
memberikan hadiah utama yakni dua bidang lahan di Tjinere dan Tjitajam. Dua
lahan ini dapat dikatakan dua bidang lahan terpisah yang paling subur (landgoed)
di wilayah hulu.
Berdasarkan catatan Daghregistee tanggal 7 Juni
1690 Capitain Adolph Winckeler dan bersama lantmeter Bartel van der Valck en
adsistent Lucas Meur yang diampingi oleh satu pasukan mulai melakukan pemetaan
ke wilayah hulu di selatan sepanjang sungai Tjiliwong dan sebelah barat Tangerang
yang disebut sungai Tjidane hingga ke wilayah yang disebut Pakoean. Sejak
pemetaan lahan-lahan ini mulai diusahakan oleh para investor Eropa/Belanda,
termasuk yang pertama di wilayah hulu adalah Cornelis Chastelein.
Pada
tahun 1695 Cornelis Chastelein mulai membuka lahan baru di hulu sungai
Tjiliwong di Seringsing. Lahan ini terletak di sisi barat sungai Tjiliwong yang
mana di sebelah selatannya land Tjitajam dan di sebelah barat land Tjinere. Pada
tahun 1704 Cornelis Chastelein membeli lagi lahan di Depok (antara land
Seringsing dan land Tjitajam). Sebelumnya Cornelis Chastelein telah mengusahan perkebunan
tebu dan pabrik gula di land Anthonij yang dibelinya dari Anthonij Paviljon di sebelah
tenggara benteng Noordwijk (kini Senen).
Langkah yang dilakukan oleh Cornelis Chastelein mulai
diikuti oleh investor Eropa/Belanda yang lain. Lahan-lahan yang dieksploitasi
tidak hanya di sekitar Batavia tetapi juga lahan yang lebih jauh di Tangerang
dan Bekasi dan bahkan hingga wilayah hulu sungai. Satu nama yang cukup penting
menyusul Cornelis Chastelein adalah Hendrik Lucasz Cardeel.
Kisah
Hendrik Lucasz Cardeel dan putrinya Christin Helena Cardeel bermula di Banten.
Ayah dan anak ini masuk Islam, Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran
Wira Goena dan Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Ketika
Gubernur Jenderal VOC mengirim ekspedisi ke Banten yang dipimpin oleh Sersan
St. Martin untuk membebaskan tawanan tahun 1682, Letnan Mody seorang tawanan
yang dibebaskan ‘menculik’ Helena ke Batavia dan kemudian menikahinya. Lalu
kemudian, Hendrik Lucasz Cardeel menyusul putrinya ke Batavia. Ketika Sultan
Hadji berkuasa kembali meminta pangeran
dan ratu mualaf itu diekstradisi ke Banten, Gubernur Jenderal VOC Cornelis
Speelman (1681-1684) menolaknya. Dalam perkembangannya Hendrik Lucasz Cardeel
membeli lahan di dekat Tjinere. Setelah Hendrik Lucasz Cardeel meninggal tahun
1711, lahan tersebut diteruskan oleh putri semata wayangnya Helena. Namun nama
Hendrik Lucasz Cardeel di tengah masyarakat sudah kadung dikenal sebagai
Pangeran Wira Goena. Dari sinilah kemudian nama lahan itu dikenal sebagai lahan
Ragoenan (pelafalan masyarakat dari Wira Goena).
Pada tanggal 4 dan 5 bulan Januari tahun 1699 terjadi gempa dahsyat.
Gunung Salak meletus. Sungai Tjisadane meluap di daerah aliran sungai dari hulu
ke hilir yang membawa pohon-pohon tumbang. Sungai berlumpur. Di muara sungai Tjisadane
terjadi gelombang laut yang besar (lihat Philosophical Transactions and
Collections to the End of the Year ..., Abridg'd and Dispos'd Under General
Heads. 1731. Royal Society of London).
Titik terdekat Tjiliwong dan Tjisadane di Bogor (Peta 1701) |
Kerusakan yang paling parah akibat letusan gunung
Salak dan gempa yang menyertainya terjadi di wilayah hulu antara sungai
Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Sejauh mata memandang pohon bertumbangan yang
di atasanya tertutup debu vulkanik yang tebal berupa tanah liat merah. Penduduk
kesulitan melewatinya. Toemenggoeng Poerbo Nata yang berangkat ke pegunungan
mendengar suara yang berisik berupa gemuruh dan melihat puncak gunung telah
tenggelam (hilang). Perjalanan bolak balik ini memakan waktu selama 19 hari dan
selama itu dirasakan gempa sebanyak 40 kali (lihat Philosophical Transactions
and Collections to the End of the Year ..., Abridg'd and Dispos'd Under General
Heads. 1731. Royal Society of London). Titik singgung terdekat sungai Tjiliwong
dan Tjisadane di Bogor (Peta 1701)
Gunung Salak, sebelum dan setelah letusan 1699 |
Pada tahun 1705 dibuat sebuah resolutie tanggal 3 April 1705 tentang
pembangunan benteng-benteng baru yang lebih kuat di luar Batavia seperti di
muara sungai Bekasi, di Tandjoengpoera (pertemuan sungai Tjibeet dengan sungai
Tjitaroem), di Tangerang (sisi timur sungai Tjisadane), Tegal, Semarang dan
Soerabaja. Benteng-benteng terdahulu yang sudah di bangun permanen di sekitar
Batavia adalah Kasteel Batavia (1619), benteng (pulau) Onrust (1630), fort
Angke (1657), fort Jacatra (1650), fort Risjwojk (1650) dan fort Noordwijk (1650).
Pembangunan benteng Tangerang bersamaan dengan benteng-benteng di Antjol,
Bacassie, Tandjoeng Poera dan benteng Tandjoeng (kini Pasar Rebo) serta benteng
Padjadjaran (kini Istana Bogor).
Sketsa benteng Tangerang, 1709 |
Setelah selesai benteng ini pada tahun 1709
kondisi keamanan di sisi timur sungai Tjisadane semakin kuat. Juga dengan
dibangunnya benteng-benteng lainnya yang berdekatan kondisi keamaan di seputar
daerah aliran sungai semakin kondusif untuk membangun pertanian. Daerah aliran
sungai tersebut adalah sungai Tjiliwong, sungai Tjisadane, sungai Bekasi dan
sungai Tjitaroem. Babak baru pengembangan wilayah dimulai. Para investor Eropa/Belanda
yang notabene dalam hal ini para pedagang (koopman) VOC mulai bertambah. Para
investor ini membeli lahan-lahan atau mengakuisisi lahan-lahan yang sebelumnya
telah diusahakan oleh eks pasukan pendukung VOC. Generasi kepemilikan lahan
dimulai.
Benteng Tangerang, 1740 |
Benteng Tangerang dan sungai Tjisadane, 1775 |
Pada tahun 1732 Pemerintah VOC kembali melakukan
pengukuran lahan-lahan di seputar Batavia, yaitu lahan-lahan yang dulu (sebelumnya)
telah diberikan pemerintahah untuk ditempati oleh eks pendukung pasukan VOC.
Lahan-lahan tersebut berada di daerah aliran sungai Tjiliwong, sungai Tjisadane
dan sungai Bekasi. Pengukuran ini dilakukan oleh landmeter/ kaartenmaker Boudewijn
Jansz Vonk. Hasil pengukuran dan pemetaan ini diterbitkan dalam sejumlah peta
pada tahun 1732.
Tangerang dan Banten (Peta 1727) |
Pengukuran lahan-lahan yang dilakukan pada tahun
1732 ini diduga terkait dengan adanya kebijakan pemerintah VOC untuk menjual
lahan-lahan kepada swasta dengan satus lahan partikelir (land).
Sejak selesainya dibangun benteng Tangerang pada tahun 1709 para investor
mulai mendirikan rumah-rumah di sekitar benteng. Sementara lahan-lahan mereka
berada di sepanjang daerah sungai Tjisadane dan wilayah di sisi timur dan sisi
barat sungai Tjisadane. Lambat laun pemukiman orang Eropa/Belanda di sekitar
benteng semakin ramai. Area pemukiman baru ini berkembang dari benteng ke arah
hulu sisi barat sungai Tjisadane. Untuk mendukung pertahanan ke arah hulu, di
sisi timur sungai Tjisadane dibangun lagi benteng baru yakni Fort Sampoera (di sekitar
Serpong yang sekarang).
Sejumlah
land yang terbentuk (yang kemudian dikenal tanah partikelir) di sepanjang
sungai Tjisadane adalah land Pakadjangan, land Teloknaga, land Kelor, land
Kedawoeng, land Paroengkoeda, land Pasar Baroe, land Babakan, land Krawatji,
land Tjikokol, land Bodjong Larang, land Tanahtinggi, land Kalideres, land Kemiri, land Maoek, land
Rawaboeaja dan land Tjengkareng.
Pada tahun 1740 terjadi di Batavia apa yang
disebut pemberontakan oleh orang-orang Cina. Pemberontakan ini merupakan ekses
dari kebijakan VOC yang memulai menerapkan kebijakan pembatasan migran Cina dan
pendeportasian sebagian migran Cina tahun 1732. Kebijakan ini mendapat reaksi
dan kemudian orang-orang Cina (migran) dan sebagian orang-orang Tionghoa
(migran yang sudah lama menetap) melakukan semacam rencana perlawanan (kudeta).
Mengetahui situasi politik yang semakin memanas Gubernur Jenderal Adriaan
Valckenier (1737-1741) mengeluarkan instruksi perang terhadap pemberontak.
Dalam
perang ini tidak kurang dari 10.000 orang Cina terbunuh di berbagai tempat di
seputar Batavia. Tragedi Cina (Chinezenmoord) dilaporkan kali pertama oleh
surat kabar Oprechte Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741).
Chinezenmoord ini menjadi duka yang paling dalam bagi orang-orang Tionghoa di
seluruh Hindia Timur.
Ekses perang in juga terjadi di Bekasi dan Tangerang.
Orang-orang Cina di daerah aliran sungai Bekasi yang umumnya bekerja di
perkebunan tebu dan pabrik gula membakar seluruh properti orang Eropa/Belanda.
Di Tangerang, orang-orang Cina yang marah juga menduduki benteng Tangerang dan
membakar properti orang-orang Eropa/Belanda. Ekses ini juga ditemukan di
Semarang dan Vorstelanden (yang bekerjasama dengan orang Jawa menduduki
sejumlah benteng VOC di pedalaman).
Pasca
Perang Cina (lebih tepatnya disebut Chinezenmoord) Gubernur Jenderal yang baru Johannes
Thedens (1741-1743) mulai beres-beras cuci piring: cooling down. Johannes
Thedens, meski ada risiko, menganggap orang Cina adalah potensi ekonomi yang
perlu dimaksimumkan untuk tujuan VOC. Dalam posisi orang Cina setengah marah
dan setengah frustasi, Johannes Thedens mulai membangkitkan kehidupan
orang-orang Cina kembali seperti sebelum terjadinya perang. Memusuhi
orang-orang Cina hanya memperburuk sendi-sendi ekonomi VOC. Orang-orang Cina
bukanlah musuh yang sebenarnya, musuh VOC yang sebenarnya adalah orang Inggris
dan Prancis yang setiap saat dapat melumpuhkan orang Belanda, orang-orang Cina
yang ada di Hindia Timur adalah orang-orang dari Tanah Tiongkok yang mengadu
peruntungan dan mencari kehidupan baru di Hindia Timur. Johannes Thedens dengan
sadar mulai membina kerjasama dengan orang-orang Tionghoa dengan mengangkat
pimpinannya. Kebijakan umum VOC menjadikan penduduk pribumi sebagai subjek
diperluas dengan menjadikan orang Cina sebagai subjek. Pemerintah VOC akan
mengontrol orang-orang Cina di Hindia Timur melalui para pemimpinnya dengan
mengangkat sejumlah letnan Cina.
Pasca perang (Chinezenmoord) Pemerintah VOC mulai
meningkatkan penataan pola bertempat tinggal di setiap kota-kota utama.
Penataan ini juga sekaligus untuk melakukan pengawasan ketet terhadap orang-orang
Cina. Ibarat kata, yang sudah berlalu, berlalulah. Di Tangerang, roda
perekonomian digerakkan kembali. Benteng Tangerang lebih diperkuat kembali,
pola bertempat tinggal orang Tionghoa dan migran Cina disatukan dalam satu area
tertentu yang disebut kampement. Area kampement ini dibatasi oleh batas-batas
tertentu yang pada intinya ingin membedakan pemukiman orang-orang Eropa/Belanda
di satu pihak dengan pemukiman orang Tionghoa dan pribumi di pihak lain.
Kota Tangerang (Peta 1901) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar