*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Soekaboemi terhubung dengan sejarah Tjiandjoer. Pada permulaan sejarah Preanger Regentschappen bermula di Tjiandjoer. Ketika 1870 ibu kota Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng (kedudukan Residen relokasi ke Bandoeng), secara administratif wilayah Soekaboemi dipisahkan dari wilayah administrasi Tjiandjoer. Meski demikian, struktur pemerintahan lokal di Soekaboemi masih tetap berpusat di Tjiandjoer (Bupati di Tjiandjoer dan Patih di Soekaboemi). Saat inilah Pemerintahan Hindia Belanda dibentuk di Soekaboemi yang setingkat dengan di Tjiandjoer yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen.
Sejarah Soekaboemi terhubung dengan sejarah Tjiandjoer. Pada permulaan sejarah Preanger Regentschappen bermula di Tjiandjoer. Ketika 1870 ibu kota Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng (kedudukan Residen relokasi ke Bandoeng), secara administratif wilayah Soekaboemi dipisahkan dari wilayah administrasi Tjiandjoer. Meski demikian, struktur pemerintahan lokal di Soekaboemi masih tetap berpusat di Tjiandjoer (Bupati di Tjiandjoer dan Patih di Soekaboemi). Saat inilah Pemerintahan Hindia Belanda dibentuk di Soekaboemi yang setingkat dengan di Tjiandjoer yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen.
Fort Padjadjaran (Peta 1687 dan lukisan Rach 1772) |
.
Sekitar
tahun 1850an orang-orang Eropa/Belanda sudah merasakan pergeseran spasial di
Hindia Belanda: Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatra
adalah masa depan. Setali tiga uang, pada dekade sekitar 1870an di Residentie
Preanger Regentschappen orang-orang Eropa/Belanda menganggap Tjiandjoer adalah
masa lalu, Bandoeng adalah masa kini, dan Soekaboemi adalah masa depan. Tentang
masa depan di Soekaboemi sudah kita telusuri, kini gilirannya untuk kembali
mundur untuk menelusuri ke origin di Tjiandjoer.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini
adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tjiandjoer di Era VOC/Belanda: Padjadjaran
vs Mataram
Sesungguhnya
tidak hanya Preanger (ucapan orang Belanda pada Priangan—dari Parahyangan),
suatu residentie yang berlabel Regetschappen, akan tetapi Residentie Preanger
Regentschappen adalah suatu residentie yang sangat khas karena faktor bupati
(regent). Bupati adalah terminologi kuno (di pulau) Jawa yang diadopsi
VOC/Belanda dalam penyusunan struktur pemerintahan lokal (penduduk asli). Bupati
membawahi kampong-kampong atau desa-desa. Untuk orang-orang Eropa/Belanda
dibentuk sistem pemerintahan sendiri yang mana sistem pemerintahan ini termasuk
di dalamnya struktur pemerintahan lokal. Kedalam sistem pemerintahan ini ditambahkan
sistem pemeritahan bagi pendatang yang memiliki komunitas sendiri dengan mengangkat
pimpinannya sebagai Capitein/majoor atau leutenant.
Seperti di wilayah pantai-pantai utara (pulau Jawa), di Preanger sistem
monarki telah lama mengalami pergeseran dan pemerintah VOC/Belanda mengadopsi keberadaan
sistem yang ada (misalnya Bupati). Yang tersisa dalam sistem monarki hanya di
wilayah kerajaan-kerajaan (vorstenlande) yang meliputi Jogjakarta dan Soeracarta.
Lain di Jawa, lain pula di Sumatra. Di wilayah Minangkabau awalnya
dipertahankan tetapi sistem monarki yang ada kemudian dilikuidasi Pemerintah
Hindia Belanda mengoptimalkan sistem nagari yang disatukan dalam sejumlah
laras. Di wilayah Batak/Tapanoeli tidak terdapat sistem monarki, yang ada
adalah satuan-satuan huta (kampong) yang membentuk harajaon (kesatuan adat)
yang kemudian diadopsi Pemerintah Hindia Belanda dengan membentuk sejumlah
koeria-koeria di Afdeeling Mandailing en Angkola dan sejumlah negeri-negeri di
Afdeeling Bataklanden (Silindoeng en Toba). Di Oost van Sumatra sistem monarki dihidupkan
dan dilestarikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mana sebagai leader adalah
Sultan Deli. Dibanding sistem-sistem pemerintahan tersebut, di wilayah Tapanoeli--daerah
yang tidak pernah memiliki sifat monarki--pemerintah Hindia Belanda tidak
menyertakan di dalam struktur pemerintahan. Sistem yang diterapkan di Tapanoeli
adalah bersifat dua lapis yakni struktur pemerintahan Eropa/Belanda dan sistem
pemerintahan lokal. Dalam hal ini, para koeria hanya semacam pemimpin
(koordinator) para kepala-keapala kampong (huta). Para koeria-koeria membentuk
kelembanggaan sendiri (permusyawaratn koeria). Lembaga ini tidak bisa diatur
pemerintah. Suara lembaga ini didengar, ketika pemerintah mengambil suatu
kebijakan/program. Ibarat pepatah, lain ladang, lain lubuk.
Sejak 1666
Pemerintah VOC mulai mengubah kebijakan yang sebelumnya melakukan pedagangan
longgar di (kota-kota) di pantai atau daerah aliran sungai menjadi kebijakan
baru dimana penduduk dijadikan subjek (inilah awal kebijakan koloni secara umum).
Korban pertama kebijakan ini adalah Perang Gowa yang mana Kesultanan Gowa
dilenyapkan (lalu muncul kota Oedjoeng Pandang kemudian menjadi Makassar).
Dengan modal ini, pemerintah VOC mulai menyasar kota-kota di pantai utara Jawa.
Perang dengan Mataram tidak terhindarkan. Situasi inilah yang kemudian
menyebabkan terjadi perubahan politik lokal di Preanger. Di Preanger, tuan
bergeser dari Mataram ke pemerintah VOC/Belanda.
Pada tahun 1687 Pemerintah VOC (di Batavia) mengirim satu ekspedisi ke
hulu sungai Tjiliwong. Rute ekspedisi yang dipimpin oleh sersan Scipio ini
mengambil start dari muara sungai Tjimandiri (kini Pelabuhan Ratoe). Ekspedisi
ini melalui wilayah yang kemudian disebut Soekaboemi dan akhirnya mencapai hulu
sungai Tjiliwong. Di titik persingungan terdekat sungai Tjiliwong dan sungai
Tjisadane tim ekspedisi ini membangun suatu benteng yang disebut Fort
Padjadjaran (kini lokasinya tepat di istana Bogor). Setelah adanya benteng ini
ekspedisi-ekspedisi mulai intensif dilakukan. Sejak inilah muncul gagasan awal menyatukan
seluruh wilayah yang pada tahap permulaan (prakondisi) membagi Preanger dari dua
arah dari barat (Prefectur Jacatrasche en Preanger) dan dari timur (Prefectur Chirebon
en Preanger). Pada tahun 1696 Residen Jacatrasche en Preanger ke boven Preanger
(lihat Daghregister 31 Oktober 1696). Pada tahun 1699 gunung Salak meletus yang
meratakan seluruh permukaan tanah di hulu sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane.
Interaksi ke pedalaman di Preanger dilakukan via timur (Chirebon) dan juga dari
tengah via Karawang. Baru pada tahun 1701 kembali dilakukan ekspedisi via barat
melalui sungai Tjiliwong yang dipimpin langsung oleh seorang pejabat tinggi VOC
Abraham van Riebeeck. Ekspedisi ini mencapai Preanger di Tjiandjoer. Pada tahun
1703 satu ekspedisi yang dipimpin Sergeant Theunis Helderman dari negorije
Datar (Tjiandjoer) ke Bandoeng (lihat Daghregister 1 Juni 1703). Disebutkan
bahwa di Bandoeng terdapat sebanyak 32 buah rumah. Dalam hal ini, (kampong)
Bandoeng tempat dimana pimpinan (Bupati) Bandoeng berada bukan Bandoeng yang
sekarang tetapi lebih ke selatan di muara sungai Tjikapoendoeng di sungai
Tjitaroem. Catatan: Prefectur Jacatrasche en Preanger kemudian (adakalanya) disebut
Preanger en Bataviase Bovenlanden.
Pada
tahun 1713 Gubernur Jenderal VOC melakukan kunjungan ke Tjiandjoer dan Bandong
(lihat Daghregister 7 Juli 1713). Boleh jadi inilah kunjungan pejabat tertinggi
VOC ke Preanger, suatu titik waktu yang menandai pentingnya wilayah Preanger di
mata VOC. District-district yang teridentifikasi adalah Soekapoera, Bandoeng,
Soemedang, Parakanmoentjang dan Limbangan (lihat Daghregister 22 September 1714).
Berdasarkan catatan Daghregister tahun 1715 dilakukan komunikasi yang intens
antara Batavia dan Tjiandjoer dalam penerbitan akta (perjanjian).
Nama Djampang sebagai nama suatu district di
daerah aliran sungai Tjimandiri paling tidak sudah dilaporkan pada tahun pada
tahun 1701 (lihat Daghregister 5 November 1701). Namun dalam perkembangannya diketahui
pemimpin Djampang tidak cooperative (lihat Dgahregister 1 April 1706).
Disebutkan bahwa Anga Nata pemimpin Djampang berhasil dilumpuhkan di rumahnya
di Djampang. Anga Nata masih sebagai pemimpin, hoofd van Djampang hingga tahun
1715 (lihat Daghregister 2 April 1715). Anga Nata pernah mengirim surat ke
pihak VOC tahun 1715 (lihat Daghregister 21 Mei 1715). Lalu Capitain
(lieutenenant) VOC Soeta Djaja dikirim ke Djampang. Dalam surat Soeta Djaja
menceritakan perilaku Anga Nata (lihat Daghregister, 2 Agustus 1715). Besar
dugaan Anga Nata telah melakukan perlawanan, atau paling tidak melakukan protes
terhadap VOC. Catatan: Anga diduga adalah nama gelar (Anga, Angabey, Ngabehi?).
Sejauh ini nama Djampang hanya satu kesatuan wilayah, belum terbentuk Djampang
Wetan dan Djampang Koelon (dan adanya pemekaran dengan terbentuknya Djampang
Tengah).
Pada
tahun 1724 kembali dibuat akta antara Batavia dan pemimpin Tjiandjoer (lihat
Daghregister 28 Februari 1724). Disebutkan dalam perjanjian pemimpin Tjiandjoer
adalah Aria Wiratanoe. Pada tahun 1739 dan tahun 1740 dilakukan penanam lada di
onderdistrict Djati Nagara, Tjilingsi, Klappa Noenggal, Tjipamingkis, Tjikarta
Nagara, Tjibalagoeng, Tjiandjoer dan Djampang.
Dari catatan ini diketahui Tjiandjoer dan Djampang
adalah dua district yang berbeda. Dalam hal ini dapat ditafsirkan bahwa wilayah
Soekaboemi yang sekarang adalah district Djampang. Besar dugaan bahwa adanya
pembangkangan pemimpin Djampang terhadap VOC/Belanda lalu jabatan Bupati Djampang
telah dihapuskan dan wilayah Djampang dimasukkan ke dalam wilayah Bupati
Tjiandjoer.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar