*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Satu hal yang nyaris terlupakan dalam sejarah Lombok adalah tentang eksistensi orang Bodha sebagaimana tentang orang Bali Aga di Bali. Orang Bodha adalah orang Sasak dan orang Bali Aga adalah orang Bali. Namun kepercayaan (cara beragam) orang Bodha berbeda dengan orang Sasak umumnya yang beragama Islam. Idem dito orang Bali Aga dengan orang Bali umumnya yang beragama Hindoe. Tempo doeloe, orang Bodha juga ditemukan di pulau Soembawa (Bima).
Satu hal yang nyaris terlupakan dalam sejarah Lombok adalah tentang eksistensi orang Bodha sebagaimana tentang orang Bali Aga di Bali. Orang Bodha adalah orang Sasak dan orang Bali Aga adalah orang Bali. Namun kepercayaan (cara beragam) orang Bodha berbeda dengan orang Sasak umumnya yang beragama Islam. Idem dito orang Bali Aga dengan orang Bali umumnya yang beragama Hindoe. Tempo doeloe, orang Bodha juga ditemukan di pulau Soembawa (Bima).
Di
Lombok juga ada yang diidentifikasi sebagai orang yang disebut orang Waktoe
Teloe. Mereka teridentifikasi berada di Lombok Utara di sekitar gunung Rindjani.
Pada era Hindia Belanda, para akademisi sering memperdebatkan dua terminologi
ini yang khas ada di pulau Lombok. Perdebatan ilmiah dalam rangka menemukan
kerangka pemahaman yang sama diantara para akademisi tentang orang Bodha dan
orang Waktoe Teloe. Orang Bodha dihubungkan dengan agama Budha dan orang Waktoe
Teloe dihubungkan dengan agama Islam. Pada sensus 1920, orang Bodha dimasukkan
dalam kategori (etnik) Sasak, sebagaimana orang Bali Aga dimasukkan dalam
kategori (etnik) Bali.
Lalu bagaimana sejarah orang Bodha? Nah, itu dia, kurang terinformasikan. Sejarah
orang Bodha adalah bagian dari sejarah pulau Lombok dan juga bagian dari
sejarah pulau Soembawa terutama di Bima. Penduduk asli di pulau Lombok menyebut
diri dengan orang Sasak. Dalam hal ini orang Sasak juga termasuk orang Bodha.
Terminologi Lombok, Sasak dan Bodha adalah tiga terminologi yang digunakan
berbeda. Okelah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Sebutan Bodha dan Orang Donggo di Bima
Penduduk yang mirip Bodha di Lombok kali pertama ditemukan di Bima sebagaimana terdapat dalam laporan seorang Inggris CGC Reinwardt. Orang mirip Bodha di Bima ini dicatat Reinwardt sebagai orang Donggo. Reinwardt ke Bima pada tahun 1821 dalam rangka pelayaran dari Batavia ke Banda dan singgah di Bima (selama dua hari). Dalam laporan Reinwardt ini disebutnya penduduk Bima sebelum gunung Tambora meletus 1814 sebanyak 45.000 (dari populasi seluruh pulau 74.500) dan saat kunjungannya populasi Bima hanya tersisa sekitar 5.000 orang. Reinwardt mendeskripsikan penduduk Bima pada umumnya dalam bentuk fisik mereka tidak jauh berbeda dengan orang Jawa. Dalam kesempatan inilah CGC Reinwardt mendapatkan keterangan tentang orang mirip Bodha (di Bima).
Kapal
yang disewa Reinwardt berangkat dari Batavia tanggal 26 Februari 1821 (lihat
dalam buku yang ditulisnya sendiri berjudul Reis naar het oostelijk gedeelte
van den Indischen Archipel, in het jaar 1821 yang diterbitkan dalam bahasa
Belanda tahun 1858), Pada hari Minggu 18 Maret Reinwardt melewati selat antara Lombok dan Soembawa dan
kemudian melewati teluk lalu melewati perairan dimana terlihat gunung Tambora
yang meletus pada bulan Aprik 1815. Pada hari Selasa melewati pintu masuk teluk
Bima dan pada pukul empat sore membuang jangkar di teluk Bima dan di darat
diterima oleh seorang kopral tua yang sudah berdinas di tempat ini selama 35
tahun dan kemudian kopral tersebut memandu jalan ke rumah Residen Vetter (yang
sudah empat tahun di Bima). Keesokan harinya setelah siang Reinwardt dan
Residen dengan utusan radja menemui Sultan di rumah sementaranya (istananya
rusak berat ketika gempa letusan gunung Tambora 1815). Raja ditemani oleh Rijksbestierder
(bendahara) turun ke tangga untuk menerima Reinwardt. Di belakang Rajah dan Reinwardt
berdiri seorang penerjemah, Radja tidak berbicara bahasa Melayu dengan sangat
cepat.
Dalam catatan Reinwardt deskripsi orang-orang
Donggo ini tidak ditemukan dalam laporan-laporan sejak era VOC, sebab tidak
seorang pun orang Eropa yang pernah mengunjungi populasi yang berada di
pedalaman barat teluk Bima ini. Bahkan Residen sendiri hanya sekadar mendengar
dari orang-orang, CGC Reinwardt adalah orang Eropa pertama yang ‘berani’ ke
pemukiman orang Donggo tanggal 21 Maret. Dalam banyak hal sejak era VOC,
orang-orang Inggris dan Jerman cenderung miliki keingintahuan yang tinggi
terhadap sesuatu yang baru didengarnya. Bagaimana dikatakan orang Bodha mirip
orang Donggo di Bima dapat disalin ringkas dari catatan CGC Reinwardt.
Di
sebelah barat teluk Kerajaan Bima masih terdiri dari suku pagan, semua penduduk
kerajaan Donggo adalah orang Donggo (Donggoans). Mereka tidak mengenal Makhluk
Tertinggi, mereka menyembah roh Yang Mahatinggi dengan nama De’wa yang mengingatkan salah satu agama
Hindu. Sehubungan dengan ini, bukan
tanpa nilai bahwa Bima juga milik negara-negara yang patut diperhitungkan untuk
kerajaan Hindu Jawa yang terkenal, Madjapaït. Mereka adalah manusia yang
pendiam, rajin dan pekerja keras, yang hidup dari pertanian yang subur,
peternakan, dan perburuan. Kejahatan sama sekali tidak diketahui. Desa-desa
mereka terletak di punggung bukit yang hampir tidak bisa diakses. Mereka bertaan
menanam padi; mereka makan daging babi, yang bahkan merupakan makanan favorit
mereka, juga ular dan binatang merayap lainnya. Mereka sering datang ke Bima
untuk bertukar segala macam kebutuhan (barter) tetapi kemudian buru-buru
kembali sesegera mungkin, karena mereka menjadi malu dan takut melalui banyak
hal, terutama di masa lalu, dilecehkan. Ketika salah satu dari mereka
dimakamkan, mereka memberikan kepada orang mati tersebut segala yang dia miliki
dalam hidupnya, barang-barang rumah tangga, pakaian, dan sebagainya ketika
masih hidup. Kuburan orang yang meninggal kemudian sebagian ditempatkan di
sebuah bangunan batu dan ubin yang tertutup. Kuburan mereka memiliki gaya
ukiran di kedua ujungnya; orang-orang raja atau orang-orang dari jenis kelamin
laki-laki memiliki bulat, orang-orang dari perempuan memiliki posisi rata. Mereka
ditutupi dengan kayu, dimana, di samping rangkaian bunga, prasasti dalam bahasa
Arab telah diukir, menunjukkan nama, kelahiran dan kematian almarhum. Dari
kuburan yang terlihat umurnya tidak lebih dari seratus tahun. Mereka tidak
mengenakan kain di kepala, tetapi menutupinya dengan daun pohon. Rambutnya menggantung panjang
dan diikat dengan pita sederhana daun lontar. Mereka juga tidak diperbolehkan
menggunakan bantal atau tempat tidur, hanya balok kayu, tikar dan kulit kambing.
Jumlah orang-orang ini telah berkurang banyak karena bencana umum yang telah
menimpa tanah (letusan gunung Tambora0 yang mana sekarang jumlahnya tidak
melebihi 200. Mereka tunduk pada Rajah Bima. Rumah-rumah mereka, secara kebetulan,
tidak berbeda dengan ruangan kecil, lima belas kaki persegi, yang berdiri di
atas tiang tinggi dan tidak memiliki lubang selain pintu palka. dimana Anda
naik dengan tangga dan dengan pintu kecil yang dapat Anda buka dan tutup...Hari Jumat, 23 Maret pukul satu siang, jangkar dilepas
dan kami meninggalkan Bima.
Deskripsi orang Donggo di Bima ini juga ditemukan
pada laporan Heinrich Zollinger (1847). Heinrich Zollinger sebelum ke Bima
sudah melakukan ekspedisi di Lombok. Sayangnya Heinrich Zollinger tidak
mencatat keberadaan orang Bodha di Lombok meski Heinrich Zollinger sudah
mencoba datang ke gunung Rindjani. Heinrich Zollinger hanya mendeskripsikan
gunung dan danau Segara. Penjelasan tentang sebutan Bodha di Lombok dikemukakan
oleh JC van Eerde dalam catatanya berjudul Aanteekeningen over de Bodha's van
Lombok yang dimuat pada majalah Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land- en
Volkenkunde, 1901.
Bodha
pada kenyataannya tidak berbeda dengan Sasak di sekitarnya. Mereka memiliki
bahasa yang sama, pakaian yang sama, cara hidup yang sama, adat yang sama, ide
yang sama tentang dewa dan menyembah Tuhan. Mereka adalah orang yang sama. Para
Bodha dibedakan hanya oleh agama mereka, yaitu dengan tidak mengakui Islam,
yang merupakan agama resmi orang Sasak, meskipun agama rakyat lama masih
terlihat jelas di antara yang terakhir di bawah lapisan atas Islam. Dalam
kehidupan sehari-hari perbedaannya adalah bahwa para Bodha memelihara babi,
orang-orang Sasak tidak. Namun, babi makan keduanya; tapi orang Islam Sasak
mengharamkannya. Selain itu, para Bodha tidak ada hubungannya dengan masjid dan
mereka tidak disunat. Dalam batin mereka, dalam pikiran mereka, dalam tahap
perkembangan mereka, tidak ada perbedaan antara Mohammedan dan Bodha-Sasak di
daerah-daerah ini. Para Bodha sendiri mengaitkan nama mereka dengan ‘Buddha’
yang mengaku terkait dengan orang Bali. Tapi ini tentu saja tidak benar,
mungkin kata yang sama terlihat dalam ‘Bodha’ yang juga umum di Jawa untuk
merujuk pada menunjukkan penduduk asli yang beragama Islam. Bodha terletak di
tiga distrik dan secara keseluruhan tercatat sekitar 384 keluarga setara 1.594
jiwa. Mereka adalah petani dan bekerja di sawah; tetapi mata pencaharian utama
mereka adalah kebun, sering ditanam dengan pohon kelapa dan ladang kering,
kadang-kadang dibudidayakan secara permanen oleh mereka, yang lain sementara
(raoes). Agama mereka dikembangkan secara bebas. Mereka tahu dewa yang berbeda.
Upacara keagamaan dilakukan di pemakaman; tetapi penyembahan orang mati yang
sebenarnya tampaknya tidak ada meskipun mereka diperingati dalam doa. Para
Bodha biasanya saling menikah; mereka tidak menganggap perempuan Mohammedan
atau Balian (Hindoe) sebagai perempuan; sangat sedikit kasus yang diketahui
tentang pernikahan gadis-gadis Bodha dengan Mohammedan Sasaks. Bentuk
pernikahan yang biasa dengan Bodha adalah melarikan direi dengan persetujuan
gadis itu. Suami dan istri kemudian bersembunyi dan memberi tahu keluarga gadis
itu tentang itu, meminta mereka untuk pengampunan dan izin untuk mengunjungi
mereka. Kunjungan ini berlangsung pada hari keempat setelah pelarian; Sementara
itu, harga pernikahan telah ditetapkan oleh para penatua, yang selalu
diselesaikan oleh semua pihak.
Catatan JC van Eerde ini telah menjadi rujukan
bagi penulis-penulis lainnya. Catatan ini juga telah dimasukkan dalam Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie. Diskusi tentang Bodha dan Budha telah melebar
kemana-mana. Oleh karena itu, kembali JC van Eerde membuat catatan dengan judul
De Volksnaam Bodha in Nederlandsch Indie yang dimuat dalam majalah Tijdschrift
van het Aardrijkskundig Genootschap, 1922.
Di Jawa
dan Lombok nama Bodha dikenal untuk era peradaban dan untuk kelompok rakyat
tertentu. Bodha Lombok membawa--saya mengutip dari sebuah esai tentang mereka
yang saya tulis pada tahun 1901--nama Bodha sehubungan dengan ‘Buddha’ dan
Budhakling, tempat asal umat Buddha Hindu yang tinggal di Tjakranegara. Ini
tidak diragukan lagi salah dan orang-orang di Bodha untuk melihat kata yang
sama, yang juga adat di Jawa untuk menunjukkan penduduk asli yang masih tersisa
dari Islam. Muslim Sasaks, yang sudah tercerahkan, dengan jijik mengatakan
bahwa ‘Bodha’ sama dengan ‘belog’ yang berarti ‘bodoh’ karena sebagai orang
pedalaman (boschmenschen) mereka belum memiliki agama, sehingga menyebut Bodha sebagai
penduduk asli Lombok pada periode pra-Mohammedan seperti yang dijelaskan lebih
rinci dalam esai yang dikutip di atas. Sementara itu, tampak bahwa nama Bodha
juga sedang populer di Zuid Sumatra dan bahwa tradisi disana berbicara tentang
Bodha dari masa lalu, yang telah kalah dalam pertempuran dengan putra pangeran
Pagar Royung (lihat LC Westenenk, 1920, halaman 6-7). Oleh karena itu,
diperbolehkan bagi saya untuk mengutip di sini dari surat oleh almarhum
Profesor Kern, bertanggal: 27 Mei 1902, di mana sarjana ini memberi tahu saya
tentang yang berikut sebagai hasil dari esai Bodha yang disebutkan di atas. ‘Aku
sepenuhnya setuju dengan penilaianmu yang terakhir bahwa para Bodha hanyalah
Sasak penyembah berhala. Adapun bahasa doa, doa, dll., saya tidak dapat
memisahkan konstituen Sasak dari Jawa-Bali, karena saya tidak tahu Sasak.
Kata-kata bahasa Sasak yang dikomunikasikan oleh van der Tuuk dalam kamusnya
tidak memberikan wawasan yang cukup tentang bahasa tersebut. Namun dalam bahasa
dokumen, saya melihat bahasa tertulis yang sebagian besar dalam bahasa Bali, campuran
Jawa dan Bali. Kata-kata dan bentuk-bentuk Jawa Kuno tertentu tidak muncul di
dalamnya; Kata-kata Jawa Kuno yang tidak ditemukan tetapi ditemukan dalam
setiap tulisan sastra Bali. Bentuk-bentuknya tidak bisa sangat tua dalam
bentuknya yang sekarang; kata-kata seperti dowa dan ngawinang diambil dari
orang-orang Mohammedans dan bahkan tidak digunakan oleh orang-orang Ciwa Bali.
Bentuk seperti koela, meskipun benar-benar Jawa Baru, dan karena itu tidak
disebabkan oleh pengaruh Muhammadan, sangat muda dan berasal dari abad ke-17
paling awal. Bentuk seperti tigaloerang adalah murni Bali - tentu saja mungkin
juga Sasak kontemporer, yang saya tidak tahu - tetapi tidak tersedia di
Oudjavaansch, dimana ia disebut mang(h)atoerani atau ank(h)atoerani. Nama Bodha
pasti diberikan kepada orang-orang Sasak pagan oleh orang-orang sebangsa Islam
mereka. Orang-orang Mohammadan menyebut sama dengan ‘Buddha’ dan mengira semua
penyembah berhala adalah penganut Buddha. Ketidaktahuan yang sama juga terjadi
di Eropa, bahkan diantara orang-orang yang beradab, berbicara tentang
orang-orang Hindoe,yang
menganggap ini adalah umat Buddha. telah menghilang dari Hindustan selama
berabad-abad. Mengikuti contoh orang-orang Mohammad, orang Jawa sekarang juga
berbicara tentang satu dan dengan makna itu, bukan ‘Boedhist’ dan Boeda eeuw’,
seperti yang ditunjukkan oleh kamus, tetapi ‘pagan’ dan ‘pagan eeuw’. Tidak
diragukan lagi, nama Bodha tidak berarti apa-apa selain Heidenen (kafir). Disini
ditekankan lagi: Nama Bodha sebagai nama kelompok penduduk di Hindia Belanda berasal
dari orang-orang Mohammadan dan yang mereka maksudkan dengan itu: Heidenen. Sejalan
dengan ini adalah oposisi bahwa Dr. Krom keberatan dengan penjelasan nama
Barabudur, sejauh yang diyakini dalam Budur telah menemukan kata Bodha (Bodo),
yang merupakan ekspresi tercela atau salah diwakili oleh orang-orang Mohammadan.
pengucapan budho, yang berarti kuno atau pagan. Sudah pasti pula bahwa bud(dh)a
dalam arti ‘lama’ bukanlah kawi, tetapi secara eksklusif orang Jawa Baru, dan
dalam hal ini dipahami bahwa dari masa pra-Islam, lembaga, tetap, sampai pada ‘buddha’
waktu berbicara dll; transisi makna dari zaman Buddha ke ‘zaman dulu’ cukup
dimengerti bagi orang Jawa Baru, tetapi dalam Kawi Buddha tidak pernah tetapi
nama juruselamat (Dr NJ Krom, Beschrijving van den Barabudur, 1920, halaman 4).
JC v Eerde.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bali Aga di Pulau Bali dan Kelanjutan Orang Bodha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar