*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Setiap kelompok penduduk memiliki bahasa sendiri-sendiri. Di Indonesia, paling tidak terdapat sebanyak 742 bahasa termasuk di dalamnya bahasa Sasak (yang umumnya digunakan oleh penduduk Sasak di pulau Lombok). Seperti kata sejarawan, bahasa seumur dengan usia kelompok penduduk (etnik). Ini berarti usia bahasa Sasak setua penduduk Sasak di Lombok, namun sulit diketahui seberapa tua. Aksara dan literatur adalah perkembangan lebih lanjut dari penggunaan bahasa itu sendiri. Dalam interaksi sosial di luar penutur bahasa, penulisan kamus dimaksudkan untuk mempermudah proses komunikasi orang asing dengan penduduk penutur bahasa.
Setiap kelompok penduduk memiliki bahasa sendiri-sendiri. Di Indonesia, paling tidak terdapat sebanyak 742 bahasa termasuk di dalamnya bahasa Sasak (yang umumnya digunakan oleh penduduk Sasak di pulau Lombok). Seperti kata sejarawan, bahasa seumur dengan usia kelompok penduduk (etnik). Ini berarti usia bahasa Sasak setua penduduk Sasak di Lombok, namun sulit diketahui seberapa tua. Aksara dan literatur adalah perkembangan lebih lanjut dari penggunaan bahasa itu sendiri. Dalam interaksi sosial di luar penutur bahasa, penulisan kamus dimaksudkan untuk mempermudah proses komunikasi orang asing dengan penduduk penutur bahasa.
Bahasa
adalah elemen budaya yang paling mendasar dan diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Seperti kata pepatah ‘bahasa menunjukkan bangsa’. Sementara
aksara adalah sistem tulisan yang karakternya diimpor dari luar yang tetap
dipertahankan atau dilakukan modifikasi. Tulisan dengan menggunakan aksara
adalah cara mengkoding ucapan (berbahasa). Sedangkan tulisan dalam hal ini adalah
wujud perkembangan sosial-budaya yang direkam ke dalam bentuk tulisan dengan
menggunakan bahasa tersebut (dalam hal ini bahasa Sasak). Perekaman itu dapat
ditulis pada batu (prasasti), daun lontar, bambu, kulit kayu dan tentu saja
kertas yang umumnya digunakan oleh orang-orang Eropa-Belanda apakah berisi
tentang sejarah, sastra dan lainnya.
Lantas bagaimana sejarah bahasa, aksara dan sastra
penduduk Sasak di Lombok? Kurang terinformasikan
karena jarang ditulis dalam bahasa Sasak. Literatur yang ada saat ini
selalu dikaitkan dengan Babad Lombok yang disebutkan ditulis pada abad ke-18. Namun
dalam artikel ini, sumber yang digunakan dari berbagai sumber (bahasa dan
aksara) yang ditulis di kertas pada era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Bahasa dan Aksara Sasak: Babad Lombok
Heinrich Zollinger (1847) menyatakan bahwa ada
dua bahasa di Lombok, bahasa Sasak plus bahasa Bali. Penduduk Lombok tidak
memahami kedua bahasa itu sekaligus. Orang Bali tidak bisa mengerti bahasa Sasak,
namun ada banyak orang yang bisa berbicara kedua bahasa tersebut yakni umumnya
para pemimpin penduduk Sasak. Semenetara itu di Lombok hanya sedikit yang bisa
berbica bahasa Melayu, yang umumnya mereka adalah orang-orang seperti Eropa,
Cina dan Bugis. Ada beberapa orang diantara orang Bali dan Sasak yang bisa
berbahasa Melayu dengan baik. Raja Bali Selaparang hanya sedikit bisa memahami
bahasa Melayu.
Lebih
lanjut Heinrich Zollinger menyatakan bahwa bahasa Sasak memiliki banyak kata
yang sama dengan bahasa Melayu dan bahasa Jawa [ini dapat dilihat dari kamus
Melayu-Sasak yang disusunnya]. Secara keseluruhan bahasa Sasak lebih mirip
dengan bahasa Bima dan bahasa Soembawa. Bahasa Sasak ditulis dengan menggunakan
aksara Jawa yang dimodifikasi (seperti halnya di Bali, aksara Jawa dimodifikasi).
Hanya para pemimpin Sasak yang bisa membaca dan menulis itu. Penduduk Sasak tidak
dapat membaca dan menulis aksara itu.
Orang Sasak di Lombok memiliki bahasa sendiri,
bahasa Sasak yang telah menyerap banyak kata dari bahasa Melayu dan bahasa
Jawa. Bahasa Sasak berbeda dengan bahasa Bali, bahasa Sasak cebderung mirip
bahasa-bahasa di pulau Soembawa. Bahasa Sasak umumnya digunakan di kalangan
mereka sendiri. Aksara Sasak adalah aksara Jawa yang dimodifikasi dan hanya
para pemimpin yang bisa menulis dan membaca aksara Sasak.
Angka
literasi penduduk Sasak dalam hal ini terbilang kecil, seperti disebutkan
Heinrich Zollibger hanya terbatas pada para pemimpinnya (yang terhubung dengan
kerajaan Bali Selaparang di Lombok). Tidak banyak kelompok penduduk di
Nusanatra yang memiliki tingkat literasi tinggi. Menurut Heinrich Zollinger,
orang Bali di Lombok berbicara sama dengan orang Bali (di Bali). Hampir semua
orang Bali dapat membaca dan menulis bahasa mereka, bahkan orang-orang dari
kelas terendah (kebanyakan wanita). Tingkat literasi yang tinggi juga ditemukan
di Tapanoeli. Marsden
dalam bukunya (The History of Sumatra, 1811): ‘penduduk Batak memiliki bahasa
sendiri serta sastra dan aksara sendiri. Mereka memiliki kejeniusan berperilaku
serta penduduknya lebih dari separuh mampu membaca dan menulis dalam aksara
Batak yang melampaui kemampuan baca tulis Latin dari semua bangsa-bangsa di Eropa.
Mereka menulis di bagian halus dari kulit pohon khusus dan menggunakan tinta
yang terbuat dari jelaga damar yang dicampur dengan ekstrak air tebu’.
Sehubungan dengan itu, menjadi menarik untuk
diperhatikan ketika kita menghubungkan literatur Babad Lombok yang ditulis dengan
penggunaan aksara Sasak (aksara Jawa dimodifikasi) dan penutur bahasa Sasak.
Babad Lombok yang konon ditulis pada akhir abad ke-18 ditulis dalam ‘aksara
Sasak’ tetapi menggunakan bahasa Jawa. Ini mengindikasikan bahasa Jawa dalam
Babad Lombok hanya ditujukan secara terbatas, sebab penduduk Sasak berbahasa
Sasak dan tidak begitu melembaga dengan aksara Sasak. Babad Lombok diduga eksis
pada saat ketika para pemimpin Sasak memahami bahasa Jawa (sebelum bergeser
dengan bahasa Bali).
Pada
ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara yang dipimpin Cornelis de Houtman (1597)
mencatat mereka berlabuh di pelabuhan Lombok (teluk Lombok) dan telah bertemu
dengan syahbandar. Dalam catatan Cornelis de Hourman ini disebut (kerajaan)
Djepara telah membuat koloni di (pelabuha) Lombok sejak 1593. Orang-orang
Djepara ini diduga adalah para pedagang Djepara dari (pulau) Jawa yang juga
menjadi orang-orang pertama menyebarkan syiar Islam di Tanah Sasak (penduduk
Sasak menyebut Tanah Sasak, bukan Lombok, karena Lombok untuk nama pulau adalah
identifikasi oleh orang asing).
Orang-orang Jawa diduga kuat adalah koloni
pertama di pulau Lombok yang mengintroduksi peradaban baru (Islam dan Jawa),
jauh sebelum orang-orang Gowa (Makassar, Islam). Orang-orangf Jawa diduga telah
memperkuat kerajaan Selaparang di Lombok (timur pulau). Dalam perkembangannya kerajaan
(Islam) Selaparang mekar dan terbentuk sejumlah kerajaan (seperti halnya juga
di pulau Bali). Salah satu kerajaan baru tersebut adalah kerajaan (Islam) Pedjanggik
(selatan pulau).
Selain
merujuk pada catatan Cornelis de Houtman (1597) tentang kehadiran (kerajaan)
Djepara, kehadiran orang Jawa di Lombok juga dapat dihubungkan dengan munculnya
nama-nama tempat di pulau Lombok seperti Selong, Soerabaja, Kediri, Mataram,
Poh Gading, Wanasaba dan lainnya. Nama-nama ini adalah nama-nama tempat sudah
dikenal di (pulau) Jawa.
Keberadaan orang-orang Jawa di Lombok ini diduga
menjadi faktor penting mengapa kosa kata bahasa Jawa (dan bahasa Melayu) banyak
terserap dalam bahasa Sasak. Sebagaimana diketahui bahasa Melayu adalah lingua
franca (dalam perdagangan dan pelayaran). Orang-orang Jawa selain berbahasa
Melayu juga tetap menerapkan pengetahuan mereka seperti seni dan aksara Jawa
yang dimodifikasi. Seni seperti penggunaan gamelan dan bahasa seperti
penggunaan aksara (paling tidak muncul dalam Babad Lombok).
Bijdragen tot de taal van Nederlandsch-Indie, 1913 |
Literatur Babad Lombok meski hanya satu-satunya,
tetapi menjadi penting tentang memahami latar belakang sejarah bahasa dan
aksara di tengah penduduk Sasak. Babad Lombok seperti diyakini banyak penulis
ditulis pada akhir abad ke-18, mengindikasikan babad-babad lain (aksara dan
bahasa Jawa) adalah akhir dari peradaban Jawa di Lombok. Hal ini karena
introduksi peradaban Bali secara perlahan mulai menggeser peradaban Jawa
(paling tidak untuk memperkaya yang sudah ada) apakah aksara, seni dan
bentuk-bentuk peradaban lainny seperti pengembangan pertanian beririgasi.
Koloni
orang-orang Bali di Lombok diduga dimulai ketika terjadi perang antara satu
kerajaan dengan kerajaan lainnya di Lombok di era peradaban Jawa. Kerajaan
Pedjanggik (Islam) telah meminta bantuan kepada kerajaan di Bali (Karangasem)
untuk membantunya mempertahankan diri dari musuh-musuhnya di Lombok. Pasukan
Bali di Lombok dapat dianggap sebagai aneksasi dimulai pada tahun 1740. Disebut
aneksasi karena berdimensi perang (adanya pasukan). Sementara menurut sejumlah
penulis Belanda, orang Djawa membentuk koloni di Lombok dengan damai (yang
diartikan sebagai hanya motif perdagangan dan penyiaran agama Islam). Koloni
orang Bali yang membantu kerajaan Pedjanggik inilah yang kemudian menjelma
menjadi kerajaan (penempatan pangeran Karangasem Bali di Lombok). Meski
demikian, kerajaan orang-orang Bali di Lombok masih terbatas di barat pulau (Mataram).
Dalam hal ini orang Jawa khususnya di Mataram telah ‘terusir’ oleh orang Bali.
Ampenan sendiri adalah pelabuhan internasional (segala bangsa/etnik). Jadi
dalam hal ini kota Mataram adalah kota yang terbentuk karena kehadiran
orang-orang Jawa seperti Kediri, Pohgading dan lainnya.
Pengaruh orang-orang keturunan Jawa (aksara dan
bahasa) masih eksis di pulau Lombok meski eksistensi orang-orang Bali sudah
semakin menguat di barat pulau Lombok. Pengaruuh Jawa kemudian menjadi hanya
terbatas di timur pulau (sekitar kerajaan Selaparang). Untuk mendominasi
seluruh pulau, kerajaan Karangasem Lombok mulai melancarkan perang frontal
untuk menaklukkan kerajaan Selaparang. Indikasi ini ditemukan dalam surat yang
dikirimkan radja Karangasem kepada pemerintah VOC di Batavia pada tahun 1892
dan surat tahun 1804 yang isinya terkait dengan perang di Lombok.
Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882 |
Dari surat-surat terkesan bahwa kerajaan
Karangasem (yang juga telah menguasai Selaparang, Lombok) sangat ambisius tidak
hanya di Bali tetapi juga di Lombok. Memperhatikan surat tahun 1804 bahwa
kerajaan Karangasem belum sepenuhnya menguasai Lombok karena masih ingin
melancarkan perang (yang dengan demikian akan mendapat budak-budak baru untuk
dijual ke Batavia). Boleh jadi setelah perang ini kerajaan Karangasem baru
menguasai sepenuhnya Lombok (Bali Selaparang). Dalam hubungan ini Babad Lombok
ditulis pada tahun-tahun terakhir pengaruh Jawa (sebelum digantikan oleh Bali).
Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847 |
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tulisan-Tulisan Mengenai Penduduk Sasak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar