Sabtu, 27 Juli 2019

Sejarah Tangerang (1): Kota Tangerang Bermula di Benteng Tangerang; Tjisadane, Tjiliwong dan Tjilengsi Berhulu di Bogor


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Setelah benteng Batavia (Casteel Batavia) dibangun (1619), benteng yang dibangun berikutnya adalah benteng (pulau) Onrust. Benteng ini dibangun untuk pertahanan pertama dari kemungkinan serangan dari Banten. Namun celakanya, benteng Onrust ini tidak jauh dari muara sungai besar yakni sungai Tjisadane. Dari muara sungai inilah pelayaran sungai orang-orang bermula hingga ke hulu, bahkan hingga ke Tjiampea. Dari situasi inilah pangkal perkara dimulainya sejarah Tangerang.

Peta 1724
Benteng Batavia yang menjadi awal permulaan kota Batavia berada di muara sungai Tjiliwong. Sungai Tjiliwong adalah rute pelayaran sungai dari dan ke pedalaman. Sungai besar lainnya di sebelah barat adalah sungai Tangerang (Tjisadane), dan di sebelah timur sungai Bekasi (Tjilengsi). Sungai Tjiliwong berhulu di timur gunung Papandayan dan sungai Tjisadane berhulu di barat gunung Papandayan. Titik singgung terdekat dua sungai besar ini berada di Kota Bogor yang sekarang. Sementara sungai Tjilengsi berhulu di sisi sungai Tjiliwong. Sungai Tjikeas yang juga berhulu di sisi sungai Tjiliwong bertemu sungai Tjilengsi di Bantar Gebang yang ke hilir disebut sungai Bekasi (sama seperti sungai Tjisadane di hilir disebut Tangerang). Tiga sungai besar (Tjiliwong plus Bekasi dan Tangerang) inilah kemudian yang menjadi tulang punggung terbentuknya Residentie Batavia. Dalam perkembangannya Residentie Batavia diperluas hingga sungai Tjitaroem di timur dan sungai Tjikande di barat. Diantara batas-batas inilah Tangerang tumbu dan berkembang dari jaman Tome Pires hingga jaman Now.

Sejarah Tangerang tentu saja sudah banyak ditulis oleh ahli sejarah. Namun sejarah Tangerang tidak hanya itu. Data dan informasi Tangerang sangat berlimpah dan lebih dari apa yang sudah ditulis. Sisa data itulah yang ingin dimaksimalkan untuk melengkapi penulisan Sejarah Tangerang. Meski sisa tetapi yang tertinggal justru inti. Ibarat mengolah kerang, kulitnya diambil untuk hiasan, lalu dagingnya dimakan, tetapi dalamannya yang berisi butir-butir mutiara diabaikan. Sejarah Tangerang juga tidak berdiri sendiri. Uniknya, meski Tangerang masuk wilayah Provinsi Banten, sejarah Tangerang justru terbentuk dari Batavia (Jakarta). Hal ini menyebabkan serial artikel sejarah Tangerang ini akan sendirinya terhubung dengan sejarah Jakarta (Batavia) di pusaran dan sejarah Bekasi di hilir dan sejarah Depok dan sejarah Bogor (Buitenzorg) di hulu. Oleh karenanya, tulisan sejarah Jabodetabek pada masa ini sejatinya sudah terlukis sejak tempoe doeloe. Mari kita mulai Sejarah Tangerang dengan artikel pertama.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1724

Fort Tangerang: Origin Kota Tangerang

Seorang pelukis Prancis Cornelis de Bruijn datang ke Batavia. Pada tahun 1701 Cornelis de Bruijn diketahui telah berkunjung ke Tangerang. Cornelis de Bruijn melukis penampakan kota Tangerang di pinggir sungai Tangerang (sungai Tjisadane) dimana di sisi barat sudah terdapat pemukiman orang Eropa. Pemukiman ini dilindungi oleh palisade (pagar pertahanan) yang terbuat dari kayu dan bambu. Lukisan ini dapat dibilang adalah lukisan tertua tentang keberadaan kota Tangerang.

Cornelis de Bruijn juga diketahui tahun 1706 telah berkunjung ke Seringsing (kini Serengseng Sawah, Lenteng Agoeng). Cornelis de Bruijn cukup lama, dua minggu di land yang dimiliki oleh rekan sebangsanya Cornelis Chastelein. Selama tinggal di Seringsing disediakan satu rumah dan dua pembantu wanita. Cornelis de Bruijn melukis beberapa view, salah satu view lanskap pertanian Seringsing. Lukisan ini juga terbilang lukisan tertua tentang keberadaan orang Eropa di hulu sungai Tjiliwong.

Adanya pemukiman orang Eropa/Belanda menunjukkan situasi dan kondisi keamanan wilayah sudah mulai kondusif untuk mengusahakan pertanian. Orang-orang Eropa/Belanda segera merespon kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan kebijakan baru bahwa penduduk dijadikan sebagai subyek VOC (investor Eropa.Belanda mulai mengeksploitasi pertanian yang juga melibatkan penduduk pribumi). Namun awalnya tidak mudah karena ada perlawanan penduduk (Banten).  

Aktivitas perdagangan Belanda (VOC) dibagi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en Minangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931). Pada periode pertama dimana VOC/Belanda hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai. Pada tahun 1615 suatu wilayah diperluas menjadi bagian perdagangan VOC. Pada tahun 1663 muncul kebijakan baru dimana penduduk pribumi dijadikan sebagai sekutu VOC. Lalu pada tahun 1666 kebijakan drastis dibuat yang mana penduduk dijadikan sebagai subyek VOC.

Sejak kebijakan ini diberlakukan, Pemerintah VOC mulai mengambil langkah untuk membantu penduduk untuk menyerang lawannya. Pada tahun 1666 militer VOC berhasil mengusir kekuasaan Atjeh dari Padang; pada tahun 1669 Rijck Macasser, Kesultanan Gowa berhasil dilumpuhkan. Dalam perang Gowa ini VOC bekerjasama dengan Radja Palacca de Koningh der Bougies. Semua kejadian awal ini terjadi era Gubenur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) dengan panglimanya yang terkenal Cornelis Speelman.

Berdasarkan catatan Daghregister di Kasteel Batavia pada tanggal 12 Juni 1674 terjadi pembunuhan oleh tiga budak Cornelis Snoek di Banten di pulau Onrust. Catatan ini besar dugaan Cornelis Snoek telah mulai melakukan eksploitasi pertanian di Tangerang, namun mendapat perlawanan dari penduduk yang diduga berasal dari Banten. Masih menurut Daghregister tanggal 6 November 1678 beberapa orang Jawa datang ke Casteel bersama kepala Tangerang. Sejak itu suhu politik semakin memanas di Tangerang. Pada tanggal 8 Januari 1680 orang Banten merusak pagar (palisade) Tangerang. Menurut catatan Daghregister tanggal 1 Juni 1680 Sultan Banten telah mengambil tanah Tanara, Pontang dan Tangerang di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 5 November 1680 para pekerja yang kembali di sekitar palisade Tangerang mengungsi karena orang-orang Banten sedang berada sekitar. Pada tanggal 6 Juni 1681 dicatat di dalam Daghregister suatu release dari landdrost Vincent van Mook terhadap pemukulan orang Jawa oleh orang Banten di Tangerang. Dalam hal ini diduga pemilik land Tangerang telah beralih dari Cornelis Snoek kepada Vincent van Mook.

Pada tanggal 7 Maret 1682 Majoor Saint Martin melakukan persiapan terakhir menuju Banten. Pada tanggal 8 Maret 1682 Majoor Martin tiba di Banten dengan 120 orang Bali. Sementara itu, pada tanggal 19 Maret 1682 sejumlah besar orang Tangerang berada melewati batas Batavia. Pada tanggal 21 Maret 1682 Schermutsel ditahan oleh orang Tangerang. Pada tanggal 3 Mei 1682 orang Tangerang melukai orang-orang VOC. Pada tanggal 17 Mei 1682 orang-orang Tangerang benar-benar menyerang dan 300 dari mereka tewas dan tenggelam di sungai. Pada tanggal 14 Juni 1682 sejumlah orang Tangerang mendatangi VOC. Pada tanggal 6 Januari 1683 militer VOC berangkat ke sungai Tangerang di bawah pimpinan Kapten Joan Ruysch dan dibantu sersan Anthonij Eygel. Sejak inilah Tangerang dijaga oleh militer VOC.

Setelah Banten dapat dikendalikan dan dibuat perjanjian (plakaat), para pasukan pendukung VOC mulai ditempatkan dengan memberikan lahan-lahan untuk diusahakan. Lahan-lahan tersebut berada di seputar Batavia. Lahan-lahan yang dekat dengan Batavia diberikan kepada orang Eropa/Belanda. Untuk lahan yang lebih jauh di seperti sekitar sungai Bekasi diberikan kepada eks pasukan pendudung VOC orang pribumi seperti Captein Soeta Wangsa dan Pangeran Poerbaja.

Pahlawan VOC Majoor Saint Martin atas jasanya meredakan suhu politik di Banten, pemerintah memberikan hadiah utama yakni dua bidang lahan di Tjinere dan Tjitajam. Dua lahan ini dapat dikatakan dua bidang lahan terpisah yang paling subur (landgoed) di wilayah hulu.

Berdasarkan catatan Daghregistee tanggal 7 Juni 1690 Capitain Adolph Winckeler dan bersama lantmeter Bartel van der Valck en adsistent Lucas Meur yang diampingi oleh satu pasukan mulai melakukan pemetaan ke wilayah hulu di selatan sepanjang sungai Tjiliwong dan sebelah barat Tangerang yang disebut sungai Tjidane hingga ke wilayah yang disebut Pakoean. Sejak pemetaan lahan-lahan ini mulai diusahakan oleh para investor Eropa/Belanda, termasuk yang pertama di wilayah hulu adalah Cornelis Chastelein.

Pada tahun 1695 Cornelis Chastelein mulai membuka lahan baru di hulu sungai Tjiliwong di Seringsing. Lahan ini terletak di sisi barat sungai Tjiliwong yang mana di sebelah selatannya land Tjitajam dan di sebelah barat land Tjinere. Pada tahun 1704 Cornelis Chastelein membeli lagi lahan di Depok (antara land Seringsing dan land Tjitajam). Sebelumnya Cornelis Chastelein telah mengusahan perkebunan tebu dan pabrik gula di land Anthonij yang dibelinya dari Anthonij Paviljon di sebelah tenggara benteng Noordwijk (kini Senen).

Langkah yang dilakukan oleh Cornelis Chastelein mulai diikuti oleh investor Eropa/Belanda yang lain. Lahan-lahan yang dieksploitasi tidak hanya di sekitar Batavia tetapi juga lahan yang lebih jauh di Tangerang dan Bekasi dan bahkan hingga wilayah hulu sungai. Satu nama yang cukup penting menyusul Cornelis Chastelein adalah Hendrik Lucasz Cardeel.

Kisah Hendrik Lucasz Cardeel dan putrinya Christin Helena Cardeel bermula di Banten. Ayah dan anak ini masuk Islam, Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Ketika Gubernur Jenderal VOC mengirim ekspedisi ke Banten yang dipimpin oleh Sersan St. Martin untuk membebaskan tawanan tahun 1682, Letnan Mody seorang tawanan yang dibebaskan ‘menculik’ Helena ke Batavia dan kemudian menikahinya. Lalu kemudian, Hendrik Lucasz Cardeel menyusul putrinya ke Batavia. Ketika Sultan Hadji berkuasa kembali  meminta pangeran dan ratu mualaf itu diekstradisi ke Banten, Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman (1681-1684) menolaknya. Dalam perkembangannya Hendrik Lucasz Cardeel membeli lahan di dekat Tjinere. Setelah Hendrik Lucasz Cardeel meninggal tahun 1711, lahan tersebut diteruskan oleh putri semata wayangnya Helena. Namun nama Hendrik Lucasz Cardeel di tengah masyarakat sudah kadung dikenal sebagai Pangeran Wira Goena. Dari sinilah kemudian nama lahan itu dikenal sebagai lahan Ragoenan (pelafalan masyarakat dari Wira Goena).

Pada tanggal 4 dan 5 bulan Januari tahun 1699 terjadi gempa dahsyat. Gunung Salak meletus. Sungai Tjisadane meluap di daerah aliran sungai dari hulu ke hilir yang membawa pohon-pohon tumbang. Sungai berlumpur. Di muara sungai Tjisadane terjadi gelombang laut yang besar (lihat Philosophical Transactions and Collections to the End of the Year ..., Abridg'd and Dispos'd Under General Heads. 1731. Royal Society of London).

Titik terdekat Tjiliwong dan Tjisadane di Bogor (Peta 1701)
Kerusakan yang paling parah akibat letusan gunung Salak dan gempa yang menyertainya terjadi di wilayah hulu antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Sejauh mata memandang pohon bertumbangan yang di atasanya tertutup debu vulkanik yang tebal berupa tanah liat merah. Penduduk kesulitan melewatinya. Toemenggoeng Poerbo Nata yang berangkat ke pegunungan mendengar suara yang berisik berupa gemuruh dan melihat puncak gunung telah tenggelam (hilang). Perjalanan bolak balik ini memakan waktu selama 19 hari dan selama itu dirasakan gempa sebanyak 40 kali (lihat Philosophical Transactions and Collections to the End of the Year ..., Abridg'd and Dispos'd Under General Heads. 1731. Royal Society of London). Titik singgung terdekat sungai Tjiliwong dan Tjisadane di Bogor (Peta 1701)

Gunung Salak, sebelum dan setelah letusan 1699
Catatan mengenai letusan gunung Salak beberapa waktu lalu sempat diragukan. Namun sumber 1731 disebut gunung Salak telah meletus pada tahun 1699. Jika membandingkan wujud gunung Salak yang sekarang telah berubah dengan lukisan pada peta tahun 1678 yang dibuat oleh tim ekspedisi Sersan Scipio. Sebelum meletus, puncak tertinggi gunung Salak berada di tengah, namun yang tampak kini yang tertinggi yang di sebelah barat. Keterangan letusan ini terdapat dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1731 tersebut, suatu titik pencatatan yang begitu dekat dengan waktu kejadian pada tahun 1699. Dalam catatan harian Kasteel Batavia tanggal 5 Januari terdapat dua catatan yang mana yang pertama mencatat adanya gempa bumi yang besar yang membuat orang terjatuh di jalanan dan yang kedua tentang korban dan kerusakan yang  ditimbulkan oleh gempa. Tentu saja jarak waktu yang pendek itu masih banyak orang yang masih hidup yang bisa ditanyakan. Bahkan siapa yang dikirim ke Bogor untuk menyelidikinya masih hidup. Disebutkan selama menyelidiki begitu sulit mencapai Bogor karena tanah begitu licin karena endapan debu vulkanik selama perjalanan ke Bogor. Untuk mencapai Bogor dari Tangerang harus ditempuh selama 19 hari pulang pergi. Dari catatan tersebut indikasi terjadinya gunung Salak meletus disebut dalam keterangan-keterangan tersebut adalah hilangnya puncak gunung Salak dan yang kedua yang lebih penting bahwa permukaan tanah di sekitar Bogor tertutup debu sejauh mata memandang sesuai pengamatan orang yang diutus ke Bogor. Disebutkan dampaknya terasa di hilir, sungai Tangerang membawa lumpur pekat dari hulu.

Pada tahun 1705 dibuat sebuah resolutie tanggal 3 April 1705 tentang pembangunan benteng-benteng baru yang lebih kuat di luar Batavia seperti di muara sungai Bekasi, di Tandjoengpoera (pertemuan sungai Tjibeet dengan sungai Tjitaroem), di Tangerang (sisi timur sungai Tjisadane), Tegal, Semarang dan Soerabaja. Benteng-benteng terdahulu yang sudah di bangun permanen di sekitar Batavia adalah Kasteel Batavia (1619), benteng (pulau) Onrust (1630), fort Angke (1657), fort Jacatra (1650), fort Risjwojk (1650) dan fort Noordwijk (1650). Pembangunan benteng Tangerang bersamaan dengan benteng-benteng di Antjol, Bacassie, Tandjoeng Poera dan benteng Tandjoeng (kini Pasar Rebo) serta benteng Padjadjaran (kini Istana Bogor).

Sketsa benteng Tangerang, 1709
Benteng Tangerang ini dibangun baru mengikuti palisade yang sudah ada sebelumnya yang menghadap ke sungai Tjisadane. Benteng ini berbentuk segi lima dengan tiga bastion. Menara pengawas berada tepat di sisi sungai. Bangunan untuk petugas berada di belakang menara pengawas; gudang amunisi, gudang komoditi di sebelah kiri; dapur, perumahan prajurit di sebelah kanan; lonceng (di bastion kanan belakang).       

Setelah selesai benteng ini pada tahun 1709 kondisi keamanan di sisi timur sungai Tjisadane semakin kuat. Juga dengan dibangunnya benteng-benteng lainnya yang berdekatan kondisi keamaan di seputar daerah aliran sungai semakin kondusif untuk membangun pertanian. Daerah aliran sungai tersebut adalah sungai Tjiliwong, sungai Tjisadane, sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem. Babak baru pengembangan wilayah dimulai. Para investor Eropa/Belanda yang notabene dalam hal ini para pedagang (koopman) VOC mulai bertambah. Para investor ini membeli lahan-lahan atau mengakuisisi lahan-lahan yang sebelumnya telah diusahakan oleh eks pasukan pendukung VOC. Generasi kepemilikan lahan dimulai.

Benteng Tangerang, 1740
Semakin banyaknya para investor yang mengusahakan lahan di sepanjang daerah aliran sungai Tjisadane dan wilayah antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane kemudian mulai dirintis pembangunan kanal besar untuk moda transportasi baru antara Batavia dan Tangerang. Moda transportasi sungai melalui muara ke Batavia dianggap terlalu jauh. Kanal ini dibangun dengan menyodet sungai Tjisadane di hilir benteng dengan mengalirkannya ke arah timur ke sungai Angke (di Pesing). Kanal ini kemudian dikenal Mooker vaart (kanal Mooker). Pembangunan kanal ini juga diintegrasikan dengan pembangunan jalan di sisi kanal. Benteng Tangerang, 1740

Benteng Tangerang dan sungai Tjisadane, 1775
Sebelum kanal Tangerang (Mooker vaart) dibangun, sudah terlebih dahulu dibangun kanal yang menyodet sungai Tjiliwong di dekat benteng Noordwijk dengan mengalirkannya ke arah barat melalui benteng Risjwijk dan kemudian bermura ke sungai Kroekoet (kanal jalan Veteran yang sekarang). Lalu kemudian sungai Tjiliwong disodet lagi di benteng Noordwijk dan dialirkan ke arah timur (kini Pasar Baru) dan dibelokkan ke utara (kini jalan Gunung Sahari) dan kemudian bermuara lagi ke sungai Tjiliwong di Manggadoea. Pada era ini dibangun kanal untuk moda transportasi dari sungai Soenter di Poelo Gadoeng ke arah barat laut di (kasteel) Batavia. Dalam perkembangannya kanal baru dibangun dari benteng Risjwijk ke arah utara di Batavia (kini jalan Hayamwuruk/jalan Gajah Mada). Kelak, sungai Tjiliwong antara benteng Noordwijk dan Manggadoea ditutup (kali mati). Lalu selanjutnya yang dalam hal ini pada dasarnya kanal Mooker vaart dibangun dua tahap. Tahap pertama kanal dari Pesing ke sungai Angke (mengikuti daerah aliran sungai Angke). Lalu dalam perkembangan dibangun kanal Mooker vaart dari Pesing ke Tangerang sehubungan dengan pembangunan jalan tol sungai dari Batavia ke Tangerang. Kanal ini digali pada tahun 1681 oleh landdrost Mock. Semua kanal-kanal ini terintegrasi menjadi satu sistem moda transportasi air. Semua kanal-kanal ini dibangun pada era VOC. Keberadaan kanal Mooker vaart ruas Pesing-Tangerang telah dipetakan pada  Peta 1724 dan disebut dalam buku François Valentyn. 1726, Zaaken van den godsdienst op het eyland Java,

Pada tahun 1732 Pemerintah VOC kembali melakukan pengukuran lahan-lahan di seputar Batavia, yaitu lahan-lahan yang dulu (sebelumnya) telah diberikan pemerintahah untuk ditempati oleh eks pendukung pasukan VOC. Lahan-lahan tersebut berada di daerah aliran sungai Tjiliwong, sungai Tjisadane dan sungai Bekasi. Pengukuran ini dilakukan oleh landmeter/ kaartenmaker Boudewijn Jansz Vonk. Hasil pengukuran dan pemetaan ini diterbitkan dalam sejumlah peta pada tahun 1732.

Tangerang dan Banten (Peta 1727)
Dalam peta-peta yang diterbitkan tersebut di sisi timur sungai Bekasi lahan dimiliki oleh Kapitein Soeta Wangsa, Pangeran Poerbaja dan beberapa nama Eropa/Belanda. Di pantai utara sebelah timur adalah lahan Kapitein Jonker. Di sekitar sungai Tjakoeng lahan milik Captain Boegis dan nama-nama Eropa lain. Di sebelah barat sungai Angke hingga sisi barat sungai Tjisadane terdapat lahan-lahan Desserr van de Michiels Pinet, Lionko Chinees, Diferente Pergoenen, Gusty Badoeloe dan Intje Samfoedin (Intje Bagoes). Nama-nama ini mengindikasikan nama-nama asal daerah. Di area lahan-lahan kemudian terdapat nama kampong Bali, kampong Boegis dan kampong Jawa.

Pengukuran lahan-lahan yang dilakukan pada tahun 1732 ini diduga terkait dengan adanya kebijakan pemerintah VOC untuk menjual lahan-lahan kepada swasta dengan satus lahan partikelir (land).

Pengembangan Kota Tangerang

Sejak selesainya dibangun benteng Tangerang pada tahun 1709 para investor mulai mendirikan rumah-rumah di sekitar benteng. Sementara lahan-lahan mereka berada di sepanjang daerah sungai Tjisadane dan wilayah di sisi timur dan sisi barat sungai Tjisadane. Lambat laun pemukiman orang Eropa/Belanda di sekitar benteng semakin ramai. Area pemukiman baru ini berkembang dari benteng ke arah hulu sisi barat sungai Tjisadane. Untuk mendukung pertahanan ke arah hulu, di sisi timur sungai Tjisadane dibangun lagi benteng baru yakni Fort Sampoera (di sekitar Serpong yang sekarang).

Sejumlah land yang terbentuk (yang kemudian dikenal tanah partikelir) di sepanjang sungai Tjisadane adalah land Pakadjangan, land Teloknaga, land Kelor, land Kedawoeng, land Paroengkoeda, land Pasar Baroe, land Babakan, land Krawatji, land Tjikokol, land Bodjong Larang, land Tanahtinggi, land Kalideres, land Kemiri, land Maoek, land Rawaboeaja dan land Tjengkareng.

Pada tahun 1740 terjadi di Batavia apa yang disebut pemberontakan oleh orang-orang Cina. Pemberontakan ini merupakan ekses dari kebijakan VOC yang memulai menerapkan kebijakan pembatasan migran Cina dan pendeportasian sebagian migran Cina tahun 1732. Kebijakan ini mendapat reaksi dan kemudian orang-orang Cina (migran) dan sebagian orang-orang Tionghoa (migran yang sudah lama menetap) melakukan semacam rencana perlawanan (kudeta). Mengetahui situasi politik yang semakin memanas Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737-1741) mengeluarkan instruksi perang terhadap pemberontak.

Dalam perang ini tidak kurang dari 10.000 orang Cina terbunuh di berbagai tempat di seputar Batavia. Tragedi Cina (Chinezenmoord) dilaporkan kali pertama oleh surat kabar Oprechte Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741). Chinezenmoord ini menjadi duka yang paling dalam bagi orang-orang Tionghoa di seluruh Hindia Timur.

Ekses perang in juga terjadi di Bekasi dan Tangerang. Orang-orang Cina di daerah aliran sungai Bekasi yang umumnya bekerja di perkebunan tebu dan pabrik gula membakar seluruh properti orang Eropa/Belanda. Di Tangerang, orang-orang Cina yang marah juga menduduki benteng Tangerang dan membakar properti orang-orang Eropa/Belanda. Ekses ini juga ditemukan di Semarang dan Vorstelanden (yang bekerjasama dengan orang Jawa menduduki sejumlah benteng VOC di pedalaman).

Pasca Perang Cina (lebih tepatnya disebut Chinezenmoord) Gubernur Jenderal yang baru Johannes Thedens (1741-1743) mulai beres-beras cuci piring: cooling down. Johannes Thedens, meski ada risiko, menganggap orang Cina adalah potensi ekonomi yang perlu dimaksimumkan untuk tujuan VOC. Dalam posisi orang Cina setengah marah dan setengah frustasi, Johannes Thedens mulai membangkitkan kehidupan orang-orang Cina kembali seperti sebelum terjadinya perang. Memusuhi orang-orang Cina hanya memperburuk sendi-sendi ekonomi VOC. Orang-orang Cina bukanlah musuh yang sebenarnya, musuh VOC yang sebenarnya adalah orang Inggris dan Prancis yang setiap saat dapat melumpuhkan orang Belanda, orang-orang Cina yang ada di Hindia Timur adalah orang-orang dari Tanah Tiongkok yang mengadu peruntungan dan mencari kehidupan baru di Hindia Timur. Johannes Thedens dengan sadar mulai membina kerjasama dengan orang-orang Tionghoa dengan mengangkat pimpinannya. Kebijakan umum VOC menjadikan penduduk pribumi sebagai subjek diperluas dengan menjadikan orang Cina sebagai subjek. Pemerintah VOC akan mengontrol orang-orang Cina di Hindia Timur melalui para pemimpinnya dengan mengangkat sejumlah letnan Cina.

Pasca perang (Chinezenmoord) Pemerintah VOC mulai meningkatkan penataan pola bertempat tinggal di setiap kota-kota utama. Penataan ini juga sekaligus untuk melakukan pengawasan ketet terhadap orang-orang Cina. Ibarat kata, yang sudah berlalu, berlalulah. Di Tangerang, roda perekonomian digerakkan kembali. Benteng Tangerang lebih diperkuat kembali, pola bertempat tinggal orang Tionghoa dan migran Cina disatukan dalam satu area tertentu yang disebut kampement. Area kampement ini dibatasi oleh batas-batas tertentu yang pada intinya ingin membedakan pemukiman orang-orang Eropa/Belanda di satu pihak dengan pemukiman orang Tionghoa dan pribumi di pihak lain.

Kota Tangerang (Peta 1901)
Sementara itu, ekses lain dari Chinezenmoord di Batavia, orang-orang Tionghoa mengungsi atau melarikan diri ke berbagai tempat termasuk ke wilayah pedalaman di daerah aliran sungai Tjiliwong, sungai Tjisadane dan sungai Bekasi. Orang-orang migran Cina yang tidak bisa pulang atau yang ingin menetap berbaur dengan orang-orang Tionghoa membentuk koloni-koloni kecil atau kampung-kampung terisolir dengan mengusahakan pertanian. Beberapa kampong Tionghoa yang sudah lama menjadi populasinya meakin banyak. Mereka yang membangun kampung-kampung kecil yang baru ini menjalin komunikasi dengan penduduk kampong-kampong pribumi, terutama dalam hal pertukaran (perdagangan). Perkampongan orang-orang Tionghoa banyak diantaranya menjadi pusat transaksi (perdagangan) yang lambat laun terbentuknya pasar kaget. Pasar-pasar dadakan ini oleh pemilik land dikooptasi menjadi sumber-sumber pendapatan baru.   

Di Tangerang, pemukiman orang Eropa/Belanda mengikuti alamiahnya berada di dekat benteng. Pemukiamn orang Tionghoa berada di luar pemukiman orang Eropa/Belanda tetapi terpisah dengan pemukiman orang pribumi. Pola ini terkesan bersifat rasial, tetapi pada intinya pemerintah VOC melokalisir pola pemukiman terpisah ini semata-mata untuk keperluan pengawasan dengan mengangkat para pemimpinnya yang berada di dalam komunitas. Untuk orang-orang timur asing lainnya seperti Arab dan Moor juga dibuat terpisah. Pemukiman orang-orang Timur Asing lainnya adakalanya menjadi pembatas area pemukiman orang Eropa/Belanda dengan area pemukiman (kampement) Tionghoa. Namun yang muncul pemukiman orang-orang Timur Asing lainnya terutama orang Arab/Moor lebih menyatu (berimpit) dengan pemukiman orang pribumi yang berpusat di sekitar masjid (kaoeman).


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar