Sabtu, 18 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (34): Ni Hoe Kong, Konglomerat Asal Cina Pertama; Ini Lho Konglomerat Tionghoa Sejak Era VOC


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam daftar orang-orang terkaya (konglomerat) Indonesia dewasa ini hampir seluruhnya adalah orang Tionghoa. Tentu saja tidak di Indonesia tetapi juga ditemukan di Hong Kong, Taiwan dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Mereka ini bukan warga negara Cina tetapi sudah menjadi warga negara setempat. Aset mereka yang besar telah mengikat mereka menjadi warga negara tempatan. Di Indonesia (baca: Hindia) orang Cina pertama terkaya adalah Ni Hoe Kong.

Ni Hoe Kong adalah orang terkaya pertama di Hindia pada era VOC. Ni Hoe Kong tinggal di Batavia. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa yang muncul sebagai konglomerat semakin bertambah di berbagai tempat seperti di Soerabaja, Semarang dan Medan. Mereka yang berbasis di Hindia (Belanda) dan Semenanjung termasuk Singapoera (Inggris) ini terhubung dengan Tiongkok karena mereka memiliki dua kewarganegaraan (Tiongkok dan Belanda/Inggris). Hal ini karena waktu itu masih menganut sistem bertatanegara diizinkan untuk memiliki dua kewarganegaraan.   

Siapa Ni Hoe Kong dan bagaimana Ni Hoe Kong membangun bisnisnya menjadi inspirasi bagi orang-orang Tionghoa lainnya untuk menjadi konglomerat. Mereka tentu saja tidak mudah untuk meraihnya. Mereka kerja keras berusaha di tengah-tengah para pengusaha Eropa/Belada dan juga berusaha keras diantara kelemahan penduduk pribumi. Pemerintah mendukung mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak membedakan Eropa, Tionghoa, Arab dan pribumi asal bersedia (bekerjasama) untuk membangun ‘jalan’ dan ‘jembatan’. Bagaimana itu berproes? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Konglomerat Tionghoa yang sekarang di Indonesia adalah garis continuum antar gnereasi sejak era VOC.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Ni Hoe Kong dan Migran Cina

Tidak ada orang yang mengetahui siapa Ni Hoe Kong. Semua telah berlalu. Orang-orang hanya mengenal dan mengingat konglomerat ayah-anak di Semarang (Oei Tjie Sien dan Oei Tiong Ham) dan dua konglomerat di Medan, dua bersaudara Tjong Jong Hian dan Tjong A Fie. Keluarga Oei di Semarang sangat berpengaruh, demikian juga keluarga Tjong di Medan. Pengaruh mereka tidak hanya diantara komunitas Tionghoa tetapi lebih jauh dapat mempengaruhi arah program pemerintah di era Nederlandsch Indie (Hindia Belanda).

Mengapa Ni Hoe Kong tidak dikenal di antara orang-orang Tionghoa? Itu karena tidak ada berita-berita tentang Ni Hoe Kong. Ni Hoe Kong hidup di era VOC. Suatu era dimana belum ada surat kabar. Namun masih ada catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister). Dari catatan-catatan kuno inilah diketahui siapa Ni Hoe Kong dan bagaimana sepak terjangnya. Tentu saja yang tidak boleh dilupakan masih ada peta-peta kuno yang dapat memperkaya data dan informasi tentang Ni Hoe Kong.

Ni Hoe Kong adalah pimpinan orang Cina di Batavia. Berdasarkan Peta Land 1739 salah satu pemilik land di sisi Mookervaart Tangerang adalah Ni Hoe Kong. Sejauh yang diketahui, Ni Hoe Kong adalah orang Cina yang setara dengan pedagang-pedagang Eropa/Belanda. Sebagai pimpinan, Ni Hoe Kong harus berbagai perhatian antara kepentingan VOC dan kaumnya di Batavia pada era VOC. Ni Hoe Kong adalah pimpinan orang-orang Cina dengan gelar Kapitein.

Tidak diketahui sejak kapan Ni Hoe Kong berdiam di Batavia. Yang jelas seorang pimpinan, apakah orang Tionghoa, Arab, Moor dan lainnya diangkat pemerintah VOC karena memiliki pengaruh yang besar (biasanya orang yang terpandang atau orang yang memiliki aset yang besar). Para pimpinan ini dengan sendirinya menjadi patner pemerintah.

Ni Hoe Kong berada ditengah-tegah terjadinya pemberontakan Cina di Batavia tahun 1740, suatu pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya sia-sia sekitar 10.000 orang Cina karena ulah kejam militer VOC. Ni Hoe Kong dalam posisi sulit.

Kapitein Ni Hoe Kong dibantu oleh tiga luitenan (lihat Daghregister, 26 September 1740). Ketiga luitenan tersebut adalah Oeij Teko, Oeij Sonko, Khouw Tsinko (lihat  Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1840). Ni Hoe Kong dicurigai ikut bersekongkol dengan pemberontak karena Ni Hoe Kong menyembunyikan orang bersenjata di rumahnya. Catatan Daghregister ini menunjukkan bahwa tahun 1740 sudah cukup banyak orang Tionghoa di Batavia dan sekitar apakah orang Cina yang sudah lama menetap atau para migran yang bekerja di perkenunan tebu dan pabrik gula. Ni Hoe Kong di Batavia tidak sendiri tetapi juga terdapat tiga saudaranya yang lain yakni Nicoangkong, Nilierkong dan Nitjetkong. Mereka berempat adalah anak buah dari pangeran dari Kaisar Cina sebelumnya (lihat Nederlandsch gedenkboek of Europische Mercurius,1741).

Pasca Perang Cina (lebih tepatnya disebut Chinezenmoord) Gubernur Jenderal yang baru Johannes Thedens (1741-1743) mulai beres-beras cuci piring: cooling down. Johannes Thedens, meski ada risiko, menganggap orang Cina adalah potensi ekonomi yang perlu dimaksimumkan untuk tujuan VOC. Dalam posisi orang Cina setengah marah dan setengah frustasi, Johannes Thedens mulai membangkitkan kehidupan orang-orang Cina kembali seperti sebelum terjadinya perang.

Memusuhi orang-orang Cina hanya memperburuk sendi-sendi ekonomi VOC. Orang-orang Cina bukanlah musuh yang sebenarnya, musuh VOC yang sebenarnya adalah orang Inggris dan Prancis yang setiap saat dapat melumpuhkan orang Belanda, orang-orang Cina yang ada di Hindia Timur adalah orang-orang dari Tanah Tiongkok yang mengadu peruntungan dan mencari kehidupan baru di Hindia Timur. Johannes Thedens dengan sadar mulai membina kerjasama dengan orang-orang Tionghoa dengan mengangkat (kembali) pimpinannya. Kebijakan umum VOC menjadikan penduduk pribumi sebagai subjek diperluas dengan menjadikan orang Cina sebagai subjek. Pemerintah VOC akan mengontrol orang-orang Cina di Hindia Timur melalui para pemimpinnya dengan mengangkat (kembali) sejumlah letnan Cina.

Pasca perang (Chinezenmoord) Pemerintah VOC mulai meningkatkan penataan pola bertempat tinggal di setiap kota-kota utama. Penataan ini juga sekaligus untuk melakukan pengawasan ketat terhadap orang-orang Cina. Ibarat kata, yang sudah berlalu, berlalulah. Pola bertempat tinggal orang Tionghoa dan migran Cina seperti di Batavia, Semarang dan Soerabaja serta Tangerang disatukan dalam satu area tertentu yang disebut kampement. Area kampement ini dibatasi oleh batas-batas tertentu yang pada intinya ingin membedakan pemukiman orang-orang Eropa/Belanda di satu pihak dengan pemukiman orang Tionghoa dan pribumi di pihak lain.

Babak baru partisipasi orang-orang Cina dimulai lagi. Namun para pedagang Cina generasi berikutnya tidak terdeteksi di batavia. Pedagang Cina yang muncul berada di Ternate, Semarang, Timor dan tempat-tempat lainnya. Apakah pedagang-pedagang Cina yang selama ini berbasis di Batavia, trauma dengan kejadian tahun 1740 dan telah relokasi ke tempat-tempat lain?

Nama-nama pedagang Cina sebelum Ni Hoe Kong di Batavia antara lain Niolamko (lihat Daghregister, 2 Maret 1714) dan Nihonko (lihat Daghregister, 27 Juli 1714). Di Semarang ada Oein Jianko (lihat Daghregister, 20 Februari 1722); Nitjenko di Banten (Daghregister 12 Juni 1729) dan Niothoko di Macassar (lihat Daghregister, 22 November 1737). Mereka ini adalah pedagang-pedagang besar (konglomerat) di era VOC.

Migran Baru Konglomerat Baru

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar