*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Di Lombok banyak orang Bali. Lantas apakah ada orang Sasak dari pulau Lombok di Bali? Ternyata ada. Mereka menetap sudah lama di kampong Tenganan Pegringsingan, Karangasem, pulau Bali. Bagaimana mereka bisa tinggal di Bali? Itu satu hal, Hal lain adalah ketika kerajaan Bali Selaparang mengirim pasukan asal Lombok untuk membantu kerajaan Karangasem dalam berperang melawan kerajaan Kloengkoeng. Hal lainnya adalah orang Sasak yang disebut Bodha ini menetap di kampong Tenganan Pegringsingan. Menurut S van Praag (1934) asal-usul penduduk Tenganan Pegringsingan sebagian berasal dari orang Sasak dari Lombok.
Di Lombok banyak orang Bali. Lantas apakah ada orang Sasak dari pulau Lombok di Bali? Ternyata ada. Mereka menetap sudah lama di kampong Tenganan Pegringsingan, Karangasem, pulau Bali. Bagaimana mereka bisa tinggal di Bali? Itu satu hal, Hal lain adalah ketika kerajaan Bali Selaparang mengirim pasukan asal Lombok untuk membantu kerajaan Karangasem dalam berperang melawan kerajaan Kloengkoeng. Hal lainnya adalah orang Sasak yang disebut Bodha ini menetap di kampong Tenganan Pegringsingan. Menurut S van Praag (1934) asal-usul penduduk Tenganan Pegringsingan sebagian berasal dari orang Sasak dari Lombok.
Lantas bagaimana sejarah desa Tenganan
Pegringsingan? Yang jelas menurut Dr VE Korn dalam monografnya berjudul De
Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan (1933) desa Tenganan Pegringsingan berbeda
dengan desa-desa Bali umumnya. Desa Tnganan Pagringsingan menurut Dr VE Korn
adalah Republik Desa yang mana penduduknya memiliki ciri khas yang unik: monogami,
endogami dan hukum waris sendiri. Nah, untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
S van Praag (1934) |
Republik Desa Tenganan Pegringsingan
Dr VE Korn (1933) memberi judul artikelnya De
Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan. Judul berlabel dorpsrepubliek (Republik
Desa) memiliki arti sendiri dan ada maksudnya. Republik desa mengindikasikan
bahwa desa itu bagai sebuah republik yang menjalankan otonomi sendiri dalam
kehidupan bermasyarakat (desa) yang berbeda dengan desa-desa lain di sekitar.
Ibarat suatu negara republik diantara bentuk-bentuk negara lainnya di sekitar
seperti kerajaan-kerajaan. Desa Tnganan Pagringsingan adalah sebuah republik yang
bukan beragama Hindoe diantara desa-desa di pulau Bali yang beragama Hindoe.
Dr VE
Korn boleh jadi mengacu pada suatu desa republik yang lain di Hindia Belanda.
Jauh sebelum Dr VE Korn mengunjungi (mempelajari) Bali, di hulu sungai
Tjiliwong di selatan Batavia terdapat republik desa Depok. Republik desa Depok
ini memiliki otonomi desa sendiri yang berbeda dengan desa-desa sekitar yang
beragama Islam. Desa Depok sudah sejak lama dihuni oleh orang-orang yang berasal
dari luar Depok yang mereka ini beragama Kristen. Asal-usul mereka tersebut banyak
yang berasal dari Beli. Desa Kristen Depok ini diinisiasi oleh seorang
pedagang-pejabat VOC Cornelis Chastelein pada tahun 1704. Desa Depok kemudian
memiliki (sistem) pemerintahan sendiri bagaikan sebuah republik (semua penduduk
desa yang dewasa berhak memilih siapa yang menjadi kepala desa.
Orang Bali yang sekarang menyebut penduduk desa T(e)nganan
Pagringsingan sebagai orang Bali Aga. Orang Bali umumnya menganggap orang Bali
Aga adalah penduduk asli pulau Bali yang tidak menganut agama Hindoe, Orang
Bali Aga memiliki kepercayaan sendiri (agama tradisi, kepercayaan tertentu).
Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1901 |
VE Korn, 1924 |
Pagan
masih tersebar di seluruh Bali. Mereka dikenal sebagai Bali-Aga dan Bali Moela,
dimana kedua kelompok dibedakan, bahwa Bali Aga akan menjadi orang Bali asli
yang asli, sedangkan Bali Moela berasal dari Jawa dari emigrasi sebelumnya dari
yang menyeberang ke Bali setelah kehancuran Kekaisaran Madjapait. Bali Moela
(yang berarti ‘orang asli Bali’ mungkin kurang memiliki surat-surat asli Jawa
sendiri, dan mungkin memiliki cerita-cerita legendaris yang menunjukkan bahwa
mereka langsung dari Brahma atau dari Déwa Agoeng pertama atau dari Déwa Agoeng
pertama atau dewa Jawa lainnya turun dari Madjapahit. Orang asli Bali dibedakan
dari yang lain oleh animisme yang agak tersembunyi yang disertai dengan cara
pengiriman mayat yang berbeda; mereka memiliki dialek bahasa mereka sendiri, dimana
perbedaan antara tinggi dan rendah tidak terjadi dan struktur administrasi desa
mereka dan hak-hak dasar mereka mungkin juga berbeda dari daerah lain di Bali.
Bali Aga
hidup di sejumlah besar desa, terutama di Krobokan, Sembiran, Tjempaga ,
Sidatapa, Pedawa, Goblèk, Bratan, Tigawasa, Bakoeng dan di Sangsit di
Boelèlèng; Tnganan dan Timbrak di Karangasem, di Kutapang, Sental Kawan,
Lembangan (di Noesa Penida); di sebagian besar wilayah danau Bali yaitu di desa
Batur, Bantang, Daoesa, Songan, Tjatoer, Kintamani, Kedisan, Soekawana, Lampoe,
Kembangsari, Kutadalem, Bajoeng, Abang, Sétra dan Troenjan, lebih jauh di
Kajoebihi désa, Kajang dan Pangotan (Bali) dan désa Tigawasa, dan Tjekang dari
distrik Soeshoet. Di Gijanjar mereka tinggal di desa Abéanbasé (Bali Moela),
Tedoeng, Tjemenggaon, Pengaloe, Pasokan, Let dan Teboana. Di Tabanan di atas
Marga, di Badoeng di Blahkioeh dan Plaga. Kamus van der Tuuk bahkan memberikan
serangkaian nama tempat yang lebih panjang di Bali Aga dan pamentjangah dalem
juga memberikan rangkaian panjang desa-desa tempat Bali Aga tinggal. Hampir
dapat dipastikan bahwa bagian yang jauh lebih besar dari populasi Bali daripada
yang sampai sekarang terbukti dianggap benar-benar diperhitungkan diantara Bali
Aga. Karena nama ini, serta kata-kata Alifoeroe, Toradja, Dajak, memiliki kedekatan
tertentu, menyangkal semua yang orang Bali adalah diantara orang-orang bushmen
(pedalaman). Saya mengatakan bahwa Bali Aga sebagai sebuah agama yang memiliki
animisme yang agak terselubung bagi orang-orang Bali lainnya, dengan
pengecualian kasta, ini juga berlaku pada kenyataannya. Massa besar penduduk
Bali Aga ini tidak mengerti doktrin pergerakan jiwa, juga tidak mengenal
dewa-dewa dewa Hindu (lihat VE Korn, 1924).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Sasak Lombok di Tenganan Pegringsingan: Bali Aga dan Bodha
Menurut VE Korn (1924) ‘Oesana Bali’ dilestarikan
oleh Desa Bali Aga Tnganan Pagringsingan sebagai ‘pijagem desa’. Itulah salah
satu hal yang menjadi mengapa desa Tnganan Pagringsingan sangat penting di (pulau)
Bali. Berdasarkan catatam S van Praag (1934) Tnganan Pragingsingan adalah salah
satu dari 140 buah desa di (onderafdeeeling) Karangasem. Desa Tnganan Pagringsingan
terletak di pantai timur pulau Bali, yang langsung berhadapan dengan pantai
barat pulau Lombok.
Beberapa
hal yang menjadi keunikan desa Tnganan Pagringsingan dibandingkan desa-desa
Bali lainnya menurut VE Korn (1924) adalah hukum yang sudah lama berlaku bahwa
ada penerapan hukum monogami dan endogami yang ketat, serta hukum waris di
dalam komunitas yang berlaku untuk garis hukum kerabat. Suami dan istri adalah
sama, keduanya sama kompetennya untuk bertindak dan sama-sama tunduk pada
banyak aturan komunitas yang membatasi. Bagi desa, tidak masalah siapa pasangan
yang mengalami kekurangan, bersama-sama mereka dipengaruhi oleh konsekuensinya.
Hanya dalam hal tertentu yang bisa dikatakan bahwa lelaki itu adalah kepala
keluarga. Ini terutama terlihat dari fakta bahwa semua anak diperhitungkan
sebagai suku ayah dan bahwa pada saat kematian istri atau salah satu pemakaman anak-anak berlangsung
di pemakaman (kerabat) ayah. Perluasan kelompok kerabat dengan adopsi tidak
terjadi karena adopsi anak-anak dilarang dalam peraturan desa. Perceraian tidak dizinkan.
Pernikahan
benar-benar monogami; jika Anda mengambil istri kedua, Anda berhenti menjadi
dessalid dan tidak akan pernah bisa lagi. Desa juga endogami, siapa pun yang
mencari pasangan di luar desa akan segera dikeluarkan dari desa itu. Juga secara
alami tidak mungkin menikah dengan saudara dekat. Seorang gadis muda, yang
belum memiliki suami, ditandai dengan sebuah kata, yang berarti ‘longgar’, istilah
‘longgar’ ini mengacu pada tata rambut. Selama gadis itu belum mengikat
rambutnya, dia dianggap belum menikah. Seorang gadis belum menikah agak
dipingit. Namun juga sudah ada pertunangan itu memberi gadis itu lebih banyak
kebebasan bergerak. Seorang gadis yang tidak bertunangan seharusnya tidak
pernah meninggalkan rumah orang tua tanpa pengawalan. Inilah kearifan desa Tnganan
Pagringsingan dalam hal bagaimana keadaan hubungan seksual sebelum menikah. Ada
ketentuan yang dapat menunjukkan kesederhanaan yang luar biasa. Gadis-gadis
yang belum bertunangan disimpan terkunci dan hanya keluar di bawah pengawalan.
Sebagaimana pulau-pulau umumnya, pulau Bali juga
pada dasarnya adalah pulau yang terbuka. Seperti dinyatakan beberapa peneliti
terdahulu, Orang Bali Moela adalah penduduk asli Bali tetapi orang Bali Aga
lebih asli lagi (lebih tua dari orang Bali Moela). Orang Bali Moela dihubungkan
dengan emigrasi orang Jawa setelah jatuhnya kerajaan Madjapahit oleh pengaruh
Islam.
Menurut
catatan VE Korn (1924) di pulau Bali, selain orang Bali terdapat sebanyak 6.213 orang Timur Asing
(Cina, Arab, Kling dan lainnya), 243 orang Eropa-Belanda dan 7.356 orang pribumi
(non-Sasak). Dari kelompok terakhir adalah orang Jawa (mereka membentuk suatu koloni
pertanian di Djambrana dimana mereka merupakan 4,5 persen dari populasi), orang
Bugis, orang Makasar. dan imigran lainnya dari Celebes yang juga tinggal
bersama di desa mereka sendiri (rumah panggung) di pantai (Loloan di Djambrana,
Pabéan, Kaliboekboek, Temoekoes dan Watoe Agoeng di Boelèlèng, Tuban, Benoa dan
Serangan di Badoeng) dan Orang Madura (terutama di Djambrana) merupakan
komponen populasi utama.
Di berbagai tempat di pulau Bali menurut catatan VE
Korn (1924) terdapat sebanyak 4.110
Sasak, hampir semuanya tinggal di Karangasem, sebagai hasil dari imigrasi, yang
biasanya diketahui oleh penguasa Karangasem, yang tampaknya muncul atas
perintah radja-pangeran kerajaan Lombok (Bali Selaparang). Menurut Sosrowidjojo
orang-orang Sasak ini tampaknya adalah pengikut Islam kuno waktoe teloe yang
berbeda dengan pengikut Islam waktoe lima, yang hanya memiliki tiga waktu
sholat setiap hari: shalat Magrib, Isa dan Soeboeh. Pernyataan Sosrowidjojo ini
sesuai dengan pendapatAWL Vogelesang.
Secara
keseluruhan jumlah populasi Islam di Bali hanya 13.027. Seperti yang dikutip VE
Korn (1924) Lekkerkerker menilai bahwa elemen populasi ini tidak muncul melalui
konversi, tetapi dengan cara berikut: ‘Jika seorang Bali telah dikompromikan
karena dosa adat sebagai pelanggaran kasta atau sebaliknya di masyarakatnya
sendiri. atau harus melarikan diri. jika karena alasan apa pun dia datang untuk
hidup dan tahu dalam keterasingan antara orang-orang Mohammadan. bahwa tubuhnya
tidak akan dibakar dengan benar nanti atau jika dia jatuh cinta dengan seorang
gadis Islam. maka ada sedikit yang tersisa untuknya selain meninggalkan makan daging
babi dengan daging sapi dan membiarkannya masuk ke lingkungan Islam. Meskipun
tidak diragukan lagi kelompok Bali Islam diperkuat oleh pernikahan wanita Bali
dengan Mohammedan adalah mungkin untuk hidup bersama dari muslim-muslim ini
dalam desa mereka sendiri (mereka juga membentuk soebak mereka sendiri) dan di
beberapa bagian Bali tertarik pada konsekuensi bahwa elemen Islam mungkin tidak
muncul semata-mata melalui penyimpangan yang disebutkan di atas, tetapi mungkin
juga telah membentuk inti pertobatan (konversi ke Islam secara sukarela). Julius
Jacobs memberi tahu bahwa dahulu budak-budak Bali dibeli gratis jika mereka
berjanji untuk memeluk agama Islam.
Lantas bagaimana dengan orang Sasak di desa Tnganan
Pagringsingan. Sudah barang tentu bukan orang Sasak waktoe teloe (yang
cenderung menjadi Islam waktoe lima di Bali). Satu kelompok orang Sasak yang
lainnya yang disebut orang Bodha. Kelompok penduduk Sasak yang disebut orang
Bodha adalah orang yang menganut kepercayaan bukan Islam dan juga bukan Hindoe.
Mereka tidak berhasil dari pengaruh Islam maupun pengaruh Hindoe.
Menurut
JC van Eerde, sebagaimana di dalam artikelnya berjudul Aanteekeningen over de
Bodha's van Lombok yang dimuat pada majalah Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land-
en Volkenkunde, 1901, orang Bodha biasanya menikahi, mereka tidak mengambil
gadis Muslim (Lombok) atau Bali (Hindoe) sebagai istri; sangat sedikit kasus
yang diketahui bahwa gadis-gadis Bodha dibawa menjadi istri oleh Mohammadan
Sasak, sedangkan orang-orang Bali merampasnya. Orang Bodha pada kenyataannya
tidak berbeda dengan orang Sasak di sekitarnya. Mereka memiliki bahasa yang
sama, pakaian yang sama, cara hidup yang sama, adat yang sama, ide yang sama
tentang dewa dan menyembah Tuhan. Mereka adalah orang yang sama. Para Bodha
dibedakan hanya oleh agama mereka, yaitu dengan tidak mengakui Islam, yang merupakan
agama resmi orang Sasak. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaannya adalah bahwa
para Bodha memelihara babi, orang-orang Sasak tidak. Namun, babi makan
keduanya; tapi orang Islam Sasak mengharamkannya. Selain itu, para Bodha tidak
ada hubungannya dengan masjid dan mereka tidak disunat. Orang Bodha bukan orang
penganut agama Budha, tetapi sebutan orang Sasak Islam terhadap orang Sasak
yang masih pagan, yang memiliki kepercayaan sendiri.
Sebagaimana dinyatakan S van Praag (1934) bahwa
penduduk desa Tnganan Pagringsingan sebagian berasal dari penduduk Sasak dari
Lombok, maka kemlompok penduduk yang menjadi bagian desa ini adalah kelompok
penduduk yang disebut orang Bodha. Ada kemiripan antara orang Bodha
(Sasak-Lombok) dengan orang Bali Aga (pulau Bali). Dua kelmpok yang terbilang minoritas
kemudian terbentuk komunitas tersedri di desa Tnganan Pagringsingan, Karangasem
di pulau Bali.
Pertanyaan
yang muncul adalah sejak kapan orang Sasak Lombok atau tepatnya orang Bodha
migrasi ke pulau Bali dan berakulturasi dengan orang Bali Aga? Tidak ada catatan mengenai hal ini. Yang jelas
kelompok penduduk Sasak yang disebut orang Bodha adalah sisa penduduk Sasak di
Lombok yang masih tetap dengan kepercayaan kuno sebelum masuknya agama Islam
yang dibawa dari Jawa. Idem dito dengan orang Bali dapat dikatakan sisa orang
Bali yang masih menganut kepercayaan kuno sebelum agama Hindoe berkembang di
pulau Bali. Menurut JC van
Eerde (1901) orang Bodha populasi tidak banyak terdapat di Lombok bagian utara
(Bajan dan Tandjoeng) dan juga ditemukan di Lombok selatan di sekitar teluk
Laboehan Tring (kini pelabuhan Lembar).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Para Ahli yang Terhubung dengan Desa Tenganan Pegringsingan
Desa Tnganan Pagringsingan tidak hanya sebuah
desa yang unik. Para ahli sangat tertarik dengan gambaran desa itu. Lekkerkerker.dalam
risalahnya yang dimuat pada majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig
Genootschap, 1933 menyatakan bahwa studi tentang masyarakat Bali seharusnya
tidak dimulai dari ujung yang salah, tidak dengan masyarakat kasta dan
lembaga-lembaga Hindoe, tetapi di desa-desa, dimana banyak kelompok populasi
kuno masih dapat ditemukan.
Schwartz
menulis nama desa sebagai Tnganan. Menurut Lekkerkerker nama yang tepatadalah
Tenganan, demikian juga Pasëdahan untuk Pasdahan dll. Penambahan Pagringsingan
setelah nama Tenganan berfungsi untuk membedakannya dari Tenganan Pasedahan dan
Tenganan Daoe Toekad. Kata
pagringsingan ditambahkan ke nama desa karena kemampuan para wanita desa untuk
membuat jaringan gring. Nama gringsing dijelaskan secara epistemologi sebagai
bebas dari penyakit (gring = sakit, dan sing = tidak). Informasi lengkap mengindikasikan
tentang pembuatan dan pentingnya kain gringsing Tenganan yang sangat spesial.
Menurut Lekkerkerker untuk desa Tenganan haruslah
menyebut nama VE Korn. Hal ini karena secara etnografis, pekerjaan Korn adalah
yang terbaik. Tentu saja juga tidak bisa dilupakan nama Schwartz sebagai orang
pertama yang mengidentifikasi desa Tenganan. VE Korn tentu saja telah
mengerjakan monografi desa Tenganan sebagai seorang ilmuwan.
De
Maasbode, 18-10-1939: ‘Dr VE Korn. Mengangkat profesor luar biasa di Leiden. Telah
terbit keputusan telah ditunjuk sebagai profesor luar biasa di Fakultas Hukum
di Universitas Leiden untuk mengajar hukum adat, Dr VE Korn adalah mantan Residen
Tapanoeli. Di Den Haag. D VE Korn akan menggantikan posisi Prof. FD Holleman yang
baru-baru ini mengundurkan diri. Victor Emanuel Korn lahir 1 Juli 1892 di Den
Haag. Pada 1910 ia terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Leidsche, tempat
ia dilatih sebagai pegawai untuk Hindia Belanda. Sejak awal, Korn secara khusus
tertarik pada hukum adat dan selama periode pelayanannya di Hindia Belanda
pertamanya dari 1915 hingga 1924 ia menerbitkan sepuluh esai tentang tata
kelola dan penegakan hukum adat di Zuid Celebes, Ternate dan Bali en Lombok.
Ketika ia berangkat ke Belanda, pada tahun 1924 ia memperoleh gelar doktor di
Universitas Leiden pada 18 November sebagai doktor hukum pada disertasi Recht
Bali. Pada tahun 1933, ia menulis monograf tentang undang-undang Republik desa Tnganan Pagringsingan di Bali.
Setelah bekerja di Zuid Celebes ia diangkat menjadi Asisten Residen Solok,
kemudian promosi menjadi Residen Djambi dan kemudian menjadi Residen Tapanoeli’.
Sebagai seorang sarjana yang dilatih untuk
menjadi pegawai di Hindia Belanda, VE Korn dapat dikatakan sebagai salah satu
pejabat sukses yang bisa menyeimbangkan pemikiran untuk administrasi
pemerintahan dan kebutuhan ilmu pengetahuan. Untuk soal Bali khususnya desa
Tenganan nama Korn begitu penting. Nama ilmuwan yang pertama terjun ke Bali
adalah N van der Tuuk.
N van
der Tuuk adalah sarjana pertama yang mendaftarkan nama-nama desa Bali Aga di
pulau Bali. N van der Tuuk seorang ahli bahasa yang mendapat gelar doktor
(Ph.D) di Leiden yang kemudian bekerja pertama kali di Tapanoeli untuk meneliti
bahasa dan kamus Batak (1850). N van der Tuuk datang ke Bali pada tahun 1871
untuk mempelajari bahasa dan kamus Bali. Lalu kemudian menyusul R van Eck
menulis risalah sejarah orang Bali dengan judul Scheten van het Eiland Bali
yang dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878. Dalam daftar
desa Bali Aga dari van der Tuuk termasuk desa Tenganan dan R van Eck juga
membahas tentang desa Tenganan.
Ketika Dr
VE Korn diangkat sebagai guru besar (profesor) di Unibersiteit te Leiden tahun
1939 salah satu mahasiswa Prof. Korn seorang pribumi dari Hindia Belanda adalah
Mr. Masdoelhak Hamonangan Nasoetion. Selepas tamat AMS di Batavia Masdoelhak
Nasution berangkat kuliah ke Belanda tahun 1930 (lihat, Soerabaijasch
handelsblad, 19-05-1930).Setelah menyelesaikan tingkat sarjananya di bidang
hukum dan mendapat gelar Mr, Masdoelhak Nasution melanjutkan ke program
doktoral. Salah satu mentornya adalah Prof. Korn (sebagai ahli hukum adat).
Namun karena terjadi invasi Jerman ke Belanda tahun 1940 sempat perkuliahan
terhambat tetapi kemudian berlanjut di bawah kekuasaan Jerman. Hubungan Prof Korn
dengan Masdoelhak Nasution sangat dekat. Hal ini karena ketika Korn menjabat
sebagai Residen Tapanoeli di Sibolga, ayah Masdoelhak Nasution adalah seorang
pengusaha sukses di Sibolga. Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana
dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943 dengan mempertahankan desertasi yang
berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat
perempuan dalam masyarakat Batak). Catatan: Mr Masdoelhak Nasution, Ph.D pasca
proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 diangkatmenjadi Residen Sumatra Tengah
yang berkedudukan di Bukitinggi. Lalu kemudian Masdeolhak Nasution ditarik ke
ibu kota RI di pengungsian di Jogjakarta sebagai penasehat hukum Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta. Pada hari pertama pendudukan Jogjakarta
(agresi militer Belanda) pada tanggal 19 Desember 1948 Mr Masdoelhak Nasution,
Ph.D yang pertama diculik lalu dibunuh dirumahnya lalu dibunuh di Pakem
beberapa hari kemudian. Mengapa? Masdoelhak
Nasution dianugerahi Pahlawan Nasional pada tahun 2006.
Penelitian Dr VE Korn di desa Republik Tenganan
Pagringsingan, Bali (1924) dan buku bunga rampai S van Praag (1934) telah
menginspirasi banyak peneliti dan mahasiswa tentang studi tentang kedudukan
perempuan di Hindia Belanda. Soal-soal hukum (adat) secara umum tampaknya sudah
selesai dan mulai bergeser ke isu tentang hubungan perempuan di masyarakat.
Studi Korn tentang perempuan desa Tenganan Pagringsingan telah menjadi pembuka
kotak pandora,
VE Korn
meneliti tentang hukum adat Bali dan meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1924
di Universiteit Leiden. Desertasi tentang hukum adat Bali telah memperkaya
studi-studi sebelumnnya tentang hukum adat di Hindia Belanda. Setahun kemudian
pada tahun 1925 seorang seorang pribumi asal Hindia Belanda bernama Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi berhasil mempertahankan desertasinya di
Universiteit Leiden dengan judul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden:
Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi adalah ahli hukum
pertama dari Tanah Batak dan orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor
(Ph.D) di bidang hukum.
Sebagaimana disebut di atas Prof. Korn telah
mengarahkan Mr. Masdoelhak Nasution untuk meneliti tentang hukum adat yang
dihubungkan dengan kedudukan perempuan (dan berhasil meraih gelar Ph.D tahun
1942). Prof. Korn sendiri pada tahun tersebut menulis artikel tentang kedudukan
perempuan di Minangkabau yang berjudul De Vrouwelijke Mama' in de
Minangkabausche Familie (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap,
1942).
Bagaimana
gagasan Prof. Korn diikuti oleh Mr. Masdoelhak Nasution boleh jadi bukan hanya
karena Prof. Korn sudah mengenal dekat ayah
Masdoelhak Nasution di Sibolga, boleh jadi karena juga terinspirasi
dengan sepupunya Ida Lomongga Nasution yang telah meraih gelar doktor (Ph.D)
pada bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 (saat
Masdoelhak Nasution tiba di Belanda). Ida Lomongga Nasution berangkat studi ke
Belanda tahun 1922 dan berhasil menyelesaikan sarjana kedokteran pada tahun
1927, lalu kemudian melanjutkan ke tingkat doktoran. Dr Ida Loemongga Nasution
adalah perempuan Indonesia pertama yang bergelar Ph.D.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar