Minggu, 03 Mei 2020

Sejarah Bogor (43): Sejarah Pasar Merdeka Bogor, Dulu Disebut Pasar Mardika (1836); Kampong Tjikeumeuh yang Terlupakan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Di Bogor tidak hanya Pasar Bogor, juga ada pasar yang lebih baru disebut Pasar Anyar. Namun ada satu pasar lagi yang sudah terkenal sejak tempo doeloe. Pasar tersebut adalah Pasar Merdeka.  Pasar ini dapat dikatakan sudah tua, pasar kedua setelah Pasar Bogor. Pada era kolonial Belanda Pasar Bogor disebut Pasar (Pemerintah) Buitenzorg yang sudah ada sejak era VOC, sedangkan Pasar Merdeka yang mulai diadakan pada era Pemerintah Hindia Belanda disebut Pasar Mardika. Pada era Pemerintah RI dipertegas namanya menjadi Pasar Merdeka.

Pasar Mardika (Peta 1900), Pasar Merdeka (Now)
Pasar Merdeka ini tempo doeloe saya kenal baik. Di sekitar pasar ini juga terdapat terminal (Terminal Merdeka). Juga ada bioskop, lupa namanya. Area ini adalah perbatasan tiga kelurahan (Ciwaringin, Menteng dan Kebon Kelapa).Satu yang masih ingat betul di sekitar pasar ini juga terdapat satu gedung yakni Gedung Olahraga (GOR) Merdeka. Di salah satu ruang besar gedung ini pada pertengahan tahun 1980an berada perpustakaan umum daerah. Saya sering meminjam buku di perpustakaan ini terutama buku-buku karangan Dr. Karl May. Buku-buku karangan tentang petualangan para cowboy di Amerika Barat (Wild West) sekitar tahun 1880an (satu abad yang lampau). Mau ingat para tokoh utamanya? Old Shatterhand dan Winnetou. Di area ini juga pernah tinggal tokoh kemerdekaan yang terkenal yakni Kolonel Zulkifli Lubis yang pernah saya bertemu pada tahun 1984 di perumahan jalan Semboja.

Lantas mengapa tidak ada yang menulis sejarah Pasar Merdeka? Boleh jadi dikira Pasar Merdeka adalah pasar anyar yang baru dibangun setelah kemerdekaan Indonesia. Namun anggapan itu ternyata keliru. Kanyataannya di area tersebut sudah ada pasar sejak tempo doeloe yang disebut Pasar Mardika. Pasar ini diadakan jauh sebelum Wild West di pantai barat Amerikan dikunjungi oleh para cowboy. Di dekat pasar ini tempo doeloe terkenal kampong Tjikeumeuh. Namanya tidak abadi karena kampong Tjikeumeh sudah menjadi nama tiga kelurahan (Menteng, Ciwaringan dan Kebon Kelapa). Namun jangan khawatir, kanal yang melalui kampong Tjiekeumeh tempo doeloe kini dikenal sebagai sungai Tjikeumeh. Hawdy! Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Nama Pasar Mardika di Buitenzorg

Pada era VOC sejumlah pedagang (pemilik land) membangun pasar di dalam land. Pasar yang terbentuk pertama adalah pasar di land (tanah partikelir) Antonij yang dibangun oleh Justinus Vinck. Land Antonij ini adalah pemilik sebelumnya adalah Cornelis Chastelein (pemilik land Depok). Pasar ini kemudian disebut Pasar Vinck (karena dibuka pada hari Senin, masyarakat menyebutnya Pasar Snees atau Pasar Senen. Justinus Vinck juga mambangun pasar di Tanah Abang. Dua pasar ini terbilang pasar pertama di Batavia.

Semakin meluasnya tanah partikelit, khususnya hingga hulu sungai Tjiliwong dan hulu sungai Tjisadane bermunculan pasar-pasar yang baru, seperti pasar Meester Cornelis, pasar Tandjoeng (kini Pasar Rebo), pasar Simplitas (Pondok Laboe), Pasar Tjiampea, Pasar Paroeng, Pasar Tjimanggis dan Pasar Buitenzorg (kini Pasar Bogor).

Setelah VOC bubar (1799) dan diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda, pada era Gubenur Jenderal Daendel (1809-1811) land Bloeboer dan sejumlah persil lahan dibeli oleh Daendels untuk dijadikan kota pemerintah, termasuk dalam membentuk kota (pemerintah) Buitenzorg. Lahan-lahan yang dibeli oleh Daendels tersebut menjadi wilayah kota Buitenzorg, yang meliputi sekitar Istana, Kampong Baroe, land Bloeboer yang meliputi Paledang, Pasar dan Bondongan. Pasar Buitenzorg yang berada di persil lahan Pasar kemudian menjadi pasar pemerintah (seperti halnya Pasar Weltevreden, yang di era VOC disebut Pasar Vinck atau Pasar Senen). Pada era Pemerintah Hindia Belanda (plus pendudukan Inggris 1811-1816) sejumlah pasar didirikan oleh para pemilik land.

Pemilik land memiliki hak untuk mendirikan pasar di lahannya dengan seizin pemerintah. Para pemilik land (juga termasuk kongsie) yang membangun pasar memungut retribusi dari pedagang. Total pendapatan ini akan disetor kepada pemerintah dalam persentase (lima persen). Pengaturan perpasaran ini kemudian dipertegas pemerintah dengan menerbit satu resolutie (lihat Javasche courant, 16-03-1836). Reslusi ini ditandatangani Gubernur Jenderal JC Baud di Buitenzorg.

Resolusi yang dikeluarkan Pemerintah dalam pengaturan perpasaran tahun 1836 juga di dalamnya kemungkinan, selali pasar pemerintah yang sudah ada, dan pendirian pasar-pasar yang baru oleh swasta (terutama pemilik land) dimungkinkan pribumi membangun pasar. Pengaturan pendirian pasar pribumi ini diatur oleh pemimpin lokal. Tentu saja di seluruh Residentie Batavia mulai dari sungai Tjimanoek hingga sungai Tjikandie tidak mungkin membangun pasar karena semua lahan dalam status tanah partikelir (land). Di Priangan (Residentie Preanger Regentschappen) hal ini mudah dilakukan. Di Residentie Batavia kemungkinan tersebut dapat dilakukan di tanah-tanah pemerintah. Di Batavia dan Buitenzorg sudah sejak era Daendels kepemilikan lahan dikuasai pemerintah. Inilah yang menjadi celah munculnya pasar pribumi (non tanah partikelir) di kota Buitenzorg. Pasar ini kemudian disebut Pasar Mardika.

Pada tahun 1854 pengaturan perpasaran mengikuti aturan baru yang dibuat sesuai dengan pengaturan pendirian pasar Tjikarang. Pasar Tjiawi yang dibentuk setelah tahun 1854 mengikuti aturan perpasaran sesuai aturan pendirian pasar Tjikarang.

Mengapa disebut Pasar Mardika? Yang jelas pasar tersebut tidak berada di lahan tanah partikelir. Di lahan partikelir tidak ada penduduk yang merdeka, semua mengikuti aturan pemilik land yang telah diratifikasi oleh pemerintah seperti kerja wajib (sekarang disebut kerja rodi). Meski disebut pasar mardika (merdeka), yang memungut retribusi di Pasar Mardika adalah pemerintah (pemilik lahan). Namun untuk urusan pembangunan pasar dilakukan oleh penduduk secara swadaya dengan dukung pemerintah lokal (pemimpin pribumi). Lokasi Pasar Mardika di Buitenzorg ini berada di sisi barat sungai Tjipakantjilan (kini jalan Merdeka).

Jembatan di atas sungai Tjipakantjilan belum ada. Jembatan yang ada adalah jembatan bambu. Jembatan permanen (yang lebih kuat) baru dibangun kemudian. Jembatan ini disebut jembatan Roode Brug (paling tidak sudah diketahui tahun 1855). Jembatan ini kini dikenal sebagai Jembatan Merah. Beberapa dekade setelah Roode Brug menyusul dibangun baru tahun 1889 jembatan di atas sungai Tjisadane (jembatan kayu) yang sebelumnya hanya terbuat dari bambu. Jembatan ini kini dikenal sebagai jembatan (ke arah) Gunung Batu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Riwayat Kampong Tjikeumeuh

Kampong Tjikeumeuh bukanlah kampong biasa. Kampong Tjikeumeuh adalah satu-satunya kampong di sisi barat sungai Tjipakantjilan yang masuk dalam kota (pemerintah) Buitenzorg, Namanya mengacu pada nama sungai yang mengalir di kampong tersebut: sungai Tjikeumeh. Pada era Pemerintahan Hindia Belanda sungai Tjikeumeh ini di vermak menjadi kanal irigaasi untuk mengairi lahan pemerintah untuk lahan pembibitan (Tjimanggoe).

Pada tahun 1821, sungai Tjipakantjilan (yang mnegairi lahan persawahan di Bondongan) yang ‘jatuh’ ke sungai Tjisadane kemudian ‘diangkat’ dengan membangun kanal melalui Paledang untuk dialirkan dalam pengembangan lahan pertanian di Kedong Badak dan Tjiliebout (menjadi sungai terusan Tjipakantjilan diintegrasikan dengan sungai Tjileboet). Kanal ini dapat dilihat berada di bawah Jembatan Merah. Adanya jembatan Roode Brug paling tidak sudah diketahui tahun 1855. Sehubungan dengan pembangunan kanal Tjipakantjilan ini, kemudian di kampong Panaragan kanal Tjipakantjilan disodet dengan membangun kanal sekunder untuk mengairi persawahan di kampong Panaragan hingga ke tanah partikelir (land) Tjilendek (kanal ini kini lebih dikenal sebagai sungai Tjidepit). Pada fase inilah kanal [Tjidepit] disodet untuk memperbesar debit air di sungai Tjikeumeuh (sungai Tjikeumeuh di vermak menjadi kanal Tjikeumeeh).

Kebun percobaan pertanian Tjikeumeuh (Peta 1900)
Kanal Tjipakantjilan (dari Bondongan) dianggap tidak mencukupi seiring dengan pecetakan sawah baru di hilir dan kebutuhan air di lahan pembibitan pemerintah di Tjikeumeh (Tjimanggoe). Lalu pemerintah merancang kembali desain sistem irigasi dengan cara merevitalisasi sungai-kanal Tjipakantjilan agar debit airnya lebih besar dengan dua cara: Pertama, sungai Tjibalok di Soekasari yang jatuh ke sungai Tjiliwong diintegrasikan di hilir dengan sungai Tjipakantjilan. Namun, lagi-lagi debit sungai Tjipakantilan tetap tidak cukup. Lalu cara kedua dilakukan yang lebih radikal dengan cara mengangkat air sungai Tjisadane dengan cara membangun bendungan (di Empang) dan airnya dialirkan menuju sungai-kanal Tjipakantjilan. Bendungan di Empang ini mulai beroperasi pada tahun 1872. Volume air kanal Tjipakntjilan yang besar dan stabil (karena bendungan Empang), lalu kanal Tjipakantjilan yang sudah diintegrasikan dengan sungai Tjileboet untuk mengairi pencetakan sawah baru di Badjong Gede kemudian diintegrasikan dengan kanal-kanal di Pondok Terong (land Tjitajam). Dengan demikian sungai-kanal Tjipakantjilan di Buitenzorg terhubung dengan kanal-kanal di Batavia (via Tjinere dan via West Tandjoeng-Pasar Minggoe).

Adanya kanal Tjipakantjilan via Paledang mendapat berkah bagi kampong Tjikeumeh menjadi perkampongan yang makmur dan bergengsi. Kampong Tjiekeeumeh makmur karena memiliki irigasi yang stabil sepanjang tahun; kampong Tjikeumeuh bergengsi karena pemerintah membangun pusat pembibitan perkebunan di kampong Tjikeumeuh. Kampong Tjikeumeuh menjadi kebun percobaan pertama pemerintah di Hindia Belanda. Nama kampong Tjikeumeuh meroket setinggi langit.

Kebun pertanian Tjikeumeuh adalah kebun pengujian (percobaan) tanaman-tanaman yang bibit atau benihnya didatangkan dari luar negeri. Upaya ini awalnya bagian dari kegiatan Kebun Raya, tetapi kemudian dipisahkan dengan membentuk kebun percobaan di kampong Tjikeumeuh sejak tahun 1873 pada era Teysmann (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-05-1903). Dalam pembebasan lahan di kampong Tjikeumeuh untuk pertanian tidak begitu sulit karena kampong Tjikeumeuh adalah lahan pemerintah yang menjadi bagian dari land Bloeboer yang dibebaskan oleh Daendels tempo dulu (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-03-1874). Pada waktu pembangunan kebun percobaan ini jalan akses dirintis dari Pasar Mardika yang kini menjadi jalan Merdeka. Kanal yang berada di sisi barat jalan rintisan menuju kebun percobaan tersebut airnya disodet dari kanal Tjikeumeuh. Sedangkan jalan menuju land Tjilendek sendiri sudah lama adanya ketika tanah partikelir tersebut terbentuk pada era VOC (kini dikenal sebagai jalan Sumeru). Sehubungan dengan kebun percobaan Tjikeumeuh, dalam perkembangannya muncul gagasan baru untuk mendirikan sekolah pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg. Sekolah pertanian ini didirikan pada tahun 1876. Kebun percobaan di Tjikeumeuh diintegrasikan dengan pendirian sekolah pertanian tersebut.

Kampong Tjikeemeh lambat laun menjadi wilayah perluasan pemukiman Eropa-Belanda (terutama di sekitar jembatan Roode Brug). Hal ini karena pemukiman Eropa-Belanda di (wijk) Paledang sudah semakin padat. Di kampong Tjikeumeuh ini juga banyak terdapat rumah atau kamar kost untuk orang Eropa-Belanda yang melancong atau yang bekerja di Buitenzorg. Perkembangan perumahan di kampong Tjikeumeuh ini mulai terasa sejak jalur kereta api Batavia-Buitenzorg terhubung pada tahun 1873. Area perumahan Eropa-Belanda yang berada di antara kampong Tjikeumeuh dengan jembatan Roode Brug sejak masa lampau (sejak era VOC) adalah tempat pekuburan (tempat dimana kemudian dibangun Pasar Mardika).


Pada tahun 1876 di perkebunan percobaan Tjikeumeuh dilakukan uji tanaman sorghum (gandum) selain di Tjibodas. Beberapa planter juga melakukan yang sama seperti de Sturler di land Tjiomas (4200 kaki dpl) yang lebih tinggi dan CJ van Motman di land Dramaga yang lebih rendah (lihat Algemeen Handelsblad, 06-07-1876). Menurut pengamatan dari berbagai uji coba di beberapa titik itu disimpulkan bahwa dari semua tanaman sereal Eropa, gandum tampaknya cukup cocok untuk iklim tropis. Uji coba di Tjikeumeuh tahun ini, dan jika berhasil, tanaman yang sangat baik telah ditemukan, yang dapat ditanam di sawah setelah memanen padi untuk pemupukan hijau. Panen berlangsung dalam waktu sekitar 2 bulan dan karena itu cukup cepat sehingga produk sorghum tidak menghalangi pemrosesan sawah padi tepat waktu. Selain itu, sejumlah tanaman baru diuji coba di Tjiekeumeuh. Ada yang gagal dan ada yang berhasil. Het vaderland, 29-10-1880 memberitakan bahwa kebun pertanian (cultuurtuin) di Tjikeumeu[h] akan segera menghasilkan bibit kopi Liberia yang akan disebarkan ke publik yang diperkirakan sebanyak 400.000 batang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Krankzgesticht: Rumah Sakit Jiwa

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar