*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Lingsar, nama yang unik, yang mungkin hanya ada di pulau Lombok. Yang mirip dengannya adalah nama Langsar di Atjeh [kini, Langsa]. Tempo doeloe, di (kampong) Lingsar juga ada yang unik. Penduduknya terdiri dari tiga kelompok yang memiliki kepercayaan yang berbeda: penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak yang beragama Islam waktoe lima dan yang memiliki kepercayaan (Islam) waktoe teloe. Hal yang unik lainnya pura di Lingsar sama-sama digunakan oleh penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak berkepercayaan (Islam) waktoe teloe. Mengapa?
Lingsar, nama yang unik, yang mungkin hanya ada di pulau Lombok. Yang mirip dengannya adalah nama Langsar di Atjeh [kini, Langsa]. Tempo doeloe, di (kampong) Lingsar juga ada yang unik. Penduduknya terdiri dari tiga kelompok yang memiliki kepercayaan yang berbeda: penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak yang beragama Islam waktoe lima dan yang memiliki kepercayaan (Islam) waktoe teloe. Hal yang unik lainnya pura di Lingsar sama-sama digunakan oleh penduduk Bali beragama Hindu dan penduduk Sasak berkepercayaan (Islam) waktoe teloe. Mengapa?
Kolam besar Lingsar (1894) |
Sejarah Lingsar tentu sangat menarik, tetapi
bagaimana terbentuk sejarah Lingsar kurang terinformasikan. Lingsar hanya
dilihat dari sudut masa kini yakni pura dan taman Lingsar dan kolam ikan
berumur ratusan tahun serta adanya agama dan kepercayaan yang berbeda. Nah,
untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Peta 1894 |
Kampong Lingsar dan Puri
Pertanyaan pertama tentang Lingsar adalah sudah seberapa
lama keberadaan (kampong) Lingsar? Pertanyaan ini menjadi
penting karena semua hal yang ada di Lingsar—seperti adanya pura, puri, agama
dan kepercayaan, kelompok penduduk Bali dan Sasak serta ikan yang disebut
berusia ratusan tahun—terkait dengan waktu. Satu keterangan yang penting yang
sudah diketahui adalah puri Lingsar dibangun pada tahun 1889 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894).
Pasukan-militer Hindia Belanda di kolam Lingsar (1894) |
Puri dan kolam besar Lingsar masih belum lama
usianya ketika militer Pemerintah Hindia Belanda kali pertama memasuki
pedalaman Lombok bulan Juli 1894. Keberadaan puri Lingsar sudah diketahui sebelum
ekspedisi militer dimulai (lihat Makassaarsch handelsblad, 21-06-1894). Disebutkan
bawah Mataram adalah markas pemerintah (kerajaan Bali Selaparang) Lombok namun para
pangeran lebih suka berdiam berlama-lama di salah satu dari tujuh tempat
peristirahatan di dekatnya yakni Narmada, Lingsar, Goenoeng Sari, Bogarati,
Andana, Pringgarata dan Tjakranegara. Tempat-tempat peristirahatan ini
masing-masing memiliki puri.
Tempat
peristirahatan yang paling tua dibangun adalah Goenoeng Sari. Dalam
laporan Heinrich Zollinger pada tahun
1847 tempat ini sudah disebutkan sebagai tempat peristirahatan radja dengan
nama Goenoeng Rata, suatu taman yang cukup besar dimana terdapat puri kecil, kamp rusa, kebun indah dengan pohon
buah-buahan yang ditanam di perbukitan. Tempat peristirahatan yang kedua
dibangun berada di Tjakranegara, di suatu tempat eks kerajaan Karangasem yang
ditaklukkan dan dihancurkan pangeran Mataram pada tahun 1838. Setelah adanya tempat
peristirahatan Tjakranegara ini, nama Karangasem menghilang dan muncul nama
Tjakranegara. Pembangunan tempat peristirahatan Tjakranegara dilakukan setelah
kunjungan Zollonger tahun 1847. Dalam hal ini tempat peristirahatan Lingsar
adalah termuda (1889) dan Goenoeng Sari adalah tertua, Lima tempat
peristirahatan yang lain (Tjakranegara, Narmada, Bogarati, Andana dan Pringgarata)
dibangun antara tahun 1847 dan 1889. Dalam Perang Lombok 1894 tempat
peristirahatan Tjakranegara telah hancur dan puri Tjakranegara terbakar,
sementara pasca perang ini tempat peristirahatan Goenoeng Sari telah diakuisi
oleh penduduk Sasak, sedangkan puri Narmada diakuisi oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Dalam berita lain disebutkan, sebagaimana puri Lingsar, puri Narmada juga
dibangun oleh keringat penduduk Sasak. Boleh jadi karena alasan ini puri
Narmada diakuisisi (pampasan perang) Pemerintah Hindia Belanda (karena memang
puri dan taman yang paling indah).
Dalam Perang Lombok yang dimulai pada Juli 1894,
militer telah menduduki tempat peristirahatan Lingsar dan Narmada yang lalu kemudian
puri Lingsar dan puri Narmada dijadikan sebagai markas militer. Sementara itu dua
puri yang terdapat di kota Mataram (tempat kediaman radja dan pangeran mahkota)
sudah hancur dan terbakar pada saat permulaan perang yang dibombardir dari
kapal yang berlabuh di Ampenan dengan menggunakan jenis peluru lontar 17 cm
(mortir). Setelah hancurnya Mataram, radja, para pangeran dan pasukan Bali
Selaparang mengumpul di puri Tjakranegara dan lalu mengangkat bendera putih.
Antara pimpinan militer Hindia Belanda dan para pemimpin kerajaan Bali
Selaparang mulai berunding (lihat Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894).
Namun situasi segera berubah pasukan Bali Selaparang menyerang tiba-tiba pasukan
militer Hindia Belanda dalam situasi persiapan perdamaian.
Dalam
perundingan yang dijadwalkan yang dikawal militer akan mempertemukan tiga
pihak: perwakilan Pemerintah Hindia Belanda, kerajaan Bali Selaparang dan para
pemimpin Sasak. Oleh karena situasi dan kondusi mulai kondusif, sebagai pasukan
dalam ekspedisi militer telah dipulangkan ke Jawa. Awalnya para pemimpin Sasak
enggan datang untuk duduk bersama dengan para pangeran Bali Selaparang, namun
setelah dibujuk dan dijelaskan tujuan dan agenda perundingan, para pemimpin
Sasak datang sebanyak empat orang. Beberapa poin yang penting dalam perundingan
ini antara lain Pemerintah Hindia Belanda akan membentuk cabang pemerintah di
Lombok, poin berikutnya adalah hak dan kewajiban penduduk Bali dan penduduk Sasak
sama (sederajat) dan poin lain ruang lingkup pemimpin Bali dan pemimpin Sasak
dipisahkan termasuk soal peradilan (rechten). Poin-poin ini relevan bagi
pemimpin dan penduduk Sasak, tetapi tidak masuk akan bagi radja dan para pangeran
Bali Selaparang. Boleh jadi dalam hal ini para pangeran berpikir bahwa sesuatu
yang telah dimiliki sejak lampau termasuk kemakmuran (pajak), kesenangan (puri
dan para pekerja Sasak yang gratis) akan segera hilang untuk selamanya. Para
pemimpin Bali dan penduduk Bali dalam posisi tidak diuntungkan. Lalu amarah
yang muncul dan kemudian pasukan Bali Selaparang menyerang pasukan-militer
Hindia Belanda. Oleh karena tidak diduga banyak yang tewas termasuk Generaal
Majoor.
Laporan tentang penyerangan pasukan Bali
Selaparang dan tewasnya seorang jenderal di suatu area antara Mataram dan Tjakranegara
menjadi viral di surat-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda dan di Eropa
(Belanda). Radja yang sudah menua tidak banyak tahu apa yang terjadi, para
pangeran (yang selama ini memiliki kesenangan seperti puri, taman dan kolom)
ngamuk dan kalap, tidak lagi memperhitungkan kekuatan (lawan) Pemerintah Hindia
Belanda. Sehubungan dengan tragedi di
Lombok ini, pasukan militer dikirim lagi ke Lombok untuk manaklukkan pasukan
yang dipimpin para pangeran Bali Selaparang. Jalan damai tampaknya tertutup.
Para militer Hindia Belanda sudah mulai dendam, sementara para pangeran Bali
Selaparang tidak ada hari esok (semuanya akan hilang). Dalam posisi psikologis
inilah kedua belah pihak berperang, dan tentu saja kekuatan pasukan Bali
Selaparang ada batasnya, sementara kekuaran militer Hindia Belanda tidak ada
batasnya, yang mana pasukan Bali Selaparang terjepit di puri Tjakranegara
dimana pasukan militer Belanda sudah mengepung dari Mataram, Lingsar, Narmada,
Pagoetan dan Pegasangan serta dari Praja dan Kediri. Singkat kata: puri
Tjakranegara hancur total. Kolam yang luas dimana terdapat bangunan besar di
tengah kolam (pulau) Majoera di Tjakranegara dijadikan markas militer. Pangeran
Made tewas dalam perang. Radja Bali Selaparang yang sudah uzur dilarikan, namun
berhasil diamankan. Kerajaan Bali Selaparang tamat, tetapi eks tempat
peristirahatan radja dan pangeran masih tetap eksis.
Dalam
perang ini, dari tujuh tempat peristirahatan radja dan pangeran kerajaan Bali
Selaparang, secara teknis hanya satu buah yang rusak total yakni Tjakranegara.
Seperti disebutkan di atas Goenoeng Sari telah diamankan oleh penduduk Sasak
sebagai wujud kemenangan, sementara Narmada dan Lingsar serta situs-situs
tertentu seperti Mataram diakuisisi Pemerintah Hindia Belanda sebagai pampasan
perang (semacam biaya pengganti atas anggaran pemerintah yang dikeluarkan dalam
mengerahkan ekspedisi militer ke Lombok). Dalam perkembangannya puri Narmada
dijadikan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pesanggrahan.
Eks tempat peristirahatan pangeran Bali
Selaparang, Anak Agoeng Made dibiarkan apa adanya karena beberapa situs yang
terdapat di Lingsar digunakan oleh penduduk, seperti pura dan kolam ikan
ratusan tahun.
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1894: Surat
dari Lombok. Mataram 8 Agustus 1894. Kemarin pada 7 Agustus di pagi hari jam 5
pagi, batalyon ke-9 Ampenan dan bagian artileri lapangan Mataram melakukan
pawai militer di timur Tjakranegara menuju Lingsar dan Narmada (Ajer Mada) dua
tempat peristirahatan sang pangeran. Setelah berbaris 600 meter ke arah utara
dari Tjakranegara melalui jalan selebar 15 hingga 20 meter yang mendaki sebuah
jalan samping diambil yang mengarah ke timur. Jalan ini kurang bagus, saluran
dalam telah terbentuk di berbagai tempat di sepanjang jalan sebagai akibat dari
air hujan yang mengalir ke bawah. Untuk melewatinya beberapa sungai tidak
dijembatani sama sekali. Jalan mengarah melalui kampung-kampung berpenduduk
padat dan melalui sawah yang tak ada habisnya. Lingkungan dan pemandangan
pegunungan sangat bersih; semuanya menjadi saksi pertumbuhan tanaman yang bagus
sebagai hasil dari tanah yang subur. Semakin dekat ke Lingsar, jalan menjadi
lebih baik dan dirawat dengan baik dan ditanami pohon buah-buahan di kedua
sisi. Setengah jam sebelum Lingsar, ditemukan jalan indah ke kebun apel Cina lalu
jalan ke kebun koesambi, lalu jalan ke kebun mangga dan nangkas..,Di Lingsar melalui
gerbang batu bata, kami melewati jalan setapak sepanjang 50 meter di halaman
depan seluas 50 meter persegi dan melalui gerbang kedua di halaman, dimana
berbagai bangunan kenikmatan birahi berada. Di sisi timur adalah roemah dewa,
dibangun kuil Hindu, di sisi barat kediaman [Anak Agoeng] Made yang disebut
lodjie yang terdiri dari serangkaian bangunan persegi beratap dan tempat
tinggal para wanita, sebuah labirin sejati. Melanjutkan melalui halaman,
seseorang menuruni tangga bata ke kolam yang indah dengan panjang 150 meter an
lebar 25 meter. Kolam besar ini dibentengi oleh beberapa tembok tanah. Di
seberang danau orang melihat sebuah taman besar dengan pohon-pohon buah terbaik.
Lingsar adalah lingkungan yang indah dan bersih dan orang dapat melihat segala
sesuatu yang dibuat untuk Made dengan mendatangkan orang untuk melakukan pekerjaan’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Islam Waktoe Teloe dan Waktoe Lima di Lombok
Soal agama di pulau Lombok secara panjang lembar
telah dideskripsikan oleh Heinrich Zollinger pada tahun 1847 (lihat Tijdschrift
voor Neerland's Indie, 1847). Namun deskripsinya lebih lengkap agama Hindoe
Bali daripada agama Islam Sasak. Menurut Heinrich Zollinger, orang-orang Sasak
bukanlah orang-orang Mohamedan yang taat dan dalam hal apa pun kurang fanatik
daripada tetangga mereka di pulau Soembawa. Ini mungkin karena Mohamedanisme
tidak berakar, lebih-lebih hanya dalam, jumlah kecil imam terutama yang bergelar
haji yang ada di pulau itu.
Dalam
kenyataan Mohamedanisme kurang berkembang di Lombok, sebaliknya agama Bali membuat
kekecualian karena dua alasan. Seorang Sasak yang menjadi Hindu menikmati hak
istimewa yang sama seperti orang-orang Bali. Barang-barang miliknya menjadi
bebas pajak, dll. Selanjutnya, semua gadis Sassak, yang dirampok dan dibayar
oleh orang-orang Bali, menjadi orang Bali, termasuk anak-anak mereka.
Seringkali ini memiliki konsekuensi bahwa seluruh keluarga memiliki pengakuan agama
orang Bali dan karena itu lambat laun orang-orang itu percaya sepanjang waktu. Sebaliknya,
dari tuan King saya mendapat keterangan bahwa tidak pernah terjadi
sepengetahuannya seorang Bali telah menjadi Mohamedan. Orang-orang Sasak sendiri
tidak lagi tahu kapan dan bagaimana nenek moyang mereka menjadi Mahomedan. Sepertinya
bagi saya bahwa Mahomedan pertama datang ke Lombok dari Soembawa dan secara
bertahap mengubah orang-orang dari pulau-pulau atau orang-orang Bugis yang datang
dari Celebes sebagai pedagang yang melakukan itu. Bagaimanapun mereka yang
masuk agama Mohamedan ini tampaknya telah dilakukan dengan cara damai dan bukan
oleh senjata.
Para penguasa Lombok (kerajaan Bali Selaparang)
tampaknya oke-oke saja apa yang ada tentang agama yang dianut penduduk Sasak
dan tidak mengganggunya. Namun menjadi lain, ketika seorang haji asal Dompoe
yang beberapa waktu sebelumnya yang pulang dari Mekah memilih menetap di Lombok
namanya Hadji Abdoel Gani untuk berdakwah di antara penduduk kepercayaan Bodha
(Islam Waktoe Teloe), Para pangeran terganggu. Lalu kemudian pendakwah tersebut
diusir oleh para pangeran dari Lombok (lihat Nederlandsch Indie, 26-08-1859).
Disebutkan Hadji Abdoel Gani yang telah memiliki sejumlah pengikut mengungsi ke
Soembawa, dimana guru haji terus meneruskan dakwahnya. Haji Abdoel Gani di
Soembawa sangat dihormati.
Meski
Hadji Abdoel Gani telah relokasi ke Soembawa, para pangeran Selaparang tetap
keberatann dan keluhan mereka itu telah disampaikan kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Para pangeran beralasan karena sultan kekaisaran Soembawa membiarkan Hadji
Abdoel Gani menghasut untuk berperang melawan Bali Selaparang. Kebenaran klaim
ini tidak dikonfirmasi meskipun atas perintah Gubernur Jenderal. Namun
demikian, atas inisiatif sendiri pejabat yang bertanggungjawab di Bonthain en Boelekomba
pergi menyelidikinya atas persetujuan dari Gubernur Celebes. Pejabat tersebut
juga mengetahui bahwa Hadji Abdoel Gani juga berdakwah di Bima. Seperti di
Soembawa sang pandakwah juga sangat dihormati di Bima.
Berdasarkan keterangan tersebut, Hadji Abdoel
Gani besar dugaan adalah ulama besar. Seorang ulama yang berpengalaman di
Mekkah dan Malaka yang sangat dihortmati di pulau Lombok dan pulau Soembawa.
Namun perkembangan agama Islam di Lombok terhalangi. Tampaknya para pangeran
Bali Selaparang sangat khawatir jika ada ulama yang masuk ke Lombok akan
menjadi ancaman bagi mereka. Para pangeran hanya ingin status quo seperti yang
digambarkan oleh Heinrich Zollinger.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pura Lingsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar