Kamis, 14 November 2019

Sejarah Sukabumi (36): Pidato Ir. Soekarno di Lapangan Merdeka Sukabumi 1 Maret 1951; Ide Bangun Hotel di Pelabuhan Ratu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Presiden Soekarno tidak hanya tanggal 31 Agustus 1952 ke Soekabumi, tetapi juga jauh sebelumnya. Tepatnya tanggal 1 Maret 1951. Kunjungan Ir. Soekarno tahun 1951 justru lebih penting dari kunjungannya yang lain. Pada tanggal 1 Maret 1951 Presiden Soekarno berpidato di Lapangan Merdeka sangat herois: ‘Sebelum tanggal 1 Januari 1952 Belanda harus mengembalikan Irian kepada Indonesia’ Demikian inti pidato Presiden Soekarno. Itulah pidato berapi-api Ir. Soekarno di tengah lautan massa di Lapangan Merdeka Soekaboemi tanggal 1 Maret 1951.

Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 02-03-1951
Ir. Soekarno adalah seorang nasionalis sejati yang sangat senang berkunjung ke kampong halaman teman-teman seperjuangannya. Ketika Partai Indonesia didirikan pada tahun 1932 Ir. Soekarno berkunjung ke Sibolga dan Padang Sidempoean (lihat (De Sumatra post, 13-05-1932). Ir. Soekarno juga ke Soekaboemi. Kunjungan Ir. Soekarno ke tiga kota itu tidak hanya urusan sosialisasi Partai Indonesia tetapi karena Padang Sidempoean adalah kampong halaman Amir Sjarifoeddin Harahap dan Soekaboemi adalah kampong halaman Raden Sjamsoedin. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Raden Sjamsoedin adlaah pengurus teras Partai Indonesia. Kunjungan ulang ke Soekaboemi baru terjadi kembali pada bulan Oktober 1945 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 17-10-1945). Setelah kunjungan ke Soekaboemi pada Agustus 1952 Presiden Soekarno berkunjung ke Padang Sidempoean (lihat De nieuwsgier, 19-03-1953).    

Yang menjadi pertanyaan, apa yang menyebabkan Presiden Soekarno berkunjung ke Soekaboemi pada tanggal 1 Maret 1951? Yang jelas hanya kunjungan 31 Agustus 1952 yang tercatat dalam sejarah Sukabumi. Lalu bagaimana dengan tanggal 1 Maret 1951. Apa pentingnya Presiden Soekarno menyegerakan berkunjung ke Sukabumi? Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Soekaboemi 1 Maret 1951

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemegang portofolio tertinggi di Soekaboemi adalah Mr. Raden Sjamsoedin. Namun umurnya tidak panjang, Mr. Raden Sjamsoedin dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 1950 dalam usia yang masih muda 42 tahun. Para Republiken Soekaboemi kehilangan tokoh sentral pejuang Indonesia asal Soekaboemi. Tentu saja Ir. Soekarno kehilangan Mr. Sjamsoedin. Sayang tidak ada pengganti (suksesi) Mr. Raden Sjamsoedin. Bagi Ir. Soekarno sosok Mr. Raden Sjamsoedin adalah menara tunggal di Soekaboemi.

Ir. Soekarno juga kehilangan kawan lama Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, meninggal tahun 1948. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah Perdana Menteri RI yang ketiga (7 Juli 1947-29 Januari 1948). Pada periode ini Mr. Raden Sjamsoedin adalah salah satu Wakil Perdana Menteri. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah teman kuliah Mr. Raden Sjamsoedin ketika studi di Rechthooges School di Batavia. Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan pemerintah Belanda tahun 1930, lalu dibentuk Partai Indonesia. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Raden Sjamsoedin yang sama-sama masih kuliah adalah pengurus teras Partai Indonesia. Raden Sjamsoedin salah satu sekretaris Partai Indonesia sedangkan Amir Sjarifoeddin Harahap adalah Ketua Cabang Batavia Partai Indonesia.  

Pada tanggal 22 Februari 1951 di Istana Merdeka diadakan perayaan Maulid Nabi. Dalam pidatonya pada perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, Presiden mengungkapkan mulai berpikir tentang Irian (lihat Nieuwe courant, 02-01-1951). Tentu saja menurut Presiden masih ada satu masalah yang tersisa tentang luar negeri sementara masih banyak persoalan dalam negeri yang harus diatasi. Satu masalah luar negeri itu adalah soal Irian yang belum diserahkan oleh Belanda (dan mungkin tidak akan diserahkan Belanda).

Pengajuan Belanda terhadap kedaultan Indonesia berlaku sejak 27 Desember 1949 (hasil perjanjian KMB). Dalam perjanjian ini disebutkan Irian akan diserahkan kemudian. Sudah barang tentu Presiden paham niat bulus Belanda, karena pengakuan Belanda terhadap Indonesia melalui RIS (bukan RI). Sebab RI Serikat, kenyataannya serikatnya lebih banyak dari RI-nya. Serikat-serikat itu adalah negara-negara bentukan Belanda (negara boneka) seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur dan Negara Pasundan. Lalu dalam perkembangannya, Republik Indonesia di Jogjakarta (Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim Harahap) dan para Republiken di Negara Sumatra Timur (NST) yang dipimpin Dr. Djabangoen Harahap tidak puas dengan RIS dan ingin kembali ke negara kesatuan RI (NKRI). Lalu mulai digalang referendum di NST: NKRI atau NST. Reaksi di NST ini menjadi efek domino untuk negara-negara bagian yang lain. Memahami eskalasi politik yang terjadi Negara Pasoendan membubarkan diri sendiri dan menyatakan kembali ke NKRI. Ketika pentolan-pentolan NST datang ke Djakarta untuk menemui Perdana Menteri Mohamad Hatta (yang pro-RIS). Mereka meminta Mohamad Hatta niat para Republiken itu di NST dihambat. Saat-saat inilah Negara Pasoendan dan Negara Jawa Timur layu sebelum berkembang alias. Pertarungan politik di NST akhirnya mencapai puncaknya dimana para Republiken menang dalam referendum. Presiden Soekarno mulai tersenyum (sebaliknya Mohamad Hatta mulai garuk-garuk kepala. Pasca referendum di NST ini semboyan Bubarkan RIS dan Kembali ke NKRI semakin menggelinding kemana-mana. Akhirnya Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950 mendukung NKRI dan pada tanggal 18 Agustus 1950 diproklamasikan NKRI. Tamat sudah RIS. Elemen-elemen Belanda di dalam pemerintahan RIS secara perlahan-lahan pulang kembali termasuk para ahli/penasehat dan pasukan KNIL. Para elit RIS yang mendukung habis Belanda sejak dibentuknya negara-negara bagian mati langkah. Saat inilah para Republiken dan para TNI termasuk di Soekaboemi berdiri tegak. Melihat situasi dan kondisi inilah Presiden Soekarno pada saat perayaan Maulid Nabi di Istana Merdeka mulai berpikir tentang Irian (karena urusan RIS sudah selesai). Ibarat dalam permainan catur, Soekarno mulai Skak! Sebaliknya mudah ditebak, Belanda kebakaran jenggot (Belanda hanya mengakui RIS dan tidak pernah mengakui RI).   

Upaya ‘merebut’ Irian yang dicanangkan Presiden Soekarno menjadi bola panas yang membuat gerah Belanda dan negara-negara lain yang memihak Belanda. Pada saat inilah Amerika Serikat menunggu di tikungan ketika ‘perang opini’ antara Belanda dan (Republik) Indonesia di dalam balapan. Dalam permainan catur politik internasional ini Presiden Soekarno mengagendakan kunjungan ke Manila (Filipina). Suatu kunjungan strategis. Akhirnya Presiden Soekarno berangkat ke Manila tanggal 29 Januaru 1951. Menjelang keberangkatan Presiden Soekarno ke Manila datang misi dari Burma.

Indonesia, Filipina dan Burma adalah negara-negara Asia Tenggara yang secara defacto telah berhasil mengusir penjajah. Indonesia mengusir Belanda dengan membubarkan RIS; Filipina telah mengusir Amerika Serikat; dan Burma telah mengusir Inggris. Malaya, Singapoera belum merdeka (masih di bawah kekuasaan Inggris), sementara Muang Thai dalam posisi wait en see.

Di dalam negeri, beberapa hari sebelumnya Sultan Djogja melakukan kunjungan ke Djawa Timoer. Kunjungan Sultan Djogja ke Djawa Timoer adalah suatu strategi dalam negeri untuk memperkuat persatuan (NKRI) setelah Negara Djawa Timoer dibubarkan.

Sultan Djogja tentu saja tidak perlu mengunjungi Sumatra Timur, sebab beberapa waktu sebelumnya wilayah (Residentie) Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur telah disatukan menjadi satu provinsi: Provinsi Sumatra Utara. Gubernur pertama dilantik pada tanggal 25 Januari 1951. Siapa yang menjadi Gubernur Sumatra Utara mudah ditebak yakni seorang Republiken yang memiliki portofolio tertinggi yakni Abdul Hakim Harahap (mantan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta). Sudah barang tentu keberadaan Abdul Hakim Harahap di Sumatra Utara sudah cukup. De vrije pers: ochtendbulletin, 05-02-1951  

Di Manila, Presiden Soekarno berpidato berap-api. Tentu saja disambut antusias dan tepuk tangan untuk Presiden Soekarno. Presiden Soekarno menginisiasi perlunya konferensi Asia (timur vs barat). Tidak hanya itu, Presiden Soekarno di Manila juga diakui dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari dunia pendidikan (University of Manila) dan medali tertinggi dari pemerintah Filipina. Dari Manila Presiden Filipina akan segera ke Indonesia untuk kunjungan balasan. Sepulang dari Filipina, Presiden Soekarno beristirahat di Istana Tjipanas (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-02-1951). Setelah cukup istirahat, Presiden Soekarno mulai melirik eks Negara Pasoendan. Catatan: Hanya tiga negara federal yang memiliki pengaruh besar dalam negara RIS yakni Negara Sumatra Timur, Negara Djawa Timoer dan Negara Pasoendan.

Ide NKRI: Jogjakarta, Medan, Djakarta, Manila, Soekaboemi
Nieuwe courant, 23-02-1951: ‘Presiden akan mengunjungi Soekaboemi. Presiden Soekarno akan melakukan kunjungan resmi ke Soekaboemi pada tanggal 26 Februari 1951. Presiden akan berpidato di pertemuan massa di Lapangan Merdeka di pagi hari, pada satu sore mengunjungi pameran di Balai Kota dan pada malam hari menyelenggarakan resepsi untuk perwakilan tentara, polisi, pemerintahan, partai dan perwakilan’. Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 23-02-1951 juga mencatat bahwa Presiden Soekarno setelah di Kota Soekaboemi, keesokan harinya ke Pelaboehan Ratoe dan setelah itu Presiden akan mengikuti parade lagi pada tanggal 28 Februari di Sekolah Polisi di Sukabumi, sebelum kembali ke Djakarta.

Lantas mengapa yang dipilih Soekaboemi? Mengapa tidak mendahulukan ke Bandoeng, Tjiandjoer, Soemedang, Limbangan/Garoet? Apakah karena semata-mata ingin menghormati Mr. Raden Sjamsoedin, asli Soekaboemi yang belum lama ini telah mendahului, menghadap Allah SWT? Tentu saja tidak hanya itu, juga ingin bertemu langsung para Republiken Soekaboemi dan TNI (termasuk Polri) dan banyak faktor lainnya.

De locomotief, 12-10-1949
Wilayah Soekaboemi terutama bagian selatan yang berbatasan dengan wilayah Banten adalah pusat perjuangan Republik (Republiken dan TNI), suatu wilayah perjuangan yang berhadapan langsung dengan militer Belanda (KNIL) pada era Negara Pasoendan. Pasca gencatan senjata, jelang KMB, kegiatan TNI di Negara Pasoendan dipusatkan di Soekaboemi. Peringatan Hari TNI pada tanggal 5 Oktober 1949 bahkan diadakan di aloon-aloon Kota Soekaboemi yang saat itu panglima Siliwangi Kolonel Abdul Haris Nasution bertindak sebagai komandan upacara (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-10-1949). Pada upacara itu juga turut dihadiri oleh komandan KNIL.Tepat sehari pengakuan Belanda terhdap kedaulatan Indonesia (hasil perjanjian KMB), tanggal 28 Desember Presiden Soekarno pindah dari Jogjakarta ke Djakarta. Presiden Soekarno di Djakarta disambut oleh Soeltan Djogja dan Kolonel TB Simatupang (dua pemimpin utama yang menerima plakat serah terima kedaulatan dari Belanda). Lalu pada tanggal 3 Januari 1950, (Presiden) Soekarno telah menunjuk dan mengumumkan mantan panglima Republik Letnan Jenderal Sudirman menjadi Kepala angkatan perang Indonesia dan Kolonel Simatupang sebagai Wakil Kepala serta Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf (lihat Het Parool, 03-01-1950).

Rencana Presiden Soekarno ke Soekaboemi kemudian sedikit mengalami perubahan (lihat Sukabumi Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode,   24-02-1951). Disebutkan Presiden Soekarno tidak melakukan kunjungan resmi ke Sukabumi pada 26 Februari, tetapi pada 1 Maret. Untuk tujuan ini, Presiden akan berangkat dari Djakarta ke Tjipanas pada tanggal 28 Februari, dari mana Presiden akan melakukan perjalanan ke Soekabumi dengan mobil pada hari berikutnya. Program perjalanan ke Soekaboemi dan Pelaboean Ratoe di Wijnkoopsbaai tetap tidak berubah. Dalam perjalanan kembali, Presiden Sukarno akan mengunjungi Tjiandjoer dimana Presiden akan, antara lain, memberikan pidato.

Pada hari Rabu, 28 Februari 1951 berangkat dari Istana Merdeka Djakarta (lihat De nieuwsgier, 01-03-1951). Disebutkan Presiden Soekarno meninggalkan Istana Merdeka pada hari Rabu sore pukul 2 untuk kunjungan resmi ke berbagai tempat di Djawa Barat. Hari pertama dalam tiga hari kunjungan ini rombongan ke tempat kediaman kepresidenan di Tjipanas. Residen Bogor mengunjungi setibanya di resor pegunungan. Di malam hari, tarian rakyat ditampilkan di galeri depan kediaman. Presiden Soekarno memberikan pidato singkat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, Pada Kamis pagi ini, rombongan berangkat ke Soekabumi, dimana Presiden akan berpidato pada pertemuan massa.

Dalam kunjungan Presiden Soekarno ke Soekaboemi tanggal 26 Februari 1951 didampingi oleh Kepala Angkatan Perang RI Jenderal TB Simatoepang dan Kepala Staf Majoor Jenderal Abdul Haris Nasution.

Sebagaimana diketahui Jenderal Soedirman telah tiada, meninggal pada tanggal 29 Januari 1950. Juga diketahui Mr. Raden Sjamsoedin dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 1950.

Pada pukul 6.30 Presiden Soekarno dan rombongan berangkat dari istana Tjipanas menuju Soekaboemi (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 02-03-1951). Sepanjang perjalanan penduduk berdiri berbaris di sepanjang jalan mengelu-elukan Presiden Soekarno dan rombongan dengan membawa bendera merah putih di tangan dan banyak gerbang kehormatan telah didirikan (di setiap tempat yang dilewati). Sesampai di Kota Soekaboemi di sekitar Lapangan Merdeka massa sangat membludak dari sudut ke sudut. Diantara massa ada yang membawa berbagai spanduk, beberapa di antaranya terkait dengan klaim ke Irian Barat. Di panggung, sebelum Presiden Soekarno berpidato, didahului oleh pidato regent (Bupati) van Soekaboemi Widjajasoerja dan pidato Kepala Dinas Penerangan Djawa Tengah R Sutarjo. Lalu Presiden Soekarno berpidato yang disampaikan dalam bahasa Sunda.

Dalam pidato Presiden Soekarno secara garis besar sebagai berikut: ‘..Cita-cita politik dan sosial kita belum tercapai... bahwa Irian akan kembali ke Indonesia sebelum 1 Januari 1952 jika rakyat benar-benar satu, tidak hanya dalam keinginan untuk melakukannya, tetapi juga dan terutama dalam kesatuan dalam perbuatan... Kita lebih beruntung daripada India, yang harus dibantu dengan 2 juta ton biji-bijian dari Amerika Serikat. Meskipun kita harus mengencangkan perut lebih ketat, tidak ada masalah kelaparan dengan kita... perlunya memberi substansi pada kemerdekaan yang dicapai melalui kerja yang mantap dan bersama. Setiap orang harus berkontribusi pada perkembangan negara...Saya sadar ada perbedaan pendapat di Sukabumi tentang kegunaan perjanjian KMB. Saya meminta Anda untuk tidak melupakan persatuan. Tidak seorang pun dari Anda akan sepenuhnya setuju dengan perjanjian KMB, tetapi harus dilihat sebagai jalan yang mengarah ke tujuan akhir kita. Jalan itu ditunjukkan oleh rute baru yang mengarah dari Banka (KMB) melalui kembalinya ke Jogja (RI) dan dari KMB ke pemindahan kemerdekaan (NKRI)...Tidak ada independensi (dalam perjanjian KMB) sehingga tidak diikuti...kebebasan berarti tanggung jawab dan bahwa tidak ada orang selain orang Indonesia itu sendiri. bertanggung jawab jika kemerdekaan belum sempurna...kita tidak layak kemerdekaan jika kita tidak berani memikul tanggung jawab...Kepada mereka yang menentang perjanjian KMB, saya ingin bertanya: Apakah kemerdekaan telah tercapai jika rute baru ini tidak diikuti? Akankah tentara Belanda sekarang benar-benar menghilang dari Indonesia? Mereka kemudian berkata: Mari kita lanjutkan perjuangan. Maka jawaban saya adalah bahwa ekonomi perjuangan harus diperhitungkan, dan itu diturunkan dengan kata-kata pendek (yakni) mencapai tujuan dalam waktu sesingkat mungkin dengan hasil sebesar mungkin. Apa yang telah kita capai sejauh ini harus digunakan sebagai modal untuk melanjutkan perjuangan kita...Saya selalu mengatakan kepada Anda bahwa Indonesia harus menjadi negara yang berperang (menyindir masih adanya orang-orang yang memanggul senjata). Saya tidak pernah mengatakan bahwa perjuangan kami telah berakhir. Baik cita-cita politik kita tidak lengkap maupun cita-cita sosial kita. Yang terakhir hanya bisa dicapai melalui upaya bersama... di Jepang ada Kinro-hoshi (kerja bersama), mengapa kita tidak harus mengikuti contoh ini walaupun itu adalah bahasa Jepang?... bahwa tidak adanya kapitalisme belum berarti adanya keadilan sosial...Di masa lalu tidak ada kapitalisme dan belum ada keadilan sosial...bahwa produksi adalah kondisi yang diperlukan untuk keadilan sosial. Harus ada sarana yang cukup untuk membuat hidup menyenangkan. Itulah sebabnya produktivitas tenaga kerja kita harus ditingkatkan dan upaya kita untuk melakukannya harus serius, sejauh ini belum melampaui 40% dari tingkat sebelum perang dan jika negara kita ingin tumbuh dewasa, regenerasi moral harus dilakukan...(kepada pemuda) bahwa suatu bangsa tanpa cita-cita akan lenyap. Terutama kaum muda, harapan bangsa, tidak hanya cita-cita yang menggantungkan cita-cita seringgi bintang-bintang tetapi juga harus bekerja untuk meraih itu. Biarkan cita-cita kita menjadi Indonesia yang besar dan makmur. Setiap pekerjaan yang dilakukan dengan cita-cita ini dalam pikiran adalah terhormat. Jika perlu, jadilah pekerja jalanan dan bukan parasit. Terserah Anda, anak muda, untuk membuat bendera Indonesia dikenal di seluruh dunia...

Pada sore hari, rombongan kepresidenan mengunjungi tenda (pameran) produk industri dan pertanian. Pada Kamis malam diadakan sebuah resepsi yang dihadiri oleh perwakilan partai politik, pejabat dan otoritas militer dan perwakilan perdagangan dan perusahaan. Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-03-1951 mencatat bahwa hari ini (Jumat) Presiden Soekarno akan melakukan kunjungan ke pembangkit listrik tenaga air Ubrug. Perjalanan Presiden Soekarno ke Sukabumi bagian selatan yang pertama ke Ubrug (Warung Kiara) lalu makan siang di pesanggrahan Karang Awu. Selama di selatan Sukabumi ini Presiden menyampaikan pidato di Ubrug, Pelabuhan Ratu, Karang Awu dan Tjibadak.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-03-1951
Ketika Presiden Sukarno berpidato kepada penduduk kota pesisir Pelabuhan Ratu pada hari Jumat sore sebelum ke pasanggrahan yan Karanghawu, Presiden Soekarno memandang Samudera Hindia untuk kedua kalinya dalam hidupnya. Pertama kali adalah 18 tahun yang lalu, katanya kepada audiens. Dia kemudian tinggal di pasanggrahan yang sama untuk memulihkan penyakit. Dia dibebaskan sebagai tahanan politik dan selama masa tinggal disini saya bertanya-tanya kapan laut yang saya nantikan ini akan disebut Samudera Indonesia dan bukan Samudera Hindia. Dunia nyaris tidak mengenal negara kita. Nama negara kita sekarang telah dikenal sebagai Indonesia  yang telah memperoleh kemerdekaan dan saya adalah presiden negara di tempat tahanan politik.
..
Dalam perjalanan pulang dari selatan Soekaboemi ini ke Soekaboemi kadang-kadang Presiden Soekarno duduk di atas kap jip yang melewati penduduk desa utama yang telah mendirikan semua jenis hiasan bunga dan gerbang kehormatan. Selanjutnya Presiden melanjutkan perjalanan ke Tjiandjoer dan tiba pada sore hari di Tjiandjur yang sepanjang jalan sorakan yel-yel merdeka.

Soekarno, Inggit dan Ratna (H courant, 20-01-1932)
Pada hari Sabtu pagi sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-03-1951 Presiden Soekarno berpidato di aloon-aloon Tjiandjoer. Menurut Bupati Tjinadjoer Achmad Suriadikusuma yang disampaikan kepada Presiden Soekarno banyak warga dari desa-desa di Pantai Selatan sudah mulai berjalan delapan puluh kilometer sejak hari Kamis.

Itulah berbagai alasan kunjungan Presiden Soekarno ke Soekaboemi. Satu hal yang perlu dicatat kunjungan ke selatan Sukabumi ini menjadi napak tilas Presiden Soekarno saat mana pernah tahun 1933 di Pelabuhan Ratu dan berpikir kapan nama Samudara Hindia menjadi Samudra Indonesia. Lantas apakah dari renungan Soekarno ini yang menjadi gagasan pembangunan hotel mewah di Pelabuhan Ratu dengan nama Samudra Beach Hotel?

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar