*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Aceh populer tentang kepahlawanan. Okelah, itu satu hal. Hal lain yang juga penting tentang sejarah Atjeh adalah aspek lainnya. Namun untuk urusan ini kurang banyak diperhatikan dan karena itu tidak terinformasikan. Padahal narasi sejarah tidak seluruhnya tentang perang dan kepahlawan, tetapi juga soal geografi, ekonomi (perdagangan), pertanian, kependudukan, pendidikan dan aspek pembangunan yang lainnya. Hal itulah mengapa serial artikel Sejarah Aceh ini ditulis, sebagai bagian dari Sejarah Menjadi Indonesia.
Lantas dari mana dimulai penulisan narasi Sejarah Aceh? Mulailah dari yang paling kasat mata, yakni di suatu kota di ujung paling utara pulau Sumatra, yang kini dikenal sebagai Kota Banda Aceh (ibu kota Provinsi Aceh). Lalu mengapa harus Banda Atjeh? Karena banda (bandar, banjar) adalah kota (kota, huta). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Permulaan itu umumnya dimulai dari terbentuknya banda atau huta. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Aceh: Atchin, Achin, Achen, Asyi, Achem, A-tsi, Acheh, Atjeh
Sejarah Atjeh pada dasarnya dimulai secara terang benderang setelah kehadiran Belanda di Hindia Timur (baca: Hindia Belanda). Hal ini karena terinforasikan dengan lengkap di dalam berbagai sumber Belanda (koran, majalah, buku, peta, lukisan dan foto). Sulit mendapatkan keterangan di era Portugis maupun era Moor. Pada era Portugis keterangan Atjeh hanya sama-samar ditemukan dalam laporan-laporan penulis Portugis (Tome Pires, 1522; Barbousa, 1528 dan Mendes Pinto, 1539). Hal tersebut karena tidak adanya hubungan diplomatik dengan Atjeh setelah Portugis menaklukkan dan menduduki Malaka sejak 1511 (catatan: pelaut Portugis pertama tiba di Malaka yang dipimpin Diego Lopez pada tanggal 11 September 1509). Sebaliknya, keterangan (kerajaan) Aroe di selatan Atjeh (daerah aliran sungai Baraoemen, kini Padang Lawas, Tapanoeli) cukup banyak. Orang Moor adalah pendahulu (predecessor) sebelum kedatangan orang-orang Portugis. Meski demikian, keterangan tentang Moor dan Portugis dapat dibaca dalam sumber-sumber Belanda.
Keberadaan (kota) pelabuhan Atjeh paling tidak sudah ditemukan di dalam laporan perjalanan Cornelis de Houtman (1595-1597). Namun Cornelis de Houtman yang memimpin pelaut-pelaut Belanda ini tidak mengunjungi Atjeh karena langsung ke pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) terus ke Bantam (Banten), lalu berakhir di Bali (sebelum kembali ke Belanda). Cornelis de Houtman pada tahun 1597 meninggalkan dua pedagangnya di Bali. Dalam pelayaran Belanda pertama ini juga turut adik Cornelis de Houtman (Frederik de Houtman, seorrang ahli bahasa).
Pada pelayaran kedua Belanda tahun 1598 Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman dengan pasukannya tiba (kembali) di Hindia Timur dan sengaja mengunjungi (kota pelabuhan) Atjeh sebagai yang pertama (sebelum ke kota-kota lain). Namun kedatangan Belanda ini kurang diterima sehingga terjadi pertempuran dan Cornelis de Houtman tewas dan Frederik de Houtman ditahan. Boleh jadi itu terjadi karena sebelumnya terjadi konflik antara Cornelis de Houtman dengan Banten pada tahun 1596. Kejadian di Banten tentu saja diketahui di Atjeh karena berita-berita pelaut pribumi yang hilir mudik antara Banten dan Atjeh.
Pada tahun 1602 Frederik de Houtman dibebaskan setelah terjadi negosiasi dengan perwakilan Belanda pada pelayaran-pelayaran berikutnya. Selama Frederik de Houtman ditahan di Atjeh selama sekitar tiga tahun, Frederik de Houtman terus mengembangkan kamus dan tatabahasa Melayu di Atjeh. Kamus dan tatabahasa Melayu ini selesaikan Frederik de Houtman di Goode Hoop. Pada tahun 1603 kamus dan tatabahasa tersebut diterbitkan di Amsterdam. Inilah kamus dan tatabahasa Melayu pertama. Kamus dan tatabahasa bahasa Melayu berjudul ‘Spraeck ende woord-boeck in de Maleysche ende Madagaskarsche talen, met vele Arabische ende Turcsche woorden’. Kamus ini ditulis dalam aksara latin, Peta kota Atjeh (1603) yang ditampilkan di atas diduga kuat dibuat oleh Frederik de Houtman. Hal ini karena Fredrik de Houtman adalah satu-satunya orang Belanda yang lama tinggal di Atjeh.
Sisa pelaut-pelaut Belanda di Atjeh meneruskan pelayaran ke Bali untuk menjemput tiga pedagang Belanda (Emanuel Roodenburgh, Jacob Claesz van Delft dan Jan Jansz de Roy). Lalu dari Bali pelayaran dilanjutkan kembali ke Belanda. Sejak itu intensitas pelayaran Belanda ke Hindia Timur dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1599 pedagang Belanda ditinggalkan di Ternate Frank van der Does di Ternate dan seorang pedagang lainnya di Banda. Pada tahun 1600 di Ambon ditinggalkan Jan Dirckz Sonnenbergh dan di Bantam Claes Simonsz Meehaêl.
Pada saat armada Cornelis de Houtman di Hindia Timur, pada tahun 1598 satu armada Belanda berangkat dari Utrecht yang dipimpin oleh Oliver van Noort. Namun Oliver Noort tidak mengikuti jalur navigasi Cornelis de Houtman tetapi mengikuti jalur navigasi lama Spanyol di era Magellan melalui Mexico (Spanyol) mengitari Amerika Selatan dan tiba di kepulauan Filipina. Kapal-kapal pedagang Portugis di laut Cina (selatan) bentrok dengan armada Oliver van Noort yang kemudian Oliver van Noort putar haluan ke pantai utara Borneo lalu menemukan jalan ke selatan ke Bali dan Blambangan yang seterusnya kembali ke Belanda. Satu dokumen penting dari pelayaran Oliver van Noort ini adalah peta Borneo (Kalimantan) yang dibuat pada tahun 1601.
Frederik de Houtman tampaknya tidak kapok. Pada akhir tahun 1603 Frederik de Houtan kembali ikut dalam pelayaran yang dipimpin oleh seorang Admiral yakni Steven van der Hagen (berangkat dari Amsterdam tanggal 18 Desember 1603). Frederik de Houtman justru semakin siap apalagi telah menguasai bahasa Melayu. Armada yang semi militer ini menyusun kekuatan di Bali (sebagai satu-satunya yang menerima mereka di Hindia Timur). Pada tahun 1605 armada Steven van der Hagen ini menyerang Portugis di Ambon tepatnya pada tanggal 23 Februari 1605. Benteng Portugis di Ambon berhasil diduduki. Untuk memegang posisi Amboina ini Frederik de Houtman diangkat sebagai Gubernur Amboina (1605-1611).
Dalam pelayaran Steven van der Hagen tersebut dalam penaklukkan Portugis di Amboina salah satu kapal yang digunakan adalah kapal Mauritius yang digunakan dalam pelayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597). Kapal ini tampaknya setelah mengalami perbaikan lama di Amsterdam disertakan dala armada Steven van der Hagen. Tentu saja Frederik de Houtman familiar dengan kapal ini. Pelayaran Steven van der Hagen, seperti halnya, catatan Cornelis de Houtman, catatan harian Admiral Steven van der Hagen juga dibukukan (yang dapat dibaca hingga sekarang).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Banda Atjeh dan Kota Radja
Kota Radja dan Banda Atjeh adalah nama yang diterima hingga pada masa ini (ejaannya tidak pernah berubah kecuali perubahan dj dan tj). Namun sebelum Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Atjeh, nama Atjeh ditulis dalam banyak versi (sehingga penulis-penulis Belanda bingung sendiri). Hal ini nyaris tidak ditemukan nama tempat di wilayah lain di Hindia Belanda (yang dapat diperbandingkan sejak era VOC).
Seorang ahli geografi Belanda Prof VI Peth menghitung belasan penulisan nama Atjeh. Menurut Peth, nama Atjeh hanya terdiri dari beberapa huruf tetapi bagaimana ditulis terdapat belasan versi. Di dalam tulisan-tulisan Portugis dan Italia ditulis sebagai Achem, Achen, Acen dan Assi dan hasil fusi dengan de Dachem, Dagin dan Dacin, Dalam tulisan-tulisan Prancis ditulis sebagai Achem, Achen, Achin dan Atcheh. Sementara dalam tulisan-tulisan Inggris ditulis sebagai Atcheen, Acheen dan Achin. Sedangkan dalam tulisan-tulisan Belanda ditulis sebagai Achem, Achim, Achin, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjien, Atsjeh, Atjeh dan bentuk lainnya. Namun menurut Veth yang paling umum ditulis Atchin meski bukan sesuai pengucapan penduduk asli. Veth mengusulkan sesuai aksara Belanda sesuai pengucapan penduduk asli adalah Atjeh atau lebih tepatnya Atjih, akan menjadi yang terbaik (lihat Bataviaasch handelsblad, 11-06-1873).
Hingga sebelum terjadinya perang (Perang Aceh 1873) Kota Banda Aceh disebut Aceh. Pada permulaan pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda (1874) nama (stad)) Atjeh dijadikan sebagai nama wilayah yakni Groot Atjeh (Aceh Besar atau Aceh Raya). Untuk nama ibu kota dipopulerkan nama Kota Radja. Nama Groot Atjeh tampaknya bukan dimaksudkan untuk membedakan dengan Klein Atjeh (karena kenyataannya tidak ada Klein Atjeh, Aceh Kecil).
Penamaan administrasi wilayah pada era Pemerintah Hindia Belanda (bahkan sejak zaman kuno) sangat lazim membedakan nama wilayah dan nama kota. Ada nama kota dan nama wilayah sama (seperti Borneo, Lombok, Manado, Padang), namun umumnya dibedakan seperti Groot Atjeh dengan Kota Radja. Hal ini juga sebelumnya yang terjadi di wilayah lain: Tapanoeli menjadi nama wilayah dan Sibolga dipopulerkan menjadi nama ibu kota (stad) dan juga Deli dijadikan nama wilayah dan Medan menjadi ibu kota.
Seperti halnya nama kota pantai Kota Padang, Kota Tapanoeli dan Kota Deli, Kota (Stad) Atjeh sudah dikenal sejak lama. Namun sejak kapan munculnya nama Atjeh, Padang, Tapaboeli dan Deli tidak diketahui secara pasti. Yang jelas kota Atjeh tumbuh dan berkembang menjadi kota (pelabuhan) penting di atas (ujung utara) pulau Sumatra. Kota pelabuhan Atjeh inilah yang kemudian bertransformasi menjadi kerajaan (kesultanan). Gambaran ini dapat dilihat dalam deskripsi Mendes Pinto (1539).
Bagaimana suatu kota (pelabuhan) di pantai terbentuk, secara teoritis bermula karena faktor perdagangan (arus masuk dan arus keluar barang dan komoditi). Pelaku perdagangan di kota pelabuhan adalah pedagang-pedagang yang datang dan berasal dari berbagai penjuru lautan. Para pedagang ini berintraksi dan bertransaksi dengan penduduk asli di belakang pantai (pedalaman). Penduduk asli membutuhkan barang industri seperti garam, besi, kain dan perlengkapan rumah. Para pedagang manca negara bertukar dengan komoditi alamiah darin penduduk asli seperti emas, gading, hasil hutan seperti damar, kamper dan kemenyan. Kota-kota pelabuhan ini bermunculan di banyak titik seperti di Pauh (pendahulu Padang), Loemoet (pendahulu Tapanoeli), Deli Toea (pendahulu Labioehan Deli), Pedir (Pendahulu Segli), Lhoksukon (pendahulu Lhokseumawe), Karang Baroe (pendahulu Langsar atau Langsa), Daya (Toea) (pendahulu Daya Baru).
Lalu kota mana yang menjadi pendahulu kota Atjeh. Kota pelabuhan Atjeh sendiri bermula di muara sungai (akses masuk ke pedalaman). Tentu saja ada kota pendahulu di belakang pantai sebelum terbentuknya kota pelabuhan Atjeh di muara. Kota pendahulu ini tepat berada di pusat Kota Banda Aceh yang sekarang. Menurut deskripsi yang ditulis oleh ahli geografi Belanda Prof PJ Veth (1873) jarak dari muara ke kraton Atjeh dengan mendayung perahu lamanya satu jam. Ini mengindikasikan jarak navigasi pelayaran antara kota pelabuhan Atjeh (pendatang) di muara pada masa lalu terbilang jauh dengan kota di belakang pantai (pusat Kota yang sekarang). Hal itu jugalah yang terdapat pada hubungan kota pelabuhan Segli dengan kota Pedir dan kota Lhokseumawe (di pulau) dan kota Lhoksukon. Kota-kota Pedir dan Lhoksukon serta Lhoknibung terhubung ke pedalaman melalui jalur sungai. Kota Pedir terhubung dengan Pidi di pedalaman (Tangse); kota Lhoksukon terhubung dengan pedalaman hingga danau pegunungan (Takengon).
Pada zama doeloe (katakanlah pada era Boedha Hindoe). Pulau Sumatra masih ramping (tidak selebar yang sekarang). Mengapa? Banyak luasan pantai dan teluk telah terbentuk daratan karena proses sedimentasi (lumpur dan sampah batang kayu) jangka panjang akibat aktivitas produksi di wilayah pedalaman (pegunungan) yang terbawa oleh sungai. Hal itulah mengapa dapat dijelaskan kota Lhokseumawe terbentuk di suatu pulau di teluk dimana Lhoksukon berada di pantai (demikian juga Pedir di pantai dan Segli di pulau yang terbentuk proses sedimentasi). Hal yang sama juga yang terjadi di teluk Daya dan teluk Singkil di pantai barat. Tipologi inilah yang juga terjadi pada terbentuknya kota pelabuhan Atjeh di muara sungai.
Lantas bagaimana dengan kota pedahulu sebelum terbentuknya kota pelabuhan Atjeh? Kota apa gerangan yang sudah eksis sejak zaman lampau (mungkin sejak era Boedha-Hindoe) di belakang pantai yang jauhnya satu jam mendayung perahu? Kota-kota di belakang pantai ini terhubung dengan wilayah pedalaman, seperti kota pegunungan Tangse (Pidie). Dalam hal ini kota Tangse tidak hanya terhubung dengan kota pelabuhan Pedir di pantai timur tetapi juga terhubung dengan kota pelabuhan di pantai barat di Labo (kini Meulaboh) melalui Panthom (Meulaboh adalah pelabuhan pantai yang utama dari kota Tekengon (danau). Tentu saja kota Tangse juga terhubung dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara.
Kota-kota pegunungan ini diduga kuat sudah terbentuk sejak zaman lampau sebelum terbentuknya daratan sedimentasi dan kota-kota pantai (era Boedha Hindoe). Kota-kota pegunungan ini kaya emas dan hasil-hasil hutan yang diproduksi penduduk asli yang diperkaya oleh pengetahuan dari orang-orang India (tidak hanya di wilayah Gayo di Aceh, juga di wilayah Batak di Tapanuli, wilayah Agam, Solok dan Kerinci di Sumatra Barat, wilayah Komering dan Lampong di Sumatra Selatan. Hal itulah mengapa nama geografi di wilayah Aceh di wilayah pedalaman banyak yang terhubung dengan nama-nama di India seperti nama tempat Tangse, Takengon, Pidie, Singh(il), Daija. Labo, dan Lingga, nama sungai Arakoendo, Raba dan sebagainya serta nama gunung Loser (kini Leuser) dan gunung Agam (kini Seulawah). Nama Lhok (pada Lhokseumawe, Lhoksukon dan Lhoknibung), Segli dan Atjeh diduga kuat tidak berasal dari India tetapi terbentuk dari penggunaan bahasa Melayu yang mana Lhok berasal dari Telok atau Teloek dan Atjeh berasal dari Atas, Ateh, Atjih atau Atjeh, Kota Atjeh (atas, ateh) diduga merujuk pada nama kota (pelabuhan) di ujung (utara).
Lalu bagaimana dengan kota pedahulu sebelum terbentuknya kota pelabuhan Atjeh? Dalam berbagai peta dan tulisan seperti deskripsi PJ Veth (sebelum Perang Atjeh) diidentifikasi nama-nama tempat (kotta) di arah hulu kraton (yang diduga terhubung dengan Tangse di pedalaman di pegunungan). Dua nama yang agak unik dan mengundang pertanyaan adalah nama Bata (Lehong) dan nama Daroe (sungai dan bukit). Apakah masih ada nama Lehong Bata(k) sekarang? Yang jelas nama Daroe kini dikenal (bergeser) sebagai Daroy. Nama sungai (Krueng) Daroe tepat berada di depan kraton (sebelum terbakar pada tahun 1873).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar