*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Tidak seorang pun kini mengingat nama Pidjot atau Pidjoe dalam sejarah Lombok. Pada masa ini nama Pijot hanyalah sebuah nama desa terpencil di kecamatan Keruak, kabupaten Lombok Timur. Karena itu pula orang tidak menganggapnya penting. Namun, jangan lupa, Pidjot tempo doeloe bukanlah kampong kecil, tetapi pelabuhan besar. Pelabuhan Pidjot memang tidak sebesar pelabuhan Ampenan, tetapi pelabuhan Pidjoe awalnya lebih sibuk dari pelabuhan Laboehan Hadji, bahkan pelabuhan Pidjoe sudah dikenal sebelum pelabuhan Lembar (Laboehan Tring) ditemukan.
Tidak seorang pun kini mengingat nama Pidjot atau Pidjoe dalam sejarah Lombok. Pada masa ini nama Pijot hanyalah sebuah nama desa terpencil di kecamatan Keruak, kabupaten Lombok Timur. Karena itu pula orang tidak menganggapnya penting. Namun, jangan lupa, Pidjot tempo doeloe bukanlah kampong kecil, tetapi pelabuhan besar. Pelabuhan Pidjot memang tidak sebesar pelabuhan Ampenan, tetapi pelabuhan Pidjoe awalnya lebih sibuk dari pelabuhan Laboehan Hadji, bahkan pelabuhan Pidjoe sudah dikenal sebelum pelabuhan Lembar (Laboehan Tring) ditemukan.
Sejarah keberadaan (pelabuhanI Pijot semakin terabaikan
dan terlupakan karena banyak faktor. Satu faktor penting adalah nama desa Pijot
masa kini berada di kecamatan Keruak, kabupaten Lombok Timur. Sementara posisi
geografisnya secara aktual pelabuhan Pidjot tempo doeloe, kini tepat berada di
desa Jerowaru, kacamatan Jerowaru, kabupaten Lombok Timur. Perbedaan inilah
yang menyebabkan sejarah pelabuhan Pijot menjadi kabur. Lantas mengapa begitu? Sebelum kita membuktikannya, anggaplah
pelabuhan Pijot adalah desa Jerowaru yang sekarang. Pada awalnya wilayah
teritorial kampong Pidjot ini sangat luas. Namun dalam perkembangnya jelang
sensus pada tahun 1930 sejumlah kampong disatukan untuk menjadi desa. Boleh
jadi nama desa yang dipilih adalah desa Jerowaru. Dalam perkembangannya
masing-masing desa ini mengalami pemekaran. Lalu desa-desa yang berdekatan kemudian
disatukan dengan membentuk kecamatan yang namanya mengambil nama Jerowaru.
Terakhir, kecamatan Jerowaru dimekarkan dengan membentuk kecamatan Keruak. Celakanya,
desa Pijot masuk kecamatan Keruak. Kampong Pijot yang menjadi desa sekarang
tidak lagi berada di tempat asalnya, demikian juga kampong Djerowaroe yang
menjadi nama desa tidak lagi berada di tempat asal (menempati kampong Pidjoe/Pidjot
tempo doeloe). Bingung, bukan? Tidak apalah sedikit bingung, yang jelas persoalan serupa ini banyak ditemukan di berbagai
tempat di Indonesia.
Fakta sejarah seringkali kabur oleh kemajuan
jaman. Meski nama Pidjoe atau Pidjot sudah lama terlupakan, tetapi sejarah
tetaplah sejarah. Sebab sejarah adalah narasi fakta dan data. Tempo doeloe
tidak ada pelabuhan di pantai selatan (pulau) Lombok, oleh karenanya jika
terjadi badai, semua kapal yang melintas di selatan pulau akan merapat ke
pelabuhan Pidjoe. Sebab, pelabuhan Pidjoe adalah pelabuhan yang tenang dan
aktivitas perdagangannya yang sangat ramai. Nah, untuk sekadar mengingat nama
Pijot dan untuk menambah pengeatahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe. Catatan: dalam artikel ini penulisan Piju, Pidjoe, Pijot dan Pidjot
saling menggantikan.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Nama Pelabuhan Pidjoe atau Pidjot
Pada tahun 1855 penduduk kampong Pidjoe di
tenggara pulau Lombok berjumlah sekitar 50 keluarga (lihat De Oostpost:
letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 22-08-1855).
Tampaknya kampong tersebut berasal dari (suku) bangsa yang sama dengan nama
depan Uwa untuk laki-laki dewasa (mungkin semacam Bapak atau Ayah). Untuk
mencapai kampong harus menggunakan perahu karena kapal uap Zr Ms Batavia tidak
bisa merapat (tetap berada di perairan dalam).
Pelabuhan
Pidjoe ini sudah lama tidak dikunjungi oleh kapal-kapal pedagang. Meski
demikian, menurut Heinrich Zollinger (1847) pelabuhan Pidjoe di telujk Pidjoe
adalah pelabuhan yang paling baik, tenang dan sehat serta aman dari badai. Oleh
karena di selat Alas sering terjadi perampokan kapal-kapal di laut, menurut Heinrich
Zollinger pelaboehan ini menjadi jarang dikunjungi oleh pedagang-pedagang Cina.
Saat kapal uap Ze Ms Batavia merapat di teluk
Pidjoe, kepala kampong Pidjoe Oewa Boelin menaikkan bendara tri color, tetapi
penduduk segera kabur melarikan diri ke pedalaman. Dua orang utusan Melayu yang
dikirim ke darat dengan perahu mendapat keterangan penduduk melarikan diri
karena 10 tahun sebelumnya kampong mereka dibakar oleh kapal uap yang datang.
Hal ini karena ketika sebelumnya kapal yang terdampar di teluk mereka memungut
barang-barang yang berserakan. Orang-orang kapal yang datang tersebut menuduh
mereka telah merampok tetapi penduduk yakin kapal yang terdampar sebelumnya telah
diserang badai di laut.
Penduduk
Pidjoe mungkin telah menjadi korban, Pelabuhan yang tenang dan aman menjadi
jarang dikunjungi pedagang yang boleh jadi dampak dari adanya kekacauan di
perairan selat Alas apakah karena perampokan atau karena serangan badai.
Menurut Zollinger selat Alas lebih tanang arusnya daripada selat Lombok (dekat
pantai barat Lombok). Namun karena kekhawatiran dugaan adanya perampokan di
laut di selat Alas pelabuhan Pidjoe menjadi jarang dikunjungi pedagang. Namun
jika terjadi badai besar di selatan pulau Lombok, kapal-kapal yang berada di
sekitar umumya mencari tempat berlindung ke pelabuhan Pidjoe sampai meredanya
badai.
Sejak kedatangan kapal Zr Ms Batavia ke pelabuhan
Pidjoe, pelabuhan ini telah mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda.
Kapal-kapal Pemerintah Hindia Belanda menjadi sering melintasi selat Alasa
untuk patroli. Pelabuhan Pidjoe lambat laun semakin ramai kembali. Paling tidak
hal ini diindikasikan kapal kapal Rever
(yang berpusat di Hamburg) telah disewa untuk mengangkut beras di Pidjoe
untuk dibawa ke Macao (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad,
14-02-1861).
Pada
masa lampau pelabuhan Pidjoe kerap dijadikan sebagai salah satu pusat transaksi
perdagangan budak. Dalam satu artikel pada surat kabar Soerabaijasch
handelsblad, 21-03-1881 disebutkan bahwa dahulu, pasar utama dan tempat ekspor
budak di Waingapoe. Namun setelah dibentuknya cabang Pemerintah Hindia Belanda
(Controleur) tampaknya telah dipindahkan ke tempat lain. Orang-orang Ende waktu
itu adalah pedagang utama yang mana mereka itu mengekspor ke Ende, Bima, Soembawa,
Pidjoe dan Bali.
Pelabuhan Pidjoe tetap dianggap penting. Pada
tahun 1882 kapal milik Lim Tjong dan kapal-kapal lainnya yang sarat dengan
beras dari Pidjoe berlabuh di Koepang, Timor (lihat Soerabaijasch handelsblad, 22-04-1882).
Dua pelabuhan utama di Lombok: Ampenan dan Pidjoe |
Ketenangan pelabuhan Pidjoe adalah satu hal,
badai yang ganas di lautan adalah hal lain lagi. Dalam situasi dan kondisi di
selat Alas, posisi pelabuhan Pidjoe menjadi sangat penting sebagai pelabuhan
utama di tenggara pulau Lombok. Bagaimana badai di lautan dapat diambil satu
contah dari berita Bataviaasch
nieuwsblad, 23-11-1887.
‘Berita
tentang puing-puing kapal dari Beoleleng. Kapal Djoedoel Karim yang berlayar milik
Sech Salim bin Oomar Drachim, di selat Alas antara pelabuhan Laboean Hadji dan pelabuhan
Pidjoe, pecah dan hancur berkeping-keping oleh badai. Sebanyak 250 unit kayu cendana,
yang diangkut oleh kapal, hanya bisa diselamatkan 35 atau 40 unit. Telah
dikirim sebanyak 200 orang segera ke tempat bencana oleh kerajaan di Lombok. Para
kru kapal dan kuda-kuda yang diselamatkan telah dibawa ke Ampenan, dan dari
sana untuk melanjutkan perjalanan ke Soerabaja. Pernyataan terakhir ini diperoleh
dari laporan Residen Bali en Lombok tentang kecelakaan tersebut’.
Meski badai adalah ancaman besar dalam pelayaran,
namun karena pelabuhan Pijoe sangat ideal maka pelabuhan ini tetap menjadi
ramai. Berita-berita lainnya tentang Pidjoe datang dari Timor yang menyatakan
bahwa bahwa di Palmedo (pantai timur Soemba) sebuah kapal dari Pidjoe yang
berisi penuh beras telah terdampar. Kapal tersebut telah diselamatkan sebuah
kapal lain yang datang dari Waingapoe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-01-1888).
De locomotief : Samarangsch handels-blad, 21-07-1892 |
Namun akibat perang yang berlarut-larut mata
dagangan beras di pelabuhan Pidjoe menjadi drastis berkurang. Dalam hubungan
ini Pemerintah Hindia Belanda melakukan patroli di seputar pulau Lombok untuk
menangkal impor senjata apakah yang dibeli oleh kerajaan Bali Selaparang maupun
dibeli oleh pemimpin Sasak. Saat patroli kapal induk Hr Ms Java mampir di pelabuhan
Pidjoe (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-04-1892).
Dalam
situasi perang ini, pelabuhan Pidjoe tetap berfungsi tetapi secara perdagangan
mengalami kontraksi. Perdagangan beras terbilang hilang, tetapi perdagangan
ternak masih berjalan dengan baik. Satu yang penting, situasi dan kondisi di
pedalaman Lombok terinformasikan ke Jawa (Batavia) melalui pelabuhan Pidjoe,
midalnya seperti yang diberitakan Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1893: ‘Soerabaja, 22 Juni. Kapal uap GG Loudon,
yang tiba di sini dari Pidjoe di Lombok, melaporkan bahwa pasukan pangeran
Lombok (kerajaan Bali Selaparang) menyerang orang Sasak pada 16 Juni yang
menyerang mereka kembali dengan hilangnya 300 orang, sedangkan orang Bali
Selaparang yang dipersenjatai dengan
senjata hanya 5 tewas dan 20 terluka. Pada tanggal 23 Juni, orang Sasak akan
menyerang pasukan pangeran lagi. Karena kerusuhan ini disebut sapi dan kuda
bisa dibeli di Lombok seharga f10 dan f12’.
Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda bersedia
melakukan intervensi ke Lombok untuk menyelamatkan penduduk Sasak yang terus
tertekan oleh pasukan Bali Selaparang. Kerajaan Bali Selaparang dapat
ditaklukkan. Berakhir sudah kekejaman para pangeran Bali Selaparang di pulau
Lombok. Penduduk Sasak lega dan kembali bangkit untuk memakmurkan pulau dan
penduduk Sasak yang sudah sejak lama dilanda kemiskinan dan kelaparan. Lalu
Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Lombok yag dibagi ke
dalam tiga onderafdeeeling: West Lombok ibu kota di Mataram, Oost Lombok
ibukota di Sisik (kemudian dipindahkan ke Selong) dan Midden Lombok ibu kota di
Praja.
Pasca Perang Lombok: Pidjoe dan Orang Mandar
Setelah berakhirnya Perang Lombok, pelabuhan Pidjoe tetap ramai.
Kapal-kapal yang datang sudah disinggahi oleh kapal-kapal reguler sejak 1893
tetap berlangsung hingga dimulainya cabang Pemerintah Hindia Belanda di Lombok.
Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Lombok yang terasa telah turut membuka
isolasi pelabuhan Pidjoe dari daratan dengan dibukanya jalur jalan darat dari
Sakra (selama ini hanya melalui jalur laut ke Laboehan Hadji). Dalam
perkembangannya juga dibuka jalur darat ke Praja. Kehadiran Pemerintah Hindia
Belanda juga telah memperkuat posisi pelabuhan Pidjoe sebagai salah satu dari
tiga pelabuhan penting di pulau Lombok, Indikasi ini dapat dilihat pada berita-berita
terkini,
Peta 1895 |
Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Lombok
juga terbentuk kantong-kantong produksi baru sehubungan dengan pembangunan
pertanian yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini karena pola pemerintah lokal
yang dibentuk mengikuti sebaran-konsentrasi populasi. Onderafdeeeling Oost
Lombok dibagi ke dalam empat ibu kota pemerintahan lokal yang masing-masing dipimpin
oleh seorang kepala distrik. Distrik-distrik yang dibentuk di Onderafdeeeling
Oost Lombok adalah Priggabaya, Sakra, Masbagik dan Rarang. Sehubungan dengan
itu pelabuhan kuno (Laboehan Lombok) mulai digiatkan (di distrik Priggabaja).
Pelabuhan Pidjoe termasuk wilayah district Sakra.
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 09-01-1907 |
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar