Sebelum dikenal (pulau) Bali sebagai destinasi pariwisata sudah dikenal Priangan (Preanger) dan danau Toba (meer Toba) sebagai destinasi pariwisata manca negara. José Miguel Covarrubias seorang pelancong asal Meksiko yang sudah lama bermukim di New York yang memperkenalkan (pulau) Bali sebagai pulau yang eksotik ke internasional lewat bukunya berjudul Island of Bali yang terbit di New York pada tahun 1937.
Pada tahun 1925 di Bandoeng, sejumlah orang memprakarsai didirikannya klub pecinta Bandoeng dengan nama Vereeniging Bandoeng Vooruit (Sarikat Bandung Maju). Klub ‘sadar kota’ ini adalah seperti klub-klub social lainnya, seperti Societeit Concordia, klub Paroekoenan. Namun klub Bandoeng Vooruit lebih focus pada upaya promosi kota agar kunjungan para wisatawan lebih meningkat lagi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1925). Nama sarikat serupa ini juga muncul di sejumlah kota di Sumatra seperti Vereeniging Brastagi Vooruit werd door de Landschappen in de Karolanden (De Sumatra post, 12-03-1926). Soekaboemi vooruit. Koetaradja vooruit dan lainnya.
Oleh karena buku ini ditulis dalam bahasa Inggris, para pembaca muncul banyak dari orang-orang non Belanda terutama yang berbahasa Inggris (Anglo-saxon). Orang-orang Belanda awalnya nyinyir merespon kehadiran buku ini. Tampaknya orang Belanda tidak terlalu menginginkan Bali sebagai tujuan wisata. Orang-orang Belanda memahami bahwa orang Bali tidak terlalu respek terhadap Belanda (karena pengalaman dan berbagai peristiwa di Bali yang belum lama berselang). Oleh karena itu meski buku ini bukan ditujukan untuk mendatangkan wisatawan, tetapi bagi pembaca isi buku dianggap telah menjadi undangan untuk datang (wisata) ke Bali. Para pembaca Belanda tampaknya terbelah lalu muncul pro kontra.
Orang Belanda yang pro, sedikit lebih realistis. Para pegiat pariwisata di Soerabaja segera melakuk pro-aktif untuk mempromosikan Bali. Pemerintah daerah di Soerabaja juga mendukung langkah para pegiat pariwisata Soerabaja. Program pertama para pegiat parawisata itu adalah dengan menyelenggarakan sutau pameran dan diskusi tentang Bali di Museum Simpang, Soerabaja. Program ini dimulai tanggal 29 September (lihat De Indische courant, 29-09-1938). Program ini dapat dikatakan sebagai program pariwisata Bali. Sebaliknya, José Miguel Covarrubias, seperti dilihat nanti, menyesali ada perbedaan antara yang diinginkannya dengan yang diharapkan oleh para pegiat pariwisata dan para wisatawan. José Miguel Covarrubias sangat khawatir Bali akan rusak karena para wisatawan. Bali dalam dilema. José Miguel Covarrubias tampaknya ingin mewakili perasaan orang Bali setelah Bali menjadi targget dan destinasi wisata yang baru.
Pegiat pariwisata dan pemerintah akan diuntungkan dengan program baru ini karena akan menambah devisa karena kunjungan wisata mancanegara. Program ini menjadi prakondisi untuk memarakkan tahun-tahun awal kunjungan wisata ke Bali (domestik) sebelum wisatawan mancanegara berdatangan (internasional).
Berita-berita tentang adanya danau pegunungan yang begitu luas di pedalaman (pulau) Sumatra mulai menjadi viral. Lebih-lebih setelah terbitnya peta wilayah Tapanoeli yang beredar pada tahun 1852. Danau ini diidentifikasi dala peta, karena FW Junghuhn pada tahun 1840-1843 melakukan studi ilmiah di Tanah Batak (geologi dan botani). FW Junghuhn adalah orang asing pertama yang disebut melihat danau ini. Sejak masa lampau danau ini tidak pernah ada yang mebicarakannnya di pantai teluk Tapanoeli. Orang Batak selalu menyembunyikan danau itu dan terus merahasiakannya hingga FW Junghuhn menemukannya sendiri.
Seorang wistawan asal Austria yang tiba di Batavia pada tahun 1852 tidak membaca berita-berita karena dia sudah beberapa tahun dalan perjalanan melancong ke berbagai negara hingga tiba di Batavia (Hindia Belanda). Ketika seorang pedagang buku menawarkan lebaran peta terbaru, mebuat gadis Austria bernama Ida Pheiffer tertarik untuk melihatnya. Ida Pheiffer langsung tertuju pandangannya melihat ada danau (meer) di pedalaman Sumatra. Setelah mendapatkan berbagai keterangan di Batavia, Ida Pheiffer tertantang untuk melihat danau (meer) Toba. Ida Pheiffer adalah perempuan pertama Eropa yang melihat danau Toba.
Satu-satunya tujuan Ida Pheiffer ke Sumatra hanya semata-mata untuk melihat danau Toba. Ida Pheiffer berangkat ke Padang dengan kapal layar. Lalu dari Padang dengan menunggang kuda sendirian (lone ranger) hingga tiba di kota Padang Sidempoean. Controleur Hammer coba menghalangi niat Ida Pheiffer untuk meneruskan perjalanan ke danau Toba karena khawatir tentang keamanannya. Jalannya sangat sulit dan juga masih jauh. Kota Padang Sidempoean adalah tempat orang Eropa terjauh di pedalaman Tanah Batak. Mr Hammes sendiri sudah pernah ke danau Toba. Namun Ida Pheiffer ngotot untuk berangkat sendiri ke danau Toba (sudah kepalang basah melalui perjalan jauh hingga tiba di Padang Sidempoean. Mr Hammer mengalah dan lalu mencari pemandu terbaik di sekitar Padang Sidempoean dan menemukan Dja Pangkat yang tinggal di kampong Sajoermatinggi, orang yang ikut mendampingi FW Junghuhn melakukan ekpesisi tahun 1840an. Sebelum berangkat ke danau Toba, Mr Hammer membekali Ida Pheiffer surat kepada sejumlah kepala kampong (hoeta) yang akan dilalui ke danau Toba dan juga sejumlah kosa kata Batak yang diperlukan selama di perjalanan. Akhirnya Ida Pheiffer berhasil melihat danau Toba dari perbukitan dan segera kembali ke Padang Sidempoean dan seterusnya ke Padang untuk berlayar kembali ke Batavia. Setiba di Batavia, Ida Pheiffer menulis kisah perjalanannya itu di Batavia pada tanggal 12 Oktober 1852 dan kemudian dikirimkan ke surat kabar dan dimuat oleh surat kabar Batavia dan juga dilansir surat kabar di Belanda, Algemeen Handelsblad edisi 09-05-1853. Berita ini kemudian menjadi viral di Eropa. Rahasia penduduk Batak mulai diincar oleh para pelancong Batavia dan manca negara.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar