*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini
Kota Sibolga adalah kota tua. Sebelum terbentuk kota Medan, kota Sibolga sudah eksis sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Kota Sibolga dibangun pada tahun 1842 sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Penetapan Sibolga sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli, bersamaan dengan penetapan Panjaboengan sebagai ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola. Residen Tapanoeli berkedudukan di Sibolga dan Asisten Residen Mandailing en Angkola berkedudukan di Panjaboengan. Tempat kedudukan pejabat tertinggi di suatu wilayah menjadi ibu kota (hoofdplaat). Pada tahun 1870 ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli dipindahkan ke Padang Sidempoean.
Kota Sibolga adalah kota tua. Sebelum terbentuk kota Medan, kota Sibolga sudah eksis sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Kota Sibolga dibangun pada tahun 1842 sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli. Penetapan Sibolga sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli, bersamaan dengan penetapan Panjaboengan sebagai ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola. Residen Tapanoeli berkedudukan di Sibolga dan Asisten Residen Mandailing en Angkola berkedudukan di Panjaboengan. Tempat kedudukan pejabat tertinggi di suatu wilayah menjadi ibu kota (hoofdplaat). Pada tahun 1870 ibu kota Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli dipindahkan ke Padang Sidempoean.
Ibu Kota Pantai Barat di Pulau Pocan (1821) dan Kota Sibolga (1867) |
Bagaimana sejarah Kota
Sibolga? Tentu saja belum pernah ditulis secara komprehensif. Apa hebatnya
sejarah Kota Sibolga? Itulah hebatnya. Tidak jauh dari Kota Sibolga yang
sekarang di sebuah pulau, Pontjan Ketjil pernah menjadi pos perdagangan penting
di wilayah Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) pada era Inggris. Tidak
jauh pula dari Sibolga terdapat kota Barus, kota kuno. Dalam hal ini seperti
dapat dibaca dalam blog ini, penulisan sejarah Kota Sibolga adalah bagian dari rangkaian
penulisan sejarah kota-kota di Indonesia seperti serial artikel sejarah
Jakarta, Semarang, Soerabaja, Padang, Medan, Bandoeng dan lainnya. Untuk
memulai memahami sejarah Kota Sibolga, seperti kota yang lainnya kita perlu
menelusuri sumber-sumber tempo doeloe. Mari kita mulai menyusun sejarah Kota
Sibolga dengan artikel pertama.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Pulau Poncan dan Ibu Kota Wilayah Pantai Barat
Sumatra: Baroes dan Angkola
Sebelum memulai menyusun
sejarah Kota Sibolga haruslah dimulai dengan memahami terlebih dahulu Pulau
Poncan (Pulo Pontjan Ketjil). Hal ini karena kota Sibolga belum terbentuk
ketika Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan di Pantai Barat Sumatra
(Sumatra’s Westkust). Pada tahun 1821 pemerintah menempatkan seorang Asisten
Residen di (kampong) Tapanoeli. Ini menandai ibu kota wilayah Pantai Barat
Sumatra kali pertama di Tapanoeli (sebelum dipindahkan ke kota Padang).
Pemerintah Hindia Belanda dibentuk pada tahun 1800
(suksesi VOC/Belanda). Ketika perhatian pemerintah baru terbatas di Jawa,
terjadi pendudukan militer Inggris tahun 1811. Gubernur Jenderal Daendels
digantikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Raffles. Namun pendudukan Inggris
berakhir tahun 1816 dan kembali digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Bengkoeloe yang sudah sejak lama menjadi benteng Inggris tidak termasuk yang
dikuasai Belanda. Pada tahun 1819 Pemerintah Hindia Belanda mulai memperluas
pemerintahan ke Pantai Barat Sumatra. Namun persoalannya, pengaruh Inggris di
Pantai Barat Sumatra masih kuat. Bahkan pedagang-pedagang Inggris masih
beraktivitas di Padangsche.
Pada tahun 1819 Belanda
berhasil mengambil alih propertinya di sejumlah tempat termasuk Padang. Pada
tanggal 17 Mei 1819 Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air
Bangies dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 1820. Residentie Natal dibebaskan
tanggal 17 Oktober 1820. Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih
wilayah dan properti VOC/Belanda tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal
dan Tapanoeli termasuk kantor di Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara
keseluruhan baru terbebaskan (kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921
berdasarkan Resolutie Gouverneur Generaal. Sejak inilah Pemerintah Hindia Belanda
mulai menata pemerintahan di Sumatra’s Westkust. Situasi kondisi inilah yang
menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1821 menempatkan Asisten
Residen di Tapanoeli. Posisi Tapanoeli sendiri agak jauh dari posisi Inggris di
Bengkoeloe (untuk menghindari gesekan).
Untuk mengurangi ketegangan diantara Belanda
dan Inggris, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda melakukan perjanjian di
London pada tahun 1824 (yang disebut Traktat London). Satu keputusan terpenting
dari perjanjian ini adalah dilakukan tukar guling antara Bengkoelo (Inggris)
dan Malaka (Belanda). Dengan demikian seluruh wilayah Sumatra di bawah pengatuh
Belanda dan seluruh wilayah Semenanjung di bawah pengaruh Inggris. Sejak
perjanjian tahun 1824 inilah pusat pemerintahan Hindia Belanda direlokasi dari
Tapanoeli ke Padang.
Singkel, Baros, dan Padang sudah berada di bawah
kekuasaan Belanda (dengan membangun pos perdagangan yang berpusat di benteng). Namun
dalam perkembangannya, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat
persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan
lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Lalu Belanda bereaksi dengan
mengirim utusan dari Malaka (Belanda) ke Kerajaan Pagaroejoeng pada tahun 1684
untuk melakukan kerjasama. Pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara
Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke Bengkulu 1686. Pada tahun 1693 VOC/Belanda
diketahui membuat kontrak dengan Raja Baros, untuk berbagai kebutuhan pokok. Pada
fase inilah diketahui terjadi hubungan yang intens antara Angkola dan Baros. Jarak
antara Angkola dan Baros ditempuh dengan jalan darat selama 11 hari. Keterangan
dapat dilihat pada laporan seorang Tionghoa yang selama 10 tahun berada di
Angkola 1693-1703 yang dicatat pada catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister)
1703..
Dalam perkembangannya, Inggris memprovokasi Kesultanan
Atjeh agar Baros tetap independen. Tidak diketahui hasilnya apa. Yang jelas,
lambat laun Belanda mundur ke Air Bangies dengan pusat di Padang. Belanda juga
memperluas ke Indrapoera dan pantai selatan Palembang (Lampong). Di pihak
Inggris ingin Padang dan Bengkulu disatukan. Untuk memperkuat pertahanan
Inggris di Pantai Barat Sumatra, pada tahun 1714 benteng Malborough dibangun di
Bengkulu. Penetrasi Inggris di Bengkulu memunculkan pemberontakan penduduk pada
tahun 1719 (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Hubungan Angkola dan Baroes
kembali dilaporkan pada tahun 1772 ketika seorang Botanis Inggris Charles
Miller melakukan ekspedisi ke wilayah Angkola hingga ke Batang Onang (Padang
Lawas). Ekspedisi ini dimulai dari Pulo Pontjan Ketjil dan kembali ke pulau
tersebut lagi. Keterangan ini mengindikasikan bahwa Inggris membangun pos
pedagangan (benteng) di Pulo Pontjan Ketjil.
Situasi dan kondisi di Pantai Barat Sumatra kurang
terinformasikan, lebih-lebih setelah kekuatan Prancis semakin menguat dan
berhasil melumpuhkan Batavia (Belanda) pada tahun 1795. Sementara itu kinerja
VOC/Belanda lambat laun semakin menurun hingga akhirnya VOC/Belanda digantikan
oleh Pemerintah Hindia Belanda (di bawah kekuasan Napoleon/Prancis).
Pembentukan Pemerintahan di Tapanoeli: Perang Bondjol
(1837) dan Perang Pertibi (1838)
Sebelum dibentuk Residentie Tapanoeli,
Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah terbentuk lebih dahulu. Pembentukan
Residentie Tapanoeli bermula ketika wilayah pemerintahan Hindia Belanda
diperluas ke utara dengan menempatkan Controleur LA Galle pada tahun 1843 di Tapanoeli
sebagai bagian dari Residentie Air Bangis.
Pada tahun 1843 wilayah utara dipisahkan dari Residentie
Air Bangis dan kemudian dibentuk menjadi Residentie Tapanoeli. Sebagai pejabat
pelaksana Residen diangkat Majoor Alexander van der Hart (lihat Dagblad van 's Gravenhage, 25-12-1843). Majoor
Alexander van der Hart adalah anak buah kesayangan dari Kolonel AV Michiels.
Pada saat Perang Padri, Kapten A van der Hart adalah orang yang memimpin ke
jantung pertahanan Padri di dalam Benteng Bondjol.
Dagblad van 's Gravenhage, 25-12-1843 |
Pada tahun 1829 pejabat tertinggi di Sumatra’s Westkus
adalah seorang Residen berkedudukan di Padang. Dalam hal ini struktur
pemerintahan di wilayah Pantai Barat
Sumatra (Sumatra’s Westkust) baru berpangkat Resident dengan dibantu tiga
asisten residen masing-masing di Padang, Zuidelijke afdeeling dan Benkoelen
yang berkedudukan di Padang. Ini berarti wilayah Benkoelen masuk Sumatra’s
Westkust dan wilayah Tapanuli yang sekarang, belum disebut sebagai bagian dalam
sistem pemerintahan Belanda di Sumatra’s Weskust sejauh ini. Lalu terjadi
perlawan Padri. Benteng (perang) Bondjol berhasil dilumpuhkan militer Belanda
pada tahun 1937 dengan menangkap Tuanku Imam Bondjol. Lalu pada tahun 1838
seluruh wilayah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas berhasil dibebaskan
setelah berakhirnya Perang Pertibi (Tuanku Tambusai menghilang). Pada tahun
1839 Afdeeling Mandailing dan Angkola dibentuk sebagai bagian dari Residentie
Air Bangis (yang dipimpin oleh LA Galle).
Pada tahun 1844 Afdeeling Mandailing dan
Angkola dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke
Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1845 Afdeeling Natal dipisahkan dari
Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Pada
tahun 1845 jabatan Alexander van der Hart diformaslkan menjadi Residen seiring
dengan kenaikan pangkatnya dari Majoor menjadi Luitenant Colonel. Bersamaan
dengan dipisahkannya Afdeeling Natal, Residentie Air Bangis dilikuidasi dan
dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden (yang beribukota di Padang).
Pembangunan Kota Sibolga
Pembangunan kota Sibolga dan kota Padang Sidempoean
bersamaan pada tahun 1842. Ini dimulai ketika militer mulai bekerja membangun
kota sebelum ditempatkan Controleur di Sibolga dan Controleur di Padang
Sidempoean (onderdistrict Angkola) pada tahun 1843. Selama pekerjaan proyek
garnisun militer yang sebelumnya berada di (kampong) Tapanoeli dipindahkan ke
Sibolga dan garnisun militer di Pidjor Koling dipindahkan ke Padang Sidempoean.
Pada saat terjadi pengepungan Daloe-Daloe (pusat Tuanku
Tambusai) 1838, didirikan garnisun militer di Kotanopan, Panjaboengan, Pidjor
Koling, Pertibi dan Tapanoeli. Pos-pos militer pembantu didirikan di Siaboe dan
Loeboek Raja. Benteng hanya terdapat di Panjaboengan (Fort Elout), Rao dan Natal.
Garnisun militer di Tapanoeli ini kemudian dipindahkan ke Sibolga dan garnisun
militer di Pidjor Koling dipindahkan ke Padang Sidempoean,
Pada tahun 1846 datang utusan Raja Belanda Jenderal
von Gagern ke Tapanoeli yang didampingi oleh Gubernur Province Sumatra’s
Westkust AV Michiels. Kedatangan utusan ini dalam rangka untuk meninjau situasi
dan kondisi di wilayah Tapanoeli pasca Perang Pertibie (pusat pertahanan di
Pertibie dalam perang melumpuhkan Tuanku Tambusai di Daloe-Daloe). Kunjungan
ini adalah kali pertama Gubernur Michiesls ke Tapanoeli setelah menjabat
Gubernur pada tahun 1838.
Rute yang ditempuh oleh rombongan utusan Raja dan
Gubernur adalah Fort de Kock, Loeboek Sikaping, Rao, Kotanopan, Panjaboengan,
Siaboe dan Padang Sidempoean. Sebelum rombongan tiba di Padang Sidempoean sudah
lebih dahulu Residen van der Hart tiba di Padang Sidempoean. Dari dua hari yang
direncanakan di Padang Sidempoean diperpanjang menjadi empat hari. Utusan Raja
selama di Padang Sidempoean selain memeriksa garnisun militer, rumah sakit dan
apotik juga berkesempatan berburu rusa di utara Batoenadoea. Itulah sebab
mengapa ada perubahan jadwal dua hari menjadi empat hari. Setelah dari Padang
Sidempoean, rombongan menuju Sibolga dan selanjutnya dengan kapal layar ke
Padang. Tidak dijelaskan berapa lama rombongan berada di Sibolga.
Seperti halnya kota Padang Sidempoean dibangun
di dekat kampong Sidempoean, kota Sibolga dibangun di area kosong di dekat kampong
Sibolga di daratan dekat pantai berhadapan langsung dengan Pulau Pontjan Ketjil
(lihat Gambar 1846). Kota baru Sibolga ini berpusat pada gedung kantor/rumah
Residen Tapanoeli (A van der Hart). Bangunan-bangunan lainnya di sekitar adalah
kantor/rumah sekretaris Residen, garnisun militer, rumah sakit/apotik dan
kantor/rumah commies/pakhuis. Itulah awal mula kota Sibolga.
Peta 1835 |
Demikianlah sejarah awal
Kota Sibolga, kota yang awalnya dibangun sebagai ibu kota Residentie Tapanoeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar