Sabtu, 22 Februari 2020

Sejarah Jakarta (91): Jacatra Tidak Pernah Diubah Menjadi Batavia; Nama [D]jakarta Digunakan Untuk Gantikan Nama Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sering, jika tidak dikatakan selalu, disebut nama Batavia tempo doeloe adalah [D]jakarta (baca: Jacatra). Pernyataan itu keliru. Kenyataannya tidak pernah Jacatra digantikan dengan Batavia. Keduanya, Batavia dan Jacatra sama-sama eksis. Tentu saja dalam hal ini, nama Jacarta lebih dulu eksis jika dibandingkan dengan Batavia. Nama Jacatra sudah ada sebelum kedatangan orang-orang VOC/Belanda mendirikan Kasteel Batavia.

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 15-06-1630
Bagaimana persepsi Batavia menggantikan Jacatra mungkin kurang disadari. Dalam bahasa akademik kurang teliti. Lantas bagaimana persepsi itu muncul adalah satu hal. Satu hal yang lain yang juga penting adalah mengapa nama ibu kota Republik Indonesia yang dipilih adalah [D]jakarta. Dua pertanyaan ini sejatinya menjadi dua pertanyaan untuk menjawab Sejarah Jakarta secara keseluruhan, mulai sejak tahun 1619 hingga tahun 1950. Setelah tahun 1950 bukan lagi Sejarah Jakarta, tetapi Sejarah Ibu Kota Republik Indonesia.  

Kesalahan persepsi kerap terjadi dalam sejarah. Kekeliruan terjadi bukan kurang andalnya analisis tetapi kurang tersedianya yang valid atau kurang termanfaatkannya data secara maksimal. Satu lagi sebab munculnya kekeliruan, analisis sejarah cenderung linier (garis lurus dimensi satu). Analisis sejarah dengan pendekatan dua dimensi (bidang integral) dan tiga dimensi (ruang) sangat membantu memahami sejarah keseluruhan. Pendekatan dimensi dua (spasial) dan dimensi tiga sangat berguna untuk meluruskan sejarah yang bengkok. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe dengan menerapkan analisis non sejarah.    

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

JacaTRa: Mengapa Bukan JacaRTa

Radja Jacatra tidak bertempat tinggal pelabuhan Soenda Kalapa, tetapi di suatu area/tempat yang disebut (kota.kampong) Jacatra (di sekitar Mangga Dua yang sekarang). Area pelabuhan (Soenda Calapa) adalah wilayah yurisdiksi Kerajaan Jacarta. Seperti halnya di Bantam (Banten), pelabuhan Soenda Kalapa adalah pelabuhan yang ramai dari berbagai bangsa termasuk Inggris dan Belanda serta Cina dan Jepang. Ketika (kesultanan) Banten mulai membangun kekuatan di Jacatra dengan membangun pusat di pelabuhan Soenda Kalapa, Belanda mulai memikirkan rencana baru: Mengusir (kesultanan) Banten dari muara sungai Tjiliwong dan menguasa (kerajaan) Jacatra untuk membuka jalan untuk memindahkan ibu kota VOC/Belanda dari Amboina ke Soenda Kalapa.

Banten dan Soenda Kalapa saat itu sudah menjadi pelabuhan penting dari dua kerajaan (Banten dan Jacatra). Batas antara dua kerajaan ini berada pada titik (demarkasi) di pulau Oentoeng Djawa (Belanda: Ontong Java) dan sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Dalam perkembangannya, Jan Pieterszoon Coen mengambil posisi dan membangun benteng di pulau Ontong Java. Dengan alasan pertama untuk melindungai Kerajaan Jacatra (dari Banten), Jan Pieterszoon Coen yang telah menjadi Gubernur Jenderal VOC menaklukkan Jacatra dan mendudukinya pada tahun 1619. Penaklukan dan oendudukan ini berawal dari kecelakaan yang terjadi yang disebabkan pihak kerajaan dengan kerugian di pihak VOC/Belanda. Perjanjian pun dibuat dengan raja Jacatra. Sejak saat inilah Jan Pieterszoon Coen memulai mengembangkan benteng (kasteel) dengan membangun kota yang disebut Batavia. Sementara itu kota Jacatra berada jauh di arah hulu sungai Tjiliwong (sekitar Mangga Dua yang sekarang).

Perjanjian antara VOC/Belanda dan kerajaan Jacatra membuat geram Banten dan Mataram. Inggris tidak menduga tindakan yang dilakukan VOC/Belanda, Inggris ingin Banten dan Jacatra tetap sebagai pelabuhan (bebas) internasional. Lalu hukum Belanda diterapkan di Jacatra dan pihak Inggris diposisikan sebagai tamu yang dapat mendirikan konsulat/ambassador. Orang-orang Jepang juga tidak menduga kebijakan VOC/Belanda yang menguasai ini karena di dalam militer VOC/Belanda juga terdapat sejumlah militer Jepang. Segera setelah penaklukkan, Jan Pieterszoon Coen sudah menyiapkan desain kota yang berpusat di benteng Kasteel (yang kemudian disebut Kasteel Batavia). Untuk mengamankan keluarga kerajaan Jacatra (dari tekanan Banten dan Mataran), VOC/Belanda membangun istana yang disediakan untuk keluarga kerajaan di dalam lingkungan Kasteel. Kekuatan benteng ini paling tidak telah berhasil menahan serangan dari Mataram (1629). Itu menjadi sinyal dari Batavia untuk Banten.

Perjanjian antara VOC/Belanda dan kerajaan Jacatra sangatlah penting bagi Belanda. Secara hukum Eropa/Belanda, pihak VOC/Belanda syah untuk bertindak atas nama kerajaan Jacatra (yang terdapat dalam perjanjian). Dengan kata lain, secara spasial, wilayah (administrasi) kerajaan Jacarta dari batas sungai Tangerang hingga batas sungai Tjitaroem) di bawah wilayah yurisdiksi kerajaan Jacatra tetapi secara ekonomi, pihak VOC/Belanda memiliki hak menguasai (monopoli) perdagangan, paling tidak di pelabuhan Soenda Kalapa (yang berkembang menjadi kota Batavia). Wilaah (Kerajaan) Jacatra di Asia menjadi semacam ‘negara’ dominion dari Kerajaan Belanda (di Eropa).

Pola menguasai yang dari sudut pandang Belanda disebut sebagai kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian. Secara teknis pihak Belanda merasa tidak dalam posisi mengusai (akuisisi) tetapi membangun kerjasama bilateral, tetapi dari sudut pandang pribumi yakni yang menjadi lawan baru kerajaan Jacatra (Banten dan Mataram) dianggap sebagai penaklukkan dan pendudukan wilayah kerajaan Jacatra. Pola ini kelak menjadi model umum yang diberlakukan Belanda untuk menguasai secara bertahap seluruh Hindia (baca: Indonesia). Pada masa ini pola awal ini dari sudut pandang bangsa Indonesia masa kini disebut devide et impera, tetapi dari sudut pandang Belanda mereka menganggap sebagai bentuk kerjasama (cooperative) dengan penduduk melalui pemimpin lokal.

Catatan: Pada tanggal 31 Oktober 1617 Jan Pietersz Coen sebagai Gubernur Jenderal berangkat dari Belanda dan mulai memerintah Juni 1618 dan kemudian memindahkan pos dari Ambon ke Jacatra 10 Mei 1619. Inilah secara defacto Gubernur Jenderal VOC pertama. Untuk kali pertama muncul nama Batavia. Jan Pietersz Coen berakhir tugasnya tahun 1623. Jan Pietersz Coen kembali menjabat Gubernur Jenderal antara tahun 1627-1629. Sebagai penggantinya bulan Septeber 1629 Specx diangkat  menjadi Gubernur Jenderal. Jaques Specx pertama kali datang dari Derdrecht dengan kapal Patria tiba di Batavia tanggal  23 September 1619. Kapal Patria adalah kapal perang yang juga berfungsi sebagai kapal penumpang. Specx sebagai Gubernur Jenderal berakhir pada 7 September 1632 (digantikan Hendrik Brouwer). Jaques Specx kembali ke Belanda dari Batavia tanggal 3 Desember 1632 dengan kapal Patria (lihat Almanak 1810). Dalam pelayaran pulang ini, General Jaques Specx juga bertindak sebagai pemimpin pelayaran dengan membawa tujuh kapal dagang: Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina (lihat surat kabar yang terbit di Amstedam, Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 16-07-1633). Ketujuh kapal tersebut membawa 36 jenis komoditi antara lain lada, puli, peper, indigo. Porselin dari China, permata (komoditi-komoditi ini dalam satu sak, pikol, kati, bal, pon dan lainnya). Dalam hubungan ini, Jan Pietersz Coen dan General Jaques Specx dua orang yang bertanggung jawab dalam menghadapi serangan (kasteel Batavia) dari Mataram.

Setelah situasi mulai kondusif di seputar kota (stad/kasteel) Batavia (terutama pasca serangan Mataram pada tahun 1628), pemerintah VOC/Belanda mulai melindungi stad/kasteel Batavia dengan membangun enam benteng (fort) dengan menempatkan pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda di seputar kota/stad Batavia yakni di benteng pulau Onrust, benteng muara Antjol, benteng hilir sungai Crokot (kini sekitar Jembatan Lima), benteng di hulu sungai Crokot (fort Riswijk) dan benteng hulu sungai Tjiliwong (fort Noordwijk) serta benteng di eks lokasi kerajaan Jacatra yang disebut benteng (fort) Jacatra.

Sejak adanya koloni Belanda di wilayah kerajaan Jacatra (di sekitar benteng/kasteel Batavia) dalam berita-berita pelayaran nama pelabuhan (asal/tujuan) Jacatra dan Batavia saling dipertukarkan. Adakalanya disebut pelabuhan Batavia dan adakalanya disebut pelabuhan Jacatra. Dalam hal ini, nama Jacatra adalah merujuk pada nama kota/kampong Jacatra dan juga nama wilayah administratif (kerajaan), sedangkan nama Batavia adalah merujuk pada nama kasteel atau kota Batavia (yang secara yuridis berada di wilayah kerajaan Jacatra). Penyebutan nama pelabuhan Jacatra di dalam surat kabar paling tidak ditemukan pada surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 15-06-1630. Sementara penyebutan pelabuhan Batavia di dalam surat kabar paling tidak ditemukan pada surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c edisi 31-07-1627.   
  
Nama Jacatra dan nama Batavia sama-sama eksis. Nama Jacatra dan nama Batavia merujuk pada nama tempat (kota/kampong); nama Jacatra juga merujuk pada nama wilayah (kerjaan Jacatra). Dalam hal ini nama Batavia adalah bagian dari nama Jacatra. Lalu dalam perkembangannya istana kerajaan Jacatra dipisahkan/direkolasi dari kota/stad Batavia dan kemudian dikembalikan ke kampong/kota Jacatra (dimana sudah dibangun benteng Fort Jacatra).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar