Minggu, 12 Juli 2020

Sejarah Lombok (36): Lingsar, Pura, Puri, Kolam Ikan Ratusan Tahun; Kepercayaan (Islam) Waktoe Teloe di Lombok Utara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Lingsar, nama yang unik, yang mungkin hanya ada di pulau Lombok. Yang mirip dengannya adalah nama Langsar di Atjeh [kini, Langsa]. Tempo doeloe, di (kampong) Lingsar juga ada yang unik. Penduduknya terdiri dari tiga kelompok yang memiliki kepercayaan yang berbeda: penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak yang  beragama Islam waktoe lima dan yang memiliki kepercayaan (Islam) waktoe teloe. Hal yang unik lainnya pura di Lingsar sama-sama digunakan oleh penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak berkepercayaan (Islam) waktoe teloe. Mengapa?

Kolam besar Lingsar (1894)
Tempo doeloe juga di Lingsar terdapat puri. Puri ini adalah tempat peristirahatan dari (pangeran) kerajaan Bali Selaparang. Kampong Lingsar tidak jauh dari Narmada (puri yang lain dari kerajaan Bali Selaparang). Selain pura dan puri, di Lingsar juga terdapat kolam besar yang panjangnya 150 meter dan lebarnya 25 meter. Satu yang unik lagi, di Lingsar terdapat ikan yang berumur ratusan tahun. Di kolam ikan ini banyak ditemukan koin yang dikorbankan oleh para pengunjung untuk menarik perhatian tiga ikan (semacam belut) tersebut keluar dari liangnya. Para penjaga memberi makan ikan tersebut dengan telur rebus.

Sejarah Lingsar tentu sangat menarik, tetapi bagaimana terbentuk sejarah Lingsar kurang terinformasikan. Lingsar hanya dilihat dari sudut masa kini yakni pura dan taman Lingsar dan kolam ikan berumur ratusan tahun serta adanya agama dan kepercayaan yang berbeda. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Peta 1894
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kampong Lingsar dan Puri

Pertanyaan pertama tentang Lingsar adalah sudah seberapa lama keberadaan (kampong) Lingsar? Pertanyaan ini menjadi penting karena semua hal yang ada di Lingsar—seperti adanya pura, puri, agama dan kepercayaan, kelompok penduduk Bali dan Sasak serta ikan yang disebut berusia ratusan tahun—terkait dengan waktu. Satu keterangan yang penting yang sudah diketahui adalah puri Lingsar dibangun pada tahun 1889 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894).

Pasukan-militer Hindia Belanda di kolam Lingsar (1894)
Disebutkan puri lingsar yang memiliki kolam besar 150x25 meter dibangun lima tahun lalu pada tahun 1889. Puri ini adalah tempat peristirahatan pangeran Anak Agoeng Made (kerajaan Bali Selaparang) yang mana pembangunan tempat kesenangan ini adalah salah satu sebab begitu banyaknya penderitaan dan keluhan terhadap pemerintah kerajaan Lombok (Bali Selaparang), karena Anak Agoeng Made telah mempekerjakan orang-orang Sasak untuk melayani raja. akibatnya banyak yang tewas pada kerja keras itu. Keterangan ini dikirimkan oleh seorang petugas yang ikut dalam ekspedisi militer Hindia Belanda ke Lombok yang dimulai pada tanggal 11 Juli 1894 yang dimuat surat kabar Java Bode pada edisi 15 Agustus 1894. Dalam hal ini pasukan Hindia Belanda yang berada di Lingsar (awalnya dari arah Laboehan Hadji) dan telah menguasai puri dalam rangka menjepit pasukan Bali Selaparang yang konsentrasi di Tjakranegara setelah Mataram dibombardir.

Puri dan kolam besar Lingsar masih belum lama usianya ketika militer Pemerintah Hindia Belanda kali pertama memasuki pedalaman Lombok bulan Juli 1894. Keberadaan puri Lingsar sudah diketahui sebelum ekspedisi militer dimulai (lihat Makassaarsch handelsblad, 21-06-1894). Disebutkan bawah Mataram adalah markas pemerintah (kerajaan Bali Selaparang) Lombok namun para pangeran lebih suka berdiam berlama-lama di salah satu dari tujuh tempat peristirahatan di dekatnya yakni Narmada, Lingsar, Goenoeng Sari, Bogarati, Andana, Pringgarata dan Tjakranegara. Tempat-tempat peristirahatan ini masing-masing memiliki puri.

Tempat peristirahatan yang paling tua dibangun adalah Goenoeng Sari. Dalam laporan  Heinrich Zollinger pada tahun 1847 tempat ini sudah disebutkan sebagai tempat peristirahatan radja dengan nama Goenoeng Rata, suatu taman yang cukup besar dimana terdapat puri  kecil, kamp rusa, kebun indah dengan pohon buah-buahan yang ditanam di perbukitan. Tempat peristirahatan yang kedua dibangun berada di Tjakranegara, di suatu tempat eks kerajaan Karangasem yang ditaklukkan dan dihancurkan pangeran Mataram pada tahun 1838. Setelah adanya tempat peristirahatan Tjakranegara ini, nama Karangasem menghilang dan muncul nama Tjakranegara. Pembangunan tempat peristirahatan Tjakranegara dilakukan setelah kunjungan Zollonger tahun 1847. Dalam hal ini tempat peristirahatan Lingsar adalah termuda (1889) dan Goenoeng Sari adalah tertua, Lima tempat peristirahatan yang lain (Tjakranegara, Narmada, Bogarati, Andana dan Pringgarata) dibangun antara tahun 1847 dan 1889. Dalam Perang Lombok 1894 tempat peristirahatan Tjakranegara telah hancur dan puri Tjakranegara terbakar, sementara pasca perang ini tempat peristirahatan Goenoeng Sari telah diakuisi oleh penduduk Sasak, sedangkan puri Narmada diakuisi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam berita lain disebutkan, sebagaimana puri Lingsar, puri Narmada juga dibangun oleh keringat penduduk Sasak. Boleh jadi karena alasan ini puri Narmada diakuisisi (pampasan perang) Pemerintah Hindia Belanda (karena memang puri dan taman yang paling indah).

Dalam Perang Lombok yang dimulai pada Juli 1894, militer telah menduduki tempat peristirahatan Lingsar dan Narmada yang lalu kemudian puri Lingsar dan puri Narmada dijadikan sebagai markas militer. Sementara itu dua puri yang terdapat di kota Mataram (tempat kediaman radja dan pangeran mahkota) sudah hancur dan terbakar pada saat permulaan perang yang dibombardir dari kapal yang berlabuh di Ampenan dengan menggunakan jenis peluru lontar 17 cm (mortir). Setelah hancurnya Mataram, radja, para pangeran dan pasukan Bali Selaparang mengumpul di puri Tjakranegara dan lalu mengangkat bendera putih. Antara pimpinan militer Hindia Belanda dan para pemimpin kerajaan Bali Selaparang mulai berunding  (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894). Namun situasi segera berubah pasukan Bali Selaparang menyerang tiba-tiba pasukan militer Hindia Belanda dalam situasi persiapan perdamaian.

Dalam perundingan yang dijadwalkan yang dikawal militer akan mempertemukan tiga pihak: perwakilan Pemerintah Hindia Belanda, kerajaan Bali Selaparang dan para pemimpin Sasak. Oleh karena situasi dan kondusi mulai kondusif, sebagai pasukan dalam ekspedisi militer telah dipulangkan ke Jawa. Awalnya para pemimpin Sasak enggan datang untuk duduk bersama dengan para pangeran Bali Selaparang, namun setelah dibujuk dan dijelaskan tujuan dan agenda perundingan, para pemimpin Sasak datang sebanyak empat orang. Beberapa poin yang penting dalam perundingan ini antara lain Pemerintah Hindia Belanda akan membentuk cabang pemerintah di Lombok, poin berikutnya adalah hak dan kewajiban penduduk Bali dan penduduk Sasak sama (sederajat) dan poin lain ruang lingkup pemimpin Bali dan pemimpin Sasak dipisahkan termasuk soal peradilan (rechten). Poin-poin ini relevan bagi pemimpin dan penduduk Sasak, tetapi tidak masuk akan bagi radja dan para pangeran Bali Selaparang. Boleh jadi dalam hal ini para pangeran berpikir bahwa sesuatu yang telah dimiliki sejak lampau termasuk kemakmuran (pajak), kesenangan (puri dan para pekerja Sasak yang gratis) akan segera hilang untuk selamanya. Para pemimpin Bali dan penduduk Bali dalam posisi tidak diuntungkan. Lalu amarah yang muncul dan kemudian pasukan Bali Selaparang menyerang pasukan-militer Hindia Belanda. Oleh karena tidak diduga banyak yang tewas termasuk Generaal Majoor.

Laporan tentang penyerangan pasukan Bali Selaparang dan tewasnya seorang jenderal di suatu area antara Mataram dan Tjakranegara menjadi viral di surat-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda dan di Eropa (Belanda). Radja yang sudah menua tidak banyak tahu apa yang terjadi, para pangeran (yang selama ini memiliki kesenangan seperti puri, taman dan kolom) ngamuk dan kalap, tidak lagi memperhitungkan kekuatan (lawan) Pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan  dengan tragedi di Lombok ini, pasukan militer dikirim lagi ke Lombok untuk manaklukkan pasukan yang dipimpin para pangeran Bali Selaparang. Jalan damai tampaknya tertutup. Para militer Hindia Belanda sudah mulai dendam, sementara para pangeran Bali Selaparang tidak ada hari esok (semuanya akan hilang). Dalam posisi psikologis inilah kedua belah pihak berperang, dan tentu saja kekuatan pasukan Bali Selaparang ada batasnya, sementara kekuaran militer Hindia Belanda tidak ada batasnya, yang mana pasukan Bali Selaparang terjepit di puri Tjakranegara dimana pasukan militer Belanda sudah mengepung dari Mataram, Lingsar, Narmada, Pagoetan dan Pegasangan serta dari Praja dan Kediri. Singkat kata: puri Tjakranegara hancur total. Kolam yang luas dimana terdapat bangunan besar di tengah kolam (pulau) Majoera di Tjakranegara dijadikan markas militer. Pangeran Made tewas dalam perang. Radja Bali Selaparang yang sudah uzur dilarikan, namun berhasil diamankan. Kerajaan Bali Selaparang tamat, tetapi eks tempat peristirahatan radja dan pangeran masih tetap eksis.

Dalam perang ini, dari tujuh tempat peristirahatan radja dan pangeran kerajaan Bali Selaparang, secara teknis hanya satu buah yang rusak total yakni Tjakranegara. Seperti disebutkan di atas Goenoeng Sari telah diamankan oleh penduduk Sasak sebagai wujud kemenangan, sementara Narmada dan Lingsar serta situs-situs tertentu seperti Mataram diakuisisi Pemerintah Hindia Belanda sebagai pampasan perang (semacam biaya pengganti atas anggaran pemerintah yang dikeluarkan dalam mengerahkan ekspedisi militer ke Lombok). Dalam perkembangannya puri Narmada dijadikan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pesanggrahan.

Eks tempat peristirahatan pangeran Bali Selaparang, Anak Agoeng Made dibiarkan apa adanya karena beberapa situs yang terdapat di Lingsar digunakan oleh penduduk, seperti pura dan kolam ikan ratusan tahun.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894: Surat dari Lombok. Mataram 8 Agustus 1894. Kemarin pada 7 Agustus di pagi hari jam 5 pagi, batalyon ke-9 Ampenan dan bagian artileri lapangan Mataram melakukan pawai militer di timur Tjakranegara menuju Lingsar dan Narmada (Ajer Mada) dua tempat peristirahatan sang pangeran. Setelah berbaris 600 meter ke arah utara dari Tjakranegara melalui jalan selebar 15 hingga 20 meter yang mendaki sebuah jalan samping diambil yang mengarah ke timur. Jalan ini kurang bagus, saluran dalam telah terbentuk di berbagai tempat di sepanjang jalan sebagai akibat dari air hujan yang mengalir ke bawah. Untuk melewatinya beberapa sungai tidak dijembatani sama sekali. Jalan mengarah melalui kampung-kampung berpenduduk padat dan melalui sawah yang tak ada habisnya. Lingkungan dan pemandangan pegunungan sangat bersih; semuanya menjadi saksi pertumbuhan tanaman yang bagus sebagai hasil dari tanah yang subur. Semakin dekat ke Lingsar, jalan menjadi lebih baik dan dirawat dengan baik dan ditanami pohon buah-buahan di kedua sisi. Setengah jam sebelum Lingsar, ditemukan jalan indah ke kebun apel Cina lalu jalan ke kebun koesambi, lalu jalan ke kebun mangga dan nangkas..,Di Lingsar melalui gerbang batu bata, kami melewati jalan setapak sepanjang 50 meter di halaman depan seluas 50 meter persegi dan melalui gerbang kedua di halaman, dimana berbagai bangunan kenikmatan birahi berada. Di sisi timur adalah roemah dewa, dibangun kuil Hindu, di sisi barat kediaman [Anak Agoeng] Made yang disebut lodjie yang terdiri dari serangkaian bangunan persegi beratap dan tempat tinggal para wanita, sebuah labirin sejati. Melanjutkan melalui halaman, seseorang menuruni tangga bata ke kolam yang indah dengan panjang 150 meter an lebar 25 meter. Kolam besar ini dibentengi oleh beberapa tembok tanah. Di seberang danau orang melihat sebuah taman besar dengan pohon-pohon buah terbaik. Lingsar adalah lingkungan yang indah dan bersih dan orang dapat melihat segala sesuatu yang dibuat untuk Made dengan mendatangkan orang untuk melakukan pekerjaan’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Islam Waktoe Teloe dan Waktoe Lima di Lombok

Soal agama di pulau Lombok secara panjang lembar telah dideskripsikan oleh Heinrich Zollinger pada tahun 1847 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847). Namun deskripsinya lebih lengkap agama Hindoe Bali daripada agama Islam Sasak. Menurut Heinrich Zollinger, orang-orang Sasak bukanlah orang-orang Mohamedan yang taat dan dalam hal apa pun kurang fanatik daripada tetangga mereka di pulau Soembawa. Ini mungkin karena Mohamedanisme tidak berakar, lebih-lebih hanya dalam, jumlah kecil imam terutama yang bergelar haji yang ada di pulau itu.

Dalam kenyataan Mohamedanisme kurang berkembang di Lombok, sebaliknya agama Bali membuat kekecualian karena dua alasan. Seorang Sasak yang menjadi Hindu menikmati hak istimewa yang sama seperti orang-orang Bali. Barang-barang miliknya menjadi bebas pajak, dll. Selanjutnya, semua gadis Sassak, yang dirampok dan dibayar oleh orang-orang Bali, menjadi orang Bali, termasuk anak-anak mereka. Seringkali ini memiliki konsekuensi bahwa seluruh keluarga memiliki pengakuan agama orang Bali dan karena itu lambat laun orang-orang itu percaya sepanjang waktu. Sebaliknya, dari tuan King saya mendapat keterangan bahwa tidak pernah terjadi sepengetahuannya seorang Bali telah menjadi Mohamedan. Orang-orang Sasak sendiri tidak lagi tahu kapan dan bagaimana nenek moyang mereka menjadi Mahomedan. Sepertinya bagi saya bahwa Mahomedan pertama datang ke Lombok dari Soembawa dan secara bertahap mengubah orang-orang dari pulau-pulau atau orang-orang Bugis yang datang dari Celebes sebagai pedagang yang melakukan itu. Bagaimanapun mereka yang masuk agama Mohamedan ini tampaknya telah dilakukan dengan cara damai dan bukan oleh senjata.

Para penguasa Lombok (kerajaan Bali Selaparang) tampaknya oke-oke saja apa yang ada tentang agama yang dianut penduduk Sasak dan tidak mengganggunya. Namun menjadi lain, ketika seorang haji asal Dompoe yang beberapa waktu sebelumnya yang pulang dari Mekah memilih menetap di Lombok namanya Hadji Abdoel Gani untuk berdakwah di antara penduduk kepercayaan Bodha (Islam Waktoe Teloe), Para pangeran terganggu. Lalu kemudian pendakwah tersebut diusir oleh para pangeran dari Lombok (lihat Nederlandsch Indie, 26-08-1859). Disebutkan Hadji Abdoel Gani yang telah memiliki sejumlah pengikut mengungsi ke Soembawa, dimana guru haji terus meneruskan dakwahnya. Haji Abdoel Gani di Soembawa sangat dihormati.

Meski Hadji Abdoel Gani telah relokasi ke Soembawa, para pangeran Selaparang tetap keberatann dan keluhan mereka itu telah disampaikan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Para pangeran beralasan karena sultan kekaisaran Soembawa membiarkan Hadji Abdoel Gani menghasut untuk berperang melawan Bali Selaparang. Kebenaran klaim ini tidak dikonfirmasi meskipun atas perintah Gubernur Jenderal. Namun demikian, atas inisiatif sendiri pejabat yang bertanggungjawab di Bonthain en Boelekomba pergi menyelidikinya atas persetujuan dari Gubernur Celebes. Pejabat tersebut juga mengetahui bahwa Hadji Abdoel Gani juga berdakwah di Bima. Seperti di Soembawa sang pandakwah juga sangat dihormati di Bima.

Berdasarkan keterangan tersebut, Hadji Abdoel Gani besar dugaan adalah ulama besar. Seorang ulama yang berpengalaman di Mekkah dan Malaka yang sangat dihortmati di pulau Lombok dan pulau Soembawa. Namun perkembangan agama Islam di Lombok terhalangi. Tampaknya para pangeran Bali Selaparang sangat khawatir jika ada ulama yang masuk ke Lombok akan menjadi ancaman bagi mereka. Para pangeran hanya ingin status quo seperti yang digambarkan oleh Heinrich Zollinger.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pura Lingsar

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar